Homo Digitalis (3): ‘Pelipatgandaan’ Informasi dan Mikro Politik Keagamaan di Ruang Maya (bagian I)
Dunia digital adalah dunia yang sama sekali baru bagi
manusia yang ingin bermukim. Keterhubungan antar manusia itu sendiri dan
manusia dengan teknologi menjadikan munculnya kekisruhan yang sama sekali baru
di era digital ini. Dalam relasi yang multi-dimensional ini, manusia lantas
seolah selalu tertipu dengan persepsinya sendiri untuk mengapropriasi suatu
kebenaran di dalam ruang maya ini. Perkembangan di dalam ruang maya ini sendiri
menjadi tidak tentu arah, beragam masalah di dunia nyata pun muncul dengan
latar belakang komunikasi. Sebut saja beragam kekisruhan politik suatu negara akibat
suatu hal yang bergema di ruang publik digital, yang pada akhirnya gaung
tersebut hadir di ruang nyata tanpa kendali, begitu besar dan mengejutkan
hingga mampu menggulingkan tata politik yang berkuasa. Sebutlah, kontroversi
terpilihnya Presiden Trump pada tahun 2016 yang lalu, atau pada tahun 2011
yaitu aksi kerusuhan di Mesir yang dipicu oleh beredarnya berita seorang
pedagang kaki lima, yaitu Mohamed Bouazizi yang nekat membakar dirinya di
jalan, sebagai aksi protes terhadap pemerintahan otoriter yang berkuasa kala
itu di Tunisia. Aksi tersebut kemudian menuai protes masyarakat dan memicu
kemarahan massa, dan kemudian mampu merembet hingga negara-negara tetangga
hingga dampak penularannya sampai ke Mesir. Di Indonesia sendiri belum lama ini
pun demo besar bernuansa agama untuk mengadili Ahok yang dianggap telah menista
agama Islam, mampu memicu gerakan massa, yaitu suatu aktivisme sosial bernuansa
bela agama. Peristiwa ini tentu akan sulit dijelaskan dalam logika sebab akibat
ketika menghadirkan peran ruang maya ini sebagai faktor penentu. Mekanisme apa
yang membuat berita bohong dapat menghasilkan pilihan buruk warga negara?
Mengapa unggahan salinan video dapat mengkriminalisasi seseorang dan memicu aksi
massa bernuansa agama? Bagaimana mungkin bunuh dirinya seorang pedagang kaki
lima bisa menyebabkan suatu revolusi dan menghasilkan runtuhnya sebuah
pemerintah yang berkuasa?
Mohammed Bouazizi yang nekat membakar dirinya sebagai aksi protes terhadap rezim Tunisia, kejadian ini berdampak terhadap instabilitas politik dan menular hingga ke negara-negara Arab. Tersebarnya berita ini menjadikan fakta bahwa ruang maya adalah echo chamber atas informasi. Sumber gambar: uk.reuters.com |
Mark Zuckerberg, pendiri dan pemilik Facebook (kanan) dan presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump, dua tokoh sentral dalam kasus skandal Cambridge Analytica yang menggunakan revolusi digital, yaitu mereka mengoptimasi algoritma untuk memenangkan politik pemilihan presiden. Bagaimana dengan demokrasi di era digital ini? Bukankah kita seolah semua tertipu oleh algoritma media baru? Sumber gambar: newmatilda.com |
Konflik-konflik akibat gema opini
di media digital terus mengalir merusak sendi-sendi kehidupan di dalam
keseharian kita. Sebut saja, aksi terror bom di Indonesia belum lama ini juga
dituding pemerintah sebagai akibat adanya peredaran opini dan tafsir bernuansa
radikalisme yang melegitimasi kegiatan ekstrimisme beragama di media digital. Perang
kicauan (twitwar) yang menyerang
berbagai pihak di ruang maya dan berikutnya menghasilkan delik aduan pidana
bagi pelaku dengan beragam alasan di ruang nyata, yaitu dari social bullying, ujaran kebencian,
penodaan agama, maupun perusakan nama baik marak mengisi dunia maya. Tidak
hanya itu, isu menyebarnya berita-berita bohong atau hoax pun juga senantiasa melahirkan suatu terma pasca kebenaran,
yang memaksa individu untuk berhadapan dengan dilema yang bersifat relativisme
atau bahkan nihilisme. Gema yang dihasilkan ruang maya ini menjadikan subjek berhadapkan
langsung dengan segala sesuatu yang absurd
dan tidak pasti, namun tetap dicernanya dan diyakininya sebagai sesuatu yang
faktual bahkan aktual, tanpa memeriksa realitasnya terlebih dahulu.
