Benediktus dari Spinoza (3): Pengaruh tradisi pemikiran filsafat dalam pandangan ketuhanan Spinoza
Spinoza melanjutkan tradisi berpikir Aristoteles sebagai upaya menjawab penyebab segala yang ada. Tuhan sebagai substansi, merupakan penyebab dari segala sesuatu yang ada [lih. IP18 ]. Hal ini sejalan dengan konsep motor immobil, sebagai kritik terhadap sesuatu hal yang a priori seperti pada teori Idea pada Platon. Aristoteles pernah berargumentasi, bahwa kita harus mempelajari atribut-atribut yang berbeda pada manusia, yaitu suatu atribut alasannya. Suatu makhluk rasional akan melakukan askese atas alasan-alasannya melalui dua cara, baik teoritis maupun praktis. Kebahagiaan akan datang dari askese yang tepat pada alasan-alasan praktis, maka dari itu adalah sebagai pemenuhan kodrat kita, dan bukan menyangkalnya. Kebahagiaan akan dicapai ketika suatu makhluk itu melakukan dan merasakan sesuatu yang spontan merupakan kodrat rasional mereka.
“Deus sive Natura” Artist: Shoshannah Brombacher, Pastel and ink on paper, 18 X 24 inches, New York 2012 sumber: blog.despinoza.nl |
Kemiripan lain juga ditemukan melalui konsep intellectus agens Aristoteles, terutama melalui interpretasi Ibn Rushd, yaitu intellectus agens (akal fa’al) inilah yang sebenarnya mengisi segala gejala pluralitas yang ada di benak kita, bukan pikiran kita sendiri[i]. Pemikiran tradisi Aristotelisme ini dilanjutkan oleh Spinoza, yaitu berangkat dari definisi Maimonides [bdk. ID1] mengenai penyebab pada dirinya sendiri (causa sui). Hal ini lah Spinoza bertolak untuk membangun teori atributnya, bahwa dalam hal ini teridentifikasi keseluruhan persoalan di buku Ethics. Maimonides (dan juga Gersonides) banyak memberikan kontribusi berbagai elemen sentral dari buku Ethics[ii]. Terutama terkait pernyataan tentang tidak terdefinisinya Tuhan bukan berarti hal ini kita dapat menghitung Tuhan. Tuhan yang satu, bukanlah satu dalam arti angka aritmatis, atau bermakna tunggal namun hal ini dipahami sebagai kemenyatuan atribut dalam sebuah substansi, atau dalam arti suatu bilangan angka bagaimana pun juga tidak mengandung hakikat dari benda-benda. Pemahaman tersebut berasal dari Maimonides[iii].
Maimonides memberikan pengaruh pandangan untuk
keluar dari fundamentalisme religi yaitu suatu semangat berani mencari
kebenaran di luar teks wahyu (scripture),
yaitu sains dan filsafat[iv].
Hal ini disadari Spinoza karena status kebenaran teks wahyu yang dibaca secara
fundamentalisme menjadi ancaman bagi kebebasan, sehingga bagi Spinoza dalam hal
ini harus ada satu-satunya teks (termasuk juga posisi Tuhan dalam teks) untuk
menginterpretasi realitas[v].
Namun demikian, Spinoza tidak sejalan dalam hal metode menjelaskan realitas
seperti apa yang diargumentasikan Maimonides, yaitu tidak ada dalam teks wahyu
yang bertentangan dengan alasan. Spinoza menolak cara ini, ia kemudian bertolak
dari metode Francis Bacon alih-alih metode Maimonides, disini ia bahkan
melampauinya[vi].
Gagasan Tuhan atau Alam semesta
ini, sebenarnya sudah ada di zaman Yunani kuno yang diwakili oleh Kaum Stoa. Tudingan
bahwa Spinoza merupakan neo-Stoisisme (begitu juga pendahulunya Descartes)
datang dari Leibniz. Kaum Stoa telah mengkonsepkan Alam adalah satu dan segalanya
terkandung di dalam dirinya. Doktrin kaum Stoa mengenai Tuhan dan dunia
memiliki kemiripan dengan Spinoza, antara lain: (1) Dunia adalah suatu sistem
kemenyatuan yang mengandung keseluruhan ada. (2) Dunia adalah kekal abadi. (3)
Dunia memiliki Tuhan atau Alam yang seluruh kehadirannya sebagai segala prinsip
aturannya. (4) Tuhan atau Alam adalah ekuivalen terhadap takdir atau kausalitas
dan alasan. Perihal ini ada kesamaan antara Spinoza dan kaum Stoa, yaitu
tentang kuasa penyebab dan relasinya pada keniscayaan, kebergantungan pada
Tuhan atau Alam semesta, dan kehadiran Tuhan atau Alam semesta dalam
keseluruhan realitas. Akan tetapi, meskipun mirip, fisika Stoa didasarkan pada
dua prinsip yaitu prinsip aktif sebagai Tuhan, dan prinsip pasif sebagai materi,
sedangkan pada Spinoza tidak demikian[vii].
