Dialektika Relasi (3) Lanjutan
Sumber gambar: http://www.relatably.com/q/img/jean-paul-sartre-quotes/sartre.jpg |
Dalam menanggapi
pendahulunya, Sartre tidak setuju dengan konsep ‘Ada’ Heideggerian yang
menurutnya terdapat kekeliruan membaca ada itu sendiri bilamana pendasarannya berangkat
dari fenomenologi Husserl. Ada tiga pelajaran besar yang diberikan Sartre
terkait dengan masalah eksistensi manusia, yaitu (1) Être en Soi, (2) Être pour
Soi, dan (3) L’Être et le Néant
yang dalam terjemahan bahasa Inggrisnya adalah (1)being-in-itself, (2)being-for-itself
dan (3)being and nothingness[1].
Keseluruhannya dapat dirangkum sebagai eksistensialis kontijensi, atau
keberadaan manusia adalah karena pilihan berkehendak atas kebebasan sendiri yang
berdasar pada situasi dunianya. Manusia ada karena kebebasannya.
Lantas apa
kaitannya dengan dialektika relasi, dalam bahasan disini akan banyak
menggunakan pemikiran dari Magnis-Suseno terkait dengan relasi alá Sartre dalam
salah satu bab di bukunya, yaitu Etika abad kedua puluh: 12 teks kunci (2006).
Ada empat pokok pemikiran yang ditangkap oleh Magnis-Suseno, yaitu (1)masalah
perubahan posisi objek pada saat kehadiran subjek lain “mencuri alam semesta
saya”, (2) Neraka adalah orang lain, pandangan orang lain yang mengasingkan
dari diri saya sendiri, (3) moral adalah pilihan bebas bersama orang
lain—tegangan antara “bertindak seenak jidat” dan “bertindak atas komitmen
bebas bersama”—eksistensi mendahului esensi, dan (4) sikap terhadap nilai-nilai
objektif, penilaian atau kejujuran terhadap orang lain. Selain itu sebagai
pembahasan terkait dengan dialektika relasi ini, saya juga menggunakan rerangka Lanur sebagai upaya
menjangkau pemikiran relasi antar manusia Sartrian. Ada keterkaitan secara
kronologis, bahwa pandangan mengenai relasi antar manusia itu bergerak dari
ciri utamanya sebagai konflik, menuju relasi timbal balik, dan akhirnya cinta
yang otentik. Dengan kata lain, terdapat pendasaran pada kehendak akan
pencapaian ‘yang baik’ sebagai tindakan menidak atas kekuasaan konflik—terkesan
menjadi lebih optimis.
Tentu saja, pembaca yang belum pernah membaca teks-teks filsafat, akan
segera mengernyitkan dahi, dan merasakan kelelahan dalam menjangkau hal-hal
yang abstrak ini. Untuk memahami bagaimana rasanya ketika diobjekan oleh orang
lain, mungkin contoh yang paling mendekati adalah ketika berada pada situasi
ketika kita salah kostum (menghadiri pesta pernikahan dengan berpakaian lebih
semarak dibanding pengantinnya sendiri) dalam sebuah acara pernikahan. Bahkan
pandangan orang lain yang sudah mengenal kita sendiri pun akan ada momen di
mana tatapan mata orang lain yang mengamati dan menganalisa kehadiran kita.
Atau pengalaman saya sendiri ketika menghadiri ekaristi di Gereja, ketika akan
bersalaman dengan orang lain sebagai ekspresi dan simbolisasi perdamaian itu,
orang sekitar kita menyambut dengan kernyitan dahi atau pandangan curiga akan
kehadiran kita yang asing. Dengan kata lain bahwa eksistensi kita ditandai
dengan konflik, sederhananya, ketidakramahan mendahului keramahan, menidak
datang lebih dahulu dari mengiyai (kembali pada masalah dialektika Hegelian).
