Masih Pentingkah Mengejar Pendidikan hingga Jenjang Doktoral?


Apakah aku harus menempuh sekolah lagi? Masih perlukah aku memenuhi sebuah janji diri? Masih mampukah aku melakukan sebuah pekerjaan yang mungkin saja itu tidak berarti? Bagaimana jika aku gagal lagi? Untuk apakah kulakukan ini semua? Entahlah…

Feodalisme dalam industri pendidikan demi mencetak struktur berpikir yang seragam. Sumber gambar: alexmorellon.deviantart.com
Pertanyaan diatas adalah hasil overthingking saya atas pertanyaan seorang kawan yang mengingatkanku untuk terus melanjutkan ke Akademia hingga jenjang tertinggi, yaitu tempat dimana para filsuf dibimbing dan diberikan cara hidup dengan disiplin ketat.

Itu semua adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa kuhentikan. Lalu lalang dan serba lansir di dalam benakku. Yah hidup yang sudah di siang bolong ini dan masih menjadi gelandangan memang tidak mudah untuk dijalani. Yah jika sudah seperti ini, masih perlukah kata-kata sakti motivasi? Sepertinya ‘ya’ namun memang sayanya saja yang kelewat bebal, jadinya hal ihwal itu semuanya menjadi mental.

Teringat di masa akhir-akhir perbudakan di Mesir. Tawaran-tawaran manis mengenai indahnya dunia akademis hilir mudik menyapa. Seolah dunia pendidikan adalah jawaban atas keporak-porandaan hidup saya ini. Padahal dari dulu saya ini malas dengan yang namanya sekolah. Sudah datang penuh perjuangan bangun pagi melawan rasa kantuk, untuk apa? Ya hanya untuk dimarahi oleh guru, dibulli teman sekelas, dan kok ya mau-maunya… masih saja saya nekat buat datang ke sekolah.

Sekolah seharusnya tempat yang mengasyikkan. Namanya saja sekolah, yang konon secara etimologis kata sekolah berasal dari bahasa yunani skhol­­Ä“ yang artinya bersenang-senang, bersantai di waktu luang. Ya memang, sekolah itu adalah tempatnya para pengangguran. Tentu saja orang-orang yang tidak bekerja untuk urusan bertahan hidup, orang-orang yang memiliki banyak waktu luang. Singkatnya, para pribadi-pribadi yang sudah tidak mementingkan lagi urusan-urusan nafsu perut kebawah. Tetapi zaman ini tidak seperti itu, banyak anak-anak gara-gara ‘sekolah’ justru berujung gantung diri. Pun tidak sedikit, mereka-mereka malah depresi dan menjadi gila. Ya lucunya, ini semua cuma gara-gara mengejar sesuatu yang ideal dan terstandar, yang senyata-nyatanya hanya dimungkinkan ada. Terang saja, mereka menjerit dan berteriak, mereka ini bukan angka-angka, mereka ini manusia!

Coba terlebih dahulu saksikan video berikut: Untuk apa universitas itu?



Sejujurnya saya masih belum bisa menjawab, untuk apa saya sekolah lagi mendapatkan gelar doktor di suatu bidang ilmu? Realitanya, sekarang ini saya ya hanya pekerja paruh waktu di sebuah galeri seni. Sungguh jauh dari jabatan agung yang bisa dikerjakan. Kilas balik kebelakang, mungkin awalnya saya terlalu naif untuk mengambil sekolah S2 untuk memperbaiki karir. Ya pada akhirnya berdasarkan informasi-informasi yang saya cari, praktiknya gelar semacam itu ya juga tidak terpakai di sektor swasta. Tidak ada relasinya dengan promosi jabatan dan sebagainya, kecuali jika menjadi pamong negeri ini. Sungguh kadang masih ada rasa sesal yang selalu mengganjal. Ketika mendapat gelar S2 toh ternyata hasilnya tidak menggembirakan. Uang tabungan habis, sudah terlanjur tua, tanpa karir yang jelas, boro-boro ikut berkecimpung di masyarakat. Yah bagaimana, namanya juga hidup di tengah perbudakan, ya harus diterima. Padahal mimpi saya dulu itu tidak muluk-muluk lho, segera lulus, lalu kerja jadi koki di kapal pesiar. Eh ya… kok malah luput! Tapi sepertinya hal-hal tersebut tidak demikian, siapa sih saat ini yang tidak mengeluh? Sudah kaya raya saja pun banyak yang mengeluh kok! Apapun itu adalah pencapaian saya, Gelar Master itu adalah bukti nyata bahwa saya mampu melampaui tidak hanya suatu proses hidup tertentu, akan tetapi juga rintangan-rintangan dan bujuk rayu dari kepentingan-kepentingan kaum Sofis. Thanks for them! I am the person that I am today!

