Ketika mereka berperang mengenai ‘Ada’
Sumber gambar: https://composerinthegarden.files.wordpress.com/2012/01/spiralshellwp.jpg |
“Mengapa yang ada itu ada? Bukannya tiada?” pertanyaan
tentang ada ini adalah pertanyaan sejak filsafat zaman antik yang hingga kini
telah menjadi kisah sepanjang zaman. Masalah tentang ‘Ada’ telah melahirkan berbagai
macam pendekatan dan bangunan pilar-pilar ontologis untuk menjawabnya. Upaya
pembunuhan metafisika oleh Heidegger yang mengembriokan filsafat
eksistensialisme non-theistic, dan oleh Sartre ditegaskan bahwa eksistensi
merupakan murni masalah manusia, karena tuhan tidak ada. Bahkan masalah ini pun
muncul hingga pada era filsafat post-strukturalis sebagai upaya membangkitkan
kembali metafisika oleh Deleuze, yang secara radikal bahwa hasrat manusia
merupakan suatu causa sui. Jadi permasalahan
‘Ada’ itu sendiri jelas tidak hanya merupakan permasalahan otentisitas setiap
insan manusia, tetapi juga akan menjadi masalah bagi siapa saja yang menjadi
anak zaman.
Mungkin kita harus berangkat dari ajaran metafisika
Aristoteles, tentang ‘apa itu ada?’ Secara ringkas Vasilis Politis merangkumkan
metafisika Aristoteles yaitu tentang apa itu ada. Metafisika ini menyangkut
pertanyaan ‘apa itu ada?’. Pertanyaan yang diajukan Aristoteles ini pun
mengandung dua arah, di satu sisi Aristoteles telah bergumul tentang ada itu
sendiri dan mencoba memberikan proposisi jawabannya. Namun, di sisi lain Ia
juga berefleksi mengenai pertanyaan itu sendiri, yaitu apa dan bagaimana
pertanyaan itu dimunculkan dan kemudian menjawabnya. Lantas apakah mungkin
untuk mencari jawaban-jawaban atas semua pertanyaan yang dimunculkan itu.
Pertanyaan mengenai ada itu sendiri ‘What is being?’ adalah
mengenai ada itu sendiri, bukan sebagai ada sebagai kata benda (being), atau
ada sebagai kata kerja (to be). Namun disini pertanyaan itu lebih mengarah
kepada ‘What is it for something to be?’, dan hal ini bukan tentang perihalnya
bagaimana kita berpikir dan berbicara ketika kita berpikir atau berucap atas
sesuatu hal. Namun sejarah filsafat barat telah mencatat upaya para filsuf
dalam menjelaskan ‘ada’ ini telah menjelmakan dalam rupa ontology, dan menyeret
metafisika ke dalam kuburnya. Masalah ‘ada’ dan ‘tiada’ ini yang menyebabkan
manusia ini terjebak dalam kekeliruan logikannya dalam bentuk masalah complex questions.
Dialektika Esensi dan Eksistensi
"Aku tidak ingin kamu pergi, aku juga tidak ingin kamu pulang, yang aku ingin kamu ada" Kata Sipon istri Wiji Thukul ketika menutup dialog pada film Istirahatlah kata-kata.
Manusia pun tidak terlepas dari ‘ada’nya. Ada manusia itu
bersifat otentik, karena sifatnya yang merujuk kepada hal-hal yang partikular,
yaitu merujuk langsung kepada pribadi manusia itu sendiri. Seperti kutipan
dialog seorang perempuan yang menyandang predikat istri. Ketika ia menggugat
mengenai ‘ada’ maka kondisi tiadanyalah yang sebetulnya diungkapkan.
