Benediktus dari Spinoza (2): Tuhan atau Alam Semesta
Dalam bagian pertama buku Ethica Ordine Geometrico Demonstrata (Ethics), Spinoza membuktikan
dan menjelaskan tentang eksistensi dan esensi Tuhan dengan 36 proposisinya. Beberapa
proposisi Spinoza yang menyatakan tentang Tuhan secara langsung, meliputi:
“[IP11—baca: bagian pertama, proposisi
nomor 11] God, or substance consisting of
infinite attributes, each one of which expresses eternal and infinite essence,
necessarily exist. [IP14] Besides
God, no substance can be, nor can be conceived. [IP15] Whatever is, is in God, and nothing can
either be or be conceived without God.
[IP17] God acts from the laws
of His own nature only, and is compelled by no one. [IP18] God is immanent, and not the transitive[i] cause of all things.
[IP19] God is eternal, or, in
other words, all His attributes are eternal. [IP20] The existence of God and His essence are one
and the same thing. [IP21] All
things which follow from the absolute nature of any attribute to God must for
ever exist, and must be infinite; that is to say through that same attribute
they are eternal and infinite. [IP25]
God is not only the efficient cause of
the existence of things, but also of their essence. [IP26] A thing which has been determined to any
action is necessarily so determined by God, and that which has not been thus
determined by God cannot determine itself to action. [IP27] A thing which has been determined by God to
any action cannot render itself indeterminate. [IP30] The actual intellect[ii], whether finite or
infinite, must comprehend the attributes of God and the affections[iii] of God, and nothing
else. [IP33] Things could
have been produced by God in no other manner and in no other order than in
which they have been produced. [IP34] The power of God is His essence itself.”
The grammar of ornament : Jones, Owen, 1809-1874 Sumber gambar: archive.org |
Dalam bagian pertama buku Ethics ini, Spinoza bertolak dari pertanyaan ontologis “What exists?” dan dalam rangka menjawab masalah ini rerangka besar filsafat ketuhanan Spinoza [lih: IP14 dan IP15] adalah guna menjawab persoalan ada[iv]. Pembuktian ontologis Tuhan berangkat dari premis “hanya ada satu substansi”, yang daripadanya menjadi sumber pengada utama bagi segala ada-ada yang lain[v]. Substansi yang satu ini tidak lain adalah Tuhan, dan tidak lain adalah Alam semesta (Nature). Hal ini kemudian memberikan segalanya di alam raya kita ini dengan segala proses-proses formasinya, segala tujuannya, segala bentuknya, dan segala materinya. Dari keempat jalan ini, kita dapat mengetahui Tuhan menyebabkan segalanya[vi]. Bagi Spinoza, Tuhan sebagai substansi tertinggi harus (mutlak) ada (lih. IP11). Konsep ini, dibangunnya secara ontologis melalui tiga konsep utama yaitu hubungan terjadinya dari substansi, atribut, dan modus. Tuhan adalah sosok imanen, yang berada dan sudah ada di Alam semesta kita. Artinya eksistensi Tuhan adalah bersama dengan kita dan Alam semesta ini, bukan sosok yang melakukan perbuatan dari luar[vii]. Dalam arti ini bagi Spinoza, Tuhan transenden tidak ada, yang ada adalah Tuhan atau Alam semesta (Deus sive natura) yang kekal dengan segala hukum-hukumnya.
Spinoza memandang
Tuhan baik sebagai elemen universal dari Alam semesta, yaitu substansi,
atribut-atribut, dan sebagai segalanya yang terlibat didalamnya, yaitu termasuk
juga seluruh benda yang secara imanen menyebabkan dan sekaligus dimiliki oleh
kodrat-kodrat alamiah hingga ke tingkat yang paling partikular. Ia
mensubstitusikan substansi itu dengan Tuhan, yaitu disejajarkannya sebagai
suatu hal yang satu dan tak terbatas dengan segala atribut tidak terbatasnya. Bagi
Spinoza, properti substansi yang tidak terbatas ekuivalen dengan
ketidakterbatasan Tuhan. Idenya mengenai kebenaran metafisika tentang Tuhan
adalah Tuhan itu merupakan suatu substansi di alam dan dalam faktanya adalah hanya
identik dengan Alam semesta itu sendiri[viii].