Tidak dipungkiri bahwa Spinoza
banyak terpengaruh pemikiran Descartes. Pekerjaan penerjemahan karya Descartes
yang dipublikasikan tanpa namanya rupa-rupanya menjadi titik tolak dalam
menyelesaikan masalah relasi antara iman dan akal budi. Pemahaman Spinoza
mengenai substansi adalah suatu prinsip transformasi dan kritik terhadap konsep
Descartes. Dalam pengertian Descartes, Tuhan transenden masih ada. Dengan
menggunakan metafisika Descartes ini, rupanya Spinoza masih melanjutkan tradisi metafisika
Aristoteles. Spinoza mengidentifikasikan dua kelompok atribut Tuhan, yaitu
pikiran (res cogitans) dan keberruangan
(res extensa). Pikiran dapat dipahami
sebagai idea-idea sistemis, dan keberuangan dipahami sebagai objek-objek fisik.
Pada filsafat Descartes masalah utama adalah akibat tidak terdamaikannya antara
jiwa dan tubuh, hal ini karena ia tidak dapat menempatkan jiwa sebagai bagian
di dalam substansi. Ide-ide tampaknya dikaitkan secara hubungan sebab akibat
bersama dengan dunia fisik, tanpa adanya modifikasi dari substansi fisik itu.
Dalam hal ini Spinoza tidak sejalan dengan Descartes, ia menyelesaikannya
dengan argumentasi bahwa objek-objek fisik adalah modifikasi-modifikasi dari
suatu substansi tunggal. Melalui pandangan kemenyatuan (monisme) dalam Tuhan
ini, Spinoza memperdamaikan dualisme tubuh dan jiwa Descartes[viii].
[i] bdk. Magnis-Suseno (1997),
hal. 99; Yakira (2015), hal. 78, Spinoza
mengandaikan di alam ini ada semacam mesin-mesin yang dapat bergerak sendiri
(automaton). Jiwa adalah suatu bentuk automaton rohani (spiritual automaton), namun bukan berarti hal ini menjadikan ada
mekanisme robotik. Jiwa rasional seseorang adalah sebuah mekanisme yang dapat
mengarahkan dirinya sendiri (self-directed
mecanism) bdk. Marshall (2014), hal.1
[ii] bdk. Nadler (2006), hal.
xiii
[iii] bdk. Yakira (2015), hal. 23-78 terkait dengan perbandingan
pemikiran Spinoza dengan Maimonides dalam pengaruh tradisi pemikiran
Aristoteles terkait dengan agama Yahudi. Pengaruh pemikiran Maimonides sendiri
pada Spinoza lebih banyak ditemukan di dalam buku Theological Political Treatise.
[v] bdk. Rocca (2008), hal.
236
[vi] bdk. Rocca (2008), hal. 241-242,
Nadler (2006) hal.18-19
Daftar Pustaka
Armstrong, Karen. 1993. Sejarah
Tuhan: Kisah 4000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-agama Manusia.
Dialihbahasakan oleh Zaimul Am. Bandung: Mizan.
Connelly, Stephen. 2015. “God and
the Attributes.” Dalam Spinoza: Basic Concepts, oleh Andre Santos
Campos, 1-13. Exeter: Imprint Academic.
Deleuze, Gilles. 1988. Spinoza:
Practical Philosophy. Dialihbahasakan oleh Robert Hurley. San Fransisco:
City Lights Books.
DK. 2011. The Philosophy Book:
Big ideas simply explained. New York: DK Publishing.
Donagan, Alan. 2006. “Spinoza's
Theology.” Dalam The Cambridge Companion to Spinoza, oleh Don Garrett,
343-382. Cambridge: Cambridge University Press.
Long, A. A. 2003. “Stoicism in
the Philosophical Tradition: Spinoza, Lipsius, Butler.” Dalam The Cambridge
Companion to The Stoics, oleh Brad Inwood, 365-392. Cambridge: Cambridge
University Press.
Magnis-Suseno, Franz. 1997. 13
Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius.
—. 2006. Menalar Tuhan.
Yogyakarta: Kanisius.
Marshall, Eugene. 2013. The
Spiritual Automaton: Spinoza's science of mind. Oxford: Oxford University
Press.
Nadler, Steven. 1999. Spinoza:
A Life. Cambridge: Cambridge University Press.
—. 2006. Spinoza's Ethics An
Introduction. Cambridge: Cambridge University Press.
Rocca, Michael Della. 2008. Spinoza.
New York: Routledge.
Scruton, Roger. 2002. Spinoza:
a very short introduction. Oxford: Oxford University Press.
Spinoza, Benedict. 2001. Ethics.
Disunting oleh A.H. Stirling. Dialihbahasakan oleh W.H. White. London:
Wordsworth Edition Limited.
Yakira, Elhanan. 2015. Spinoza
and the Case for Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.
Comments
Post a Comment