Benediktus dari Spinoza: Biografi Singkat*
Benediktus dari Spinoza, lahir dengan nama Baruch Spinoza
(atau Benedito “Bento” de Espinosa[i])
seorang keturunan Portugis yang tinggal dan hidup. Ia lahir pada tanggal 24
November 1632 di kota Amsterdam, negeri Belanda dan disana ia dibesarkan oleh
keluarga imigran keturunan Portugis-Yahudi. Bento adalah anak kedua dari
pasangan Miguel de Espinoza dan Hannah ‘Ana’ Débora Senior. Ana adalah istri
kedua dari Miguel. Ayahnya meskipun bukan kaum kaya raya, ia adalah seorang
pedagang yang sukses. Semasa hidupnya ini, Spinoza banyak momen kehilangan
orang-orang didekatnya. Ibunya tidak berumur panjang. Ia meninggal dunia ketika
Bento masih berumur 5 tahun (1638). Sebelas tahun kemudian, ketika Bento
berumur 17 tahun (ca.1649) lagi-lagi ia harus kehilangan kakak tertuanya,
Isaac, dan sehingga ia harus menggantikan posisinya di dalam bisnis keluarga.
Pekerjaan ini memaksa Bento untuk mengalami putus sekolah. Enam tahun berselang
Ia pun lagi-lagi juga harus kembali kehilangan Ayahnya, yang saat itu ia
berumur 21 tahun (1654)[ii].
Baruch (Benedictus) "Bento" de Espinoza, sumber gambar: en.wikipedia.org |
Bento adalah anak yang cerdas. Semasa
kecil, Bento dididik dalam tradisi Yahudi mengikuti ambisi ayahnya yang
menginginkan ia menjadi Rabbi.[iii]
Ia pun sempat mengikuti pendidikan agama Yahudi di Talmud Torah, yaitu semacam
pesantren yang dikelola oleh para majelis pemuka agama untuk kepentingan
pendalaman pengetahuan tentang ketuhanan menurut tafsir agama Yahudi. Akan
tetapi, Bento tidak pernah menyelesaikan pendidikan agamanya ini hingga tingkat
atas, hal ini dikarenakan ia harus bekerja menggantikan posisi kakaknya itu. Ia
baru bisa kembali belajar ketika ia berusia 20 tahun (setahun sebelum ayahnya
meninggal dunia). Bento memang berjiwa pemberontak. Sukses secara finansial
bukanlah merupakan jalan hidup yang menarik untuk ditapaki baginya. Kira-kira
awal hingga pertengahan tahun 1650-an, Bento memutuskan untuk menjadi seorang
pemikir yang mencari pengetahuan dan kebahagiaan sejati, bukan menjadi pedagang
buah kering.
Ia belajar bahasa Latin, karya
sastra klasik kuno, dan drama kepada seorang mantan pastor Yesuit, Franciscus
van den Enden yang konon ia ini adalah seorang pemikir bebas dan berpandangan
demokratis radikal. Melalui Van den Enden inilah Bento banyak diperkenalkan dan
mempelajari tradisi pemikiran skolastik dan filsafat modern pemikiran Rene
Descartes serta pemikiran-pemikiran kontemporer di zaman itu. Dalam periode
inilah Bento mengubah nama depannya, Baruch, menjadi Benediktus, yaitu sebuah
nama yang ia adopsi dari bahasa latin. Pada masa-masa ini pula, Benediktus de
(dari) Spinoza berkenalan dengan anggota-anggota kelompok Collegiants, yaitu suatu sekte anti-pemuka agama bernama Remonstrants dan juga Mennonites. Sekte-sekte ini
mengedepankan pandangan rasional, alih-alih taat dengan tradisi konsep
ketuhaanan yang diusung oleh institusi-institusi keagamaan kala itu. Spinoza
sering mengikuti diskusi-diskusi yang diadakan oleh sekte-sekte tersebut,
meskipun diskusi itu merupakan tindakan yang dilarang melalui otoritas Gereja[iv].
