Kehidupan Ekonomi dan Bekerja
Pernahkah
anda merasa cemas karena pekerjaan? Situasi kantor yang kian tidak kondusif.
Atasan baru yang membawa gerbong kroni dari organisasi lamanya. Bos super cerewet yang tidak
pernah paham apa yang ingin dikerjakannya dan yang ada hanya sering menyalahkan bawahan. Senior yang tiba-tiba meminta melalui ‘WA via
jalur pribadi’ dengan rayuan setengah paksa untuk mengerjakan
dokumen-dokumennya di tengah istirahat malam kita. Kolega dan teman sejawat yang
dipecat tanpa alasan yang jelas. Perampingan organisasi karena krisis global.
Atau, alasan manajemen apalagi yang terkadang membuat kita selalu sulit tidur.
Apapun itu segala kejadian yang kadang tidak terhindarkan dalam dunia kerja.
Inilah dunia manusia!
Sumber gambar: https://liveraf.files.wordpress.com/2012/06/this8.png |
Akan
tetapi, dari segala situasi di atas bukankah memang seperti itu (baca: wajar dan lumrah) konsekuensinya ketika kita bekerja di
dalam sebuah organisasi. Titik balik dari kondisi itu, pernahkah anda menunggu
lama untuk bisa diterima kerja? Pernahkah anda merasa tidak nyambung lagi ngobrol
bersama teman-teman sekolah/kuliah dulu karena terlalu lama menganggur? Atau
paling tidak pernahkah anda membayangkan apa yang terjadi pada diri anda,
ketika anda tidak berani datang ke acara pernikahan teman karena anda tidak
punya uang untuk memberikan sumbangan? Jika pun tidak perlu memberikan
sumbangan (amplop kosong) siapkah anda mempertanggungjawabkan cara hidup anda
dalam lingkup sosial ketika teman-teman anda bertanya soal “apa pekerjaan
anda?”. Inilah dunia pekerjaan manusia yang tanpanya akan mampu mencerabut
‘ada’ manusia itu!
Tentu
saja, hidup di dunia kapitalisme modern sekarang ini, bekerja memiliki arti
penting dalam kehidupan seseorang. Mankiw (2007) memberi gambaran bahwa
kehilangan pekerjaan bisa menjadi peristiwa ekonomi yang menyulitkan dalam
kehidupan seseorang. Bekerja tidak hanya sebagai tindakan seorang individu
untuk mempertahankan standar hidupnya, tetapi juga sebagai pemenuhan atas rasa
pencapaian hidupnya. Kehilangan pekerjaan berati turunnya standar hidup di masa
sekarang, cemas akan masa depan, dan menurunkan rasa percaya diri orang itu.
Tidak adanya pekerjaan pada diri seseorang bukan berdampak secara keekonomian
belaka, namun lebih kepada masalah sosial dan psikologis dari orang itu.
Giddens dan Sutton (2009) menjelaskan bahwa pengalaman menganggur (tanpa
pekerjaan) akan sangat mengganggu bagi siapa saja yang terbiasa memiliki
pekerjaan tetap. Mereka memaparkan bahwa dampak emosional bagi seseorang yang
tanpa pekerjaan dan tidak mampu kembali bekerja akan terjebak dalam depresi dan
pesimisme akut, sehingga seseorang itu menarik diri secara total dari realitas
hidupnya (Ashton, 1986 dalam Gidden dan Sutton, 2009). Hal ini penting, bahwa
pekerjaan menjadi status sosial yang melekat pada seseorang. Kehilangan pekerjaan
sama saja kehilangan identitasnya. Maka dari itu, meskipun seseorang sangat
kaya dan pasti tetap hidup karena warisan misalnya, tetap membutuhkan
pekerjaan. Hal ini karena terkait dengan cara berada dalam keseharian seseorang
itu.
