Uang (Bagian Kedua)
Sumber Gambar: http://www.californiaelderabuselawyer-blog.com/wp-content/uploads/sites/132/2015/11/money-and-pills-2.jpg |
Dalam ranah ekonomi kehadiran uang dipercaya mampu mengatasi masalah-masalah ketidakefisienan dalam transaksi pertukaran barang dan jasa di sistem yang tidak mengenal uang (baca: barter). Paling tidak dapat mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan, antara lain: (1) waktu, (2) kesetaraan dan keadilan (fairness), (3) standarisasi, dan (4) akumulasi kemakmuran . Namun apabila kita terbang lebih tinggi untuk melihat apa yang terjadi antara uang dan manusia, uang nampaknya memiliki efek samping yang cukup berbahaya akibat kemampuan mereduksi nilai-nilai yang melekat pada manusia itu sendiri dan sehingga seseorang tersebut hanya bergumul dengan masalah keterasingan dengan dirinya sendiri.
Alam manusia dan pikirannya, memiliki kadar misteri yang sama dengan Tuhan. Pernyataan ini sangat mengerikan bukan? Namun untuk memahami manusia dan uang dalam tingkatan yang lebih abstrak, kita dapat bermula dari gambaran dialog berikut:
Ibu : Nak, Kamu kalau nanti sudah besar, mau jadi apa?
Aku : Mau jadi Batman Bu! Dia pemberantas kejahatan... Aku mau jadi seperti dia.
Ibu : Husssh jangan ngawur kamu! Batman itu tidak ada, itu cuma cerita komik nak. Maksud Ibu kamu ingin jadi Pilot kah, Dokter, Perawat, Insinyur, atau apa?
Aku : Hmm apa ya Bu, aku bingung untuk menjawab pertanyaan Ibu.. Mungkin jadi Pilot kali ya Bu, soalnya Batman juga bisa menerbangkan pesawat.
Ibu : (terdiam, menghela nafas keputusasaan)... ya kita lihat nanti ya Nak. (sambil melayangkan senyum pasrah).
20 tahun kemudian dialog pun terjadi di sebuah kantin
Aku : Duh skripsi gw kok disuruh ganti judul lagi sama pembimbing. Katanya penelitiannya tidak menarik, sudah usang topiknya. Caranya kaya gini kapan gw mau lulus, cari kerja, belum lagi nikah, aaahh.. kenapa sih kok hidup sulit amat.
Amrin : Yah elah Bro.. kaya gitu ngapain sih dipikirin, hidup gw nyantai.. kuliah aja nggak kelar, yah pingin sih suatu saat gw kuliah lagi, tapi yah gimana bro, sekarang karyawan aja dah lumayan banyak, belum lagi anak gw dah tiga.. yah seandainya gw dulu kaga dipenjara gara-gara narkoba sama kebobolan.. ah biarlah, tapi kenyataanya gw masih bisa nongkrong santai di sini kan sama elo-elo pada.
Poltak : Ah curhat colongan lo pada nih... Kerja tuh kaga enak bro, gw lembur mulu.. sialan tuh Bos emang!! Percaya deh sama gw. Emang sih kerja di perusahaan asing tuh apa-apanya semua dah disiapin, gw disekolahin S2, sekarang dah dapet cicilan rumah.. tapi yah itu kaga bebas, bosen gw sebenarnya, pingin nikah cuma kapan mau dapetnya kalau sibuk melulu..
Aku : Halah alasan lo! Kebanyakan mijit aja sih jadi kaga fokus nyari istri lo...
Poltak : Sialan Kau! Yah elo sendiri dong ngaca! Hahahahaha
Aku dan Amrin : Hahahahahaha (tertawa lepas).
Dialog
diatas memberikan gambaran kisah kehidupan sosial laki-laki dengan segala problematikannya.
