Kematian dan Batas Eksistensi
Berbicara mengenai garis finish, tentu saja bukan sebuah
kemenangan spektakuler seperti dalam acara-acara perhelatan olahraga, namun
lebih kepada kemenangan pribadi. Seorang manusia yang dijemput ajal, yang tidak
tahu dan entah kemana manusia itu pergi meninggalkan adanya-di-dunia. Memang
telah menjadi permenungan saya beberapa bulan terakhir ini. Ya! Soal
‘kematian’. Entah mengapa banyak berita duka yang menghampiri, seolah
pribadi-pribadi ini tanpa disangka dan direncanakan pergi begitu saja. Ada yang
berpamitan, seolah tahu kapan ajal menjemputnya. Ada yang tiba-tiba juga pergi
tanpa pamit. Hal ini pun juga membuat diriku termenung, dan mungkin diriku
masih terlalu muda untuk memikirkan soal makna kematian.
Sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/a/ab/Caravaggio_-_La_Deposizione_di_Cristo.jpg |
Mendengar berita duka, kematian, kehilangan, itu memang
menyedihkan. Apalagi bagi orang yang ‘masih hidup’ dan ditinggalkannya. Makna
kematian sungguh berbeda dengan kelahiran. Apalagi jika ‘pribadi yang meninggal
itu’ menyangkut soal pribadi-pribadi yang mengenal kita, yang memahami kita,
lebih lagi yang mencintai kita. Jauh dari kata rela, dan apalagi ikhlas untuk
melepas adanya dari besama kita. Terkait dengan hal ini, pemaknaan kematian pun
sering memicu ungkapan-ungkapan dan kesan-kesan yang mendalam bagi yang ditinggalkan.
Pemaknaan kematian pun juga sering menjadi alasan seorang pribadi bersikap.
Pemaknaan kematian pun juga sering dipandang menjadi solusi atas kehidupan.
Mari kita lihat simak dari cerita-cerita yang diingat oleh penulis seperti
dibawah ini:
Sebut saja Jiwo (bukan nama sebenarnya), pria berparas tampan, berprofesi
sebagai seorang pilot pesawat komersial, berbadan tegap dan mendekati atletis.
Dilahirkan dari keluarga yang tidak hanya mapan, namun juga sangat kaya. Jiwo
mendapati kehidupan yang ditawarkan oleh mazhab kapitalisme ini. Diumurnya yang
hampir menyentuh kepala tiga, Jiwo populer di antara koleganya. Dengan
penghasilan seorang pilot pesawat komersil tentu saja ia sanggup membelanjakan
apa saja yang ditawarkan sebagai ‘kenikmatan dunia’. Sex pun juga mudah
didapat, meskipun ia memiliki pasangan, namun yang namanya laki-laki tajir,
tampan pula, siapa sih yang tidak memanfaatkannya demi kenikmatan badaniah dari
pasangan sexual yang lain. Pergaulannya bebas (harap dibedakan dengan terbuka)
dan pesta pora serta narkoba menjadi kesehariannya.
Akan tetapi, jauh dari apa itu
karma, apa itu hukuman Tuhan, apa itu kutukan, Jiwo tiba-tiba ketahuan oleh
perusahaannya dimana ia bekerja akan kebiasaannya menggunakan narkoba. Ia
ternyata sudah dicurigai sejak lama, karena kinerjanya kian hari kian menurun.
Tentu saja perusahaan mengambil langkah yang tepat, karena sangat berbahaya
membiarkan ada pilot pasca teler mengemudikan pesawat penumpang. Setelah Jiwo
di-phk, ia stress dan tertekan. Setiap hari adanya marah-marah, dan semakin
menenggak apapun juga yang bisa membuat ia hilang kesadaran. Pacarnya pun
lama-lama tidak kuat menghadapi Jiwo, akhirnya ia meminta putus dan memilih
untuk mencari alternatif penggantinya. Jiwo terpuruk dan depresi, ia curhat
kesana-kemari dan ingin bunuh diri. Ia merasa tidak berguna dalam hidupnya dan
ingin mati! Sayangnya, Jiwo ini hanya pandai berencana, tidak pandai
mengeksekusi!
Lain halnya dengan Sasongko (bukan nama sebenarnya juga),
pria paruh baya berumur 38 tahun. Hidup dibawah ketegangan impian janji orang
tuanya yang konon kaya raya. Kisah Sasongko pun juga menghadirkan cerita
rencana akan kematian. Berulang kali Sasongko mencoba membunuh dirinya dengan
benda-benda duniawi, baik yang di luar tubuh maupun yang dimasukan ke dalam
tubuhnya. Sasongko telah beberapa kali mencoba memotong urat nadinya dengan
silet cukur, namun tidak kesampaian keberaniannya untuk memutus nadi
pergelangan tangannya sampai ‘del’. Hasilnya apa? Ya hanya lecet-lecet sayatan,
seperti orang blusukan di kebon salak saja! Pernah juga mencoba minum obat
pembunuh serangga, namun karena kurang dosis, yang ada hanya mulas dan
lambungnya luka.