Secara awam, bekerja (work) merupakan aktivitas manusia dalam menghasilkan uang yang akan digunakannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Secara sederhana manusia berupaya untuk bertahan hidup. Tentu saja definisi tersebut mengandung makna ekonomi, bahwa inti manusia bekerja adalah merelakan dirinya untuk dieksploitasi (disewa dan digunakan sebagai faktor produksi) untuk melakukan tujuan perusahaan. Bekerja adalah mengupayakan suatu produk yang dapat dibayar dengan upah sebagai ongkos sewa keekonomiannya
Marx (1818 – 1883) memahami bahwa keterasingan manusia dari kesosialannya merupakan hasil dari pekerjaan di dalam sistem ekonomi kapitalis. Mengapa tanpa adanya pekerjaan seseorang bisa berdampak dalam kondisi psikis seseorang? Keterasingan diri seseorang atas pekerjaan juga serta merta mengakibatkan terasingnya diri seseorang itu dari lingkup sosialnya. Manusia adalah makhluk sosial, kehilangan relasi dengan sesamanya akan membuat seorang individu itu terganggu psikisnya. Mengapa demikian? Magnis-Suseno (1999) menjelaskan dengan baik sekali mengenai kondisi keterasingan ini. Bahwa inti dari ajaran Marx terkait dengan pekerjaan ada tiga, yang meliputi: Pertama, pekerjaan merupakan sarana manusia untuk menciptakan dirinya sendiri, yang menjadikan manusia itu unik. Kedua, pekerjaan merupakan upaya objektivikasi diri manusia itu. Terakhir, Melalui pekerjaan manusia itu membuktikan diri sebagai makhluk sosial, karena hasil pekerjaannya dibutuhkan oleh sesamanya.
Bagaimana
manusia ini menciptakan diri dari pekerjaannya? Perlu dipahami bahwa manusia
adalah makhluk ganda yang unik. Di satu sisi, manusia adalah makhluk alami yang
pada hakikatnya sama seperti binatang, yaitu membutuhkan alam untuk hidup. Namun
di sisi lain, manusia menghadapi alam sebagai sesuatu yang asing di luar
dirinya, sehingga manusia itu perlu menyesuaikan alam dengan
kebutuhan-kebutuhannya. Manusia melalui kesadaran (rasio) yang dimilikinya
membuat kegiatan kesehariannya sebagai objek bagi dirinya. Manusia melalui
kehendaknya bisa bebas memproduksi mengikuti ukuran yang inheren dan hukum
keindahan. Manusia berbeda dari binatang yang berproduksi (baca: bekerja) berdasarkan insting belaka. Akan tetapi, manusia
bekerja secara bebas dan universal. Bebas karena ia dapat bekerja meskipun
tidak merasakan kebutuhan langsung. Universal karena di satu sisi ia dapat
memakai beragam cara untuk tujuan yang sama, di sisi lain ia dapat menghadapi
alam tidak hanya terbatas dalam satu konsep kebutuhannya. Jadi, menurut Marx
bahwa manusia memiliki sikap terbuka pada nilai-nilai estetik, sehingga manusia
menjadi berbeda secara hakikatnya dari binatang karena manusia menunjukan sifat
kehendak bebas dan universalnya.
Dalam
konteks pekerjaan, apa maksud dari objektivikasi diri manusia itu? Manusia
memiliki daya penciptaan. Seniman mampu menciptakan benda-benda yang sama
sekali berbeda dari benda yang ditemukan di alam. Maksudnya adalah bahwa dalam
bekerja manusia mengambil bentuk alami dari alam (objek yang tersedia di alam)
dan memberikan bentuk sesuai dengan gagasannya sendiri. Ia mengobjektivasika
diri ke dalam alam melalui pekerjaannya. Manusia itu dapat berjarak untuk
melihat dirinya melalui hasil kerjanya, mendapat kepastian tentang bakat dan
kemampuannya (aktualisasi diri dalam gagasan Abraham Maslow). Melalui
pekerjaan, manusia itu menjadi nyata. Manusia itu selalu melahirkan
kekuatan-kekuatan dasariahnya ke dalam realitas alami, sehingga alam menjadi
alam manusia, mencerminkan siapa manusia itu, membuktikan realitas hakikat
manusia. Hal ini berarti, jika anda tidak merasa kerasan di suatu organisasi,
maka mungkin orang lain juga merasakan yang sama. Organisasi adalah alam
ciptaan manusia, melalui aturan dan kebijakan karyawan melalui manajemen sumber
daya manusia, talah menciptakan ekosistem buatan untuk manusia itu sendiri.
