Waktu (bagian kedua)
Sumber gambar: http://www.illusionsgallery.com/To-the-Unknown-Land-Leighton-L.jpg |
Dalam
keseharian ada kalanya kita berkata kepada lawan bicara:
“Maaf,
saya tidak punya waktu!”,
“Seandainya
saja aku masih punya waktu...”,
“Masalahnya,
waktunya sudah habis...”,
“Ah! Tidak
terasa, waktu begitu cepat berlalu...”,
“Aduh,
kapan ya, saya masih sibuk dan repot ini”
“Seandainya
saja aku bisa memutar ulang waktu kembali..”
Ulasan kali ini berbeda dengan posting sebelumnya terkait dengan
dimensi waktu secara fisika. Kali
ini saya akan meninjau dari gagasan dan konsep yang lebih mendasar. Tentu saja waktu bagi saya merupakan suatu konsep horor yang mampu menjangkar keberadaan manusia. Coba bayangkan anda dapat menyadari waktu dari setiap detik-demi detiknya, dan anda menyadari belum ini, ingin itu, gagal disini, waktu yang datang secara sekuens ekstrim dalam hidup anda... Saya yakin siapapun pasti akan jadi gila karena terteror dengan dirinya sendiri.
Pernyataan-pernyataan
diatas tentu saja kita pernah mengungkapkannya, termasuk saya. Mungkin jika
dulu waktu semasa sekolah, maka horornya waktu adalah ketika dipanggil kepala
sekolah dan disidang akibat tindakan indisipliner (padahal sesungguhnya bagian
dari kreativitas), di kelas bersama dosen killer,
dijemur di bawah tiang bendera di tengah teriknya matahari, maka waktu
seolah tidak beranjak, terasa lama dan seakan begitu panjang. Namun hal ini
berbeda ketika kita bersenda gurau bersama teman di kafe, malam minggu
menghabiskan waktu berdua bersama kekasih, teler di klab malam atau tempat judi,
nah waktu disini berlalu seolah terasa begitu singkat. Sehingga waktu itu
relatif, paling tidak begitu kata Albert Einstein.
Berbagai
pernyataan mengenai waktu, bisa terkandung makna kecemasan, sesal, sesak, tidak
kerasan, hal ini adalah berbagai pergumulan batin pada manusia. Masalah inilah
yang ingin dijawab oleh Heiddeger secara filsafat mengenai Ada dan Waktu.
Kadang perasaan-perasaan itu muncul begitu saja seketika kita sedang ditala (bdk.
konsep palu pada garputala Nietzsche) oleh apa yang datang di keseharian kita,
yang mendadak kita tidak kuasa untuk menangkalnya. Sebagai gambaran adalah
ketika kita berkumpul di tengah handai taulan, kerabat dan saudara, dengan
harapan ingin berbagi kerinduan, canda, tawa dan kebahagiaan, namun hal ini
rontok, gogrok (jawa: gugur daun) dan lalu meranggas, akibat
pertanyaan-pertanyaan:
Pertemuan
pertama:
“Kapan
lulus?”
“Kapan menikah?”
“Kapan
punya anak?”
“Kapan
punya pekerjaan?”
Pertemuan
kedua:
“Kok
belum lulus?”
“Kok
umur segini belum menikah?”
“Kok
belum punya momongan?”
“Kok
sudah sekian lama, belum punya pekerjaan tetap?”
Pertemuan
ketiga:
“Kamu
ngapain aja, sekolah ga kelar-kelar?”
“Kamu
niat nikah nggak, ga usah terlalu pilih-pilih lah, awas lho jadi keburu tua,
gak laku ntar”
“Eh
lihat tuh anaknya si sepupumu itu lucu ya, kamu ga pingin ikutan punya anak?”
“Kamu
cari kerjaan tetap lah, jangan jadi pemalas!”
Skenario tanggapan
orang ini di pertemuan ketiga:
(Sok jadi orang saleh)
“Aku
tetap belajar, kalau lulus itu karunia Tuhan”
“Lahir,
Jodoh, dan Mati itu ditangan Tuhan, ya aku cuma bisa sabar.”
“Anak
itu karunia Tuhan, ya keadaanku belum memungkinkan”
“Rejeki
sudah ada yang mengatur”
(Sok jadi sinis)
“Sudah
lah, kalau ga ngerti dan ga paham keadaan ku ga usah sok simpatik deh!”
“Emang
gampang cari jodoh apa, mau dapet mantu orang ngaco!”
“Sudah
ah, kalau emang pingin gendong cucu aku bisa adopsi, lagi pula punya anak tuh
mahal, kalau doyan air tajin sama kalau rela ketika besar dia jadi gelandangan
ya gapapa...”