Sasongko berencana mengakhiri
hidupnya karena merasa malu dengan dirinya yang gagal. Ia tidak tahan merasakan
gunjingan dan penghakiman sosial atas dirinya. Sasongko memang bukan orang yang
kompleks, dia cukup sederhana ditengah keribetannya. Ia hanya ingin kaya dan
serba instan. Stress dan depresi karena ia tidak beres kuliahnya yang terlalu
memakan umurnya, tidak punya kesanggupan untuk berperan dalam tanggung jA`awab kemenjadian
dirinya yaitu mengejar rupa lelaki ideal bak Werkudara yang selalu dituntut
oleh masyarakat kita sebagai bentuk keidealan. Sasongko memang bukan pribadi
yang pandai sundul langit bak para Dewata, tapi memang sebagai pribadi, Ia
cukup berpredikat rata-rata yang tentu saja dengan remedial juga soal Intelegentia Quotiens-nya. Tetapi hidup ini kan bukan memulu soal
IQ, tapi kesalehan! (Paling tidak itulah nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang
tua Sasongko). Usut punya usut, depresi si Sasongko ini juga dikarenakan ingin
hidup serba ada, mewah, berkehidupan serba wajar seperti teman-temannya yang kaya
sedari kecil dulu. Sasongko pun juga stress pingin kawin, namun ya selalu
hubungannya tambal sulam ga pernah utuh. Lha wong fondasi cintanya saja memang
sudah berupa kain rombeng dan compang-camping kok! Sekarang Sasongko menjalani
hidup, belajar menerima hidup apa adanya di dunianya. Memang, Sasongko pernah
ingin mati, namun gagal. Kini Ia sekarang ingin hidup tapi ya juga belum
dikatakan berhasil. Nggak tahu kapan keinginan ‘bunuh dirinya’ muncul lagi.
Ny. Suharti (masih bukan nama sebenarnya juga), seorang keturunan
Tiong Hoa dari masa Ceng Ho. Ia lahir 30 tahun silam dan dibesarkan di Jawa
Tengah dengan kultur pribumi ngapak. Ny. Suharti bukan orang miskin, Ia
terlahir dari keluarga kaya. Ia sebenarnya bukan Tiong Hoa totok, bahkan Ia
mewarisi darah reksasi Arimbi yang disulap kresna menjadi perempuan berparas
cantik dengan mata belok. Sebagai anak paling kecil di keluarga, sayangnya dia
paling apes. Ia jatuh miskin karena suaminya yang serba kikir. Kehidupan
asmaranya tragis! Benih-benih harapan rencana bersama yang dibangun begitu
indah di masa lalu berujung kandas, seraya perubahan sikap suaminya yang
tenyata adalah seorang tiran! Memang mereka berdua merupakan pasangan yang
berkiblat pada ideologi anti-kemapanan dan pemberontakan. Namun sayangnya, itu
tidak berlaku bagi perempuan. Ny. Suharti, terpaksa terbelenggu dengan
penjara-penjara partriarkal akan tanggungjawab keperempuanannya. Ny. Suharti
tidak pernah menyangka nasibnya sekarang sebagai konsekuensi logis bahwa ia
telah mengawini lelaki fasis.
Ditengah berbagai badai KDRT yang
dialami Ny. Suharti, ia pun pernah mencoba bunuh diri. Modus operandi-nya sama, ia mengambil silet cukur untuk memotong
urat nadi tangannya namun masih serba nyaris, belum juga mati. Alasan bunuh
dirinya juga sama, Ia tidak tahan dengan kondisi perlakuan teman hidupnya. Ia
depresi karena tidak merasa dicintai lagi. Ia suka ngelantur dan emosinya
sering tidak karuan, seperti naik perahu ‘kora-kora’ di Dufan. Ia suka menangis
ditengah keriaan, dan suka tertawa ditengah duka orang lain. Nafsunya kini
serba tidak teratur, ditengah makan bakso, ia menyantap papaya dingin. Ia
kelelahan dalam menghadapi suaminya. Ia kelelahan dengan segala janji-janji
harapan kebahagiaan yang pernah diidam-idamkannya. Ia kecewa terhadap teman hidupnya,
orang tuanya, dan dirinya sendiri. Kini Ny. Suharti masih dalam proses
menimbang-nimbang, ingin tetap hidup dengan keadaannya sekarang, atau mencari
solusi lain, yaitu hidup abadi di alam penasaran.
Kasus lain lagi, menimpa Mas Bengkring (nama samaran). Ia
seumuran saya. Pernah satu sekolah ketika SD namun tidak sampai tamat karena ia
tidak kuat dengan disiplin dan tempaan pendidikan sekolah katolik yang kelewat
disiplin ketimbang militer. Ia tinggal tidak jauh dari rumah orang tua saya.
Hanya seteriakan dan selemparan batu. Dahulu saya sering main ke rumahnya,
mainannya banyak. Dari pistol air hingga robot-robotan yang bahkan film
kartunnya saja belum tayang di TV nasional ia sudah memilikinya. Ketika dulu
kami satu mobil jemputan, Mas Bengkring tidak pernah siap dan harus ditunggu
lama oleh jemputan alias lelet. Ayahnya sangat sayang kepada Mas Bengkring dan
Kakaknya. Meskipun ayahnya seorang Katolik yang tidak taat, namun beliau sering
ketiban sampur menjadi ketua lingkungan.
Tidak lama sekembali saya dari
Jogja melihat Mas Bengkring. Tubuhnya sudah penuh tattoo, bahkan sepintas saya
hampir tertipu karena di kejauhan Ia seolah sedang mengenakan kemeja batik
lengan panjang. Setiap pagi kerjaannya keliling komplek dengan sepeda fixinya. Kalau
sore bermain bersama anjingnya. Mas Bengkring adalah pria pendiam, gayanya
cuek, namun ramah dengan senyum khas mringisnya. Itulah Mas Bengkring, pria
yang mengdopsi gaya hidup eksentrik penuh ekspresi kebebasan dunia masa muda.