Rupa-rupanya aktivitas dan kecemerlangan
pemikiran Spinoza justru berbuah pahit. Ia dituduh melakukan penistaan agama
dan bahkan lebih sering dikenal sebagai seorang atheis alih-alih ia adalah
seorang yang beragama. Kenyataannya, meskipun Spinoza memiliki keraguan dengan
paham ketuhanan Yahudi, ia masih tetap taat untuk membayar pajak-pajak
persembahan kepada kongregasi. Puncaknya ketika ia berumur 23 tahun (ca.1656)
ia diusir dari komunitas Yahudi karena dianggap melakukan perbuatan bidaah dan
pemikirannya dianggap dipengaruhi oleh ‘si jahat’. Dalam hal ini, melalui
organisasi Talmud Torah, Spinoza pun mendapatkan cherem, yaitu maklumat yang berisikan alasan-alasan untuk
mengekskomunikasikannya dan sekaligus mengutuknya. Hal ini membuat dirinya
kemudian terputus dengan komunitas Yahudi.
|
Penggambaran hidup Spinoza dari Samuel Heisenberg, 1907. Spinoza adalah seorang yang penyendiri. Ia bukanlah orang yang pandai bergaul meskipun ia berpikiran sangat terbuka. (atas, sumber gambar: en.wikipedia.org) Spinoza ketika mendapatkan maklumat ekskomunikasi (cherem) dari Talmud Torah, mungkin seperti majelis ulama pada komunitas Yahudi. Spinoza dianggap atheis dan menista agama. (bawah, sumber gambar: www.timetoast.com) |
Akan tetapi, Spinoza tidak menerima
keputusan itu begitu saja, ia melakukan permintaan maaf dan sekaligus
memberikan penjelasan-penjelasan terhadap pemikiran-pemikiran radikalnya itu.[v]
Dalam pledoinya itu Spinoza juga mempersalahkan tindakan para rabbi yang
menuduhnya melakukan praktik-praktik tidak terpuji dan tindakan amoral karena
dirinya tidak pernah mengindahkan aturan dengan melaksanakan upacara-upacara
keagamaan[vi].
Namun sayang tindakannya ini tidak membuahkan hasil, dan Spinoza harus menerima
konsekuensi untuk tetap menjalani sisa hidupnya di luar komunitas tersebut.
Setelah peristiwa itu, Spinoza pun masih harus mendapatkan ganjaran hukum sipil
yaitu ia diusir dan dilarang tinggal di Amsterdam. Ia harus keluar dari kota
kelahirannya itu karena kegiatannya sebagai ‘pemikir bebas’ dianggap dapat
mempengaruhi cara berpikir orang-orang yahudi di kota itu. Pada akhirnya,
Spinoza kemudian pindah (ca. 1661) dari Amsterdam ke Rijnsburg yang tidak jauh
dari Leiden, yaitu kota yang merupakan pusat kegiatan para Collegiants.
Rumah Spinoza setelah diusir dari Amsterdam. Rijnsburg adalah kota yang tenang, di rumah inilah Ia menjadi pande lensa (optika) dan menulis karya-karya filsafatnya. Sumber gambar: www.faculty.umb.edu |
Kamar belajar Spinoza di Rijnsburg. Sumber gambar: www.faculty.umb.edu |
Di Rijnsburg ini, sebuah desa kecil
yang tenang, Spinoza mulai mengerjakan pekerjaannya sebagai seorang pemikir. Ia
memulai menulis Ethica Ordine Geometrico Demonstrata, yang karyanya ini di
kemudian hari menjadi sebuah magnum opus.