Sartre sendiri memberi gambaran seperti kita sedang menikmati indahnya taman,
kita duduk di bangku sambil menikmati sekitar kita, pepohonan, rumput, patung,
dan lainnya menjadi objek saya. Namun ketika ada orang lain muncul, mendadak Ia
menjadi pusat perhatian saya dan semua benda “di alam semesta saya” sekarang
seakan-akan berfokus padanya, dunia saya tersedot ke dalam orang lain, dan
orang itu mencurinya dari saya. Pada saat itu kesadaran akan diri sendiri
secara spontan menyeruak yang ditandai oleh hadirnya rasa malu pada diri saya.
Pokok kedua dalam relasi adalah
terkait dengan kesadaran. Dalam gagasannya, Sartre menggambarkan kondisi
kesadaran seperti kita sedang melihat dari lubang kunci, yang terfokus
sepenuhnya pada apa yang saya lihat dari lubang itu. Situasinya akan berubah
total, ketika ada orang lain yang melihat saya. “Kesadaran tak reflektif” atau
spontan akan kesadaran akan diri saya sendiri. Ada dialektika refleksi kesadaran, yaitu kita berefleksi yaitu dengan
cara kita menjadikan diri kita obyek bagi diri kita sendiri. Dalam situasi ini, transendensi
saya tidak pernah identik dengan faktisitas. Ciri saya yang hakiki sebagai “être-pour-soi” terkupas perlahan karena
pandangan orang lain yang menjadikan “être-en-soi”.
Transendensi saya dicaplok menjadi sederetan kemungkinan saya untuk bereaksi
yang dapat diperhitungkan oleh orang lain yang memandang saya. Sederhananya,
ketika kita berjumpa tatap muka dengan seseorang yang tidak saling kenal,
tetapi sudah saling tahu, maka gambaran kondisi ini terasa pada saat sebelum
terjadinya awkward moment. Konsep ini
penting atas konsepsi diri yaitu bagaimana saya seharusnya mewujudkan hidup
saya, atau dengan kata lain perihal cara saya berada. Sejalan dengan penjelasan
Lanur, Ciri khas kesadaran manusia adalah menidak, yaitu aktivitas untuk
mempertahankan subjektivitasnya dan dunianya sendiri. Artinya relasi antara dua
orang merupakan dialektika antar kesadaranku dengan kesadaran yang liyan, yaitu
suatu dialektika subjek dan objek.
Oleh karenanya, relasi yang konkret dengan orang lain aku dapat melakukan dua
hal. (1) Aku takluk dan tunduk saja kepadanya, yaitu membiarkan diriku menjadi
objek dan Ia menjadi subjek. Secara konkret hal itu terwujud dalam “cinta” dan
“masochisme” (bdk. dialektika relasi 1 dan 2). (2) Aku tidak tunduk dan takluk
kepadanya (kembali
muncul masalah ego Nietschean—redaksi). Hal itu terwujud dalam sikap
acuh-tak-acuh (ignorance), keinginan
seksual, sadisme, dan sikap benci. Hingga titik ini mulai terasa dialektika
relasi Sartrian mengarah kembali kepada masalah relasi Hegelian. Artinya, jika
yang lain sebagai subjek menolak aku, maka aku menjadi objek dengan membuat
diriku sebagai subjek. Dalam konsep L’être
et le neant tidak ada ruang lagi untuk relasi subjek-subjek, yaitu Mitsein.