Mengapa
melalui pekerjaan manusia dapat berjumpa dengan sesamanya? Hanya manusia
binatang yang sanggup berjumpa (encounter)
dengan sesamanya. Dengan pekerjaan manusia itu membuktikan diri sebagai makhluk
sosial. Tidak mungkin bahwa manusia hidup memenuhi kebutuhannya sendiri untuk
dirinya sendiri (self-provision)
secara mutlak. Anda bisa membayangkannya hidup seperti tokoh di dalam film Cast Away! Hasil pekerjaan kita memenuhi
kebutuhan sesama kita, ketika orang lain menerima dan menghargai hasil kerja
kita, kita merasa diakui. Kita merasa berarti karena tahu bahwa kita berarti
bagi orang lain, sehingga pekerjaan adalah jembatan antar manusia. Tidak bisa
tidak, manusia seringkali menjadi dekat dengan sesamanya karena berhubungan
dalam konteks pekerjaan. Tampak bahwa dengan adanya relasi dengan sesamanya,
maka manusia bersifat sosial. Tidak hanya sampai di situ, bahwa hasil karya
manusia melalui pekerjaan telah menjadikannya artefak sejarah. Pekerjaan
memiliki dimensi historis. Kita hidup di dalam dunia yang merupakan hasil
pekerjaan ratusan generasi manusia sebelumnya. Manusia dan pekerjaannya telah
melahirkan tradisi-tradisi pengetahuan manusia, ilmu pengetahuan, dan
teknologi. Maka bagi Marx, sejarah industri dan
eksistensi objektif industri sebagaimana terjadi merupakan sebuah buku terbuka bagi kekuatan-kekuatan hakikat manusia.
Lantas, bagaimana manusia
menjadi terasing dari dirinya di dalam ekonomi kapitalis? Jika pekerjaan
menjadi sarana perealisasian diri manusia, maka bekerja seharusnya memberikan
kepuasan batin bagi manusia itu. Namun, kenyataannya adalah sebaliknya,
pekerjaan tidak merealisasikan hakikat mereka melainkan justru mengasingkan
mereka. Mengapa demikian? Menurut Marx, bahwa dalam sistem ekonomi kapitalisme,
orang tidak lagi bekerja secara bebas dan universal, melainkan semata-mata karena
terpaksa, sebagai syarat untuk tetap hidup. Manusia sebagai buruh upahan tidak
akan pernah merasakan keberartian pekerjaannya. Semakin si pekerja menghasilkan
pekerjaan, semakin ia, dunia batinnya, menjadi miskin. Hal ini terjadi karena
ia tidak dapat bekerja menurut hasrat dan dorongan batin, melainkan harus
menerima pekerjaan apa saja yang ditawarkan oleh pemilik pabrik. Ia harus
menjadikan kegiatan hidupnya pekerjaan, sebagai sarana untuk mempertahankan
kehidupan fisik. Itulah keterasingan dalam pekerjaan. Hal ini menjadikan
manusia terasing dari hakikatnya, ia sekaligus terasing dari sesamanya. Secara
empiris, keterasingan dari sesama menyatakan kepentingan-kepentingan yang
bertantangan. Hal ini lah yang menurut Marx bahwa kapitalisme digerakan oleh
egoisme mengejar keuntungan, bukan untuk kepentingan bersama. Persis seperti asumsi
dasar yang digunakan di dalam ekonomi, yaitu kepentingan diri sendiri untuk
mengejar keuntungan.
Masalah ‘tanpa pekerjaan’ bukan perkara bekerja dibayar dan tidak dibayar, namun lebih apa dan bagaimana masyarakat memaknai pekerjaan dalam konteks transaksi nilai-nilai sosial mereka. Konteks bekerja antara di desa dan di kota pun sudah memiliki perbedaan karakter, bahkan hingga dalam konteks lingkup sosial terkecil sekalipun (keluarga), bahwa pekerjaan rumah dan pekerjaan kantor tidak dimaknai secara adil. Kenyataannya, pekerjaan rumah itu jika dipandang dari perspektif manajemen sumber daya manusia, maka pekerjaan ini memiliki cakupan bidang kerja yang luar biasa lebar, menuntut ketelitian tinggi, melelahkan, selalu berada di dalam jalur kritis (critical path) dan bahkan tidak mendapatkan upah keekonomian. Kerap kali hal ini menjadi alasan untuk menciptakan kesenjangan sosial, yaitu antara pemberi kerja (disini majikan, siapa saja yang memiliki modal dan bisa memberikan upah) dan penerima kerja (disini sebagai pelaku pekerjaan rumah tangga, misal: ibu rumah tangga, pembantu, saudara yang ikut ‘ngenger’, dan sebagainya). Ketidaksepahaman atas pengertian perihal kerja, bekerja dan pekerjaan akan menimbulkan konflik antar subyek, yang tentu saja disini adalah tiap-tiap anggota keluarga.