Namun tidak dinyana, dibalik
perjumpaan kami yang sudah serba saling tidak mengenal lagi. Ternyata Mas
Bengkring menyimpan kisah-kisah absurditas hidup. Ia juga pernah melakukan
percobaan bunuh diri. Alasan ‘ingin mati’-nya juga karena ia sangat lelah dan
stress dengan tuntutan dunia pendidikan. Ia depresi karena selalu tinggal
kelas. Sering pindah sekolah bukan karena masalah dengan sopan-santun dan
kriminalitas, ya karena nilai-nilainya tidak pernah lolos ‘seleksi alam
pendidikan’. Ia ingin mati karena sudah lelah, bahkan mogok tidak mau sekolah
pun juga tidak digubris oleh orang tuanya. Tidak tahu, modus operandinya apa,
namun yang jelas ia ketahuan ketika melakukan upaya bunuh diri. Ia dirawat di
rumah sakit dan selamat. Meskipun selamat, namun pada akhirnya Mas Bengkring tinggal
di rumah sakit jiwa. Selain memang pernah bereksistensi sebagai pecandu
narkoba, Mas Bengkring memang sakit psikis menurut psikiaternya. Ia sudah
korslet! Bahkan suatu hari, Ia ketahuan makan keset bertuliskan welcome di garasi rumahnya, dengan alasan
realitas di pikirannya bahwa Ia sedang makan malam dengan calon istrinya. Ia
jadi gila karena ditinggal sandaran terakhir hidupnya, yaitu cintanya, ialah
pacarnya. Mas Bengkring yang tragis, ditengah ketidakpastian dan kenihilan
hidupnya, ia ditinggal pula oleh tambatan hatinya. Kabar terakhir Mas
Bengkring, kini ia rajin merawat dirinya, mandi pancuran dan sejenisnya,
meskipun hal ini hanya aksi theatrikal ketidaksadarannya saja.
Namun apakah yang menjadi benang merah dari cerita-cerita
diatas, yaitu apa yang menjadikan seseorang berpikir dan memutuskan untuk
berproses membunuh dirinya. Untuk menjawab hal ini tentu saja sungguh keliru
kalau saya kemudian coba regresikan bahwa mereka secara psikis memang tidak
beres. Artinya pembenaran atas ketidakberesan mereka secara faktual akan
berdampak dalam segala kemungkinan makna hidup mereka ini semua, yang
sesungguhnya seluas pengetahuan pribadi itu sendiri. Saya justru akan terjebak
dalam fondasionalisme garis keras, dengan memaksakan pembenaran atas segala
argumentasi yang muncul, misalnya dengan argumentasi bahwa dia stress berat,
neurosis, depresi akut, dan lain sebagainya yang berujung pada mendasarkan
seorang pribadi pada kondisi kegilaan klinis sebagai titik makna antara
‘manusia’ dan ‘sesuatu’.
Memang sepintas secara faktual bahwa keempat pribadi itu
pada hakikatnya memiliki tegangan antara idealisme diri yang dipersepsikan dan
realitas itu sendiri. Bahwa keinginan dan harapannya telah melahirkan jurang
yang terlalu dalam sehingga tidak sanggup lagi dijembatani oleh pemaknaan atas
peristiwa yang menimpanya. Tapi pertanyaannya sekarang, bagaimana mereka itu
seolah memiliki obsesi yang sama atas kematian? Bagaimana mereka itu semua
memandang kematian sebagai satu-satunya jalan keluar atas persoalan hidupnya? Mengapa
seolah-olah dengan kematian maka persoalan di dunia itu tuntas dan selesai
dengan sendirinya? Apakah benar dengan menghendaki kematian itu secara psikis
terganggu? Apakah dengan kematian seseorang akan mendapatkan sesuatu yang lebih
baik dari pada menjalani hidup?
Pertanyaan-pertanyaan diatas dibangun diatas fondasi eksistensi
manusia. Untuk seseorang yang beragama, kematian sudah final antara makna dan
kebenarannya secara teologis, akan tetapi menjawab soal makna kematian dan
bunuh diri secara filsafat eksistensial bukanlah hal yang mudah. Secara
konseptual banyak hal yang dihadirkan dunia ini untuk mencoba menjelaskan
misteri kematian. Memang secara faktual, kematian pada hakikatnya adalah
berhentinya kehidupan suatu organisme, dengan kata lain kematian biologis,
dengan kata lain punah. Namun masalah pemaknaan akan kematian, ini merupakan
hal yang sangat pribadi, otentik dan partikular sifatnya. Mengapa demikian
sulitnya menjelaskan kematian, secara makna? Permasalahannya adalah selain
bersifat pribadi (subjektif ekstrim), kematian adalah batas eksistensi manusia.
Setelah kematiannya, manusia sudah tidak ada lagi. Fakta realitasnya adalah
hanya tinggal jasadnya, dan ingatan-ingatan akan pribadi-pribadi itu oleh
pribadi lain yang ditinggalkannya (yang masih hidup). Artinya, kematian seseorang
individu tidak bisa diketahui oleh orang lain, diwakilkan, apalagi digantikan, karena
hanya individu itu yang mengalaminya sendiri. Menurut Dobzansky (1967) dalam
bukunya The Biology of Ultimate Concern,
bahkan ‘kesadaran-kematian’ merupakan satu ciri yang unik dan dasariah pada
manusia sebagai species biologis. Manusia itu menghayati hidupnya seraya
menatap kematiannya. Ketika kita ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia,
ungkapan yang paling mendalam dari diri kita adalah kesedihan, kita tidak bisa
berpartisipasi dalam kematian itu. Makna kesedihan jelas berbeda dengan
kematian.