Pokok
ketiga, ajaran Sartre terkait relasi yaitu kritik radikal terhadap yang
“esensi” pada diri manusia. Ketika kita mencoba mencerna ajaran Sartre terkait
dengan individu yang bebas adalah mutlak, mungkin tidak terasa tuntutan akan
kebebasan itu di era adab digital ini. Kematian narasi besar tentang causa sui (Tuhan) memberikan hawa lega
ditengah keterjeratan yang begitu lama, hingga manusia merasa lelah dan
terkuras akibat agama, moral, ideologi besar, tradisi, atau ide-ide materialis
hingga metafisis apapun. Contohnya, ya ketika kita mencintai seseorang yang
pada akhirnya harus menghadapi “di-objek-kan”dengan ide-ide seperti harus
se-“iman”, bibit, bebet, bobot, suku,
ras, dsb. yang membuat ego pasangan itu harus berkonflik dengan wacana umum
budaya sebagai realitasnya (masih cinta tapi demi keluarga, takhta, atau Tuhan, dipaksa
putus.....yah hasilnya stress, patah hati, terasing, depresi, bunuh diri.....
gitu lah kira-kira skenarionya—redaksi).
Sartre lebih memihak pada
kebebasan, ada manusia apa adanya jauh lebih penting daripada segala janji dan
argumentasi kaum esensialis. Dengan kata lain kaum esensialis itu
“binatang-binatang pembohong menyejarah”! Di tengah gurun nihilisme inilah,
kemudian Sartre percaya bahwa manusia akan menemukan kebebasannya serta
tanggung jawabnya. Sehingga esensi (dari causa
sui) mendahului eksistensi tidak masuk akal, yaitu dengan menjauhkan diri
dari determinasi yang sudah ada sebelumnya, sehingga seharusnya eksistensi
mendahului esensi manusia itu. Maksudnya adalah manusia terlebih dahulu
bereksistensi, bertemu dengan dirinya sendiri, berkiprah di dunia dan baru
sesudah itu mendefinisikan dirinya. Hal ini berarti manusia harus terlebih
dahulu merealisasikan diri dan segenap kekuatan yang ada padanya, menjadi
“eksis—berada” dan menegasi terus-menerus keadaannya kini, lalu dari titik ini
manusia kemudian akan memperoleh “Ia-yang-apa-adanya”, atau esensinya. Manusia bukanlah apa yang ia pikirkan sendiri
(bdk. dengan ilusi-ilusi alá Freud), tetapi ia merupakan apa yang
dikehendakinya, dan bagaimana ia melihat diri sendiri sesudah
“keterlemparannya—entwerfen” ke dalam
eksistensinya. Manusia bukan lain hanyalah apa yang diciptakannya sendiri, atau
apa yang disebut sebagai “subjektivitas”.
Dari pemaparan diatas moral adalah hasil bentukan dari pilihan-pilihan bebas bersama orang lain. Sehingga kita selalu berada tegangan antara “bertindak seenak jidat” dan “bertindak atas komitmen bebas bersama”. Hal ini berarti, dalam dialektika relasi subjek objek, masalah aku yang direduksi menjadi pilihan-pilihan bersifat mutlak memilih, karena tidak memilih pun pada akhirnya juga sebuah pilihan. Diri kita ini ibarat lukisan dari jiwa kita sendiri, goresan-goresan kuas kehendak-kehendak kita, artinya kita menggunakan segala daya kreatif kita untuk “menjadi” tanpa pernah “jadi”. Lantas apa kaitannya dengan moralitas? artinya segala pilihan kita terhadap orang lain, mengkonstruksi tanggung jawab itu sendiri. Apa yang kita bangun secara menyeluruh menjelma dalam kehidupan kita. Dengan kata lain, jika ada pilihan untuk menjadi orang “berguna” dan “merugikan” itu murni dan mutlak kehendak orang itu sendiri. Sehingga moral yang dikonstruksi akibat relasi yang terjadi merupakan hasil dari pilihan-pilihan sadar orang itu. Manusia menciptakan dirinya dengan memilih moralitasnya dan tekanan kondisi-kondisinya memastikan bahwa ia tidak bisa menghindar dari pilihan atas moralitas tertentu. Kita menilai kualitas seseorang justru dalam kaitan dengan komitmen-komitmennya. Dalam hal ini, apa yang sudah dipilih secara bebas, dengan sendirinya melekat sebuah tanggung jawab. Sebagai contoh, adalah seseorang yang menyadari sebagai makhluk seksual, dan memiliki hasrat untuk berhubungan dengan lawannya. Jelas bahwa dengan sesama jenis atau beda jenis, makhluk ini dapat memilih. Andaikan bahwa pilihannya merupakan lawan jenis (jantan—betina), pasangan itu akan memilih tanpa acuan ke nilai-nilai yang sudah dipastikan sebelumnya (determinisme). Maksudnya, bisa saja pasangan itu memilih berhubungan seksual di luar nikah, bisa saja pasangan itu saling membebaskan pasangannya untuk memiliki keintiman dengan orang lain, boleh juga menganut monogami “at-one-person” atau pun “at-this-time” di jaman sekarang, semuanya serba bebas. Pada akhirnya kebebasannya sendiri itulah yang melekatkan manusia itu dengan tanggung jawab yang membangun moral dengan orang lain. Contohnya para penjahat pun pada akhirnya punya kode etik, ada sikap dan moral di antara mereka yang disepakati sebagai ‘yang baik’. Kaum dekaden (decadent) Nietzschean pun ya punya moral sendiri, yang menjadi tidak bermoral bagi kaum askendan (ascendant).
