Pahitnya Kopi, Sepahit Hidup Penanamnya
Coffee is more than a pleasant drink for workers, whose livelihoods depend on the coffee plant.
–Sir Anthony Giddens—
Sumber gambar: http://tradeasone.com/producer_stories/global_poverty/ |
Undangan
minum kopi di pagi hari, siapa yang tidak bisa menolaknya? Apalagi undangan
tersebut berasal dari seseorang yang special, wah mungkin belum badan ini
terkena kafein malah sudah serasa tremor duluan….
Untuk
sebagian orang sebagai Coffee Addict! hasil
seduhan dari gilingan biji tanaman ini menjadi teman baik sendiri, atau pun dengan
siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Meskipun demikian minum kopi sudah
menjadi ritual bahwa minum kopi bukanlah hanya untuk menikmati minuman ini
saja, namun lebih dari itu, yaitu untuk lebih dekat bersama teman dan menjalin
relasi. Setuju dengan pernyataan Giddens, kopi telah memiliki nilai simbolis
sebagai bagian dari aktivitas sosial harian kita.
Namun tidak
banyak yang tahu bahwa kopi yang biasa kita minum, yang kita anggap sepele ini
mengandung berjuta keasaman, kepahitan dan kegetiran hidup dari produsennya. Petani
kopi dan komoditas kopi ditengah perdagangan dunia, menjadi simbol mirisnya
tata niaga komoditas kopi. Bayangkan kopi yang biasa kita minum, yang
dibanderol dengan harga US$2.15 (dinyatakan dalam dollar amerika serikat untuk
mendapatkan harga internasional, atau sekitar Rp26.000,00 di Indonesia) dalam
mug yang berukuran 350ml ini, tidaklah mungkin dikonsumsi oleh petaninya
sendiri. Meskipun di pasar konsumen kopi, untuk kopi seduh cukup bervariatif
dengan ragam mulai Rp2000 hingga puluhan ribu.
We live today-in the first decade of the twenty-first century- in a world that is intensely worrying, yet full of the most extraordinary promise for the future. It is a world marked by rapid changes, deep conflicts, tensions and social divisions, as well as by increasing concerns about the destructive impact of human societies on the natural environment.
–Sir Anthony Giddens—
Namun hal
yang unik adalah terdapat gerakan yang menentang ideologi kapitalisme dan
segala turunannya, dengan mengusung kopi sebagai alasan untuk mengkritisi
ketidakadilan paham ini. Klaim perdagangan langsung (free trade) ataupun perdagangan yang adil (fair trade) menjadi teriakan berbagai kalangan, bahkan hingga
musisi asal Inggris, coldplay, juga ikut berperan dalam gerakan dan terlibat
dalam partisipasi aktif untuk menyuarakan keadilan dalam ekonomi.
Hal ini pun
tidak terlepas dari gerakan-gerakan kaum akar rumput yang juga dengan berbagai
macam upaya menyuarakan pembelaan terhadap petani kopi, yang terekspose sebagai
obyek penderita dari paham kapitalisme. Gerakan-gerakan dari bawah yang
notabene entah membantu pemerintah, ataupun mengkritik pemerintah yang dihakimi
oleh kaum ini sebagai biang keladi dari ketidakadilan. Mulai dari tudingan
penyuluhan tidak tepat guna, pembiaran kegiatan tengkulak, bahkan sampai
korupsi di setiap jalur distribusi niaganya. Sebuah cerita basi sejak zaman
nabi-nabi, membela rakyat, mempersalahkan penguasa!
Menyoal
obrolan ini pun terjadi ketika saya mengunjungi sebuah coffee shop di komplek
kios pasar Kranggan Jogjakarta. Hal yang aneh, bahwa jangan berharap bahwa di
coffee shop ini anda mendapatkan sofa, alunan musik jazz seperti Coltrane
ataupun Miles Davis, barista berseragam dengan segala keramah berstandar
prosedur operasional. Lupakan itu semua! Ketika pertama kali mengunjungi tempat
itu, yang ada hanya los kosong, saya harus membuka sepatu saya, dan mendapatkan
peti kayu yang digunakan oleh barista untuk meracik kopi yang ada. Mesin
espresso listrik pun tidak ada, bahkan gula pun menjadi haram hukumnya disana.
Aneh, off-mainstream, dan entah coffee shop ini terkonsep dari sub-budaya mana,
yang jelas telah melanggar segala logika bisnis yang selama ini saya pelajari.
Namun
justru uniknya adalah, ketika saya datang ada beberapa orang, yang diduga
berprofesi sebagai mahasiswa yang saling berdiskusi tentang kopi, si pemilik
pun tidak segan untuk berbagi temuannya di lapangan. Data petani, masalah,
kesimpulan, solusi yang diproposisikan, seolah saya menjumpai sekelompok
mahasiswa yang sedang bimbingan penelitian di luar kampusnya. Saya pun yang
masih penuh tanda tanya menghubungi barista yang bertugas untuk memesan. Saya
pun kaget bahwa ditengah saya memesan, barista tersebut cukup handal bercerita
dan memaparkan hasil temuan berbagai varietas kopinya. Sebuah edukasi konsumen
yang cukup sahih dan begitu mustahil saya dapatkan dengan mengunjungi kafe
berlabel kapitalis. Setelah berbincang cukup lama, saya pun pindah ke meja yang
berada di koridor untuk merokok.
Tidak
sampai disini pembicaraan menyoal kopi, perbincangan pun berlanjut ketika saya
dihampiri oleh pemilik yang sudah selesai berceramah. Diskusi pun berlanjut
dari perspektif bisnis, ekonomi, sosiologi, sejarah, bahkan budaya
menghangatkan diskusi soal kopi ini. Seseorang yang memiliki wawasan dan sibuk
beraktivitas dalam menyelesaikan masalah perkopian dari petani hingga konsumen.
Ia pun tahu benar, paham dan dapat menyajikan temuan-temuan kualitatifnya.
Bahkan ia pun sudah melakukannya dalam tatanan kritikal. Membangun sistem tata
niaga kopi dari hulu hingga ke hilir.
Obrolan pun
berlangsung hingga larut, dan yang menarik adalah dalam sistem yang dia bangun
ini mengusung koperasi sebagai badan usahanya, dengan semangat ekonomi
kolaborasi. Bahwa tidak ada beda antara konsumen dan produsen, sama rasa sama
rata, kopinya pun ternyata hasil dari petani yang dididiknya untuk mengikuti
kaidah-kaidah direct trade. Kafe,
Laboratorium Connoisseurship, Gerakan
Sosial, Aktivis kopi, atau apalah namanya, yang jelas bahwa ide dan semangatnya
menarik untuk disebarkan sebagai bagian dari penyeimbang dari dampak
ketidakadilan ekonomi kapitalis.
Yah itulah
secangkir kopi, penuh cerita, penuh kompleksitas makna simbolis kemapanan dan
kemiskinan, sekompleks varietas dan sajian rasanya. Kadang sambil tersenyum
getir mengingat celetukan barista kelas warung koboi yang suka mengejek saya
karena sering memesan kopi tanpa gula. Mas hidup ini sudah pahit, masa minum kopi
tidak pakai gula?
Wah sudah terbiasa je, mas.. (dalam hati: hidup ini memang pahit, namun harus
tetap ditelan Jenderal!!!) -keluh.
Comments
Post a Comment