Siapa sebenarnya kaum Sofis ini? Ya gampangnya mereka ini para filsuf korup dan segenap antek-anteknya. Mereka ini pengajar yang pintar, namun sukanya ‘minteri’. Dahulu, kaum Sofis ini di zaman Yunani Kuno menempati posisi-posisi penting di dalam polis sekitar abad ke-5 BCE. Mereka ini biasanya berprofesi sebagai pembela, yang dengan ilmu retorikanya menyampaikan gagasan-gagasan yang canggih, ‘njelimet’, sangat rasional dan pintar, akan tetapi sebenarnya palsu dan membuat orang bingung serta tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah. Kaum Sofis identik dengan masalah Relativisme. Kaum Sofis dianggap mewakili gejala merosotnya moral dan keringnya spekulasi intelektual yang terlepas dari kenyataan, karena kursus pendidikan pendidikan mereka hanya peduli pada bagaimana memenangkan argumen. Ada tafsir lain yang mengatakan juga bahwa kaum Sofis ini adalah guru-guru yang hanya peduli dengan uang dan mendiskreditkan kebijaksanaan tradisional yang serba gratis. Konon sekolah modern zaman ini dilahirkan dari tata cara mengajar kaum Sofis ini.

Melihat semakin maraknya kaum Sofis ini, saya jujur merasa tergerak untuk belajar dialektika. Suatu ilmu yang memang diwariskan kepada dunia untuk melawan retorika. Socrates, Platon, dan Aristoteles pun masih tetap hidup untuk melawan para kaum Sofis ini. Karena bagi saya hanya melalui akademia dengan rezim pengetahuannya saja lah mampu menumpas kaum Sofis. Selain itu, memang selalu adanya rasa gamang untuk semakin memperbaiki diri.

Ada alasan yang menarik dibagikan oleh Rishabh Jain[1] melalui Quora mengenai perkara mengikuti program doktoral ini. Pertimbangkan apabila anda merasa, antara lain:
  1. Memiliki kecintaan yang irrasional untuk meneliti;
  2. Menikmati tantangan untuk asumsi-asumsi;
  3. Menghasrati pekerjaan untuk penemuan;
  4. Menikmati proses belajar—mengajar.

Seorang senior saya yang sudah doktor, yang dahulu juga atasan saya, banyak menawarkan saya kesempatan untuk segera mengikuti program doctoral. Saya kala itu bertanya, tentang bagaimana program doktor itu dialaminya? Jawabnya, “Sudah jangan kelamaan mikir, segera saja, buang-buang waktu…Sungguh sayang seperti dirimu itu. Jika dalam waktu dekat kamu tidak ingin segera berkeluarga, dan tidak diburu untuk mencari uang, tidak ada salahnya kamu ikut melanjutkan sekolah lagi. Percayalah, kamu akan menikmatinya”

Yeah well… memang saya senang belajar, apa pun saya baca. Tapi kenyataannya saya banyak belajar itu bukan karena saya pandai, tetapi karena saya itu hanya orang bodoh yang serba penasaran. Tidak jarang saya terlilit dengan logika-logika bengkok, kedunguan dan kengawuran. Tapi toh pledoi saya terhadap pengadilan akal budi itu: ya saya masih saja mampu untuk menunda realitas yang datang. Yah memang dalam persoalan itu rasa senang itu muncul kalau saya sedang sendirian bersama buku-buku, akan tetapi kalau bahan-bahan bacaan saya ini berubah menjadi deadline-deadline yang dipenuhi ancaman intimidatif dari pihak lain. Kok ya rasa-rasanya tidak akan lagi menjadi menyenangkan.

