Hidup Nomaden: Ketika Airport Menjadi Rumah
Bukan suatu keputusan yang bersifat spontanitas untuk
mengunjungi Canggu. Sudah lama memiliki keinginan untuk berpindah dari suatu
tempat. Rasa ketidakkerasan dalam suatu ruang sosial di kota urban yang makin
lama semakin menyerang psikologis diri. Ada sebuah pertanyaan reflektif terkait
dengan ketidakkerasan ini dan keinginan untuk pindah dan tinggal di kota-kota
lain. Bukankah sejatinya hidup ini memang sebuah perjalanan, yang tidak pernah
menginginkan suatu persinggahan dalam waktu?
![]() |
Persawahan di daerah Pererenan, Mengwi. Sumber gambar: Penulis |
Hasil dari riset beberapa informasi yang dilansir blog-blog
para warga expat yang tinggal di daerah itu, pekerjaan mereka adalah self-employment, dengan kata lain mereka
bekerja untuk diri mereka sendiri. Kebanyakan mereka bekerja sebagai tenaga
kerja lepas digital. Seorang tetangga villa yang saya tinggali mengkonfirmasi
hal itu. Hasil obrolan singkat kami saat itu ada hal-hal yang membuat saya
semakin penasaran, mengapa Canggu menjadi tujuan bagi para expat untuk tinggal
di Bali.
Pagi itu, seperti biasa sepulang lari pagi di jalan raya
seputaran Pererenan—Batu Bolong, saya sarapan pagi. Memang villa yang saya
tinggali memberikan fasilitas berupa dapur yang lengkap bersama dengan alat
masak dan makannya, bahkan ada lemari pendingin. Pagi itu, ada beberapa tamu
lain yang sudah bangun dan duduk-duduk di teras depan kamar mereka. Alih-alih
saya bersenda gurau dengan mereka saya memilih untuk merapikan kembali
peralatan masak dan makan yang telah saya gunakan. Ah, saya pikir pasti
alat-alat ini akan segera berganti digunakan oleh tamu yang lain, saya pun
bergegas ke dapur.
“Morning!” sapanya sembari ia menyalakan lampu dapur
“Oh.. Thanks!” jawab saya, “I think it’s better” balasnya. Karena kami bersama-sama di dapur sempit itu, sembari ia menuang müslie dan susu ke dalam mangkuk sarapannya, kami berbincang menyapa.
“Are you working here? Or just in a vacation?”
“No, I’m working for myself”
“Owh that’s great! What do you do then?”
“I do something related to marketing”
“Obviously, I’m on vacation here, but I’m looking for other opportunity about job in Bali. By the way, where are you coming from?”
“Hmm... where do I come from?” “…so, you are citizen of the world then” potongku. “Hehe… Last time I was living on Australia, but before I’m French” dan obrolan kami berlanjut hingga ia selesai membereskan sarapannya.
Dari sepotong penggalan perjumpaan kami itu, saya justru
terganggu dengan jawabannya terkait dangan asal-usulnya. Apakah sebuah
identitas keberuangan tidak lagi menjadi penting untuk orang ini. Berbeda
dengan orang-orang asing yang saya jumpai sebelumnya yang dengan lugas
menyatakan diri bahwa ia bagian dari lokasi geografis, ekonomi, sosial dan
budaya tertentu.
Rasa penasaran semakin menyeruak muncul ketika saya
memperhatikan aktivitas-aktivitas mereka. Secara rata-rata perputaran penghuni
Canggu hanya berumur paling lama adalah dua hingga tiga bulan. Ini karena izin
tinggal visa dari Australia yang tidak mengenakan biaya apapun pada 30 hari
pertama. apa yang mereka kerjakan selain
bermain papan ombak, yoga, makanan vegan, atau pesta-pora dionisos di pinggir
pantai? Apa yang saya saksikan disana tidak cukup memuaskan saya mengapa mereka
memilih hidup begitu sederhananya sebagai kaum nomaden.
Canggu dalam berbagai informasi dan beberapa hasil observasi
langsung, para expat ini dapat dikategorisasikan secara psikografisnya sebagai
para Neo-Hipsters/Yuccies, Surfers,
Vegans, dan lain sebagainya. Mayoritas mereka adalah berkewarganegaraan
Australia, dan Eropa, serta sebagian kecil Korea dan Jepang. Selain liburan,
mereka ini, menurut pengakuan pemilik Villa kami, pekerjaan yang dilakukan
adalah bisnis secara online. Akan tetapi ia tidak tahu apa bentuknya. Disini
saya justru tertarik dengan kaum neo-Hipsters/Yuccies
yang menjadi pada Digital Nomad di Bali.