Pertanyaan-pertanyaan seputar ada ini biasanya ditengarai oleh hadirnya
kecemasan dalam diri atau batin seseorang. Seperti adegan tokoh Sipon dalam
film tersebut. Hal ini yang lantas kita menyebutnya sebagai masalah
eksistensialisme. Padahal ketika kita mengatakan sesuatu itu ‘ada’, maksud dari
‘ada’ ini yang seperti apakah? Sedangkan, kita mengatakan bahwa ‘ada’ itu ‘tiada’
apakah ini lantas kemudian dimaksudkan sebagai absennya ‘ada’ itu sendiri (das
Ding an sich). Pertanyaan ini sulit untuk dijawab.
Ketika kita dihadapkan dalam sebuah ketiadaan, bagaimana
membuktikan bahwa aku ini masih ‘ada’. Apa dan siapa aku ini? Apa dan siapa
manusia? Ketika bicara “untuk apa manusia hidup?” Atau secara lebih personal “untuk
apa, bagaimana dan mengapa aku ini hidup?” Bukankah sudah jelas bahwa manusia
hidup berujung dengan kematian (sein zum
Tode, terj. sedang berada menuju kematian). Lantas, buat apa kita memiliki cara untuk hidup? Makan, minum,
tidur, berelasi dan berinteraksi, membina keluarga, berpikir, belajar, bekerja,
belanja, berlipatganda dan lain sebagainya bila toh akhirnya kita mati juga? Jika
kita memandang hidup ini hanya sebagai perkara-perkara ‘ada’, lantas apa
gunanya kalau kita dapatkan adalah hanya sebuah ketiadaan dengan kematian
sebagai batas yang ‘ada’ itu sendiri.
Dalam rasio kita (baca: kesadaran) maka kita selalu berada
dalam tegangan antara apa-apa yang ada dan apa-apa yang tiada. Hal ini lantas
melahirkan tegangan biner. Mengapa biner ini kemudian menjadi masalah?
Nampaknya kita bisa belajar dari Nietzsche untuk bersikap mengenai kondisi
Biner ini. Kita bisa belajar mengenai dialektikannya bahkan dari Socrates.
Ketika melibatkan manusia dengan segala dominasinya kita bisa melirik Hegel. Akan
tetapi mungkinkah ketegangan struktur biner ini dihilangkan? Tentu saja tidak,
sepanjang menggunakan nalar budi (disini akan dibedakan dengan nalar hati) maka
sebuah ketentuan biner tidak akan bisa dihilangkan secara mutlak.
Dalam dialektika akan dikenal posisi thesis dan anti-thesis.
Sederhananya, gelap dan terang, baik dan jahat, ya dan tidak, benar dan keliru,
dan seterusnya hingga ada dan tiada. Logika sadar manusia memiliki kemampuan
klasifikasi antara dikotomi biner ini dalam perkara-perkara yang konkret. Akan
tetapi, bagaimana jika manusia menghadapi perkara-perkara yang abstrak? Tentu
saja hal ini mendorong manusia itu untuk menggunakan rasionya agar memiliki
alasan yang lebih adekuat dalam mengkonstruksikan suatu konsep. Hal-hal yang
abstrak tidak mudah dijangkau melalui dunia material, karena hal-hal abstrak
ketika hendak dikonkretkan membutuhkan forma materialnya. Sederhananya, jika
tidak bisa kita tangkap melalui indera-indera kita, maka hal itu secara nyata
tidak ada (something does not exist).
Paling tidak zaman modern telah memaksa kita terhadap hal-hal yang material
rasional.
Hal tersebut dapat dipahami seperti kita dalam sebuah ruang
dengan selubung transparan yang kita tidak bisa melihat batasnya, kecuali
antara selubung dan tanah berpasir tempat kita berpijak. Diatas selubung
transparan itu ada sebuah sumber cahaya yang melayang menyinari hingga ke
cakrawala kita. Sinar tersebut menerangi sekitar hingga kita bisa melihah
sebuah benda berbentuk kubus dengan dimensi dan material tertentu di tengah
ruang itu. Pertanyaannya apakah ketika cahaya tersebut berhenti bersinar, apakah
lantas kubus itu kemudian tidak ada. Tentu saja tidak, kubus itu tetap ada
disana, hanya saja mata kita tidak bisa lagi mengapropriasi kebenaran adanya
sebuah kubus. Lantas, bagaimana dengan gelap? Ketika gelap terjadi, hal itu
terjadi karena ketidakhadiran cahaya. Lalu, bagaimana dengan cahaya itu
sendiri? Ketika cahaya tidak hadir bukan berarti cahaya itu tidak ada, namun ia
dalam kondisi absen atau ketiadaan (nothingness).
