Amor Vincit Omnia
Ketika ‘Cinta’ berjaya
mengalahkan segalanya. Mungkin hal ini terdengar naïve dan tolol. Seolah
kita langsung menyandang gelar ‘budak cinta’. Seolah lantas kita terpasung dalam
hidup kita untuk serba terjebak dalam mekanisme cara berada, yaitu dengan
mengais-ngais rasa dari setiap orang sebagai keutamaannya. Serba berharap dari
perjumpaan kita untuk selalu mendapat rasa yang sama. Lantas apakah hal ini
salah, apakah ini hal yang memalukan? Apakah memiliki perasaan ‘cinta’ kepada
orang lain itu lantas salah? Apakah jika sudah menjadi suami istri, kemudian
tidak boleh ‘berperasaan cinta’ kepada orang lain? Ungkapan rhetoris itu pun membuka perihal tentang 'cinta'.
Sumber gambar: https://en.wikipedia.org/wiki/Amor_Vincit_Omnia_(Caravaggio) |
Hal ini menjadi penting ketika makna ‘cinta’ semakin banal,
semakin pragmatis, yang seolah cinta ini sama seperti ‘uang’ fungsinya. Tidak
jarang kita mendapat penghakiman dari sekeliling kita, apalagi jika sudah
menyangkut beda gender, semakin fatal. Menolong orang dianggap sebagai sebuah
kebodohan. Mengasihi seseorang dianggap upaya menyerobot istri orang.
Mendengarkan curhat orang lain dituduh menjadi selingkuhan atau punya hubungan
gelap. Sepertinya ‘cinta’ yang ideal ini sudah terkubur juga bersama
metafisika. Lantas apakah ‘cinta’ menjadi semakin banal dan partikular yang
serba merosot dalam tatanan eksistensial?
Untuk mereka yang sedang menari topeng di bibir jurang!
Sejarah ‘cinta’ dalam budaya Barat dikonsekrasikan oleh
Yesus dan kemudian melahirkan budaya Barat. Ialah Yesus yang meminta manusia untuk mengasihi sesama kita. Untuk
berbicara Yesus sebagai anak Allah agaknya kok saya tidak punya kapasitas untuk
mengajarkan agama dalam artikel ini. Bahkan sepertinya saya kok ya jauh dari
kata saleh. Akan tetapi, mengapa figur ini saya angkat disini karena tanpa
mengurangi rasa hormat saya, Ia pantas dimuliakan karena sebagai manusia yang
sama seperti kita, telah mengajarkan nilai-nilai moral kasih, dan bahkan sampai
meradikalkannya, dan melampaui manusia biasa. Yesus dalam sejarah manusia,
Yesus sang filsuf cinta kasih.
Yesus dari Nazareth yang hidup sekitar tahun 4 BCE hingga
30/33 CE, mengajarkan cara hidup manusia untuk berelasi dengan Tuhan dan
sesamanya. Beginilah bunyinya:
"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."
Inti ajaran inilah yang kemudian ditafsirkan dari zaman ke
zaman oleh Gereja. Meskipun figur Yesus dari Nazareth ini masih menjadi
perdebatan sebagai anak Tuhan. Berbagai kontroversi muncul dalam menyingkap kebenaran dari sisi sains.
Akan tetapi, apakah itu fiksi atau asli, hal itu tidak menjadi soal, yang
penting bahwa Yesus dari Nazareth ini memiliki gagasan dan ajaran yang saya
pikir masih memiliki relevansi yang tinggi dalam ranah etika di masa sekarang.
Ketika membandingkan dengan sejarah filsafat barat, gagasan cinta kristiani ini
banyak mendapatkan kritik terutama dari para filsuf. Upaya-upaya dalam tatanan
eksistensialis telah mereduksi elemen cinta ini dari yang bersifat supra
natural, sakral, kudus hanya urusan sosial semata, obsesi individu saja, atau
bahkan masalah libidinal saja.