Ann Oakley (1974) di dalam
Giddens dan Sutton (2009) menggugat akan definisi pekerjaan ini dengan
mempertanyakan keterkaitan antara pekerjaan yang dibayar dengan tugas-tugas
rumah tangga? Mengapa pekerjaan rumah tangga ini kerap kali menjadi
ekslusivitas sebagai pekerjaan perempuan? Dalam hal ini Oakley berargumentasi bahwa
secara eksistensinya dunia kerja dan dunia rumah tangga terdapat garis pemisah
yang jelas. Dengan hadirnya gagasan industri, perihal bekerja menjadi
diposisikan sesuatu yang jauh dari konsep rumah tangga dan keluarga. Rumah
tangga telah menjadi suatu tempat konsumsi dari pada tempat produksi. Praktis
dalam hal ini, ketika pasangan suami istri bekerja di luar rumah, maka untuk
memenuhi produk (barang dan jasa) rumah tangga mereka harus menyewa tenaga
kerja lain (dialihkan ke pembantu rumah tangga sebagai penyedia produk jasa).
Tentu saja dengan mengingat Marx, bukankah suami dan istri itu akan kehilangan
‘ada’-nya dan saling terasing? Apakah hal ini dalam jangka panjang akan
mentransformasi kadar keintiman mereka (bdk. Anthony Giddens, 1993, The Transformation of Intimacy: Love,
Sexuality and Eroticism in Modern Societies)?
Menurut Ann Oakley, pekerjaan
domestik (domestik work) menjadi
sangat tidak kentara lagi sebagai suatu pekerjaan nyata, alasannya karena tidak
mendapatkan upah langsung (baca: uang) dari aktivitas atau pengorbanannya.
Bahkan secara signifikan pekerjaan rumah tangga dipandang sebagai perihal yang
alamiah dari dunia perempuan dan dunia pekerjaan yang ‘sebenarnya’ adalah
diperuntukan bagi laki-laki berada di luar rumah. Artinya, bahwa pekerjaan
rumah tangga secara praktis pada hakikatnya merupakan kewajiban perempuan
sebagai bentuk baktinya terhadap suami yang pulang dengan hasil tangkapan dan
buruannya. Memang tidak bisa dipungkiri, gagasan zaman masyarakat perundagian
ini masih ditemukan praktik-praktiknya hingga era kapitalisme modern sekarang.
Memang secara biologis, laki-laki dan perempuan tidak bisa menghilangkan
masalah sexisme secara 100%, akan tetapi gender tidak bisa dijadikan pemutlakan
alasan untuk klasifikasi pekerjaan. Bahkan setelah Simone de Bouvair menyerukan
‘I am a woman, therefore I think’ sekalipun,
ketimpangan sosial terutama soal gender di dalam klasifikasi pekerjaan tidak
bisa dihapuskan praktik-praktiknya—perempuan mungkin sudah bisa menduduki
berbagai jabatan penting di perusahaan, namun belum bisa menggeser maskulinitas
dan pratriarkal. Perihal pemisahan antara apa-apa yang merupakan aktivitas
pekerjaan berada di ranah publik dan di ranah oikos masih saja berada di seputaran gagasan Aristoteles.
Perhatian sosiologis memang
tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pandangan ekonomi. Dalam bekerja gagasan
Adam Smith (1723 – 1790) satu zaman sebelum Marx, melahirkan gagasan
spesialisasi pekerjaan dalam bukunya The
Wealth of Nation (1776). Dengan membagi suatu pekerjaan menjadi
bagian-bagian terkecilnya, maka dapat meningkatkan tingkat efisiensi kerja,
dibandingkan apabila hanya dikerjakan seorang saja. Akan tetapi, sesungguhnya
perhatian Adam Smith disini tidak melulu menyoal pekerjaan, perhatiannya masih
menimbang persoalan moral. Dalam konteks sosial-ekonomi pekerjaan sudah secara
apriori tidak bisa meninggalkan landasan etikanya, karena hal ini menyangkut
persoalan relasi bersama antar individu. Semenjak lahirnya kapitalisme Adam
Smith, baru satu abad kemudian gagasan dasar terkait dengan pekerjaan dirumuskan
oleh seorang konsultan bisnis terkemuka di Amerika Serikat, yaitu Frederick
Winslow Taylor (1865 – 1915). Lahirnya Taylorisme kian mewarnai proses
mekanistis radikal dari gagasan Smith ini. Menurutnya suatu proses yang
bersifat industri dapat dicacah lagi secara waktu dan pengorganisasiannya
menjadi lebih akurat. Ide dari Taylor ini kemudian diappropriasi oleh Henry T.
Ford (1863 – 1947) untuk menciptakan jalur perakitan kendaraan bermotornya.