Dengan demikian bagaimana dengan tiada itu sendiri? Hal ini sudah mutlak karena
justru menjadi tidak masuk akal ketika sesuatu yang ada dijelmakan dari sesuatu
yang tiada. Namun seolah telah final bahwa tiada menjadi hakikat dari yang ada.
Padahal kita masih menyisakan sebuah premis yang tidak kita konklusikan yaitu
kubus sebagai forma dalam keterikatan ketiadaan. Kubus, cahaya, sinar, dan ada
itu sendiri tidak akan kehilangan esensinya meskipun kehilangan eksistensinya
(dalam ketiadaannya). Andaikan objek-objek tersebut tiada sekalipun, apa bukti
bahwa kita masih ada? Pikiran kita, paling tidak kita akan kembali ke René
Descartes yang mengajarkan itu.
Akan tetapi bagaimana jika masalahnya seperti kembali ke
metafisika Aristoteles? Ada dan tiada justru melahirkan dialektika baru antara
‘ada’ sebagai esensi dan ‘ada’ sebagai eksistensi. Dialektika antara esensi dan
eksistensi ini mungkin dapat ditengahi oleh filsafat Thomas Aquinas dengan Fides Quaerens Intellectum dan Fides et Ratio. Bahwa disini dalam
masalah metafisika pembedaan antara esensi dan eksistensi memainkan peranan penting.
Dalam filsafat Thomas, berpendapat bahwa esensi dan eksistensi merupakan dua
prinsip yang menjelaskan keberadaan segala sesuatu, dan keduanya diperlukan
agar sebuah objek individual dapat ada (exist)
secara aktual. Hal ini berlaku untuk apapun, kecuali Tuhan yang memiliki sifat
lebur di keduanya, eksistensi Tuhan adalah esensi-Nya sendiri. Klaim ini dibangun atas fakta bahwa
pengetahuan mengenai esensi pengada tertentu (partikular) tidak serta merta
menyatakan bahwa pengada itu sungguh ada atau hidup. Eksistensilah yang membuat
esensi menjadi ada atau melakukan tindakan mengada (the act of existing).
Akan tetapi, para esensialis ontologis ini kemudian
menimbulkan permasalahan bercampurnya antara partikular dan universal. Hal ini
yang kemudian dipupus oleh para filsuf dengan mengubur metafisika, sehingga
memutlakan masalah hidup manusia adalah masalah eksistensinya saja. Permasalahan
eksistensialisme ini dirumus oleh Sartre yaitu dengan menghilangkan tuhan, yang
seolah mampu menghilangkan Tuhan dengan segala omnipotent dan omniscience-Nya.
Ini permasalahan klasik antara kaum sains dan kaum teologis. Mungkin untuk
menjawab dari mana hal ini diungkapkan kita bisa merujuk pada sabda
Zarathustra, seperti pada teks berikut ini:
God is dead. God remains dead.
And we have killed him. How shall
we comfort ourselves, the murderers of all murderers? What was holiest and
mightiest of all that the world has yet owned has bled to death under our knives: who will wipe this blood off us? What water is there for us to clean
ourselves? What festivals of atonement, what sacred games shall we have to
invent? Is not the greatness of this deed too great for us? Must we ourselves
not become gods simply to appear worthy of it?