Makna Kematian dan
Bunuh Diri
Dalam aliran filsafat eksistensialisme, kematian dipandang
sebagai titik final eksistensi manusia itu. Kematian sebagai titik akhir tidak
dengan sendirinya muncul dari suatu ketiadaan, akan tetapi titik akhir akan
selalu menuntut adanya titik permulaan yaitu kelahiran manusia itu sendiri.
Secara antropologis metafisik, kematian secara hakikat memiliki makna yang
negatif, karena mengandung makna keberhentian dari suatu transendensi. Hal ini
berbeda dengan kelahiran yang memiliki makna serba positif. Cara pandang ini
memang mengarah kepada sebuah adanya misteri penciptaan. Mengapa keberakhiran
hadir jika tanpa permulaan. Bakker (2000) memaparkan berbagai pandangan dari
berbagai aliran yang menjangkarkan pada suatu konsepsi ‘melampaui eksistensi’
yaitu keabadian. Dalam ada dan tidaknya realitas keabadian, secara konsepsi
dapat dibagi menjadi dua. Pertama, mereka yang percaya akan adanya keabadian,
baik secara adanya supraindividual dan secara perorangan. Kedua, mereka yang
percaya tidak adanya keabadian. Namun masalah diatas lebih cenderung kepada
perihal keseharian mereka, hal ini yang kemudian lantas lebih tepat apabila
dijelaskan dengan cara pendekatan humanisme.
Pandangan metafisis humanisme meletakan konsep kematian pada
tubuh. Dengan kematian, kemusnahan dan kehancuran tubuh manusia tidak
terelakan. Akan tetapi, secara antroposentris, hanya manusialah yang memiliki
kesadaran akan kematian, yang menjadikan dirinya khas dibandingkan makhluk
lain. Kesadaran akan kematian itu mengisi manusia dengan kecemasan
eksistensial, yang memungkinkan berbagai macam sikap. Misalnya, kaum stoa yang
beranggapan bahwa dengan kematian manusia akan melebur menjadi satu dengan
alam, hal itu sebaiknya ditunggu dan diterima dengan tenang dan tanpa panic.
Lain dengan Schopenhauer, ia berpendapat bahwa kematian justru dinantikan
sebagai pembebasan dari hidup yang serba jahat dan jelek. Selama hidup pun
manusia harus mulai melepaskan diri dari segala kehendak atau keinginan akan
hidup supaya tercapai damai total dalam ‘ketiadaan’ atau
‘ketidakterdefinisian’. Lain halnya dengan, Nietzsche berpandangan bahwa
manusia harus dengan bangga menantang kematian. Begitu pun Freud yang meyakini
bahwa di dalam diri manusia ditemukan suatu dorongan atau keinginan tak sadar
menuju kematian (Bakker, 2000) .
Ada tiga filsuf kontemorer yang secara khusus membicarakan
tentang kematian, yang meliputi: Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, dan Albert
Camus. Secara ringkas inti dari pandangan Heiddeger tentang kematian bahwa
kematian merupakan kemungkinan ultim bagi manusia sebagai proyek. Oleh karena
itu, tampak segala kemungkinan hidup dan totalitas dunia (die Seienden) itu tidak lagi penting. Namun, manusia harus menerima
faktisitas hidup dan mati dengan ketabahan, dan dengan menghadapinya ia akan
memahami juga “das Sein”. Sedangkan Sartre
secara tegas ia memandang bahwa kematian yang mengungkap absurditas melalui konsep
une passion inutile, yaitu dari kematian
yang tidak masuk akal justru darinya tampaklah bahwa seluruh eksistensi manusia
dengan segala kebebasannya. Kebebasan harus dipergunakan dengan keberanian
sampai akhir. Berbeda dengan Camus, karena hidup ini tanpa makna dan serba
absurd, pada akhirnya satu-satunya soal filosofis yang sah ialah soal
‘bunuh-diri’. Secara khusus Heideger melacak konsep kematian dengan kepunahan,
sedangkan Sartre dan Camus merupakan pemberi kritik atas pandangan Heidegger.
Pandangan Heidegger (1889-1976)
Dalam bukunya Sein und
Zeit (Being and Time), Martin Heidegger mengkaitkan keotentikan eksistensi
dan ditujukan untuk mengungkapkan keterbukaan manusia pada ‘ada’ (Sein). Maut bersifat tertanam dan tidak
terhindarkan sejak awal dalam struktur ontologis eksistensi. Eksistensi manusia
secara hakikatnya adalah ada-menuju-kematian (Sein-zum-Tode), artinya bahwa seorang bayi yang baru lahir pun
sudah menatap kematiannya. Iain Thompson di dalam Wrathall (2013) menafsirkan
pemikiran Sein und Zeit Heidegger
dalam relasi kecemasan (angst) dengan
kematian (death) dan ketakutan (fear) dengan kepunahan (demise). Segala kecemasan-kecemasan
yang timbul dalam pra-kematian adalah kecemasan mengenai inti dari diriku yang
terungkap dalam pandangan akan kehancuran duniaku. Kematian berbeda maknanya
dengan kepunahan, bahwa kita seringkali salah mengenali kematian sebagai
kepunahan dan oleh karenanya makna itu direduksinya seperti yang disampaikan
oleh Ernest Becker (sosiolog) bahwa kita telah menciptakan segala sistem makna
supaya dapat menampik ‘kepunahan’ yang kita sendiri tidak bisa mengelaknya.