Tetapi jauh kembali ke dalam hukum cinta kasih itu, bahwa
secara metafisika, cinta yang didefinisikan memiliki properti-propertinya yaitu
terdapat relasi antar agen, yang meliputi agen supra natural yang diwakili oleh
Tuhan, dan agen sosial, yaitu orang lain (liyan) yang diakui sebagai subyek.
Syarat gagasan cinta semacam ini adalah harus melingkupi hati, jiwa dan budi.
Relasi vertikal antara diri dengan Tuhan seolah terpisah dengan relasi
horizontal antara subyek dan subyek yang liyan. Titik pertemuan antara relasi Tuhan
dan relasi sesama, berpotongan keduanya di titik ‘aku’ sebagai diri (the self).
Hal inilah lantas menjadi masalah, mengapa? Karena dalam
metafisika juga membahas hal-hal yang bersifat objek material. Cinta sebagai
objek dalam metafisika dilahirkan dari properti yang serba abstrak pula. Hukum
tersebut akan berjalan jika syarat-syaratnya dipenuhi dalam tatanan idealisme
absolut yang sama. Artinya bahwa relasi manusia dengan Tuhan, dan relasi
manusia dengan manusia lainnya harus dijangkarkan dalam konsep diri. Padahal,
konsep diri pun dalam ranah metafisika juga permasalahan yang tidak pernah
selesai. Lebih lagi di dalam ranah eksistensial, diri merupakan proyek seumur
hidup manusia itu sendiri, tidak pernah final. Dalam hal ini, tentu saja ‘cinta’
ini menjadi masalah subjektif dan kontijen. Gagasan cinta semacam ini akan
tidak pernah berjalan mulus, mengapa? Karena kadar ukuran relasi antar gagasan
setiap subjek pasti berbeda-beda. Misalnya sejauh mana kita mencintai Tuhan
kita dibandingkan dengan jabatan, pesta-pora, uang, tubuh erotis, paras cantik,
kepandaian pasangan kita dan lain sebagainya. Kegoyahan diri manusia ini pula
bisa dicurigai menjadi pangkal tolak kegoyahan material cinta itu sendiri.
Namun, masalah itu diselesaikan dengan syarat diri lainnya,
yaitu dengan hati, jiwa, dan budi yang terangkum dalam keutuhan
diri-itu-sendiri. Manusia dilengkapi dengan emosi, spirit, dan rasio yang juga
saling bertegangan. Tiga konsep nalar itu dibutuhkan untuk mengapropriasi suatu
relasi dengan subjek material dan immaterial. Hal ini adalah jalinan dengan
kekuatan tegangan ikat yang sama, saling menjaga, bukan saling mengungguli.
Jika rasio yang paling unggul diantarannya, maka kemampuan eksplanasi atas
peristiwa tentu saja akan semudah membaca realitas akan diputuskan sebagai benar
(true) atau keliru (false). Jika emosi yang paling unggul, akan membaca realitas
sebagai ketentraman hati yang menjadi harga mati harus dibela meskipun nyawa
taruhannya. Jika jiwa yang paling unggul, maka kemampuan daya keyakinannya
tidak mendunia atau bersifat immaterial, yang justru menghilangkan realitas
dunia itu sendiri. Dengan demikian, secara niscaya jika ketiga elemen itu
terpenuhi secara seimbang, maka cinta itu seharusnya tidak buta dan juga bukan
merupakan aksi membuta dari diri seseorang.
Cinta itu mengutuhkan manusia, mempertemukan manusia itu sendiri
dengan dirinya bukan mengasingkan manusia itu dari dirinya sendiri. Keutuhan
manusia itu adalah sebuah paradoks yang harus disadari setiap individu. Ketiga
relasi antara hati, jiwa, dan rasio terikat namun juga saling berseberangan
dalam memberikan informasinya, akan tetapi dengan kepekaan dan penguasaan diri relasi
ini akan menghasilkan kosmos dalam diri manusia yang bersifatnya chaos.