— Nietzsche (1882), La Gaya Scienza, § 125, terj. Walter
Kaufmann
Teks diatas memberikan inspirasi bahwa kematian ‘ada’ yang
esensi (universal), sehingga timbul spekulasi untuk melahirkan ‘ada’ yang
eksistensi (partikular). Tuhan sudah mati, apa maksudnya? Jika, Tuhan adalah
sebagai causa sui, sumber pengada
utama bagi hidup manusia, dan fitrah manusia adalah kembali kepada-Nya. Maka
Tuhan merupakan ‘ada’ yang esensi, dan menjadi ‘ada’ bagi eksistensi manusia
menurut esensialis ontologis. Cara berada manusia adalah menuju Tuhan. Akan
tetapi, jika tuhan perenial telah mati, maka kita akan bertanya menyoal
ketiadaan di masa depan. Apakah ini lantas disebut sebuah titik nol, alias
suatu kehampaan. Atas dasar itu, lantas buat apa kita mengada, bila ada itu
sendiri tiada?
Pertanyaan itu dapat disebut sebagai pertanyaan yang
bersifat teleologis (sebuah pertanyaan yang meminta penjelasan mengenai tujuan
akhir, atau ada rancangan dalam kehidupan ini yang akan menuju kepada tujuan
akhir yang universal). Dalam Thomisme (filsafat Thomas Aquinas), jelas bahwa
fitrah manusia adalah kembali kepada Allah, sebagai esensi tertinggi yang
memiliki kebaikan mutlak. Lalu, apa dampaknya? Segala yang jahat dibebankan
kepada manusia. Hal ini yang kemudian dikritik oleh Nietzsche dalam buku
Anti-Christ. Persis seperti yang diungkapkan Sartre muda, bahwa ia telah
diteror oleh Tuhan, sehingga tuhan lebih baik tidak ada. Menurut Sartre tidak
ada urusannya lagi manusia dengan tuhan, sehingga eksistensi (partikularitas
manusia) mendahului esensi (universalitas manusia). Jelas disini, kematian
esensi yang bersifat metafisika, telah mengembalikan martabat manusia
seutuhnya, dari yang sebelumnya dimiliki oleh Tuhan sendiri. Artinya apa ketika
ini merupakan tujuan, bahwa eksistensi manusia merupakan proyek yang tidak pernah
selesai sepanjang manusia itu hidup. Dengan demikian, kebebasan manusia memilih
tujuan akhir menjadi penting, mengapa? Karena hal itulah yang akan menentukan
esensi manusia itu. Apakah ia akan dikenal sebagai orang baik, buruk, terpuruk,
atau apapun itu yang akan mempredikat manusia itu pada saat kematiaannya. Ia tidak
dapat mengelak dari tugas untuk menjadi dirinya sendiri, keutuhan diri manusia
itu sebagai tujuan akhirnya (Nietzsche pun sudah memperingatkan sejak dini).
Bagaimana ketika ‘ada’ yang eksistensi itu menjadi tidak
ada? Apa konsekuensinya bagi manusia? Apakah manusia itu terjebak dalam ketiadaan?
Ya dan Tidak jawabannya, sama seperti perumpamaan diatas, hanya saja manusia
itu terjebak di sebuah gurun nihilisme. Manusia itu tidak lagi mempercayai ‘ada’nya
sendiri. Pun sesuai dengan Nietzsche yang telah memperingatkan kita tentang
pribadi yang dekaden. Hidup yang serba merosot, lemah, rapuh, mudah berpegang
terhadap segala sesuatu (baca: takhayul, omongan orang, nasihat teman, social judgement, buku-buku sains,
dsb.). Manusia dekaden adalah akibat dari kegagalannya mengapropriasi kebenaran,
yaitu secara niscaya kita manusia tidak memiliki tahapan-tahapan dalam sebuah
proses mengejawantahkan realitas untuk menjadi sebuah kebenaran. Alias
kemandegan dalam hidup. Terjebak dalam interrelasi logika-logika yang
menyebabkan seorang pribadi gagal dalam bertransendensi.