Dalam
Sastrapratedja diungkapkan bahwa Heidegger memandang kematian sebagai sesuatu
yang positif, yaitu dari kematian justru membuat hidup memiliki makna. Jika
manusia tidak dapat mati (manusia hidup abadi), maka hidup tidak akan memiliki
pola dan keutuhan. Keabadian akan berimplikasi pada hidup yang tidak lain hanya
untaian peristiwa yang tidak memiliki makna. Hidup ini menjadi sebuah rangkaian
kata dalam kalimat panjang yang tanpa titik. Hidup menjadi dibayangkan seperti
sebuah drama dengan adegan-adegan yang saling susul menyusul tanpa adanya
sebuah plot yang mempersatukan. Kehidupan manusia hanya memiliki nilai dan
kesatuan apabila ada akhir hidup, suatu batas yang memberikan perspektif. Artinya
dalam kehidupannya, manusia menggunakan kematian untuk menjadikannya bebas dan
otentik. Artinya dia menjadi sutradara sekaligus aktor dalam lakon tunggalnya
di dunianya dan segala keputusan-keputusan eksistensinya merupakan dramaturginya
tersendiri dan bersifat pribadi seraya menyongsong kematiannya, akhir dari sebuah
sandiwara ‘berada-di-dunia’. Manusia menyongsong kematiannya dengan menunggunya
dengan tiadanya harapan, atau kekosongan terhadap batas eksistensinya. Namun
hal ini jangan disalah artikan lantas lebih baik menjadi pasif dan statis dalam
hidup, perlu diingat bahwa kesadaran akan kematian akan menyematkan kecemasan-kecemasan
pada Dasein. Kecemasan ini lantas
merupakan tanda dan bukti bahwa ia ada. Kecemasan pra-kematian ini, yang
diatasi oleh Dasein dengan melupakan
ada-nya yaitu dengan menjadi das Man,
dengan menenggelamkan diri dalam segala rupa kegiatan yang bersifat ontis. Dengan kata lain, mengacu pada
tafsir dari Piotr Hoffman dalam Guignon (1993), bahwa segala kecemasan Dasein
merupakan kecemasan dalam rerangka kepedulian terhadap dirinya, jika kita tidak
merasa terancam akan kematian, kondisi dasar kita tentu saja bukan lah
kepedulian, akan tetapi apabila kondisi dasar kita adalah ketidakpedulian,
kematian kita belum tentu dirasa sebagai hal yang mengancam diri kita.
Kepedulian dan kepekaan seseorang akan kematian, sehingga merupakan sesuatu
yang disebut sebagai kondisi “equiprimordial”.
Pertanyaannya
sekarang apabila manusia diminta untuk menunggu kematian yang datang
menghampiri tanpa penuh harap, mengapa keberadaan manusia dengan dunianya
menghadirkan pikiran untuk bunuh diri? Dengan kata lain toh pada akhirnya manusia
mati juga, mengapa harus nanti, bukankah lebih baik mati sekarang saja? Bukankah
lebih cepat manusia itu mati, lebih sedikit penderitaannya di dunia ini? Tentu
saja pandangan mengenai bunuh diri ini dijawab oleh Heidegger dengan menantikan
kematian itu seseorang secara niscaya sudah menolak bunuh diri. Artinya dengan
menatap kematian, konsekuensi bahwa manusia akan tercerabut dari dunianya, segala
kemungkinannya, dan dunia yang tadinya menjadi ‘tempat bermukim’ bagi manusia,
menjadikan tempat yang tidak memberikan rasa kerasan untuk bermukim di dalamnya
lagi. Artinya ketercerabutan akan kebebasannya dari cara beradanya, di dalam
kematian harus disikapi dan diterima sebagai sesuatu yang tragis dan sepi, agar
manusia menemukan dirinya sendiri. Dengan kata lain manusia itu memiliki kebebasannya
menuju kematiannya (die Freiheit-zum-Tode),
dengan memandang kematian manusia meratapi kehilangan akan segala kemungkinan
eksistensinya. Dengan demikian dalam pandangan Heidegger manusia tidak masuk
akal jika menggunakan cara bunuh diri, untuk menyelesaikan masalah eksistensinya,
karena dalam kematian manusia akan kehilangan segala kebebasannya. Heidegger
memandang hidup adalah sebuah rentang durasi kemungkinan-kemungkinan Dasein. Dalam
bunuh diri, inilah paradoks manusia, menggunakan kebebasannya untuk tidak bebas
lagi. Kematian membuat “the possibility from
the impossibility”, manusia tidak bisa mengantisipasi lagi segala sesuatu
dalam hidupnya, menjadi final dan mengotentikan manusia itu sendiri.
Pandangan Sartre (1905 – 1980)
Kematian memiliki sifat yang tiba-tiba dan tidak bisa
ditangkal oleh siapa pun, kapan pun, dimana pun dan dengan cara apa pun,
berimplikasi bahwa ujung akhir hidup ini hanyalah ketanpamaknaan. Manusia hanya
menatap ketidakberartian dirinya. Bahwa kematian telah menyingkirkan semua
makna dari kehidupan. Sartre mengkritik konsep sein-zum-Tode, bahwa manusia tidak berada dalam perjalanannya
menuju kematian, apalagi menunggu (erwarten).