Meskipun demikian, gagasan ini tentu saja kembali terjebak dalam hal yang
bersifat apriori atau keniscayaan. Pada kenyataannya, sangat jarang seseorang
memiliki keseimbangan kosmosnya, keseimbangan ini bersifat esensial dan
universal. Padahal kita ini menyejarah, berangkat dari sebuah faktisitas
partikular, yang selalu dibatasi oleh kondisi-kondisi badaniah kita, hal
tersebut kembali tidak akan pernah bisa dicapai.
Gagasan cinta kasih diatas tersebut lebih sering dikenal
sebagai gagasan platonico-christians,
yang akan mewujudkan cinta dalam rupa tertingginya, yaitu tanpa syarat dan
tanpa batas. Platon menggagas relasi cinta melalui karangan Lysis, yang
bercerita bahwa cinta akan terjadi jika ada kepentingan yang sama, yaitu suatu
kebaikan dalam rupa ideal. Hubungan ini akan saling terjaga jika antara subyek
ini bukan orang baik atau buruk secara mutlak. Artinya apa disini? Ada tujuan
ideal yang ingin dicapai oleh kedua pihak itu. Tentu saja hal ini mengandung
sifat utopis, karena hal ini hanya proses dalam kemenjadian tanpa pernah jadi. Ideal
merupakan hal yang immaterial. Lantas, apakah hal ini menjadi sia-sia?
Tentu saja tidak, untuk menjawab hal ini, Filsafat Thomas
mengajukan Fides Quaerens Intellectum,
untuk menyatukan kedua hal material dan immaterial dalam konsep eksistensial.
Tentu saja, Santo Thomas Aquinas bukan seorang eksistensialis, namun ia
mengembriokan pemikiran ini dari logika esensialis. Gagasan hadirnya sebuah
keyakinan (faith) yang akan digunakan
Kierkergaard di dalam masalah partikular. Cinta immaterial di turunkan ke
dunia, menjadi milik manusia. Dengan menggunakan keyakinan, maka secara
konsekuen akan membutuhkan sebuah sesuatu yang naïve untuk menggapainya.
Keyakinan yang akan memposisikan Cinta ideal sebagai puncak, atau sebagai
sesuatu yang ‘ada’ sebelum manusia itu ‘ada’, suatu kekuatan yang akan mampu
mengalahkan segalanya, alias Amor Vincit Omnia. Dalam
keyakinan inilah gerak kemenjadian akan selalu berlangsung.
Akan tetapi, kita hidup di zaman modern, bahkan pemikirannya
sudah berada di post-modern. Kita adalah anak zaman ini, dimana Tuhan sudah
mati, Cinta metafisika pun ikut mati, interaksi-relasi pun telah mati dan kita
pula lah yang membunuhnya. Kesadaran (rasio) kitalah yang membunuhnya semua,
dan kita kuburkan bersama metafisika. Nietzsche membunuhnya dengan obsesi
kepemilikan, Freud membunuhnya dengan ilusi, Hegel membunuhnya dengan relasi
tindakan submisif dialektika tuan-budak, Sartre membunuhnya dengan permainan
rayuan dalam relasi masokisme dan sadismenya, Foucault membunuhnya dengan
kehendak untuk berkuasa, Bagaimanakah kita sendiri membunuhnya?
Cinta dalam tingkatan material, tidak akan terhindarkan oleh
manusia. Setiap orang ingin mencintai dan dicintai. Abraham Maslow, secara
empiris menemukan bahwa manusia membutuhkan cinta. Kebutuhan cinta ini dibangun
secara resiprokal, artinya adanya kebutuhan untuk memiliki dan dimiliki, serta
kebutuhan untuk memberi dan menerima perhatian orang lain. Manusia dalam cara
beradanya membutuhkan tindakan sosial, yaitu cinta sebagai manifestasi antar
manusia yang mendalam. Bahkan dalam hal ini, sejak dini manusia sudah memiliki
kebutuhan akan sociusnya (teman), yaitu bayi-bayi yang selama delapan belas
bulan pertama tidak pernah mendapatkan kasih sayang akan tumbuh menjadi
psikopat, tidak mampu mencintai dan tidak butuh kasih sayang. Maslow juga
menegaskan bahwa hal ini karena usaha manusia untuk mengatasi keterasingannya,
atau alienasinya (bdk. mitsein dari Heidegger dan L’être et le Neant dari Sartre).