Sebagai contoh, seseorang yang memiliki masalah dalam hidup
dan terjebak dalam berbagai rupa kegamangan batin (baca: trauma masa lalu),
memiliki kegagalan dalam mengapropriasi keadaannya, yaitu ‘ada’ sebagai
kebenaran. Mengapa demikian? Dengan menggunakan gagasan Heidegger dapat
diungkap bahwa manusia hidup selain berada-di-sana, ia pun juga mewaktu. Setiap
pribadi itu ditentukan oleh setiap keputusan-keputusannya manusia itu sendiri
dalam untaian rantai peristiwa. Keputusan-keputusan ini lah yang pada
hakikatnya hanya terbatas dalam kemungkinan-kemungkinannya. Ketika ada suatu
kejadian luar biasa diluar kemungkinan-kemungkinan itu maka lahir lah
keterjatuhan baru. Kematian dunia lama (disini dunia dimaknai dalam konteks
Heideggerian), yang membuat manusia terperosok dalam tatanan dunia baru yang
membuat dirinya terasing. Semakin jauh manusia itu dari kemungkinan cakrawala
epistemisnya akan melahirkan trauma. Dalam hal ini trauma bisa dipandang merupakan
suatu konsep pada sebuah mata rantai yang menjadi keterjatuhan baru bagi
manusia itu sendiri. Trauma ini tidak hanya dipandang sebagai suatu kejadian
luar biasa, yang menyebabkan titik patah manusia (melampaui titik schizophrenia
klinis atau melampaui titik BwO penuh dalam wacana Deleuze dan Guattari,
sehingga manusia itu menderitorialisasikan dirinya secara murni). Akan tetapi,
trauma ini bisa juga datang dari hal-hal yang bersifat evolutif diluar kesadaran
(baca: budaya industri yang menyebabkan trauma sekunder) yang dalam proses
liniernya juga membawa manusia itu pada kondisi bersinggungan namun tidak
melampaui titik patahnya.
Keterjatuhan manusia ini, membuat manusia itu tidak kerasan dengan
dirinya, sekaligus identitasnya (bdk. L’être-en-soi
dan L’être-pour-soi). Padahal manusia
membutuhkan identitas sebagai jembatan sekaligus batas untuk menjangkau realitas
di luar dirinya, yaitu menggunakan pikiran, tubuh, serta petanda-petandanya. Hal
ini dalam konteks metafisika, manusia akan selalu ingin menjawab masalah dualisme
antara tubuh jiwa sebagai dimensi dari diri dan identitasnya yang tidak pernah
selesai. Apa yang menyebabkan hal ini? Marcuse mengantar kita untuk menjawab
masalah ini dengan berangkat dari premis bahwa budaya menjadi jangkar dari
segala kemungkinan-kemungkinan cara hidup (seperi Logos universal yang bersifat
transenden dari lingkup sosial, sebagai pengganti Tuhan perenial). Padahal, suatu
gagasan yang mengkontastasi tatanan nilai (baca: subversif) telah menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari, dan bahkan telah diapropriasi oleh media
masa. Dengan demikian, manusia yang mencerap segala informasi dari paparan itu akan
menerima aturan dan tatanan nilai masyarakat agar tetap dianggap waras. Suatu
kewarasan disini, merupakan waras sebagai produk budaya massa akibat dari
represi politis. Kata kunci ‘menjaga kewarasan’ menjadi sebuah aksi sadar
manusia sebagai cara beradanya. Inilah yang menimbulkan tegangan antara
struktur diri (pikiran) dengan budaya sebagai supra-struktur (konteks Marx).
Padahal dalam hal ini akan selalu ada jurang antara budaya dan realitas
(kebenaran) yang menunjukan kemungkinan lain, sebagai cara-cara hidup dan cara-cara
berada.