Memang dalam psikografis Yuccies,
mereka memiliki ciri-ciri yang identik dengan para Hipsters, senang bertato yang hampir menutupi kedua lengan dan
beberapa bagian kaki. Berpakaian yang serba hitam, atau juga dengan motif
bercorak bunga-bunga ala tahun 80-an dan bersepatu kets ataupun tanpa alas
kaki. Memelihara jenggot panjang, dengan potongan rambut rapi. Dalam hal mimpi,
mereka mendambakan cepat kaya, yang disokong oleh kegiatan kreatif ala mereka.
Mereka ingin mendapatkan bayaran untuk ide-ide mereka alih-alih mengerjakan
gagasan dan perintah orang lain. Dalam hal ini pula, kelompok ini secara
relative meminta adanya kebebasan dalam arti yang baru.
Dalam konteks wacana globalisasi dan kapitalisme, saya ingin
merefleksikan wacana yang dilemparkan oleh Ulrich Beck dalam Living Your Own Life in a Runaway World:
Individualisation, Globalisation and Politics, yang menurut saya cukup
relevan dengan intensi-intensi para digital nomad ini. Beck dalam artikelnya
yang dimuat dalam Global Capitalism
(2000) suntingan Giddens dan Sutton, mengajukan beberapa pertanyaan dan
pernyataan terkait dengan motif yang mendahului eksistensi mereka, yakni (hal.
164):
“What really moves people there, what they strive and struggle to achieve, the answer may be money, work, power, love, God, or whatever, but it would be, more and more, the promise of ‘a life of your own’…What drives people to reach for the stars in their lives? Why is this new direction emerging which, though seemingly meaningful only at the level of the individual, is really unfolding in accordance with a schematic pattern? What explains the zeal, the fear and enthusiasm, the cunning and determination, with which large numbers of people fret and fight for their ‘own lives’?”
Era kapitalisme lanjut yang merupakan produk pemikiran modern,
yakni ketika kehidupan seseorang tidak lagi berlandaskan suatu logika-logika
yang dibangun dari suatu narasi besar. Kita hidup dimana Tuhan pun berhak untuk
kita pilih. Manusia hidup berlandaskan atas sebuah hakikat kebebasannya
sendiri, yaitu segala keputusan bebasnya, bukan karena perihal sesuatu
deterministik alam. Bahkan kondisi kehidupan sosial kita sekarang ini, lingkup
batas-batas sosial sendiri semakin memudar. Seorang pribadi tidak lagi
ditentukan oleh lingkungan ia tinggal, keturunan keluarga tertentu, suku, ras,
bahasa, dan lain sebagainya. Cara hidup orang-orang di masa ini, menjadi hal
yang bersifat etis sebagai cara mereka bertindak dalam pemenuhan dirinya dan
pencapaiannya adalah arus yang paling kuat di tengah masyarakat modern (Beck,
2000, hal.165).
Dalam hal ini Beck sendiri memaparkan limabelas petunjuk penting
dalam dunia kapitalisme modern yang tak terkendali lagi. (1) Suatu keharusan
untuk mengedepankan kehidupanmu itu dan kemungkinan untuk bertindak atasnya
muncul ketika suatu masyarakat itu terdiferensiasi secara tinggi. (2) Hidupmu
ini bukanlah suatu kehidupan yang aneh untuk dirimu sendiri. (3) Kehidupanmu itu
merupakan kehidupan yang secara menyeluruh bergantung pada institusi-institusi.
(4) Hidup dengan caramu sendiri, dengan demikian berarti bahwa suatu
biografi-biografi terstandar menjadi biografi-biografi pilihan, ‘lakukan
sendiri—do it yourself’, berisiko,
dan tercacah-cacah (broken-down). (5)
Kendati, atau karena disebabkan oleh, adanya anjuran-anjuran yang bersifat
institusional dan kegelisahan yang tidak dapat dikalkulasikan, hidupmu sendiri
itu dikutuk untuk segala aktivitas-aktivitasmu. (6) Hidupmu itu adalah
kegagalanmu sendiri. (7) Orang-orang bersusah-payah untuk menghidupi di kehidupannya
sendiri dalam suatu dunia yang semakin dan lebih terbukti melepaskan genggaman-genggaman
mereka, yang satu itu tidak dapat dibatalkan dan terjaring secara global. (8) Sisi
lain dari globalisasi adalah gerakan detradisionalisasi. (9) Apabila globalisasi,
detradisionalisasi, dan individualisasi dianalisa secara bersama-sama, hal itu
menjadi jelas bahwa hidupmu memang merupakan sebuah hidup yang bersifat
eksperimen. (10) Hidupmu itu adalah sebuah kehidupan yang reflektif. (11)
Menghidupi kehidupanmu sendiri, dalam hal itu, adalah sebuah bentuk modernisme
lanjut, yang memberikan kenikmatan tertinggi. (12) Hidupmu, dalam kacamata ini,
adalah suatu peradikalan atas kehidupan yang non-identik. (13) Menghidupi
hidupmu sendiri, maka dari itu dapat berarti menjalani hidup dibawah suatu
kondisi demokrasi yang diradikalisasi, yang baginya banyak konsep dan rumusan
di era modern awal sudah menjadi tidak mencukupi lagi. (14) Pemerosotan
nilai-nilai yang oleh kaum pesimis budaya sering disuarakan, merupakan fakta
bahwa ada suatu penyingkapan segala kemungkinan untuk melepaskan diri dari cara
pandang dan perangkat nilai kehidupan tentang apapun yang ‘lebih besar, lebih
banyak, lebih baik’ di dalam suatu periode yang hidup ini melampaui setiap
maknanya secara ekologis dan ekonomis. (15) Dominasi dari hidup caramu sendiri
pada akhirnya mengarahkan pada suatu pembukaan dan suatu sub-politisasi
masyarakat, tetapi juga mengarahkan pada suatu tindakan depolitisasi dari
politik nasional.