Selain itu ia juga mengerjakan filsafat Descartes, yaitu “Principles of Philosophy”. Di tahun 1663, ia kembali ke kota
Amsterdam untuk mempublikasikan karyanya itu. Di tahun yang sama ia kemudian
pindah ke kota Voorburg untuk menyelesaikan karyanya Ethica. Spinoza kemudian
banyak berkorespondensi dengan para ilmuwan, filsuf dan juga teolog di seantero
Eropa. Di tahun 1670, karya Spinoza yang berjudul Theological Political Treatise
diterbitkan. Akibat karyanya itu ia dituding ikut bersekongkol melawan
penguasa. Di Voorburg ini juga, Spinoza selain mengerjakan karya-karya
tulisnya, ia juga membuat lensa optik. Lensa buatan Spinoza ini cukup terkenal di kalangan ilmuwan, terutama lensa yang digunakan untuk kacamata, teropong ataupun mikroskop.
René Descartes, seorang filsuf asal perancis yang tersohor. Ia adalah bapak filsafat modern, ujarannya yang terkenal adalah "Cogito ergo sum" atau "I think, therefore I am--Aku berpikir, maka aku ada". Karya Descartes inilah yang kemudian akan memberikan tatanan filsafat ketuhanan Spinoza. Sumber gambar: en.wikipedia.org
|
Tidak lama setelah karyanya terbit
itu, Ia kembali pindah, dan tinggal di kota Den Haag. Di kota itu ia
menyelesaikan karya Ethica dengan hidup sangat sederhana, bergantung dari uang
bantuan dari Jan de Witt dan bantuan dana dari seorang saudara dari sahabatnya
yang telah meninggal dunia. Di tahun1672, karena masalah politik yang menyeret
Spinoza itu, ia dikunjungi oleh Leibniz, dan saat itu Leibniz memperingatkannya
kondisi Spinoza yang terancam secara politik. Tidak lama kemudian di tahun 1673
karyanya kembali dilarang, dan setahun berikutnya karya itu dilarang secara
total oleh otoritas institusi keagamaan disana. Tahun 1676, Spinoza kembali
bertemu dengan Leibniz, dan mereka berdiskusi mengenai pekerjaan filsafatnya,
yaitu karya Ethica yang telah selesai. Tidak lama kemudian, di tahun yang sama,
kondisi kesehatan Spinoza memburuk. Ia sakit paru-paru akut dan tidak lama kemudian,
ia tutup usia pada tanggal 21 Februari 1677, pada usia 44 tahun.
Gottfried Wilhelm Leibniz, sahabat intelektual Spinoza. Ia adalah seorang pembaca akut karya Spinoza. Leibniz pun pernah menawarkan Spinoza untuk mengajar di Universitas Heidelberg, namun Spinoza menolaknya. Leibniz lah teman diskusi filsafat Spinoza terutama mengenai persoalan filsafat Descartes pada buku Ethicanya. Sumber gambar: en.wikipedia.org |
Perspektif Sosio-Politik Eropa di Masa Hidup Spinoza
Spinoza hidup di periode zaman pencerahan. Pada abad ke-17,
Eropa memiliki semangat kemanusiaan baru, yaitu masuknya gerakan pemikiran
rasional dan sains yang dipandang sebagai awal-awal berdaulatnya manusia untuk
lepas dari kekuatan-kekuatan Tuhan dan segenap perangkat kuasa dalam bentuk
mitos dan takhayul. Konsepsi tentang Tuhan pada masa Spinoza tentu saja terikat
dengan konsep-konsep ketuhanan para reformis gereja, yang mengkritik bentuk
konsep-konsep ketuhanan produksi abad pertengahan, karena dianggap sudah tidak
memadai lagi untuk menjelaskan realitas kehidupan sosial kala itu. Reformasi
Gereja telah memecah kekuatan besar konsep ketuhanan Kristiani, yaitu kaum
protestan yang berargumentasi agar umat melepas segala bentuk perhatian mereka
kepada orang-orang kudus dan malaikat, agar lebih berfokus pada iman kepada
Tuhan saja[vii].