Kembali pada masalah keterasingan manusia dari dirinya
sendiri, kematian ‘ada’ yang essensi, penekanan pada ‘ada’ yang partikular, dan
manusia yang berciri dekaden. Apa kaitannya itu semua? Gagasan Erich Fromm
dapat membantu menyulam hal ini. Dengan kematian ‘ada’ yang esensi (baca: tuhan
dengan segala pranata moralnya) membuat manusia kehilangan daya metafisikannya
sendiri, hal ini termasuk menjadi kehilangan cinta dan alasan bagi diri mereka
sendiri. Dengan kata lain, manusia menjadi bukan manusia, karena sudah kehilangan
kemanusiaannya. Sekali lagi budaya masyarakat kapitalisme barat telah memproduksi
manusia itu dengan suatu karakter sosial dengan segala anasir-anasirnya. Manusia
yang hidup dalam masyarakat kapitalis akan bersifat kompetitif, eksploitatif,
otoritatif, agresif dan individualis. Berkebalikan dengan hal itu, kapitalisme
sendiri memandang manusia memiliki keseragaman selera konsumsi yang bisa
dimanipulasi melalui wacana publik dan pasar. Dengan demikian, dalam hal ini muncul
pertanyaan, apakah hasrat, cinta dan alasan-alasan cara berada manusia dapat
diseragamkan oleh pasar? Tidak jawabannya, bahwa kembali ke masalah manusia berdimensi
tunggal Marcuse, keterasingan manusia merupakan konsekuensi logis partikularisme
yang dipaksa menjadi universalisme. Hasrat cinta manusia itu tunggal, namun
cara merakit (assemblage) ‘ada’
partikularnya yang berbeda-beda. Cara merakit ini pasti akan berbeda-beda,
mengapa? karena tergantung sebuah hasrat di-dalam-sini, bukan hasrat yang seolah
datang dari tuhan di-luar-sana. Hasrat inilah yang ingin dijelaskan seperti api
di dalam diri manusia yang dipercaya oleh orang-orang Yunani di zaman antik.
Tuhan di-luar-sana inilah yang kemudian bisa diartikan sebagai tuhan baru,
supra-struktur baru, esensi baru, yaitu pasar. Inilah yang membuat pasar seolah
memiliki kekuatan transenden, seperti yang diwacanakan melalui agama-agama perenial.
Kedua sosiolog itu mempersoalkan suatu pengembangan
argumentasi dari ‘kematian tuhan secara mutlak’. Lantas, apa implikasinya bagi
kondisi yang berada dalam pragmatisme ketuhanan (percaya Tuhan, beragama, namun
manusia itu berperilaku seolah Tuhan tidak ada). Implikasi hal ini adalah
polaritas esensi dalam kutub biner, atau bipolar (menginginkan surga, namun
juga mendewakan uang). Hal ini yang menuntun manusia gagal dalam mengapropriasi
kebenaran, terjebak dalam dialektikannya sendiri, selalu mengkonstruksi dan
mendekonstruksi, yang tampak dalam dilema identitas manusia itu. Masalah yang
tidak selesai disini akan menghilangkan penghayatan akan hidup manusia itu,
seperti selalu membuat alat untuk menangkap (capturing)
realitas, akan tetapi alat (D: Zuhandenen,
ENG tr.: ready-to-handness) itu tidak pernah jadi dan selesai karena hanya
dibongkar-pasang tanpa pernah diutilisasikan untuk mengartikulasi dirinya. Dalam
wacana Deleuze dan Guattari hal ini bisa dibaca bahwa kapitalisme semakin
membentangkan diri manusia (esensi-otentik) dari kutup universal (molar) dan kutup
partikular (molecular) melalui deflasi daya atau kemampuan apropriasi manusia
itu.