Manusia dan ruang adalah dua konsep
yang sudah saling mengandaikan, dengan kata lain manusia dengan dunianya, sudah
berada-di-sana sebagai Dasein. Dengan
kehadiran dunia digital, yang semakin diintensifkan dengan dukungan laju
pembangunan infrastruktur teknologinya, seolah memaksa manusia untuk memigrasikan
seluruh hidupnya ke dalam ruang maya. Ruang maya ini seperti menjadi ‘kota
urban’ baru, yang dijejali oleh berbagai hiruk pikuk aktivitas anonim dan beropini
warganya, termasuk di dalamnya kebohongan dan kebenaran yang semakin sulit
dibedakan. Mekanisme migrasi ini menghubungkan suatu yang ada dengan yang
liyan, namun juga membawa subjek ke dalam suatu sistem berpikir baru yang semakin
terjebak dalam mekanisme biner algoritma teknologi informasi. Bagaimanapun juga
ruang maya dengan segala struktur algoritmanya, pada hakikatnya merupakan
mekanisme kaku operasi matematis yang bertujuan untuk mengamankan sebuah
kepastian melalui tindakan komunikatif. Proses yang mengintensifikasikan suatu
informasi dengan mereduksi aspek yang lain menjebak subjek menjadi semakin
larut dan tanpa sadar dalam mekanisme yang selalu mengekstrimkan cara
berpikirnya.
Lain halnya di dalam pribadi
manusia itu, ia memiliki suatu hasrat kebebasan. Di dalam ajaran agama (disini:
khususnya agama perenial) terdapat doktrin yang mampu memberikan kepastian bebas
atas laku hidup manusia (moral) di dunia yang fana dan profan ini untuk
mendapatkan sesuatu imbalan hidup damai di alam transenden dan sakral. Dengan
kata lain, manusia yang menyadari bahwa ia hidup di dalam ruang yang fana ini
akan selalu mengimajinasikan adanya tempat atau ruang keabadian sebagai
ganjaran akan segala perbuatan-perbuatannya. Suatu ruang ideal yang
diimpikannya ini menjadikannya suatu Telos
semasa ia masih hidup di dunia fana. Di samping itu pula, relasi manusia di era
digital ini berhadapan dengan era di mana kebenaran itu serba direlatifkan. Lantas
bagaimana peran Agama dalam situasi pasca kebenaran ini di tengah relasi antar
manusia sebagai ‘yang publik’ dan relasi antar manusia dengan Tuhan sebagai
‘yang privat’ ditempatkan? Jika agama-agama dipandang sebagai suatu doktrin
yang memberikan suatu kepastian eksegesis dan moral, mengapa justru agama-agama
menghasilkan sesuatu yang kontra produktif bagi kehidupan umat beragama itu
sendiri ketika melibatkan ruang maya? Artikel ini bertolak dari pertanyaan
terkait relasi antara peran agama di ruang privat dan ruang publik di dalam
dunia digital. Artikel ini hendak memaparkan mekanisme antar ruang tersebut
yang terbagi atas beberapa ulasan yaitu: 1) konsep ruang privat, ruang publik
dan ruang maya, 2) konsep akar rimpang dan politik mikro 3) diskusi tentang
komunikasi keagamaan di ruang publik media digital sebagai tanggapan dan
refleksi penulis.
Ruang Privat, Ruang Publik dan Ruang Maya
Pertautan ‘yang privat’ dan ‘yang publik’ bukan lagi sesuatu
yang baru. Hal ini sudah dibedakan semenjak zaman Yunani kuno. Berpegang pada
pemaparan A. Setyo Wibowo terkait ruang privat (oikos) dan publik (polis),
pembagian dua sifat ini dengan
dibandingkannya dengan teori Hannah Arendt (1906-1975), yaitu berdasarkan
ruangnya, hukum dasarnya, cara mengaturnya, dan relasi antar manusianya. Berdasarkan
aspek sejarah Yunani, menurutnya polis
memiliki sejarah yang berbeda-beda, dan melalui evolusi yang menyejarah
tiap-tiap polis tersebut, institusi demokratis itu muncul. Pembagian itu tentu
saja bukan serta merta akibat munculnya polis,
namun memang sudah selalu ada, dan akan berubah pola relasinya mengikuti
evolusi institusi yang terjadi. Ia memperingatkan bahwa setiap individu
memiliki dua peran sekaligus sebagai warga negara tidak bisa secara mutlak
dibagi dalam antinomi privat dan publik[i].
