Kemandirian dan Ketahanan Pangan
Sumber gambar: https://consciousawarenessforall.files.wordpress.com/2014/04/capitalism-socialism.jpg |
Capital is dead labor, which, vampire-like, lives only by sucking living labor, and lives the more, the more labor it sucks.
-Karl Marx-
Mungkin ide ini berseberangan dengan pemikiran Adam Smith yang Agung, yang telah menghendaki adanya keahlian absolut di setiap sumber daya ekonomi dalam konteks produksi. Ide bahwa petani tidak perlu bisa menjahit, dan penjahit tidak perlu membuat rotinya sendiri, nampaknya sudah kebablasan diterapkan di ekonomi pasca-modern ini. Apakah hal ini kemudian mendukung pemikiran Marx? Tentu saja tidak bisa serta merta demikian, namun di era peradaban virtual yang telah melahirkan peradaban berbagi ini (sharing civilization) ini nampaknya tanda-tanda kesahihan pemikirannya menjadi nyata. Kemiskinan, Pengangguran, Kelaparan, dan sebagainya nampaknya tidak pernah selesai dibahas dan diperbaiki oleh pemerintah. Di belahan dunia manapun, selama masih di Bumi, nampaknya masalah ini terus bergulir dan muncul. Entah masalahnya dari mana namun diduga bahwa ada sebuah proses berpikir yang tidak tepat guna dan berjamaah.
Sebagai contoh di sebuah kota urban, yang dipersepsikan dapat menyerap tenaga kerja yang banyak dan memberikan penghasilan lebih di pedesaan nampaknya hal ini hanya bualan semata, dan kemungkinan terjadi akibat informasi yang tidak merata dan hal ini digunakan oleh penduduk yang tinggal di luar lingkungan perkotaan untuk bahan pemikiran mereka. Dari penuturan beberapa kawan dan kerabat yang mereka hidup sebagai karyawan, kenyataannya mereka merasa lelah, tidak memiliki waktu untuk hidup mereka sendiri, merasa bahwa terlalu dieksploitasi oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Mereka pun terpaksa “mencukupi” kebutuhannya dengan berpasrah “taken for granted” untuk memenuhi kebutuhan mereka menjadi bagian dari faktor ekonomi (merelakan dirinya disewa perusahaan untuk dipekerjakan dan bahkan dikerjai). Disisi lain mimpi mereka dan preferensi mereka dikonstruksi habis-habisan oleh berbagai indahnya kehidupan ideal yang bagi mereka memiliki makna simbolis agar dapat “dihargai” oleh lingkup komunitas dan sosial mereka. Hingga barangkali apa yang ada di dalam benak mereka adalah sebuah akseptansi yang tidak logis, karena ketakutan akan tekanan dari lingkup sosial.
Oke sampai
disini saja dulu dekonstruksinya sebelum segala sesuatunya menjadi luluh lantak…
Lantas apa hubungannya dengan ketahanan pangan dan kemandirian? Setiap hari manusia membutuhkan makanan untuk bertahan hidup, beraktivitas, berpikir, dan seterusnya. Sehingga merefleksi dari contoh kehidupan di kota urban diatas, bahwa cara hidup yang tidak sehat (dampak dari mazhab Adam Smith yang Agung tersebut akan membuat masyarakat semakin bebal dan bodoh! bdk: Cullenberg, Amargilio dan Ruccio (2001) Postmodernism, Economics and Knowledge) yaitu tidak memiliki kesempatan (waktu, tenaga, pikiran, dan sumber daya lain) untuk melakukan sesuatu untuk dirinya dan lingkungannya. Mereka memenuhi kebutuhan dirinya mau tidak mau dengan cara instan (alternative hidup yang ditawarkan oleh produk modern), jika ingin lebih sehat maka harus membayar lebih mahal. Hal yang esensial misalnya konsumsi makanan sehari-hari, pernahkah terpikir untuk menghitung pengeluaran harian untuk makanan sehat yang kita konsumsi (sayuran, buah, protein)? Tawaran yang ada adalah makanan serba praktis dan tidak sehat, rendah serat, protein, vitamin, tinggi lemak, gula, kolesterol, karsinogen (tidak percaya silahkan telaah sendiri dari warung nasi hingga restoran yang ada, pastikan anda menggunakan prinsip ceteris paribus dan secara rata-rata). Sehingga dari pemaparan tersebut nampaknya mendekati definisi berikut (dari http://www.sustainweb.org/foodaccess/what_is_food_poverty/):
‘Food poverty is worse diet, worse access, worse health, higher percentage of income on food and less choice from a restricted range of foods. Above all food poverty is about less or almost no consumption of fruit & vegetables’.Nampaknya masih belum menjawab logika hubungan antara kemandirian dan ketahanan pangan bukan? Oke disini bayangkan anda memiliki kebun vertikal yang berukuran 3 x 1 m2 di tempat tinggal anda (keterbatasan lahan bukan alasan). Kebun ini dapat anda bangun sendiri (prinsip Do-It-Yourself) dengan memanfaatkan sampah rumah tangga ditambah dengan beberapa benda yang dapat anda dapatkan secara mudah dari toko di sekitar tempat tinggal anda. Setelah itu anda dapat menanaminya dengan selada, kangkung, bayam, dengan teknik hidroponik self-watering (prinsip sirkulasi akuarium) yang dilengkapi dengan lampu UV sehingga anda tidak perlu penyinaran ruang terbuka, selain itu kebun anda ini dengan melihat berbagai referensi dari ranah desain dan interior bisa anda contoh untuk menghiasi ruang anda. Dari metode ini bahkan anda tidak perlu memikirkan harus menyiram dan memelihara. Sampai disini, anda secara otomatis menjadi petani sayuran untuk anda sendiri, bukan? Nah, sekarang bandingkan berapa harga seporsi salad yang anda harus bayar di restoran, dengan hasil organik dari kebun sendiri? Jika anda dapat memanen sayuran tersebut seminggu tiga kali, selama setahun dikalikan saja penghematannya.
It is inability to obtain healthy affordable food. This may be because people lack shops in their area or have trouble reaching them.
Food poverty can also be about an overabundance of “junk” food as well as a lack of healthy food.
Sumber gambar: http://theselfsufficientliving.com/wp-content/uploads/2014/02/kitchen-garden.jpg |
“It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interest.”
― Adam Smith, The Wealth of Nations, Books 1-3
Paling
tidak dari ide ini anda mendapatkan cara untuk mandiri terkait dengan ketahanan
pangan khususnya konsumsi harian salad
anda. Tentu saja bahwa pemaparan dan contoh dari ide ini baru dibahas pada
tingkat individu. Bahasan selanjutnya akan dipaparkan bagaimana ide ini bisa
memiliki dampak sosial dan ketahanan pangan dalam tingkat komunal. To be continued…
Comments
Post a Comment