Gagasan Maslow diatas merupakan gagasan linier bertujuan,
apa maksudnya? Menurutnya, bahwa kebutuhan itu muncul ketika kebutuhan akan
fisiologis dan rasa aman terpenuhi (kita bisa berefleksi dengan gagasan ini di
dunia kapitalisme modern yang kita jalani saat ini!). Artinya, cinta akan
muncul dalam skala prioritas, dan cinta juga menjadi dibutuhkan sebagai
prasyarat dalam rangka mencapai tujuan yang lain. Memang sejatinya hidup itu
lebih membutuhkan oksigen (fisiologis) namun dalam menghasrati kehidupan ini ‘cinta’
diperlukan agar manusia bisa bertransendensi. Sebuah pribadi yang kekurangan
Cinta akan mengalami kemandegan dalam hidup, dan cenderung selalu mencari rasa
aman. Sehingga Cinta perlu dibangkitkan untuk tetap menghargai kehidupan, yaitu
sejalan dengan Amor Vincit Omnia. Lantas bagaimana
dengan kondisi sekarang, apabila ‘cinta’ (komoditas) ini faktanya merupakan takhayul modern?
Aku cinta dan ingin mencintai dia, namun benarkah ia cinta pada
ku? Ungkapan tersebut mengandung unsur kecurigaan dan menuntut resiprokalitas. Sering
kali dalam relasi antar subyek kita dihadapkan pada ketidakterbatasan subyek
yang menjadi pasangan kita (terserah disini bebas gender). Pembuktian hipotesis,
pengajuan proposisi, dan praxis dalam proses mengungkap realitas bersama
pasangan menjadi unsur utama dalam interaksinya. Manusia hidup berinteraksi menggunakan
makna-makna simbolis dan menciptakan makna pula secara simbolis. Sederhananya
manusia berinteraksi dengan alamnya dengan bahasa. Manusia terikat di dalam
bahasa. Artinya melalui symbol cinta itu diungkap. Manusia menggunakan bahasa
untuk mencinta. Cinta merupakan hipotesis, artinya perlu diwujudkan dan
dibuktikan. Cinta merupakan proposisi, artinya kita perlu diungkapkan secara
tepat konteks, tidak bermakna jika cinta itu tiba-tiba kita ungkapkan ke orang
yang tidak kita kenal sama sekali. Cinta itu juga merupakan praxis, artinya
selalu kritis dalam merespon segala apa-apa yang menjadi symbol dalam
kelindanan diskursusnya. Dalam mengungkapkan ‘cinta’ ini pulalah, kita perlu
santun terhadap realitas, ingat setiap subyek merupakan realitas yang terbatas,
namun menjadi tidak terbatas bagi subyek yang lain. Kita perlu santun terhadap
realitas semacam ini, karena di dalam realitas terdapat selubung-selubung yang
merupakan sebuah misteri. Tidak perlu segalanya perlu kita singkap. Biarkanlah cinta mencari jalan di dalam misterinya sendiri. Kedekatan secara personal ini, melalui kenaifan antar
pasangan akan mengantarkannya pada kondisi saling memahami, menyingkapkan
selubung diri, mengkorelasikan antara penjelasan dan penyingkapan, dan
membebaskan diri. Cinta akan lahir dari kenikmatan atas proses penyingkapan mysterium tremendum et fascinosum (dalam
filsafat Otto) ini yang sepakat dengan Jaques Lacan. Dalam hal ini, ‘cinta’ dan
‘mencinta’ juga menjadi masalah hermeneutis dalam masalah ‘ada’.