Attribut-atribut Tuhan dapat dianggap sebagai prinsip-prinsip penyebab
universal atas segala yang berada di bawahnya. Hal ini merupakan logika
geometris yang digunakan Spinoza untuk menjelaskan ‘penyebab dan yang-disebabkan’,
yaitu suatu attribut dari ekstensi adalah kodrat dari ekstensi itu sendiri dan
melibatkan hukum-hukum yang mengatur seluruh materialnya (termasuk
kebenaran-kebenaran dari geometri itu, mengingat bahwa benda-benda geometris
adalah hanya keberuangan—extended objects—dari
benda-benda yang lain)[ix].
Tuhan itu tidak terlihat namun Ia memiliki
dimensi aktif dari Alam Semesta, yaitu hakikatnya dan hukum-hukumnya sendiri.
Hal ini mencakup semuanya, termasuk segala benda-benda yang ada di dunia ini
adalah efek dari kekuatan Tuhan. Artinya, substansi Tuhan hanya bisa dimengerti
melalui atribut-atribut tersebut. Alam Semesta ini bagi Spinoza tidak hanya
suatu benda-benda mati (sifat pasif) namun juga memiliki sifat aktif. Tuhan semacam
ini diidentifikasikan sebagai Natura
naturans [lit. naturing Nature],
yaitu sesuatu yang terjadi padanya hanya dapat dimengerti melalui dirinya
sendiri. Dalam terma ini, berarti Tuhan merupakan suatu ‘free cause’—bertindak dari dirinya sendiri. Hal ini juga termasuk
sifat Natura naturata [lit. natured Nature], yaitu bahwa segala
modus dari atribut-atribut Tuhan tidak dapat dimengerti tanpa kehadiran Tuhan
[lih. IP29, scholium][x].
Artinya, Tuhan adalah sesuatu yang menyebabkan sesuatu yang ialah dirinya
sendiri, dan dari sesuatu itu pula ia disebabkan. Alam semesta mengandung baik
aspek naturans (what causes) dan
sekaligus aspek naturata (what is caused)[xi].
Tuhan bagi Spinoza bukan sebagai yang lebih dulu ada dan kemudian mencipta Alam
Semesta dengan segala isinya, termasuk kita, manusia yang bermukim di dalamnya,
namun Tuhan adalah sebagai suatu ‘ada’ yang tak terbatas yang di dalamnya
mereka mengada sebagai modus-modus terbatas[xii].
Tuhan Spinoza adalah satu, namun plural. Konsep mengenai Tuhan semacam ini
melampaui konsep Tuhan tradisional yang dimiliki oleh tradisi Yahudi-Kristiani.
Dalam rangka memahami pandangan Spinoza
tersebut, kita perlu memahami apa itu substansi, atribut dan modus dalam
pengertian metafisikanya? Pertama, substansi adalah apa yang ada di dalamnya
dan dimengerti melalui dirinya sendiri, sebagai contoh adalah sesuatu hal yang
konsep dari padanya tidak memerlukan konsep dari sesuatu yang lain [lih. ID3—baca:
bagian pertama, definisi nomor 3]. Sesuatu yang hanya dapat dimengerti dari
dirinya sendiri digunakan Spinoza untuk mencoret kemungkinan pluralitas dari
substansi-substansi yang memiliki atribut yang sama. Substansi pastilah
penyebab pada dirinya sendiri, maka harus bersifat mengada (existent). Substansi dan
atribut ini harus dimengerti dalam suatu jalan kualitatif murni, karena hal ini
perlu untuk mengatasi penggandaan substansi melalui atribut[xiii].
Dengan kata lain, substansi adalah sesuatu yang padanya kita bisa mendapatkan
“ide yang adekuat”[xiv],
melaluinya pula kodrat dapat dimengerti tanpa dukungan dari apa-apa yang berada
diluarnya.
Kedua, atribut merupakan apa yang
dianggap oleh suatu intelek pada substansi sebagai penentu hakikatnya [lih. ID4].