Seperti dalam filsafat Barat, William James menyatakan bahwa
penghayatan hidup saat ini ditentukan dan tidak terlepas dari sebuah titik,
namun titik ini merupakan sebuah untaian rantai. Hal ini berarti selalu
mengapropriasikan masa lalu, dan diapropriasikan oleh masa depan. Kapasitas
pengapropriasian akan pengalaman hidup seseorang selalu membentuk kesadaran
diri seseorang, yaitu representasi-representasi dari keseluruhan gelombang
ingatan pengalaman masa lalu. Hal ini lah yang menjadi dasar bagi identitas
seorang pribadi. Selain hal ini, tidak ada diri yang mutlak mandiri. Hubungan
antara apropriasi dan diri yang partikular ada sebuah syarat sirkularitas, karena
di dalam suatu dugaan apropriasi telah mengandaikan sebelumnya sebuah
eksistensi dari suatu diri.
Masalah keterasingan diri manusia adalah masalah eksistensi. Ia terasing dari hasratnya sendiri. Dalam mengapropriasi kebenaran bahwa manusia dipaksa hanya menggunakan nalar budi dengan segala judgement binernya. Dengan kondisi ketidakbebasan kita dari sejarah sebagai sumber segala kemungkinan-kemungkinan kita, lantas bagaimana kondisi biner ini bisa terhindarkan? Secara esensinya, kondisi biner merupakan sebuah realitas makna dikotomis dalam benak manusia. Ketika kita berbicara mengenai hal dikotomis, maka secara konsekuensi logis suatu struktur sudah terbentuk. Dapat diandaikan ada forma dasar (arketipe) yang siap pakai yang dapat kita gunakan sebagai klaim atas kebenaran. Akan tetapi hal ini pun tetap membutuhkan proses justifikasi antara kebenaran dan kepercayaan dalam tatanan epistemologinya. Dalam menjustifikasi inilah manusia merakit berbagai pengetahuan-pengetahuannya yang sudah dipercayanya untuk menterjemahkan realitas agar sesuai dengan apa yang dipercaya. Untuk menjawab pertanyaan menyoal ‘ada’ itu, mungkin ada pentingnya kita peka terhadap hasrat dan selalu melatih nalar hati, tidak hanya melatih nalar budi. Sebagai spekulasi, meskipun hal itu bisa jadi merupakan keterjebakan pada kekeliruan atau atas sesat pikir kita, namun kejujuran atas rasa bisa mengembalikan kita pada diri kita sendiri. Proses memeriksa atas kekeliruan ini dan mekanisme mengambil salah satu posisi biner ini yang menjadi penting untuk kita periksa terkait hal-hal eksistensi. Untuk mengetahui apa itu kebenarannya, kadang kita perlu berbuat yang keliru.
Ruang refleksi
Tugas manusia adalah mengatasi kecemasan batinnya sendiri
dengan cara beradanya, namun bukan dari apa yang transenden, tetapi justru
menjawab apa-apa yang dihasratinya secara esensi pada dirinya (imanen). Hasrat manusia
selalu ingin menjawab ketiadaannya sendiri (abyssal). Pengalaman penulis ketika
mendampingi sanak saudara yang dalam hari-hari melepaskan kehidupan fananya,
bahwa kesadaran penulis menangkap bahwa kecemasannya itu tetap ada, berikut
rasa ketidaksiapan, ketidakiklasan, kekhawatiran akan seseorang yang dicintai,
perasaan-perasaan yang belum kelar (dendam masa lalu), bercampur aduk
menghadirkan kegundahan. Mungkin hal ini yang paling menakutkan dari segala derita
di dunia ini, yaitu adalah bilamana kita terpaksa menunggu perjumpaan kita
dengan kematian seorang diri. Ketika kesedihan dan kerapuhan jiwa kita tidak
tersangga lagi oleh cinta handai taulan kita, dan hanya sesal akan untaian
narasi kesombongan logika nalar kita, yang menemani kita sewaktu meregang
nyawa. Disanalah kesadaranku lahir bahwa aku tidak bisa sendiri lagi. Disanalah
kerinduanku akan yang esensi lahir.
Comments
Post a Comment