Hanya fakta kematian yang dapat ia tunggu, karena makna sudah tidak ada lagi
di dalam kematian. Kematian dalam pandangan Sartre adalah kematian yang
bersifat transenden, yang datang mematahkan segala radikal eksistensi manusia
yang terarah kepada kebebasan dan di dalam kebebasan. Bagi Sartre kematian
bukanlah kemungkinan untuk tidak lagi mampu mewujudkan kehadiranku di dunia,
tetapi suatu peniadaan kemungkinanku. Konsisten dengan ontologinya, Sartre
menjelaskan bahwa kematian sama sekali bukan struktur ontologis ada
(ada-diriku-sendiri), paling mungkin adalah hanya sebagai L’etre pour soi. Apakah implikasinya, bahwa manusia sebagai subjek
yang menjadikannya yang bukan dirinya sebagai objek, tidak bisa menerima
kematian yang datang dari luar. Sehingga, kematian tidak lain sebagai batas
dari luar dan fakta yang bersifat given
and taken for granted untuk dialami dengan subjektivitas saya. Apakah
lantas orang harus bunuh diri? Tidak jawab Sartre, bunuh diri juga merupakan
suatu absurditas, maka lebih baik menjalani hidup dengan segala keterkutukannya
untuk bebas, dengan memanfaatkan kebebasan itu untuk bereksistensi. Karena
eksistensi lebih jelas bisa dimaknai dibandingkan bunuh diri dan kematian.
Pandangan Camus (1913 – 1960)
Apakah arti hidup manusia? Camus melacak makna kehidupan
melalui karyanya yang berjudul The Myth
of Sisyphus. Di dalam karya itu, Camus melayangkan pertanyaan apakah hidup
ini berharga atau tidak untuk dihayati, dengan kata lain jika hidup ini sudah
tidak ada artinya lagi, bukankah lebih baik ‘melakukan bunuh diri’? Camus menjelaskan kematian melalui relasi
antara bunuh diri dan absurditas. Apakah absurditas itu? Menurut Camus bahwa
kehidupan dihadapi manusia dengan cara emosional dan intelektual. Rutinitas dan
kebiasaan hidup sehari-hari menggiring kita kepada pertanyaan untuk apa?
Manusia telah terkutuk hidup didalam pengasingannya, sehingga muncul
perasaan-perasaan terisolir akibat segala yang transenden tidak bisa lagi
diapropriasi kebenarannya. Dalam bahasa Nietzschean, ia hanya terombang-ambing
ditengah sepinya gurun. Manusia yang ingin menjawab pertanyaan teleologis itu,
pada akhirnya hanya menjumpai sebuah fatamorgana, yang tidak lain hanyalah
sesuatu yang semu, sebuah ilusi.
Apakah bunuh diri
masuk akal?
Dalam ilmu psikologis, keinginan untuk bunuh diri merupakan
gangguan kejiwaan (https://www.psychologytoday.com/blog/happiness-in-world/201004/the-six-reasons-people-attempt-suicide).
Bahkan seringkali kita dengar dalam cerita sehari-hari bahwa putus asa
mendahului bunuh diri. Harapan mengunci manusia dalam kemungkinannya. Berbicara
mengenai harapan, kehidupan dan kematian, maka perlu kita pandang bahwa titik
bunuh diri sebagai kondisi inersia. Kondisi inersia ini menjadi titik
ketegangan antara harapan hidup dan mati. Bayangkan anda sedang memutuskan
untuk bunuh diri, kesadaran anda untuk menggerakan tangan anda yang satunya ke
tangan anda yang lainnya untuk menyayat (lacerate)
terangkum dalam sebuah momen. Peristiwa ini adalah kondisi radikalisasi dari
keinginan bunuh diri anda. Segala emosional dan intelektualitas anda
menyemburat keluar berhamburan melintas dalam benak anda, menghadirkan segala dialektika
di penghujung eksistensi anda, apakah bunuh diri atau tidak.
Masalahnya
adalah kondisi diatas bahwa diandaikan lebih dahulu bahwa kondisi tersebut
dalam sebuah perimbangan dinamis. Ibarat pendulum yang tidak pernah berhenti
mengayun. Padahal, seringkali bahwa tindakan bunuh diri dikaitkan dengan
keadaan kondisi kegilaan dan tindakan amoral seseorang. Dalam kegilaan,
seseorang tidak dapat memanfaatkan rasionalitasnya sedemikian rupa untuk
melihat dunia dengan cara lain, atau kehilangan daya upaya pemaknaan akan
hidupnya dengan pola pikir yang itu-itu saja. Sedangkan bunuh diri juga
merupakan tindakan amoral, karena hal ini bersinggungan dengan code of conduct dari perilaku seseorang
di dalam sebuah budaya. Kedua dimensi ini mencoba dirasionalisasikan oleh Shelly
Kagan dalam bukunya yang berjudul Death
tentang bunuh diri.
Kagan berangkat dari pertanyaan
bagaimana fakta bahwa manusia pasti mati sebaiknya mempengaruhi cara manusia
itu hidup. Pertanyaan tersebut sesungguhnya dijangkarkan pada filsafat
eksistensialis, tentu saja bahwa kenyataan bahwa manusia dapat secara bebas
memilih (pro-choice) termasuk kematian dirinya. Akan tetapi dalam kondisi
kebebasannya itu, dalam situasi apakah (jika ada) bunuh diri itu masuk akal? Ataukah
hal ini memang selayaknya pantas untuk dilakukan? Pertanyaan tersebut
mengandung maksud suatu keinginan akan sesuatu yang lebih baik dari sekarang.