Atribut-atribut bukanlah banyak jalan untuk melihat kepemilikan atas intelek, karena
dalam pandangan Spinoza, intelek hanya menganggap apa yang ada atau “what is”. Atribut-atribut ini bukan juga
emanasi, karena atribut-atribut ini tidak memiliki kuasa lebih (superioritas), tidak memiliki posisi
kuasa (eminence) antara substansi dan
atribut, dan atribut dengan atribut-atribut yang lain. Atribut-atribut ini
dalam realitasnya berbeda satu dengan lainnya, yaitu dalam rangka untuk dapat
dipahami, tidak suatu atribut pun membutuhkan atribut lainnya, atau sesuatu
yang lainnya itu dimiliki oleh yang lainnya. Hubungan suatu substansi dan
atribut ini hanyalah bersifat kualitatif dan formal, bukan bersifat numerik.[xv]
Jadi, atribut merupakan hal yang melampaui suatu properti yang bersifat esensi,
misalnya saya adalah binatang, namun juga saya adalah orang. Manusia adalah
orang yang sekaligus binatang, yang tidak bisa digantikan posisinya oleh objek
lain misalnya tanaman. Karena jika kehilangan salah satunya, maka saya berhenti
mengada[xvi].
Terakhir, modus adalah afeksi-afeksi
dari suatu substansi, yaitu sesuatu yang sesuatunya itu berada di sesuatu yang
lain dan dipahami melalui sesuatu yang lain itu [lih. ID5]. Hal ini secara
sederhana adalah suatu hal yang memiliki daya memodifikasi sesuatu. Suatu modus
tidak dapat mengada secara mandiri, tetapi hanya di dalam beberapa
sesuatu-sesuatu yang lain, yang padanya modus itu bergantung[xvii].
Secara skematis, substansi, atribut-atribut, dan modus-modus ini dapat
digambarkan secara sederhana hubungan-hubungannya seperti pada diagram berikut[xviii]:
Atribut-atribut/ Substansi:
|
Pikiran
(Thought)
|
----
|
Tuhan/
Alam Semesta
|
----
|
Keberuangan
(Extention)
|
|
|
|
|
||||
Modus-modus tak terbatas:
|
Intelek tak terbatas
|
Gerak dan henti
(Motion and Rest)
|
|||
|
|
|
|
||||
Modus-modus terbatas:
|
Jiwa
(Mind)
|
Tubuh
(Body)
|
Tuhan atau Alam semesta atau
substansi bekerja secara imanen ini, membawa konsekuensi logis bagi Spinoza,
yaitu benda-benda ada di dalam Tuhan dalam arti sebagai propertinya, atau
keadaannya, atau pun kualitas Tuhan itu. Segalanya itu berada di dalam Tuhan
sebagai bagian di dalam subyek. Hal itu semua dapat dijelaskan melalui hubungan
kausalitas antara substansi dan modusnya. Hubungan sebab akibat secara imanen
ini tidak dapat dipisahkan antara sebab dan akibatnya. Hal ini dapat dibedakan
dalam dua bentuk ciri kausalitas, yaitu: Pertama, causalitas secundum esse adalah hubungan sebab-akibat yang merujuk
pada ada—sesuatu yang sudah jadi (being).
Matahari adalah causalitas secundum
esse bagi cahaya dan radiasi panas, ketika reaksi fusi nuklir matahari
berakhir, maka cahaya dan radiasi panas pun ikut hilang. Kedua, causalitas secundum
fieri adalah hubungan sebab-akibat yang merujuk pada proses kemenjadian
menuju ke ‘ada’ (becoming—coming into
being). Tukang batu adalah seorang causalitas
secundum fieri bagi sebuah rumah. Ketika rumah itu selesai dibangun,
seorang Tukang batu itu tidak perlu lagi terus menerus bekerja mempertahankan
‘ada’-nya rumah itu. Rumah yang sudah jadi memiliki kemandirian ontologis dari
aktifitas si tukang batu itu. Bagi Spinoza, hubungan kausalitas imanen merujuk
pada ciri kausalitas yang pertama, artinya segala sesuatunya tidak terlepas
atau berada di dalam subyek sebagai sebab dan akibat itu sendiri[xix].