Sartre memberi contoh dalam situasi manusia yang dihadapkan pada nilai-nilai pilihan terkait skema relasi seksualitas. Seseorang yang memilih untuk melakukan tindakan seks dengan manusia lainnya, dengan kesepakatan yang dibuatnya, dan dalam segala segi tanggungjawab yang muncul dan melekat atas pilihannya itu, secara bebas memposisikan seks merupakan pilihan bebas, tidak terikat dengan moral-moral yang sudah ditentukan sebelumnya. Sartre menentang sebuah jebakan deterministik, dan sikap-sikap yang berlindung dibalik moral-moral dan teori-teori yang telah ditentukan secara apriori apa pun. Seksualitas dalam kondisi sepasang manusia yang dihadapkan pada sebuah situasi bahwa untuk melakukan tindakan seks tidak dapat dihindari oleh kedua orang itu. Pilihan-pilihannya, bahwa ‘mengiyakan’ untuk melakukan seks dalam bentuk apapun dan ‘menidak’ untuk melakukan seks, tidak secara penuh mengacu kepada nilai-nilai yang sudah dipastikan sebelumnya, sehingga tidak adil apabila sepasang manusia itu dalam tindakannya dicap sebagai ‘sekedar bertingkah saja’. Dalam situasi manusia dengan manusia lainnya memiliki pilihan moral yang dapat dianalogikan dengan mengkonstruksikan karya seni. Apakah ada yang akan menegur seorang seniman yang membuat lukisan bahwa ia tidak mengikuti aturan-aturan yang sudah dipastikan apriori?
Dalam refleksi saya, seks itu bagi manusia pada hakikatnya merupakan situasi bebas, namun yang tidak bebas adalah properti-properti situasi tersebut yang melekat bagi sepasang manusia itu. Artinya banyak situasi-situasi dalam konteks relasi yang sudah ditetapkan menjadi struktur dalam budaya, yang juga menyebabkan pilihan-pilihan baru dan sehingga manusia tersebut berada pada suatu kondisi paradoks. Sartre masuk dalam tegangan kebebasan mutlak, yang justru terjebak pada ketidakbebasan mutlak karena terkait dengan kebebasan individu lain. Selain itu secara mutlak pula sebagai individu, paling tidak ia telah memutlakkan dirinya dalam ketidakbebasannya dalam pikirannya, atau kesadarannya yaitu meyakini secara mutlak bahwa ia bebas secara total. Inilah yang disebut manusia dikutuk untuk bebas. Lahirnya dikotomi ini kemudian menjadikan masalah yaitu cara pandang terhadap ‘seks legal’ (suci, ilahi, sakral, dimaklumkan secara sosial, berlandaskan kontrak nikah, dsb.) dan ‘seks illegal’ (kotor, hina, dosa, tidak dimaklumkan secara sosial, perzinahan, dsb.). Padahal dalam logika Sartre ketika tidak ada Tuhan, maka tanggung jawab sepenuhnya berada pada makhluk lain yang mampu bereksistensi, yaitu manusia lainnya. Dari sini lah masyarakat lebih mudah menyalahkan tindakan seks beserta pelakunya sebagai orang yang kotor, hina, tidak mampu menahan nafsu, dan apriori tertutup terhadap hal itu (mentabukan atau bahkan tidak berani mendiskusikan), kemudian sibuk berlindung dan membersihkan diri dibalik ayat-ayat, simbol-simbol yang bermakna suci, namun tidak disertai kejujuran manusia itu terhadap pilihannya yang sesuai antara diri dan situasinya atau dunianya. Inilah wujud dari manusia itu, yang secara sadar juga menciptakan dirinya sebagai manusia yang munafik dengan standar-standar/ moral-moral ganda yang dibuatnya sebagai akibat relasi yang terjalin.