Gagasan tersebut berhasil untuk mendisiplinkan para pekerja untuk bertindak
sesuai dengan standar kepatuhan manufaktur itu demi terciptanya kualitas
keluaran produksi yang seragam untuk melayani mass market. Sejak berhasilnya manufaktur Ford ini, gagasan jalur
perakitan yang sanggup melayani konsumen secara masal ini disebut Fordisme.
Implikasi dari Taylorisme dan
Fordisme telah melahirkan isu kepercayaan dalam pekerjaan. Tugas dan aktivitas
pekerja yang ditentukan oleh manajemen dilekatkan ke dalam mekanisme gigi roda
sistem produksi. Para pekerja yang berada di dalam mekanisme cara kerja semacam
ini dipandang sama seperti mesin produksi, sehingga akan selalu diawasi dan
diberikan sedikit kebebasan otonomnya. Dampak dari hal ini, para buruh komitmen
dan moral para pekerja justru terkikis karena mereka sedikit merasakan bekerja
atau bagaimana mereka mengerjakannya. Pendekatan ini hanya sedikit memberikan
ruang percaya bagi karyawan atau dikenal sebagai low-trust system. Lebih jauh, kondisi ini justru memberikan akibat
ketidakpuasan dan kemangkiran yang tinggi, serta konflik yang kian sering
terjadi. Berbeda dengan hal itu, rasa percaya yang tinggi justru saat ini
menjadi basis dari pekerjaan. Karyawan tidak lagi diawasi dengan ketat, bahkan
diberdayakan untuk ikut serta untuk menentukan kecepatan pengerjaan, dan bahkan
ikut berkecimpung dalam menentukan konten dari pekerjaan mereka. Manajemen
sebagai sistem hanya mewakili pemberi kerja dalam menciptakan suatu platform bersama dalam bekerja.
Gagasan bekerja pun juga
semakin berkembang hingga disebut sebagai post-Fordism.
Gagasan ini mendiskripsikan cara berproduksi ekonomi kapitalis yang semakin
mengusung dan mementingkan fleksibilitas dan inovasi demi memenuhi kebutuhan
pasar. Gagasan ini muncul sebagai tanggapan atas kebutuhan pasar yang semakin
tersebar dan terkostumisasi. Praktiknya, pekerjaan semakin terdesentralisasi
hingga dalam organisasi terjadi perubahan, yang tadinya menata dengan struktur
yang kaku dan berjenjang, saat ini justru hanya berupa tim-tim kerja yang
sanggup menanggapi ide-ide yang semakin beragam dan mampu melayani produk yang
sangat terkustomisasi. Wujud praktik gagasan post-Fordisme ini paling tidak
mengusung bentuk kelompok produksi yang bekerjasama dengan cara berkolaborasi
di sepanjang jalur perakitan. Ide ini lahir untuk menghindari pekerjaan yang
bersifat terlalu berulang di sepanjang hari. Bentuk lain adalah cara produksi
yang mampu memenuhi tuntutan pasar yang semakin terkostumisasi secara masal.
Pasar yang berubah membuat manufaktur yang memproduksi secara masal justru
semakin menemukan batasnya, karena terbentur skala ekonomi (menjadi terlalu
mahal untuk memproduksi yang sedikit). Selain itu, bentuk produksi juga terjadi
tidak lagi hanya lintas kota saja, namun juga lintas negara. Dalam hal ini
bentuk produksi tidak lagi perihalnya bagaimana barang dan jasa diproduksi,
namun juga dimana produk itu dibuat. Manufaktur produk-produk tidak lagi
terpusat, namun juga semakin tersebar.