Jika segala sesuatunya berada dalam subyek Tuhan, maka sesungguhnya Spinoza
tidak mengangkat derajat Alam semesta menjadi Tuhan, ia malahan mereduksi Tuhan
menjadi Alam semesta. Alam semesta atau substansi yang harus ada, kekal,
mencakup segala, dan tak terbatas ini, justru malah bertentangan dengan bahwa
manusia memiliki kebebasannya sendiri. Dalam hal ini pikiran kita ini adalah
bagian dari Tuhan, sehingga kita ini seperti wayang-wayang dan dalang yang
bersama di dalam satu pentas bernama substansi. Kebebasan yang kita rasakan
sebenarnya hanyalah ilusi dari pikiran kita sendiri, memang kebebasan itu ada
namun bukan karena keputusan bebas, akan tetapi merupakan keniscayaan bebas.[xx]
[i] Transiens, passing over and
into from outside. Lihat catatan kaki penterjemah pada buku Ethics. edisi
Wordsworth classics of world literature, terjemahan W.H. White tahun 2001.
[ii] Dibedakan dengan potential intellect, pada proposisi
nomor 31. Lihat catatan kaki dari penterjemah.
[iv] bdk. Scruton (2002) hal. 34
[v] Lih. IP1 s.d.
IP10, Spinoza membangun konsep tentang Tuhan dengan mendeduksikan
hubungan satu substansi dan segala atributnya dimungkinkan ada, sekaligus
menolak adanya substansi yang serupa namun lain, bdk. Nadler (2006) hal. 59-60.
[vi] bdk. DK (2011) hal. 127
[vii] Lihat demonstrasi dari
Proposisi 18 di Ethics, “…God, therefore,
is the immanent, but not the transitive cause of all things.”
[viii] bdk. Nadler (2006), hal. 73
[ix] bdk. Nadler (2006), hal. 77
[x] bdk. Nadler (2006), hal.
82
[xi] Catatan dari
[xii] bdk. Donagan (2006), hal. 345
[xiii] bdk. Deleuze (1988),
hal. 109
[xiv] Sifat adekuat (adequacy) merupakan masalah yang
diperdebatkan para penganut aliran filsafat Spinoza. Baik secara ontologis
maupun epistemis ihwal ide-ide yang datang dalam benak kita ini coba dijelaskan
bdk. Marshall (2014), hal. 20.
[xv] bdk. Deleuze (1988), hal.
51
[xvi] bdk. Scruton (2002),
hal. 48
[xvii] bdk. Scruton (2002),
hal. 42
[xviii] Disadur dari laman web
https://plato.stanford.edu/entries/spinoza-attributes/
[xix] bdk. Nadler (2006), hal.
79-80
[xx] bdk. Nadler (2006), hal.
110-111
Daftar Pustaka
Armstrong, Karen. 1993.
Sejarah Tuhan: Kisah 4000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-agama Manusia.
Dialihbahasakan oleh Zaimul Am. Bandung: Mizan.
Connelly, Stephen.
2015. “God and the Attributes.” Dalam Spinoza: Basic Concepts, oleh
Andre Santos Campos, 1-13. Exeter: Imprint Academic.
Deleuze, Gilles. 1988. Spinoza: Practical
Philosophy. Translated by Robert Hurley. San Fransisco: City Lights
Books.
DK. 2011. The Philosophy Book: Big ideas simply
explained. New York: DK Publishing.
Donagan, Alan. 2006. "Spinoza's Theology."
In The Cambridge Companion to Spinoza, by Don Garrett, 343-382.
Cambridge: Cambridge University Press.
Long, A. A. 2003. "Stoicism in the
Philosophical Tradition: Spinoza, Lipsius, Butler." In The Cambridge
Companion to The Stoics, by Brad Inwood, 365-392. Cambridge: Cambridge
University Press.
Magnis-Suseno, Franz. 1997. 13 Tokoh Etika.
Yogyakarta: Kanisius.
—. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Marshall, Eugene. 2013. The Spiritual Automaton:
Spinoza's science of mind. Oxford: Oxford University Press.
Nadler, Steven. 1999. Spinoza: A Life.
Cambridge: Cambridge University Press.
—. 2006. Spinoza's Ethics An Introduction.
Cambridge: Cambridge University Press.
Rocca, Michael Della. 2008. Spinoza. New
York: Routledge.
Scruton, Roger. 2002. Spinoza: a very short
introduction. Oxford: Oxford University Press.
Spinoza, Benedict. 2001. Ethics. Edited by
A.H. Stirling. Translated by W.H. White. London: Wordsworth Edition Limited.
Yakira, Elhanan. 2015. Spinoza and the Case for
Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.
Comments
Post a Comment