Dengan kata lain, pembagian antara yang privat dan publik merupakan fenomena
pemisahan antara sisi pribadi dan sisi sosial dari setiap insan manusia sebagai
warga negara pada diri manusia itu sendiri sebagai elemen kesadaran yang
melekat dan khas secara evolusi sosial-budaya masyarakatnya.
Lanskap Polis di Yunani kuno, yaitu lokasi aktivitas politik zaman antik. Dalam filsafat Yunani ruang privat (oikos) dan ruang publik (polis) dibedakan secara tegas menurut fungsinya. Sumber gambar: www.eurocanadian.ca |
Lebih jauh, persoalan pemisahan
ruang ini mengalami perkembangannya yang sangat kaya dan mendalam pada filsafat
Hegel. Konsep penting terkait hal ini adalah Sittlichkeit, yaitu struktur sosial etis[ii]
yang terdiri atas momen keluarga, momen masyarakat warga, dan momen negara.
Berkaitan dengan dunia digital pemisahan ini memunculkan istilah warga net (netizen) dari masyarakat warga, dan hal
ini perlu kita uraikan terlebih dahulu. Fitzgerald Sitorus menjelaskan bahwa
masyarakat warga menurut Hegel terdapat dalam momen Sittlichkeit, yaitu merupakan momen kedua dari tiga peralisasian
diri Roh Objektif, di mana negara
sebagai momen ketiga yang merupakan puncaknya. Hegel mengatakan bahwa hakikat
Roh itu adalah kebebasan, dan tujuan perealisasian diri itu juga kebebasan. Kebasan
konkret dan rasional di sini menurut Hegel adalah bahwa ide mengenai kebebasan
telah ‘publik’ atau sama dengan realisasi kebebasan, dengan kata lain antara
‘yang ideal’ dan ‘yang dialami’ dalam realitas sosial keseharian
sungguh-sungguh bertemu, atau yang disebut sebagai aktualitas. Hal ini berarti,
Sittlichkeit adalah sintesis antara
kehendak langsung dalam hukum abstrak (negara rasional dan publik) dan kehendak
subjektif dalam moralitas.
Di dalam Sittlichkeit inilah setiap individu dapat mencapai dan
merealisasikan diri dan kebebasannya dengan baik. Dalam Hegel, secara dialektis
Sittlichkeit dihasilkan oleh
masyarakat warga, yaitu individu-individu yang telah melepaskan diri dari
komunitas etis yang bernama keluarga. Di dalam momen kedua ini, masyarakat
warga merupakan individu-individu yang meninggalkan wilayah etis keluarga dan
bertemu dengan setiap individu lain untuk menjadikan dirinya sebagai tujuan.
Dengan kata lain, dalam masyarakat warga kehadiran orang lain tidak lagi
berarti baginya kecuali hanya sebagai saran bagi pemuasan kebutuhan subjektifnya,
dan sehingga terciptalah sebuah sistem yang saling tergantung menyeluruh[iii].
Lantas, apakah ruang maya publik
itu sendiri dan bagaimana keberlangsungan dialektika masyarakat warga dalam
membentuk struktur sosial etis di dalamnya? Dari konsep masyarakat Yunani kuno
dan masyarakat warga Hegel, bahwa diandaikan terdapat garis batas antar ruang yang
secara tegas dipisahkan melalui proses dialektika yang berlangsung melalui
kesadaran setiap anggota suatu masyarakat. Masyarakat warga menjadi ruang
embarkasi individu untuk menjelma dalam bentuk negara yang etis dan rasional. Namun,
dengan kehadiran ruang maya, dialektika yang terjadi di dalamnya tidak sama
seperti apa yang terjadi di ruang nyata. Masyarakat warga yang bergeser menjadi
masyarakat warga net tidak bergerak dalam strata seperti halnya momen dialektis
Hegel, mereka dapat melakukan kebebasan apa saja demi tujuannya termasuk di sini
bebas dalam melanggar hak warga net lainnya, karena garis batas ruang ini
menjadi tidak jelas.
Meminjam penjelasan Karlina Supelli
mengenai ruang maya dan ruang publik, bahwa ruang maya adalah ruang elektronik
yang menjadi locus individu bisa
menampilkan alam semesta aktual maupun alam semesta sebagaimana kita kehendaki.
Ruang maya adalah suatu sangkar yang tidak dapat diketahui batasnya, yang mampu
memenjarakan individu yang berlaku bebas berkata-kata sembari menjauhkan
kesadarannya akan kebertubuhannya. Terkait dengan masyarakat warga, bahwa
setiap warga net bebas memilih hal-hal yang mau dan tidak mau ia tampilkan
kepada publik, tanpa warga net lain dapat memeriksa atau mempertanyakannya.