Pokok keempat dan sekaligus yang terakhir yaitu sikap terhadap nilai-nilai objektif, penilaian atau kejujuran terhadap orang lain. Sartre mengajukan kritik pembelaan terhadap lawan-lawan intelektual yang menyerangnya dalam tudingan “ketidakmampuannya untuk menilai orang lain”, yaitu dengan mempertahankan sikap bahwa manusia itu menciptakan dirinya sendiri, bahwa manusia dikutuk untuk bebas. Hal ini yang menjadi inti dari eksistensialisme Sartre, yaitu sifat mutlak komitmen bebas dengannya setiap orang dituntut untuk merealisasikan diri dalam merealisasikan sosok umat manusia, dan dalam relativitas rupa kebudayaan tertentu yang dapat menjadi konsekuensi dari pilihan semacam itu. Manusia dimana dan kapan saja selalu dihadapkan pada persoalan yang sama, yaitu berhadapan dengan situasi yang selalu berubah, dan pilihan tetap saja pilihan dalam situasi itu. Namun kita dapat saja memberi penilaian, karena “orang memilih berhadapan dengan orang lain dan berhadapan dengan manusia lain orang memilih diri sendiri.” Orang dapat menilai orang lain, yaitu melalui penilaian logis (bukan penilaian moral), misalnya kembali pemaparan diatas, yaitu ada seseorang yang menyembunyikan diri di belakang hawa-nafsunya, atau menciptakan sebuah ajaran deterministik, adalah tidak jujur. Orang tersebut dapat saja protes dengan berkata “Mengapa orang tidak boleh memilih sikap tidak jujur?”, namun berkaitan dengan hal ini Sartre menegaskan bahwa sikapnya yang tidak jujur merupakan kekeliruan, dan merupakan bentuk kepalsuan, karena ia menyembunyikan bahwa ia memberikan komitmennya dengan sama sekali bebas. Sama halnya ketika orang itu juga menyatakan bahwa kebebasan saya dibatasi oleh nilai-nilai tertentu. Jujur atau tidak jujur, tidak ada alasannya dengan boleh dan tidak boleh, namun Sartre memasukan pilihan jujur atau tidak jujur dalam kontradiksi dalam ranah konsistensinya terhadap sikap yang dipilih manusia itu sendiri.