Logika bunuh diri, merupakan perbandingan sebuah ketersituasian saat ini,
dengan ketersituasian setelahnya. Artinya, bahwa seseorang yang berpikir untuk
bunuh diri, akan mengandaikan kebenaran premis-premis logikanya lebih dahulu
untuk tetap hidup atau mengakhiri hidup. Apakah hal itu rasional untuk mempercayai
bahwa keputusan bunuh dari adalah lebih baik? Logika ini mirip dengan
perbandingan melalui analogi berhenti sekolah, menikah, bercerai, pindah tempat
kerja, dan seterusnya. Bahwa kenyataannya, tidak ada posisi kedua sebagai
pembanding dalam kematian. Karena eksistensi berakhir, maka manusia sudah tidak
memiliki kemungkinannya untuk mengubah hidupnya, sudah final. Ketika hidup
dirasa berat dan sulit, justru kematian menghambat sesuatu yang baik untuk
datang di dalam hidup kita. Tidak ada jaminan kebenaran apapun baik di dalam
hidup maupun mati, kecuali dari kacamata iman.
Skenario gagasan bunuh diri tidak
terlepas dari dualisme tubuh dan jiwa.
Manusia punya jiwa, selain tubuh adalah sebuah
pra-pengandaian. Apakah implikasinya? Artinya melalui kematian jiwa akan
terpisah dari wadagnya. Jiwa tidak lagi menghuni tubuh, karena tubuh akan
punah, terurai kea lam. Lantas kemanakah jiwa ini setelah tubuhnya tidak bisa
dihuni lagi? Maka dari cerita-cerita sejarah kuno, mitos, tradisi agama, jiwa
manusia akan menghuni suatu ruang tertentu. Ada pula yang menggagas bahwa
adanya reinkarnasi, bahwa jiwa tersebut akan mengulangi suatu eksistensi, akan
tetapi eksistensi jiwa ini akan berbeda dari yang sebelumnya. Tempat untuk hidup
buruk dan baik setelah kematian adalah diandaikan ada, bahwa kenyataannya
manusia tidak bisa mengenali realitas sesungguhnya dari dunia pasca kematian.
Meskipun banyak kesaksian terkait dengan kembalinya seseorang dari kematian,
akan tetapi hanya terbatas pada kesaksian yang tidak bisa dibuktikan secara
sains atau empiri. Maka dari itu ada dua skenario konsekuensi manusia memiliki
jiwa terhadap kematian, yaitu:
Jika ada dunia pasca kematian, maka jiwa akan
damai atau sengsara, tergantung hidup di dunia sebelum kematiannya. Padahal
tidak ada bukti-bukti ilmiah mengenai dunia semacam ini, hanya bersifat
kepercayaan kolektif kaum eskatologis.
Jika tidak ada dunia pasca kematian, maka jiwa akan damai atau sengsara, hanya ketika dia hidup, atau masih bereksistensi. Meskipun tidak ada bukti-bukti ilmiah yang mendukung, namun sepanjang berabad-abad ada kepercayaan kolektif masyarakat terkait dengan dunia setelah mati.
Manusia merupakan jiwa dan tubuh yang menyatu di dalam pra-pengandaiannya. Dalam hal ini implikasinya adalah bahwa manusia merupakan binatang berkesadaran. Setelah mati, manusia akan musnah, bersatu dengan tanah, menjadi materi dasariah, kembali ke alam, bersatu dengan alam.
Pada tabel diatas penting disoroti untuk melihat, bahwa
logika bunuh diri adalah benar, jika tidak ada konsep eskatologis ataupun
mistik. Padahal hal ini bertentangan dengan konsep pasca kematian. Ruang
kondisi baik absolut, merupakan suatu kepercayaan mistik sehingga tidak bisa
diketahui kebenarannya. Anda akan masuk surga dan neraka jika anda percaya dan
yakin bahwa surga dan neraka itu ada. Ketika anda percaya bahwa ruang semacam
itu ada, maka tentu saja anda keliru dalam melogikakan. Artinya bisa jadi ruang
semacam itu hanya ada di dalam suatu cerita metafisis yang menjadi takhayul
ribuan tahun. Tetapi jika realitas sesungguhnya ruang semacam itu ada, anda
tetap saja keliru melogikakannya, karena anda berangkat dari sebuah premis yang
kebenarannya diandaikan lebih dahulu. Dengan demikian sesungguhnya dalam menanggapi
dunia pasca kematian, sesungguhnya diluar jangkauan nalar manusia. Hal ini
hanya bisa disikapi secara radikal, bahwa ‘ada’ kehidupan setelah mati atau ‘tidak
ada’ kehidupan setelah mati, tergantung anda memandang pendasaran pengambilan
keputusannya. Bahwa kenyataannya bahwa segala hal yang berkaitan dengan
rasionalitas anda, hanya berlaku selama anda masih hidup. Artinya bahwa dengan
kematian, anda akan menghadapi suatu kemungkinan yang tidak terbatas, dan tidak
terdefinisikan. Ketika anda mempercayai sesuatu yang dihadirkan pasca kematian,
tentu saja hal ini hanyalah bentuk kesempitan dan keterbatasan rasionalitas
saja, karena dalam meretas hal ini dibutuhkan pengetahuan yang sama luasnya
dengan segala kemungkinan itu, yang sesungguhnya tidak dimiliki manusia
satupun. Atas dasar scenario diatas, maka dengan sendirinya tindakan bunuh diri
sulit untuk diterima akal sehat apalagi dimaknai.