Warga net dapat mengajukan pendapat terhadap apa saja tanpa perlu keahlian
khusus dan tanpa perlu adanya tanggung jawab, bahkan dapat menyembunyikan
identitas dirinya atau menggunakan identitas lain. Dalam hal ini, kebenaran
dapat dikesampingkan, asalkan informasi itu segera diungkap[iv].
Hal ini mungkin terjadi dikarenakan ruang nyata dan ruang maya mampu melebur
dalam persepsi penggunanya, yaitu ruang nyata dan ruang maya tidak dapat
dipisahkan secara antinomi ekstrim karena terdapat pengalaman mengada yang sama
secara perseptual. Dengan meminjam argumentasi Castells (2000), Karlina
menegaskan pula bahwa ruang maya berkemampuan menghasilkan ‘kemayaan yang
nyata’.
Migrasi individu-individu untuk melebur
ke dalam ruang maya menjadikan dirinya ini dapat menggunakan kebebasan
berinformasi absolutnya di dalam suatu momen dialektis. Hal ini sejalan dengan
pendapat Karlina Supelli (2010, hal. 343), bahwa kemudahan dan kebebasan
berinformasi yang melampaui lokalitas, seringkali membawa orang ke tumpukan
informasi yang tidak berhubungan langsung dengan keprihatinannya.
Konsekuensinya, warga net terlibat dalam percakapan semu, yaitu setiap orang
hanya meneruskan kata-kata asal bisa menjadi bagian dari publik. Hal ini dapat
terjadi karena ruang publik maya melipatgandakan hampir semua bentuk ruang
publik ke dalam ruang maya. Hal ini hanya merupakan gejala reproduksi tanpa
batas hampir semua tanda dan simbol kebudayaan, akan tetapi melalui proses
ekonomisasi yang dilipatgandakan hanyalah informasi yang relevan, sehingga
konteks menjadi tersingkirkan karena dianggap tidak lagi bermakna (hal.
342).
Bersambung...
Catatan-Catatan Akhir
[i] Bdk. Wibowo, 2010, hal. 51
[ii] Bdk Magnis-Suseno, 2010,
hal 116-119, Menurut Hegel bahwa masyarakat terpisah dari negara, karena
terdapat motivasi yang berbeda-beda yang melandasi tiap-tiap tindakan seseorang
di dalam setiap momennya. Dengan kata lain, menurut Hegel, pemisahan antar
momen ini penting, agar mampu menjaga eksistensi tiap-tiap peran individu yang
berada di dalamnya.
[iii] Bdk. Sitorus, Fitzerald.
K., 2010, hal. 138
[iv] Bdk. Supelli, Karlina,
2010, hal. 340
Deleuze, Gilles, and Felix Guattari. 1983. Anti
Oedipus: Capitalism and Schizophrenia. Mineapolis: University of
Minnesota.
Deleuze, Gilles, dan Felix Guattari. 1987. A Thousand Plateau:
Capitalism and Schizophrenia. Dialihbahasakan oleh Brian Massumi.
Minneapolis: University of Minnesota Press.
Haryatmoko. 2016. Membongkar
Rezim Kepastian: Pemikiran kritis post-strukturalis. Yogyakarta:
Kanisius.
Magnis-Suseno, Franz. 2010. “"Masyarakat Warga" dalam
Pemikiran Locke, Rosseau dan Hegel.” Dalam Ruang Publik: Melacak
"Partisipasi Demokratis" dari Polis sampai Cyberspace,
disunting oleh F. Budi Hardiman, 107-121. Yogyakarta: Kanisius.
Sitorus, Fitzerald K. 2010. “"Masyarakat Warga" dalam
Pemikiran G.W.F. Hegel.” Dalam Ruang Publik: Melacak "Partisipasi
Demokratis" dari Polis sampai Cyberspace, disunting oleh F. Budi
Hardiman, 123-166. Yogyakarta: Kanisius.
Supelli, Karlina. 2010. “Ruang Publik Dunia Maya.” Dalam Ruang
Publik: Melacak "Partisipasi Demokratis" dari Polis sampai
Cyberspace, disunting oleh F. Budi Hardiman, 329-346. Yogyakarta:
Kanisius.
Wibowo, A. Setyo. 2010. “Kepublikan dan Keprivatan di dalam Polis Yunani
Kuno.” Dalam Ruang Publik: Melacak "Partisipasi Demokratis" dari
Polis sampai Cyberspace, disunting oleh F. Budi Hardiman, 23-61.
Yogyakarta: Kanisius.
Comments
Post a Comment