Mengingat ajaran Socrates, bahwa hidup yang tidak diperiksa tidak layak untuk dijalani. Segala rasa penasaran saya yang muncul itu toh bilamana hendak dicari-cari di google pasti akan ada saja yang membahasnya. Di Quora saja ada banyak orang berdiskusi terkait ini, seperti:
“Is it worth doing a PhD these days? I see so much useless research being done by PhD students, and I'm kind of put off by it. What do the top 10% of PhD students do during their research time? What do PhD students do in their free time? Does it really matter where you do your PhD?... bla..bla..blah!”
Ya saya pikir memang mencari informasi itu cukup mudah saat ini akan tetapi itu pun tidak akan membuat saya puas. Toh apa pun itu sepanjang masih berada dalam sebuah tatanan logika untung rugi, pasti ya jawabanya tidak pernah memuaskan. Memang hidup di zaman sekarang ini membutuhkan uang, akan tetapi pertanyaannya ingin seberapa kaya kah (dalam arti ekonomi) kita dalam hidup yang sementara ini? Apakah jika sudah selesai dan lulus doktoral kemudian kita berkesempatan menjadi kaya raya? Tentu saja sulit jika segala sesuatunya serba diukur dengan uang. Saya bisa menjamin bahwa menjadi doktor bidang ilmu tertentu tidak cukup berdampak signifikan terhadap penghasilan. Akan tetapi apabila ini menyangkut bagaimana kita hidup, perkaranya menjadi tidak sederhana opini-opini mereka yang ada di Quora itu.

Ihwal persoalan akademia dan stress siswa dalam menjalani proses belajar mengajar ini nampaknya sambung-menyambung hingga generasi saat ini, bahkan sepintas terasa semakin bobrok. Mendengar kabar seorang keponakan yang menghadapi evaluasi belajar agar dapat naik kelas. Ia stress dan selalu menangis. Hingga berkata bahwa Ia ingin menjadi kambing saja, dengan alasan kambing itu tidak perlu susah-susah bersekolah. Sambil tersenyum-senyum simpul saya pun lantas mengakhirinya dengan mengelus dada, dan keesokan harinya saya ajak debat orang tuanya. Lain cerita lagi, kali ini datang dari cerita seorang sepupu saya yang menjadi single-mom dan menceritakan segala keluh kesahnya mengenai anaknya yang dia percaya memiliki kekuatan super (baca: indigo). Ia mengutuk dan memprotes segala bentuk penyelenggaraan jasa pendidikan formal yang telah membuat anaknya selalu stress dan menjadi sangat nakal karena tertekan tidak hanya oleh guru-gurunya tapi juga teman-teman sebangku dan sepermainannya.

Coba saksikan lagi video berikut: Untuk apa pendidikan itu?



Mungkin hal semacam inilah yang dikritik oleh Ivan Illich, pada bukunya yang berjudul Deschooling Society (1972). Karya ini pun membuat saya bertanya-tanya Masih diperlukankah sekolah di Indonesia, apalagi di era digital semacam ini? Faktanya stress siswa akibat ketakutan gagal lulus ujian cukup banyak diberitakan, bahkan ada yang sampai bunuh diri. Rasa frustasi akibat proses di sekolah dan tata laku hidup sosial di lingkungan sekolah nampaknya perlu dicurigai.
 
Sekolah mendomestikasi manusia demi apa yang diidealkan yaitu beradab dalam versi sosio-politis masyarakat. Fenomenanya, sekolah adalah bentuk duplikasi primitif dari dunia sesungguhnya yang dipenuhi dengan relasi kuasa antara guru dengan muridnya. Sekolah sebagai institusi pada hakikatnya sudah memenuhi konsepsi institusionalisasi ala Foucault. Kurikulum sekolah pada akhirnya hanya bisa dipandang sebagai algoritma yang bekerja dalam suatu mekanisme ritus inisiasi untuk menjadikan masyarakat konsumeristis berorientasi pertumbuhan bagi ‘si kaya’ dan pun bagi ‘si miskin’. Ijazah dan gelar, merupakan upaya sertifikasi yang pada hakikatnya adalah bentuk labelisasi kapitalisme, manusia yang dipandang hanya sebagai suatu properti atas iklim ekonomi suatu lingkup sosio-politis tertentu. Sekolah tidak pernah memanusiakan manusia, tapi justru menjadikannya sebuah mesin, yang nantinya akan menjadikan manusia itu sebagai suatu gigi roda yang akan ditancapkan dalam organisme ekonomis belaka, yaitu hanya demi mengejar pendapatan nasional semata.