Atas dasar diskusi diatas, maka saya menyarankan berbagai
solusi kepada pribadi-pribadi yang berkepentingan,
Jiwo, lebih berani menjalani hidup. Lebih baik menerima
bahwa hidup ini memang absurd. Cobalah membaca novel-novelnya Albert Camus,
khususnya The Myth of Sisyphus mungkin anda akan terinspirasi lebih jauh,
sehingga bisa menerima bahwa hidup ini memang absurd. Dari pada anda berpikir
keras untuk meretas dan mengartikulasikan hidup anda yang serba absurd, lebih
baik anda terima dan jalani saja.
Sasongko, Tidak perlu menyesal atas kekosongan dan
ketanpamaknaan hidup anda. Yang anda perlukan adalah keberanian untuk jujur
kepada diri sendiri sehingga lebih mengenali apa-apa yang baik untuk anda dan
apa-apa yang buruk bagi anda. Dengan begitu anda akan lebih bisa bersikap
tegas. IQ anda yang relative jongkok pun juga bukan masalah, coba lah berpikir
lebih pragmatis dan oportunis. Tidak ada salahnya anda bereksperimen dalam
hidup anda, toh anda pun pada kenyataannya juga serba nihil.
Ny. Suharti, Dari pada anda berpikir untuk bunuh diri, lebih
baik anda berpikir untuk menceraikan suami anda. Sama seperti pikiran soal
bunuh diri yang anda pertimbangkan, sikap buruk suami anda juga tidak hadir
dari ruang kosong. Ajak suami dan bersama anda ke psikolog atau psikiater
terlebih dahulu, mungkin anda bisa mendapat solusi-solusi yang lebih rasional
dan tidak melanggar moral. Jika perceraian tidak terhindarkan, anda pun bisa
mencari alternative lain dengan cara memperluas pergaulan anda. Paling tidak
saran-saran tersebut lebih rasional. Toh hidup ini masalah-masalah kebebasan
anda untuk mengapropriasi kebenarannya.
Mas Bengkring, saya berasumsi bahwa anda sudah tidak mampu
lagi membaca saran saya ini. Tetapi bagi keluarga atau handai taulan dari Mas
Bengkring, tabahlah dalam menjalani kehidupan ini. Meskipun Mas Bengkring
sedang tidak sadar, tetapi yakinlah dalam iman bahwa suatu hari kesadarannya
bisa kembali, dengan catatan bahwa kematiannya tidak datang menjemputnya lebih
dahulu. Tidak perlu memikirkan apa yang sedang dipikirkan oleh Mas Bengkring,
Ia sedang berbahagia bersama khayalannya. Sepanjang perjumpaan saya dengan
orang-orang schizophrenia di jalanan, pada umumnya mereka ini panjang umur.
Anda bisa melihat apakah dia sedang menangis, marah, tertawa, berbicara
sendiri, atau lain sebagainya. Terimalah dia apa adanya, meskipun ia sudah
tidak mengenal anda. Rawatlah dan hormatilah dia seperti layaknya ia seorang
manusia. Apa yang ada sekarang, bukanlah ia yang dulu. Janganlah terlalu
teringat akan masa lalu, itu sudah menjadi ilusi. Harapan anda adalah bisa
selalu mendampingi Mas Bengkring dari hari ke hari, dan pupuskan harapan rasional
anda untuk melihat Mas Bengkring sadar kembali. Karena salah berharap itu akan
sangat mengecewakan, lebih penting pengobatan dan terapinya selalu teratur
dijalankan.
Sedangkan anda yang kebetulan pernah berpikir untuk mati,
sedang merencanakan kematian anda, bunuh diri, atau yang memiliki keyakinan
atau paham tertentu terkait dengan keberakhiran hidup anda, eksistensi anda.
Barangkali anda bisa sharing terkait rencana bunuh diri anda itu? Apa yang anda
pikirkan terkait dengan ide bunuh diri? Bagaimana caranya anda membunuh diri
anda? Metode apakah yang anda anggap paling cepat atau sesuai untuk membunuh
diri anda?
Apabila anda mengetahui siapapun yang berupaya bunuh diri, jangan tinggalkan mereka, apapun kesulitannya, atas dasar kemanusiaan dampingilah mereka dengan segala risikonya. Jangan biarkan mereka sendiri. Betapa pun sulitnya hidup, selama masih ada kehidupan disitu masih ada harapan!
Sumber gambar: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/736x/5c/7b/66/5c7b6624200f0ea6ff7c02869fbdd588.jpg |
Daftar Bacaan
Bakker, A. (2000). Antropologi Metafisik.
Yogyakarta: Kanisius.
Kagan, S. (2012). Death. New Haven: Yale
University Press.
Sastrapratedja, M. (2002). Manusia Multi
Dimensional: Sebuah renungan filsafat. Jakarta: Gramedia.
Thompson, I. (2013). Death and Demise in Being and
Time. In M. A. Wrathall, The Cambridge Companion to Heidegger's Being and
Time (pp. 260-290). New York: Cambridge University Press.
Comments
Post a Comment