Dapat ditarik benang merah
dari pemaparan di atas bahwa bekerja adalah masalah perspektif kepercayaan, yang timbul
dari hubungan antar subyek. Perspektif disini menjadikan makna bekerja menjadi
begitu rentan dengan kesalahpahaman. Bekerja memiliki dimensi subjektif,
meskipun kenyataannya aktivitas itu memiliki dimensi obyek materialnya. Apabila
sesuatu hal memiliki dimensi subjektif, maka tidak akan terhindarkan dari suatu
struktur mental tertentu yang dikonstruksikan oleh sejarah. Jelas, perihal
moral sebagai code of conduct untuk
memutuskan sesuatu hal tidak serta merta turun dari langit, tetapi dibentuk
secara dinamis menjadi produk budaya. Perlu diwaspadai bahwa ilmu ekonomi, pada
kenyataannya merupakan perangkat egois, yang berkecenderungan untuk selalu meradikalkan
kepentingan diri sendiri atas kepuasan individu, bukan sosial. Maka dari itu,
relasi psikologis dan psikososial menjadi melekat dalam dimensi budaya
kapitalisme modern. Penjangkaran pada budaya ini menjadi sebuah upaya mencari jalan
tengah untuk menjembatani konflik kepentingan di tiap-tiap kelompok dikotomis
(majikan – buruh, suami – istri, orang tua – anak, keluarga besar – keluarga batih,
mayoritas – minoritas dan seterusnya). Aktivitas ekonomi merepresentasikan
bagian krusial dari kehidupan sosial dan disulam bersama-sama melalui beragam
norma, aturan, tuntutan moral dan habitus yang secara bersama-sama membentuk
masyarakat. Bekerja dan uang juah lebih penting sebagai sumber identitas,
status, dan harga diri. Hal ini tidak mampu hanya dikenali dan diraih secara
individual, namun hanya bisa dilaksanakan dalam konteks sosial (Fukuyama,
1995) .
Pekerjaan yang ada saat ini banyak dimaknai secara ekonomi. Dengan berdiri sendiri dari filsafat dan melepaskan diri dari sosial, pekerjaan akan menjadi dimaknai lebih sempit. Alasannya, bekerja merupakan suatu proses produksi dari aktivitas ekonomi yang hanya menjadi bagian dari elemen faktor-faktor ekonomi (pekerja, tanah, dan modal). Berdasarkan pemikiran neoklasik, teori distribusi menyatakan bahwa setiap rupiah yang dibayarkan untuk setiap faktor produksi tergantung dari penawaran dan permintaan atas faktor tersebut. Maka dari itu, penjelasan secara ekonomi akan lebih mudah menjawab pertanyaan Ann Oakley tersebut diatas, mengapa pekerjaan rumah tangga tidak dihargai dan dimaknai sama dengan pekerjaan di luar rumah. Alasan ekonomi makro secara sederhana akan menjawab pekerjaan rumah tangga bukan ranah produksi, sehingga kurang atau dianggap tidak layak dihargai secara keekonomian. Hukum penawaran dan permintaan terjadi karena adanya kelangkaan. Tentu saja ahli statistik dan ekonometri yang tergolong aktif secara ekonomi, maka akan dihargai lebih tinggi dibandingkan loper koran atau buruh stasiun pompa bensin. Penghargaan ekonomi tidak lain karena upah atau imbalan moneter yang didapatkan selama seseorang tersebut ‘disewa’ sebagai faktor ekonomi.
Mengapa demikian? Di atas telah
dikatakan bahwa upah disebabkan oleh penawaran dan permintaan atas faktor
tenaga kerja. Bahwa ekonomi kapitalis bisa dipahami secara sederhana melalui
hubungan antara rumah tangga (households)
dan perusahaan (firms) sebagai
perwakilan pemilik kapital/modal (tanah dan sarana produksi). Akan tetapi,
karena secara moral perbudakan itu tidak dibenarkan (zaman modern, dahulu
ras-ras tertentu dianggap lebih rendah atau setara dengan binatang, sehingga
berhak diberdayakan sebagai ‘budak’), maka perusahaan hanya boleh menyewa
faktor produksi yang disebut buruh atau pekerja. Artinya, ada manusia-manusia
yang berkehendak untuk bekerja dengan menyewakan tenaganya atau keahliannya
untuk para majikan atau pemilik modal. Karena pemilik modal ini tidak bisa
menjalankan usahanya tanpa adanya pekerja-pekerjanya. Kepentingan diri si
pemilik modal inilah kemudian yang menggerakkan adanya permintaan akan pekerja,
dengan memberikan kepercayaan atas kapitalnya untuk digunakan sesuai dengan
kepentingan si pemilik modal itu. Sedangkan para pekerja ini merelakan dirinya
untuk mengorbankan kepentingannya sendiri, demi mendapatkan upah yang dapat
digunakan untuk membeli keperluan sehari-hari (alasan bertahan hidup). Maka
dari itu, penawaran atas tenaga kerja muncul akibat sebuah ‘trade-off’ antara kerja dan bersenang-senang (leisure). Semakin orang mampu mengorbankan rasa senangnya demi
upah, semakin ia mampu bekerja lebih lama. Penawaran dan permintaan ini tidak
serta merta datang akibat hubungan antar kepentingan pelaku, tetapi kepentingan
ini lebih di sebabkan oleh permintaan akan barang dan jasa di pasar. Pasar
tercipta karena kebutuhan dan pertukaran secara sosial. Pasar menentukan faktor
produksi yang akan digunakan oleh perusahaan demi berkompetisi untuk memenuhi
kebutuhan pasar dan memaksimalkan keuntungan. Oleh sebab itu permintaan atas
faktor produksi permintaan turunan, karena diturunkan dari permintaan pasar.