Dalam gagasan Maslow diatas, bahwa cinta akan timbul apabila
kebutuhan fisiologis dan rasa aman terpenuhi. Bagaimana keadaannya di
masyarakat kapitalisme modern ini? Ketika segalanya sudah menjadi budaya industri,
manusia lebih mengutamakan struktur berpikir untung rugi dalam mengambil
keputusannya. Bagaimana ketika budaya ini telah mengkomodifikasikan ‘cinta’
itu, dalam bentuk perayaan valentine, makan malam romantis di hotel berbintang,
cincin berlian sebagai petanda, janji surgawi kekayaan, kencan buta. Bahkan
budaya populer sekarang dengan sajian pada media massa televisi pun telah
menyajikan ‘cinta’ ibu peri untuk melawan ibu tiri yang setengah psikopat. Figur
perempuan bersama ‘cinta’nya pun dibunuh pula, diganti ‘cinta’ takhayul,
(termasuk ‘cinta’ kaum pria-- spa dan massage plus-plus, salon tanpa gunting,
dan produk budaya ‘cinta’ palsu yang cukup murah dan menghadirkan kenikmatan
juga), ya… hancur-hancuran sudah logikanya di zaman sekarang ini.
Apa dampaknya, kemampuan penyingkapan realitas manusia
menjadi semakin dangkal. Mereka akan kehilangan daya tangkap ‘cinta’ karena
sibuk memaknai simbol-simbol fisik namun lepas konteks. Kebahagiaannya hanya
sesaat, karena sejatinya objek material yang digunakan sebagai symbol, tidak
dapat mengantarkan pesan yang tepat. Permasalahan hermeneutis dalam relasi
antar subyek ini, memang membutuhkan prasyarat intelektualitas, butuh
penghayatan, bukan wacana saja, apalagi retorika melulu. Jika sudah tidak
saling memahami, kemudian bertengkar, saling tuduh, muncul kekerasan dan
pengkhianatan. Kematian cinta metafisika disini telah ikut membunuh nurani manusia (perlu dilacak apakah ini adalah juga perwujudan hasrat?), karena dengan kematian tuhan, maka dimensi spiritualitas menjadi hilang. Dalam filsafat Imanuel Levinas, Tuhan hadir apabila saya membuka diri berhadapan dengan wajah orang lain. Perjumpaan itu sendiri membawa saya pada pengalaman tak berhingga, sehingga secara etis, kematian cinta akan berdampak pada kematian diri. Tidak lagi berjumpa dengan bagian dari dirinya, yaitu bagian-'ada'-nya.
Dalam hal diatas, ada ungkapan "lebih baik selibat dari pada selingkuh". Perlu diakui selingkuh itu sah-sah saja, itu menarik dan otentik. Akan tetapi adakah cinta
disana? Tentu saja, ya dan tidak. Cinta disana hanya terwujud dalam ‘cinta’-yang-partikular,
bukan ‘cinta’-yang-universal, atau bersifat esensial. Selingkuh berangkat dari
sesuatu yang memfalsifikasikan ‘cinta’ dan ‘ada’ otentik sebelumnya (ingat
manusia itu menyejarah membangun repetisi dan perbedaan-nya). Dominasi atas salah
satunya akan melukai ‘ada’ yang lain. Selingkuh mengandung unsur pengkhianatan
atas makna persahabatan sejati. Dalam perselingkuhan (tentu saja ini adalah
gagasan kategorial dalam relasi sosial logika biner) jika muncul ‘cinta’ yang mengarah pada 'cinta'-yang-universal,
lebih baik menikah. Membunuh ‘ada’ yang lama, memasuki ‘ada’ yang baru, atas dasar sesuatu yang baik.
Mengapa demikian? Manusia tidak hanya sebagai homo homini socius, akan tetapi juga homo reciprocans.