Sartre mendasarkan bahwa manusia berada berdasarkan kebebasannya yang tidak tergantung dari orang lain (kebebasan bukan lah hal yang transenden melainkan imanen), tetapi begitu ada komitmen, saya terikat untuk menghendaki kebebasan orang lain sekaligus dengan kebebasan saya. Dengan kehadiran saya bersama orang lain (bdk. Mitsein—Heidegger) melahirkan sebuah diskursus, yaitu tujuan untuk bebas bersama-sama. Karenanya, berdasarkan sikap total terhadap otentisitas, manusia merupakan makhluk yang eksistensinya mendahului esensinya, dan ia merupakan makhluk bebas yang tidak dapat menghindar dari kebebasannya. Sehingga secara total manusia tidak dapat menghendaki kebebasan orang lain. Jadi, orang-orang yang lalai akan kebebasan total ini, entah berlindung dengan sesuatu yang khidmat, ataupun teori-teori determinisme, adalah pengecut. Sedangkan orang-orang yang mencoba memperlihatkan bahwa eksistensinya adalah niscaya (dengan asumsi kemunculan manusia di bumi adalah kebetulan belaka atau faktisitas) merupakan bajingan. Namun pengecut atau bajingan, tidak bisa dinilai kecuali pada tingkat otentisitas murni. Jadi, merujuk kembali pada relasi antar manusia, moralitas dapat berubah, namun tetap bersifat universal, tidak terelakan. Berbeda dengan moralitas Kantian, moralitas tidak bisa diwujudkan dengan kepastian formal dan universal, karena apabila sebuah nilai-nilai menjadi terlalu abstrak, maka dengan sendirinya tidak dapat dipergunakan untuk menjelaskan hal yang konkret. Tantangan Moral merupakan masalah yang konkret, tidak dapat diramalkan, harus selalu diciptakan, dan satu-satunya unsur untuk menentukan hal itu adalah penciptaan nilai itu berdasarkan pada cita-cita kebebasan. Orang dapat memilih apa pun, dengan syarat berdasarkan komitmen bebas. Sehingga dapat disimpulkan pada pokok keempat ini hal-hal yang niscaya dan objektif harus diperiksa terlebih dahulu, secara bersama atas dasar menjunjung kebebasan. Nilai-nilai deterministik lampau tidak bisa begitu saja digunakan untuk mengadili seseorang ketika memilih untuk bebas, karena bersama orang lain tidak terelakkan pula bahwa kita memilih ketidakbebasan (menjaga relasi) kita untuk mengejar kebebasan bersama. Kebebasan harus mendahului nilai-nilai lain yang melekat menjadi esensi.
Simpulan pada dialektika eksistensialis
Empat konsep besar Sartre tidak secara langsung merujuk
kepada etika, namun memiliki relevansi terkait dengan relasi dengan orang lain,
yaitu cara pandang kita terhadap orang lain, dan cara pandang tentang tanggung
jawab. Isu ini merupakan masalah sentral, karena (1) sebagian besar moralitas
menyangkut sikap yang seharusnya kita ambil terhadap orang lain, dan (2) sikap
terhadap orang lain itu pun pada hakekatnya berwujud tanggung jawab. (3)Kita pada hakikatnya mutlak bebas memilih, dan tidak bisa menghindar dari pilihan-pilihan. Terakhir, (4) Kejujuran terhadap pilihan merupakan pilihan sikap yang berlandaskan logika, yang akan membentuk moral itu sendiri, bukan dari sesuatu yang sudah ditentukan sebelumnya, yang bisa dipergunakan untuk bersembunyi dari pilihan. Hal ini, dalam konteks relasi, kebebasan merupakan diskursus yang harus diwujudkan secara bersama.
[1] Penulis tetap menggunakan Bahasa Inggris
dalam menerjemahkan dibandingkan dengan istilah ‘ada’ sendiri pada Bahasa
Indonesia, karena pada ketatabahasaan itu sendiri yang tidak memiliki kata
‘ada’ sebagai kata kerja/predikat (to be
[english] / sein [Deutsch]), sehingga dalam hemat penulis yang menyadari
kelemahannya dalam berbahasa, bahwa kata being
lebih luas secara fungsi, dibandingkan ada itu sendiri. Artinya ada masalah
pereduksian makna secara terjemahan. Meskipun banyak civitas akademi bidang
filsafat di Indonesia sudah memaklumkan kata ‘Ada’ itu sendiri sebagai
terjemahan dari ‘Being’ tentu saja dalam bukan dalam konteks awam.
Comments
Post a Comment