“Emang
kalau aku kerja serabutan begini, "PEMALAS" ya?”
(Sok jadi filsuf dan pujangga)
“Aku
sudah bahagia dalam kesendirianku, dan berteman dengan kesepianku, segala kecemasanku
telah menghadirkan keberadaanku, dan biarkan kematian yang menghampiriku
sehingga aku menyadari akan kemewaktuanku.”
Tentu
saja seluruh jawaban diatas, tetap menyesakkan penuturnya. Jujur menurut hemat
saya budaya di Indonesia itu aneh. Rasa simpatik yang diberikan itu sedikit
meneror dan mengintimidasi, padahal harusnya simpatik itu tidak meninggalkan
luka-luka, dan pada hakikatnya kepedulian itu menyelesaikan masalah, bukan
memberikan masalah lain. Entah, bagaimana... namun ketika kita menghadapi masalah
terkait dengan waktu-di-luar-sana (waktu kebanyakan orang) lalu timbulah
pergulatan dengan waktu-di-dalam-sini (waktu personal/lekat diri/pribadi).
Pada hakikatnya
waktu kita masing-masing berbeda, dan keberadaan kita pun di dunia
berbeda-beda. Namun cara berpikir logika modern yang serba menala dengan
kesamaan, dengan memarjinalkan perbedaan tentu saja akan menghilangkan Ada-nya
pribadi itu. Maka tak jarang orang lalu menjadi stress, depresi, bahkan bunuh diri akibat terlalu lama dianiaya
oleh tindakan-tindakan intimidatif semacam ini, akibat cara berpikirnya, dan pada
akhirnya juga si orang ini dianiaya oleh pemikiran-pemikirannya sendiri.
Manusia
dapat dipahami sebagai Dasein, yaitu “berada-di-sana” atau “there-being”. Manusia sebagai Dasein,
pada hakikatnya berada di dunia begitu saja, tanpa tahu dari mana dan mau ke
mana. Dasein dan Dunianya itu merupakan konstruksi kesatuan mengenai adanya
Dasein itu, yang tidak terpisahkan. Hanya kesibukan sehari-hari diluar diri
Dasein itu lah yang mengasingkan Dasein dari Dunianya. Sehingga keseharian
Dasein yang menjauhkan dari Adanya itu menghasilkan inotentisitas. Hal ini lah
ketika Dasein tersebut yang ditala entah dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut
diatas, atau dengan kejadian lain, maka akan menghasilkan kecemasan, rasa cemas
ini yang mengajak Dasein untuk menyadari akan Ada-nya atau dengan kata lain
cara Dasein berada.
Lantas
apa kaitannya dengan waktu? Waktu bagi Dasein bukanlah fenomen psikis ada yang
di luar dan di dalam, namun menyangkut struktur-struktur Ada manusia sehingga
bersifat eksistensial. Waktu ada di dalam sini dan di luar sana. Waktu yanng
merupakan waktu kemenyatuan. Dasein tidak pasif di dalam waktu, namun ikut
aktif mewaktu, yaitu tidak hanya sekedar menunggu namun ikut serta memaknai
saat-saat menunggu ini. Sehingga ketika Dasein bertemu Dasein yang lain atau
cara berada dari mitsein, dan
pertanyaan tersebut mengarah kepada konsep cara berada Dasein tersebut, yang
sebetulnya memiliki masalah eksistensial yang sama. Tentu saja pertanyaan tersebut
merumus pada eksistensi banal, yang tidak ikut menala kedalaman dari Dasein
itu, ibarat mencelupkan satu kaki di bibir pantai, untuk mengetahui kedalaman
dari sebuah palung. Sehingga cara berada tersebut justru akan menciptakan
saling keterasingan.
Nah... sebagai
saran, ketika para pembaca menghadapi pertanyaan terkait waktu di dunia
kehidupan itu, jawablah dengan meminta mereka pertolongan dan saran, sekaligus
melatih logika dan kesabaran anda dengan keterlibatan anda dengan
pribadi-pribadi yang lain. Namun tetap anda lah yang mengambil keputusan untuk
menapaki masa depan. Keputusan yang sudah tentu sesuai dengan pegangan
prinsip-prinsip atau nilai-nilai kehidupan yang anda yakini dan perjuangkan.
Daftar Bacaan
Chrisman, M.,
& Pritchard, D. (2013). Philosophy for Everyone. New York:
Routledge.
Hardiman, F. B.
(2016). Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Wrathall, M. A.
(2013). The Cambridge Companion to Heidegger's Being and Time. New
York: Cambridge University Press.
Comments
Post a Comment