Tentu saja ada masalah kesenjangan-kesenjangan yang mengakar dan melahirkan
keinginan-keinginan dari tiga pribadi di atas. Benang merah yang hadir disana
adalah pemenuhan kebutuhan akan hidup, melalui profesi dan dapat melangkah ke
jenjang narasi kehidupan berikutnya. Dunia kerja dan mencari uang. Lantas apa
hubungannya dialog tersebut dengan uang?
Melalui
pemikiran Simmel atas uang, Ia menjawab. Secara keekonomian uang merupakan alat
tukar yang dilekatkan untuk memberikan ukuran atas nilai pada benda tertentu
(atau materi tertentu). Pada hakikatnya uang memiliki kodrat sebagai makhluk
pembeda, maka analisis uang tidak difokuskan pada transaksi ekonomis, melainkan
pada efek transaksi ekonomis itu pada jiwa penggunannya yaitu manusia. Simmel
berbicara tentang ciri psikologis uang, yaitu: independensinya, anonimisasi
atau depersonalisasinya, dan efek kemenjadian berjarak. Apa bahasan dari ketiga
ciri psikologis ini? Pertama, uang dapat menimbulkan rasa kesalehan untuk
mengejarnya, uang menjadi “allah baru di jaman ini”. Uang tidak menjadi alat
tukar, namun sudah bergeser menjadi tujuan, sehingga pada akhirnya menjurus
pada “tanpa adanya uang, maka kebahagiaan tidak ada”. Kedua, uang telah
mereduksi nilai-nilai khas/unik yang melekat, karena uang telah menyamaratakan
nilai-nilai lain dan dibungkus dengan nilai yang ada pada mata uang itu. Misal
uang hanya menghargai manusia hanya sebatas profesinya. Misalnya keanggunan dan
kehormatan perempuan dipangkas hanya sebatas nilai uang, contoh: cekcok karena
suami memotong uang belanja istri, dengan alasan kantor si suami sedang seret
pekerjaan sehingga tunjangan dihilangkan. Padahal si suami ini punya cemceman
mamah muda beranak satu, sekantornya yang atraktif dan enerjik, serta hobby
dengan gerombolan teman-teman kantor untuk menikmati hidup di spa dan karaoke
kemasyur. Sehingga profesi istri disini direduksi dengan uang, dan bahkan
posisi perempuan (si istri) disini direduksi tidak lebih dari juru momong anak,
atau pembantu rumah tangga. Ketiga, si pengguna uang itu sendiri pada akhirnya
akan menjadi korban yaitu memiliki pribadi yang tidak berbeda dengan uang,
yaitu tak lain adalah sikap berjarak, anonim, atau tidak peduli perbedaan
individual. Sehingga kembali pada contoh si istri tadi, bahwa seolah nafkah
sepeser gaji itu sudah cukup untuk menilai relasi suami istri, yang tentu saja
telah mereduksi hasrat untuk pemenuhan akan kebutuhan “cinta dan kesetiaan”.
Tentu saja
mimpi besar setiap anak jaman di dunia kapitalis dan schizofrenia ini sangat
sederhana, belajar dengan rajin, berkompetisi untuk menjadi juara di
sekolahnya, kuliah di universitas terbaik di negeri ini, lulus dengan predikat
cumlaude, mencari pekerjaan, menikah, kuliah S2 dengan alasan peningkatan
karir, punya anak, jalan-jalan keluarga ke luar negeri, anak selesai mengemban
kuliah di luar negeri, bahagia dan menghabiskan masa tua penuh kehormatan dan
kebahagian bersama istri tercinta dan anak cucu. Sungguh indah dan utopis bukan? Gak lebih dari delusi sosial! Namun
jika kita menelisik kembali bagaimana anak jaman ini ketika masa kecil
berdialog dengan ibu perihal “ingin menjadi apa?” dan dialog lanjutannya,
ketika si anak kemudian berjumpa dengan sahabat-sahabatnya yang telah berbeda dunianya.