Perkampungan kaum Yahudi di abad ke-17, Sumber gambar: hoydensandfirebrands.blogspot |
Tentu saja pecahnya pandangan
ketuhanan di tubuh Katolik juga berdampak pada sendi-sendi lain sosio-politik
Eropa. Agama-agama monotheisme lain seperti Yahudi dan Islam juga ikut terbawa
semangat reformis ini. Aksi kecurigaan antar kelompok Katolik dan Protestan pun
juga berdampak dalam politik kekuasaan monarki eropa, yang pada akhirnya juga
berimplikasi pada sendi-sendi tata kehidupan sosial masyarakat eropa di masa
itu. Permunculan sekte-sekte yang membawa tafsir ketuhanan baru dan juga
gagasan-gagasan moral dan etika juga menjadi fakta perubahan struktur sosial
masyarakat Eropa, misalnya di Amsterdam terdapat konfrontasi politik antara
Pangeran Orange dan Jan de Witt. Di tengah kericuhan politik ini,
gerakan-gerakan sains juga ikut mengupayakan terobosan baru atas belenggu
pemikiran abad pertengahan, yang semangat ini cenderung menggugat tafsir-tafsir
lama eksistensi Tuhan dengan metode ilmiah sekaligus memunculkan
gerakan-gerakan atheisme. Seperti Galileo, Giordano Bruno, Rene Descartes, dan
lain sebagainya merupakan tokoh-tokoh akhir abad ke-16 yang membawa beragam
bukti bahwa rasionalitas dapat melampaui ideologi dan dogma ketuhanan[viii].
Kemajuan teknis modern yang membawa alih
teknologi pada abad ke-17 dan instabilitas sosio-politik masa itu sangat
mungkin menjadi tema besar kritik Spinoza pada perkembangan pemikirannya. Namun,
apa yang terjadi saat itu membuat kehidupan Spinoza semakin berat, misalnya
upaya pembunuhan oleh seorang fanatik terhadapnya, tekanan kelompok
fundamentalis terhadap pengikut diskusi-diskusi terbuka. Padahal pada kala itu,
sekte-sekte yang diikuti Spinoza merupakan kelompok yang terbuka dan toleran
dibandingkan institusi keagamaan itu sendiri[ix].
Monumen Spinoza di Amsterdam, Sumber gambar: panoramio |
* Tulisan ini adalah versi panjang dari tugas mata kuliah "Rasionalitas Iman", Semester gasal 2017, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
[ii] bdk. Id hal. 1
[iii] bdk. Scruton (2002) hal. 8
[iv] Namun hal ini jangan
diartikan bahwa Spinoza adalah figur yang senang beramah tamah dalam
kelompok-kelompok cendekia. Banyak pandangan bahwa Spinoza lebih dipercaya
sebagai pribadi yang penyendiri, yang lebih senang menarik diri dari lingkungan
sosial untuk bisa bersama dengan pekerjaan-pekerjaannya (bdk. Nadler, 2006,
hal 11).
[v] Alasan utama pengusiran
Spinoza dari komunitas Yahudi ini tidak diketahui secara pasti, bahwa pemikiran
Spinoza yang dianggap melenceng itu bukan alasan utama, namun berbagai
spekulasi merujuk pada ketidaktaatannya terhadap tata cara hidup umat dalam
komunitas itu. (bdk. Nadler, 2006, hal.
7)
[vi] bdk. Scruton (2002) hal.
10
[vii] Armstrong (1993) hal. 387-388
[viii] Ibid.
[ix] bdk. Deleuze (1988) hal. 6
Daftar Pustaka
Armstrong, Karen. 1993.
Sejarah Tuhan: Kisah 4000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-agama Manusia.
Dialihbahasakan oleh Zaimul Am. Bandung: Mizan.
Deleuze, Gilles. 1988. Spinoza: Practical
Philosophy. Translated by Robert Hurley. San Fransisco: City Lights
Books.
Nadler, Steven. 1999. Spinoza: A Life.
Cambridge: Cambridge University Press.
—. 2006. Spinoza's Ethics An Introduction.
Cambridge: Cambridge University Press.
Scruton, Roger. 2002. Spinoza: a very short
introduction. Oxford: Oxford University Press.
Comments
Post a Comment