Bagaimana jika seseorang
tidak bekerja, atau tidak memiliki pekerjaan? Tentu saja hal ini menimbulkan
masalah ekonomi. Perihal pengangguran yang terlalu tinggi di suatu negara tentu
saja menyebabkan produksi aggregat rendah. Kondisi ini biasa terjadi di kala
resesi ekonomi, yaitu permintaan akan tenaga kerja akan menghilang. Peningkatan
pengangguran akan meningkat dan tentu saja akan berdampak pada kondisi
kemakmuran suatu negara. Menurut sifatnya kondisi tanpa pekerjaan ini dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu pengangguran friksional, dan pengangguran
struktural. Pengangguran friksional adalah kondisi tidak bekerja karena waktu
tunggu pekerjaan yang dialami seorang pekerja untuk mencari pekerjaan yang
sesuai. Sedangkan pengangguran struktural adalah kondisi tidak bekerja karena pasar
tenaga kerja tidak mencukupi untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi siapa
saja yang menghendakinya. Apabila waktu tunggu ini terlalu lama, entah karena
krisis ekonomi yang tidak kunjung berakhir atau pekerjaan yang tersedia tidak
memenuhi keahlian dan ekspektasi seseorang, hal ini akan menyebabkan tenaga
kerja tersebut enggan untuk mencari pekerjaan (discouraged workers). Misalnya, banyak lulusan bergelar pasca
sarjana, dan bahkan bergelar doktor yang pada akhirnya menganggur, karena tidak
tersedianya lapangan pekerjaan yang mampu menyerap mereka. Sulit untuk
seseorang yang telah memiliki kemampuan intelektualitas yang tinggi dan
kematangan berpikir hanya bekerja menjadi juru arsip di sebuah perusahaan, atau
bekerja lepas di sektor informal. Banyak akhirnya program-program beasiswa pun berakhir
ibarat menciptakan mobil canggih, namun tidak didukung oleh fasilitas jalan
raya dan sopir yang mampu mengendarainya. Tidak gampang seseorang untuk
mendadak berganti keahlian (itulah mengapa karyawan PT Dirgantara Indonesia
setelah pailit, banyak dicaplok oleh manufaktur pesawat di luar negeri dan
memilih hengkang ke luar negeri).
Wajah Dunia Kerja Indonesia Pasca Krisis
Pengangguran merupakan masalah yang kompleks di Indonesia. Basri (2009) mengemukakan berbagai masalah ekonomi terkait pengangguran. Selain masalah pencatatan statistik klasifikasi pengangguran yang kurang canggih, artinya ada masalah validitas data. Terkait dengan hal itu masalah pengangguran berdampak luas terhadap kehidupan sosial dan politik, yang pada gilirannya akan berimbas pada kestabilan makroekonomi yang susah payah dicapai. Masalah pengangguran terdidik sebetulnya tidak menjadi masalah, karena mereka bersedia bekerja tidak penuh ataupun menerima pekerjaan-pekerjaan yang kualifikasinya lebih rendah dari potensi kemampuan mereka (disguised unemployment). Hanya saja masalah kualifikasi ketepatan penyerapan kapasitas dan kapabilitas mereka sering kali meleset. Seperti halnya lulusan sarjana bidang ilmu pertanian, ilmu tanah, arsitek, malah ramai berkarya di sektor perbankan. Sedangkan lulusan sarjana manajemen dengan konsentrasi keuangan malah sibuk berternak lele atau ayam. Hal ini akan menyebabkan kehilangan potensi ilmu pengetahuan yang tidak mampu diimplementasikan secara keekonomian sebagai alih teknologi. Hal ini wajar ketika sudah 2-3 tahun bekerja sibuk beramai-ramai kuliah pasca sarjana alih bidang studi di bidang ilmu manajemen dan administrasi bisnis. Sehingga sadar atau tidak sadar, para pekerja terdidik ini sebetulnya sudah kehilangan investasi masa mudanya ketika kuliah sarjana.
Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), Badan Pusat Statistik, diolah |
Penduduk Indonesia yang Menekuni Sektor Formal dan Informal
(dinyatakan dalam juta jiwa)
Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), Badan Pusat Statistik, diolah |
Dari
diagram dan tabel diatas menunjukan adanya perbaikan dari masalah
ketenagakerjaan. Sektor formal kembali lebih tinggi dibandingkan sektor
informal, artinya sektor informal tidak lagi menjadi andalan. Meskipun demikian,
dari data tabel, peningkatan sektor formal tidak serta merta meningkatkan
jumlah pengusaha di sektor formal. Kemampuan penyerapan pekerja di sektor
formal memang baik, akan tetapi akan menciptakan kesenjangan baru dari sisi
kelompok pemilik modal dan kelompok pekerja (lihat: rasio gini Indonesia).
Artinya, pentingnya disini membuka lapangan kerja baru sebagai keterlibatan individu sebagai peningkatan taraf hidup masyarakat. Membuka bisnis yang baik yang berlandaskan nilai-nilai sosial memiliki soft power dalam menciptakan ekosistem masyarakat ekonomi. Pemerintah pun juga telah mengupayakan berbagai program, meskipun pasti akan terdapat banyak celah kritik. Oleh sebab itu, lebih baik kita kaji dan kita kawal bersama, bahwa pemerintah adalah aparatur negara demokrasi, artinya pemerintah dan penguasa adalah alat dari rakyat untuk mendistribusikan beragam hak.
Hal yang menarik diangkat untuk refleksi adalah merenungkan kembali pertanyaan kritis yang dilontarkan oleh Faisal Basri (2009): “Pembangunan macam apa yang hendak kita tuju?” “Demokrasi mengabdi kepada siapa?” “Akankah kita biarkan kecenderungan demikian terus berlangsung?”. Berbagai pertanyaan mendasar itu mungkin tepat disasarkan kepada pemerintah sebagai pengambil kebijakan yang bertanggung jawab secara penuh untuk kesejahteraan warga negaranya. Akan tetapi, dalam taraf pribadi lebih banyak permenungan makna bekerja itu sendiri. Alih-alih selalu serba mengutuki pemerintah yang serba korup dan manipulatif, lebih baik mempersoalkan kontribusi apa yang bisa saya lakukan untuk berperan serta dalam meningkatkan taraf hidup orang banyak. Misalnya, seorang sarjana peternakan di usia muda yang menempati manajer di sebuah kantor asuransi di kota besar. Alih-alih menjalankan gaya hidup serba modern yang mengkonsumsi untuk segala hedonisme kaum urban. Ia memilih untuk mengembangkan nilai diri dengan bertanggungjawab secara sosial. Ia berinvestasi secara riil, yaitu membuka lapangan usaha di desa dengan membeli lahan empang untuk berternak ikan, dan dipercayakan kepada orang setempat dengan memberdayakannya (lihat: penjelasan sosiologis). Ia hadir di setiap akhir pekan untuk memberikan penyuluhan (memanfaatkan potensi atau modal intelektual) kepada para pekerjanya. Ia memang awalnya membayar para buruh ternak itu dengan murah, namun seiring dengan majunya usaha yang digelutinya, ia mampu menghadirkan teknologi yang diterapkan di desa itu sehingga meningkatkan produksi di desa itu. Semakin besar usahanya, semakin tinggi tingkat produksinya, semakin ia mampu menyejahterakan karyawannya, dan semakin mampu menyerap tenaga kerja di desa itu (lihat: penjelasan ekonomi). Pada akhirnya, ia justru melakukan pensiun dini dan fokus pada usahanya sendiri, ia menikmati usahanya yaitu buah karyanya sendiri. Aktualisasi dirinya tercapai seiring ia tidak lagi terasing dari dirinya (lihat: penjelasan filosofis).
Abbott, A. (2005). Sociology of
Work and Occupations. Dalam N. J. Smelser, & R. Swedberg, The
Handbooks of Economic Sociology (hal. 307-330). New Jersey: Princeton
University Press.
Basri, F. (2009). Catatan
Satu Dekade Krisis: Transformasi, Masalah Struktural, dan Harapan Ekonomi
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Fukuyama, F. (1995). Trust:
The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York: Free Press
Paperback.
Giddens, A., &
Sutton, P. W. (2009). Sociology (6th ed.). Cambridge: Polity Press.
Magnis-Suseno, F.
(1999). Pemikiran Karl Marx: dari sosialisme utopis ke perselisihan revisionisme.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mankiw, N. G. (2007). Principles
of Economics (4th ed.). Mason: Thomson South-Western.
Mankiw, N. G., &
Taylor, M. P. (2014). Economics. Andover, United Kingdom: Cengage
Learning EMEA.
Comments
Post a Comment