Dapat kita retas bahwa ketika kita masih diasuh oleh orang tua kita, maka
hasrat akan kemenjadian murni mulai mengalir keluar, kebutuhan akan nilai
kepahlawanan, kesetiaan, cinta dan sebagainya. Namun sejalan dengan waktu,
sejarah kita menghasilkan sesuatu yang lain, sesuatu yang diluar logika
linearitas masa sekolah, dunia semakin absurd, pun hentakan dan pukulannya
semakin tidak terbendung untuk menyakiti jiwa, hidup tertekan, paranoia dan
gila. Seolah aku tidak mampu mengatasi polarisasi-polarisasi yang terjadi di
dunia ini.
Pada
hakikatnya uang tidak lebih dari sekedar entitas artefak sejarah manusia itu
sendiri yang bekerja, manusia yang secara sosial diakui atas pekerjaannya,
dimaklumkan oleh manusia lainnya atas kemampuan individunya, yaitu profesinya. Sehingga
uang pada hakikatnya tidak bisa memuaskan manusia itu sendiri. Platon pun
dengan pemikirannya bahwa uang merupakan tujuan akan hasrat yang paling rendah
yaitu nafsu epithumia, nafsu yang
terletak pada bagian perut ke bawah, nafsu yang diibaratkan seperti hewan liar,
hanya mencari makanan dan seks. Nafsu semacam ini di jaman ini dapat
dikonversikan dengan uang, bahkan seks dapat dinikmati di bilik-bilik rumah
plesiran dengan sejumlah uang yang dipotong dari uang belanja istri. Hal ini sejalan
dengan konsep “animal spirit” di ilmu
ekonomi dari pemikiran Keynes, yang menurut Platon secara alamiah manusia
merupakan mamalia, yang tidak pernah puas akan mengumpulkan kekayaan, dicari
terus menerus tanpa henti, selalu menaik tanpa batas dan tak mengenal titik
puas, yang membawa manusia itu sampai titik patahnya, yaitu kehancuran manusia
itu sendiri. Merujuk pada pemikiran Marx tentang manusia dan pekerjaannya,
manusia merupakan binatang yang berproduksi atas kehendaknya, bukan naluri
semata seperti binatang lainnya, karena manusia bekerja secara bebas dan universal
dengan didasari atas kesadaran menurut hukum keindahan. Sampai disini, profesi
dan uang memiliki relasi pada hasrat manusia itu untuk berproduksi dan
mengkonsumsi, namun keduanya terletak pada keputusan-keputusan manusia itu menghasilkan
uang dengan cara dan untuk apa dan menggunakan uang itu untuk apa dan dengan
cara apa pula (sesuai jiwanya atau tidak). Artinya apakah pekerjaan kita dan
dengan kehadiran uang di hidup kita, yang merupakan hasil dari pekerjaan kita
sudah mempertimbangkan hasrat-hasrat yang lebih tinggi nilainya (lebih tinggi
dari nafsu saja), yaitu cinta, kebaikan, kesetiaan, keindaahan, dan sebagainya?
Daftar Bacaan
Dodd, N. (1965). The
Social Life of Money. Oxfordshire: Princeton University Press.
Dua, M. (2008). Filsafat
Ekonomi: Upaya Mencari Kesejahteraan Bersama. Yogyakarta: Kanisius.
Hardiman, F. B.
(2016). Simmel tentang Perancang Busana dan Pialang Saham. dalam F. B. Hardiman,
Filsafat untuk Para Profesional (pp. 79-96). Jakarta: Kompas.
Hubbard, R. G.,
& O'Brien, A. P. (2012). Money, Banking, and the Financial System
(1st ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
Keynes, J. M.
(1936). The General Theory of Employment, Interest and Money. London:
Palgrave Macmillan.
Magnis-Suseno, F.
(1999). Pemikiran Karl Marx: dari sosialisme utopis ke perselisihan
revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wibowo, A. S.
(2010). Areté: Hidup Sukses Menurut Platon. Yogyakarta: Kanisius.
Comments
Post a Comment