Dengan demikian, lantas pertanyaan saya: sejauh apa sekolahan bisa menjamin bahwa lulusannya dapat mengambil porsi sesuai dengan perannya, lebih lagi hasratnya di masyarakat? Sejauh apa lulusan-lulusan mampu menciptakan pribadi-pribadi yang pembelajar, berbudaya literasi tinggi, bahkan pribadi yang beradab? Apabila pendidikan adalah produk kapitalisme, sejauh apa negara mampu mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menyelenggarakan distribusi pendidikan yang adil dan merata tanpa menciderai hak-hak individu itu. Atau, paling klise, sejauh apa pendidikan mampu menciptakan mesin ini untuk ikut berproduksi dalam sistem ekonomi.

Perlukah kita mengubah paradigma pendidikan kita? Saksikan video berikut ini!


Refleksi saya atas kegiatan belajar mengajar di sekolah di Indonesia ini, suatu hari saya teringat dari ungkapan Mochtar Lubis (1977) yang melontarkan pertanyaan yang filosofis terkait ontologi manusia Indonesia. Siapa itu orang atau manusia Indonesia? Apa dia memang ada? Di mana dia? Seperti apa gerangan tampangnya? dan seterusnya. Ia membangunnya dengan dialektika, terkait ciri-ciri yang melekatnya tersebut. Hal ini pun, dalam kata pengantar bukunya, ditulis oleh Jacob Oetama, ada enam stereotype yang melekat pada Manusia Indonesia, antara lain: (1) Munafik atau hipokrit, people pleaser (mental asal bapak senang), (2) Engan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya, (3) Bersikap dan berperilaku feodal, (4) Percaya takhayul, (5) Artistik, berbakat seni, dan (6) Lemah watak atau karakternya.

Keenam watak tersebut pun, telah mengusik Toeti Rooseno untuk membedah manusia Indonesia dengan berbagai anasir-anasirnya. Hal yang menarik saya temukan adalah kesimpulan atas konsep manusia dan filsafat ilmu, yaitu:
 “Hasil rekonstruksi akan menampilkan sosok manusia sebagai makhluk yang ragu di tangan siapa nasibnya sebagai jenis jalan apa yang harus ditempuh olehnya sebagai individu dan kemampuan mana yang dapat ia andalkan. Kemudian sejauh mana ia dapat mengungkapkan diri sepenuhnya. Kemudian, ia sendiri menentukan jawabannya, dan bertindak sesuai dengan jawaban yang selalu tak lengkap sifatnya, sementara, dan selalu dapat ditinjau lagi. Dapat pula ia menengadah mencari jawaban yang total dan mutlak dan barangkali konsep teologislah yang membawa penyelesaian.” 
Jika stereotip dari Mochtar Lubis di atas itu benar, maka dengan kehadiran kaum sofis di dunia pendidikan ini menjadi sangat mengerikan. Akan selalu hadir rasa ketidakadilan baik bagi siswa maupun guru. Dapat diandaikan bahwa secara ekologis, ruang-ruang pendidikan ini semua akan selalu diisi oleh orang-orang stress. Siswa sekolah yang stress karena relasi kuasa gurunya, tidak membebaskan segala imajinasi mereka. Guru yang semakin stress dengan aturan-aturan lembaga dan institusi beserta regulator sistem pendidikannya. Gaji guru yang tidak memadai, yang membuat mereka selalu mengais-ngais dari pekerjaan sampingan. Orang tua siswa yang sebagai sponsor atas anak-anak mereka semakin hari semakin mengeluh atas biaya pendidikan yang semakin mencekik. Ini pun juga terjadi di pendidikan tinggi, dosen-dosen yang semakin stress karena kesemrawutan tata laksana pengajaran dari penyelenggaraan pendidikan, yang membuat kurang tidur dan serba kesulitan keuangan untuk bertahan hidup. Belum lagi ditambah masalah mahasiswa yang semakin hari semakin diramalkan akan keluar dari trend peningkatan mutu produksi. Pun mahasiswa yang selalu mengeluhkan bahwa dosen-dosennya tidak memiliki profesionalitas yang memadai, dan lain sebagainya. Hal ini jika diteruskan ya lebih baik dibubarkan saja sistem pendidikannya. Ini sudah dapat dipahami sebagai pola tragedy of the common di dunia pendidikan ini.