Definisi tersebut mensyaratkan sebuah tanggung jawab tanggung renteng (karena sejarah) sebagai cara beradanya
dalam ketersalingan subyek, atau I
responsible, therefore I am. Artinya apa? Kebebasan eksistensial menyangkut
cara berada mengandung konsekuensi yang mengikat terhadap individu itu. Manusia
tidak bisa lari dari apa yang sudah diperbuatnya, apalagi ketika terkait dengan
cara berada masing-masing individu itu. Pernikahan itu adalah seuatu instrumentasi sosial yang
diciptakan manusia untuk saling mengikat ‘ada’-nya. Bukan karena disuruh orang
tua, bukan karena sudah umur, bukan karena status sosial. Pernikahan dan
menjaga pernikahan merupakan keberanian subyek untuk mengkonsekrasikan moral
otentik antar mereka. Moral otentik ini bukan utopia, karena lahir dari proses kreasi
untuk menjangkau cinta ideal itu sendiri (filsafat Scheller). Atas dasar ini ketika sudah menemukan
‘cinta’ sebagai arah adanya, maka sebaiknya berani mengambil tanggung jawab dalam
ikatan sosial. Hal ini menyangkut keberadaan manusia akan menyangkut
kualitasnya, esensinya sendiri. Diri di dalam batin manusia itu sendiri yang
menjadi fondasinya.
Sebagai contoh cinta Freddy Mercury dan Mary Austin, yang
saya rasa memiliki otentisitas. Berikut diungkapkan Freddy Mercury,
“All my lovers asked me why they couldn't replace Mary [Austin], but it's simply impossible. The only friend I've got is Mary and I don't want anybody else. To me, she was my common-law wife. To me, it was a marriage. We believe in each other, that's enough for me." –Wikipedia-
Meskipun Mary hatinya hancur setelah mengetahui bahwa Freddy yang pada akhirnya mengakui ia seorang homoseksual, akan tetapi cintanya kepada Mary tidak luntur. Freddy pun
mengekspresikan kepedihannya dengan melahirkan lagu-lagu yang menjadi legenda (salah satu cerita
dibalik ‘Love of my life’ yang fenomenal itu). Mary pun juga sama saja gagal move on dalam hal ini ia tetap mencintai Freddy, namun tidak bisa menerima bahwa ia seorang homoseksual. Lagi-lagi ungkapan Freddy atas rasa percaya ini kembali ke masalah hermeneutis, yaitu perihal pengetahuan yang
menyingkap akan realitas subyek. Cinta tidak hanya melulu soal relasi seksualitas antar gender belaka,
namun ia ikut berperan menciptakan fondasi 'ada'.
Sebagai rangkuman, bahwa cinta perlu dikonsekrasikan secara
bersama sebagai bentuk perwujudan akan ‘ada’ diri kita. Cinta bukan sebuah
permainan kata-kata. Cinta perlu menuntut adanya keyakinan karena memiliki
dimensi imaterialnya. Cinta juga membutuhkan subyek lain karena terkait masalah
‘ada’-yang-partikular, yang menjadikannya urusan eksistensial. Cinta yang
membuat kita kerasan dengan diri dan dunia di sekitar kita. Cinta secara niscaya akan menyelesaikan segalanya.
P.S. Aku sadar mengapa dirimu begitu bersedih, karena kamu
menyaksikan kematian cinta setiap detiknya. Setelah kamu menemukan dirimu yang
sebenarnya, ia mencerabutnya dan merampasnya darimu begitu saja. Tetaplah bersemangat dalam hidup sayang, dengan faktisitasmu sekarang, sebenarnya kamulah yang telah bertransendensi. Rayakanlah!
Daftar Bacaan
Hardiman, F. B. (2015). Seni
Memahami. Yogyakarta: Kanisius.
Kretzmann, N., & Stump, E. (1993). The
Cambridge Companion to Aquinas. Cambridge: Cambridge University Press.
Setiawan, H. (2014). Manusia
Utuh: Sebuah Kajian atas Pemikiran Abraham Maslow. Yogyakarta: Kanisius.
Snijders, A. (2003). Antropologi Filsafat Manusia:
Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: Kanisius.
Snijders, A. (2006). Manusia dan Kebenaran.
Yogyakarta: Kanisius.
Cinta itu mengutuhkan manusia, mempertemukan manusia itu sendiri dengan dirinya bukan mengasingkan manusia itu dari dirinya sendiri.>>I like this most. And the last line... is just... *speechless*
ReplyDelete