Mekanisme pendidikan dalam gambaran via negativa, dapat dipandang dalam sistem berpikir seperti di atas. Jika diandaikan bahwa setiap individu mengejar keuntungan dari ilmu pengetahuan A adalah mahasiswa, dan B adalah fasilitator pendidikan, maka sumber daya pendidikan dalam suatu budaya akan merosot, karena faktor keterbatasan sumberdaya itu tidak digarap, atau sudah diandaikan terbatas. Hal ini menjadi nyata, jika mekanisme kapitalistik pendidikan sibuk mengeksploitasi sumber-sumber pengetahuan yang ada, tanpa mengembangkannya. Atau dianggap pengetahuan sudah diandaikan lebih dahulu tanpa batas, padahal sesungguhnya terbatas. Andaikan tetap ada perekembangan ilmu pengetahuan, namun itu sebatas hanya yang berdaya guna ekonomis semata. Sumber gambar: www.systems-thinking.org
Saya lantas bertanya, jika saya melanjutkan sekolah lagi, apakah saya akan mampu bertahan dengan mekanisme industri pendidikan ini? Jika saya sudah bersusah payah berjuang untuk ‘ngangsu-kaweruh’ sejauh apa saya bijak ketika saya tidak dihargai oleh orang lain atas jerih payah saya ini? Jika saya memiliki pengetahuan yang lebih, sejauh apa saya mau ‘di-plekotho’ oleh kaum-kaum Sofis ini? Apa iya saya mau hidup miskin, gara-gara salah memilih profesi, di tengah-tengah bahwa banyak kesempatan untuk mengejar materi? Akankah jalan ini menghadirkan kebahagiaan bagi saya?

Namun, pertanyaan ini pun pada akhirnya tidak relevan lagi, buat saya sekolah itu ada dalam diri saya, mengejar doktoral itu ya hanya perkara saya mengejar legitimasi institusi dan komunitas saja melalui ijazah, pekerjaan saya adalah eksistensi saya, kemungkinan-kemungkinan saya untuk menjalani hidup ini. Mau menjadi guru, dosen, pengusaha, bupati, maling, atau apapun itu adalah perkara-perkara moral diri sendiri, eksistensi saya, tanggungjawab diri saya sendiri. Perkara-perkara akan menjalani apa yang saya senangi, tanpa adanya tuntutan-tuntutan sosial yang justru menjauhkan saya dari diri saya sendiri. Dengan kata lain, saya ingin mengejar kebebasan saya, menjadi independen. Pun ketika saya dapat mengambil bagian dari industri pendidikan ini, saya akan mencoba menjadikannya itu sebuah kenikmatan bagi yang ada di dalamnya. Dengan kehadiran dunia digital saat ini, yang saya takutkan adalah ketika saya tidak berhasil mengupdate ilmu pengetahuan saya secara mandiri

Bagaimana dengan anda pribadi, beranikah anda jujur dengan diri anda sendiri?

Sembari merefleksikan hal-hal itu di atas, sila anda menikmati videoklip berikut! 





[1] Rishabh Jain adalah seorang India yang mengemban gelar Doctor di bidang Teknik dari MIT. Tidak hanya berkonsentrasi di bidang riset-riset energi, semi konduktor dan industry berteknologi tinggi, namun juga ia tertarik dengan ilmu keuangan. Banyak tulisan-tulisannya tentang memotivasi siapa saja yang ingin atau sedang menjalankan program doctoral. url: https://www.quora.com/profile/Rishabh-Jain-149


Daftar Bacaan
Illich, Ivan. 1972. Deschooling Society. New York: Harrow Books.
Wibowo, A. Setyo. 2017. Paideia: filsafat pendidikan-politik platon. Yogyakarta: Kanisius.


Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)