Dalam pemparan Beck tersebut diatas, ketika kita hidup dalam
suatu atmosfer yang semakin menuntut kita untuk semakin menggantungkan pada
kemampuan diri sendiri, maka pertanyaannya apakah hidup dengan cara ‘semau diri kita sendiri
ini’ memiliki makna kebebasan yang hampir mutlak? Tentu saja masih ada batas, namun pada kenyataannya, bahwa
gelombang globalisasi telah memfasilitasi kita untuk semakin hidup nomaden,
membongkar segala struktur dimensi sosial yang merupakan warisan era modernisme
awal yang banyak membelenggu hasrat-hasrat kita. Alih-alih bekerja di korporasi dan menerima gaji, banyak orang yang memilih
menjadi entrepreneur atau bekerja untuk diri sendiri. Alih-alih memiliki tempat
tinggal mewah, dengan segala fasilitas, banyak orang memilih hidup
berpindah-pindah kota, negara, bahkan benua. Alih-alih menabung untuk berwisata
masa tua, banyak orang memilih hidup berwisata, toh juga karena biaya
perjalanan yang murah, visa dan izin tinggal yang lebih mudah diperoleh. Alih-alih
menikah, memiliki anak, membangun struktur keluarga batih, banyak orang lebih
menikmati keintiman mereka dalam suatu periode waktu dan ruang yang singkat,
seperlunya dan secukupnya, yaitu keintiman dalam sebuah momentum. Alih-alih merasa
nyaman dan tenang di rumah dan tanah miliknya, malahan lebih kerasan dan
antusias ketika berada di bandar udara sambil menunggu pesawatnya. Dalam hal
fakta-fakta ini semua, sejauh apa seorang individu yang semakin dihadapkan pada
tegangan untuk membelenggu dirinya dalam status quo cara-cara lama kehidupan
kolektif, dan berani melepas tali kekangnya untuk menjadi individu bebas dan nomaden?
Sejauh apa pula pada nomad ini dapat berelasi dengan para nomad yang lain?
Dalam 1227: Treatise
on Nomadology—The War Machine di dalam A Thousand Plateau (ATP) yang
ditulis oleh Deleuze dan Gauttari (D&G), pada tahun 1987[i].
Mereka mengaksiomakan dan memproposisikan terkait dengan perihal nomad ini,
antara lain:
[ATP-A2] The war machine is the invention of the nomads (insofar as it is exterior to the State apparatus and distinct from the military institution). As such, the war machine has three aspects, a spatiogeographic aspect, an arithmetic or algebraic aspect, and an affective aspect. [ATP-P5] Nomad existence necessarily effectuates the conditions of the war machine in space. [ATP-P6] Nomad existence necessarily implies the numerical elements of a war machine. [ATP-P7] Nomad existence has for “affects” the weapons of war machine. [ATP-Pb3] How do the nomads invent or find their weapons? [ATP-P8] Metallurgy in itself constitutes a flow necessarily confluent with nomadism. [ATP-A3] The nomad war machine is the form of expression, of which itinerant metallurgy is the correlative form of content. [ATP-P9] War does not necessarily have the battle as its object, and more important, the war machine does not necessarily have war as its object, although war and the battle may be its necessary result (under certain conditions).
Rumit memang untuk memahami cara berpikir D&G terkait
dengan filsafatnya. Cara penulisan aksioma dan proposisi terkait dengan etika
ini, mirip dengan gaya Spinoza. Penulis sementara ini belum berani untuk
mengambil posisi kritis sebagai pijakan pemahamannya.
Melengkapi pemaparan Ulrich Beck diatas, penulis sementara
ini mencoba masuk dari pemahaman Braidotti (2012), yang menggarisbawahi posisi
etika imanensi Deleuze yang melanjutkan tradisi pemikiran Spinoza. Ia merangkumkan
etika nomad memprioritisasikan relasi, praxis, dan kompleksitas sebagai komponen-komponen
kunci dan hal ini mendorong tiga lapis perubahan. Pertama, hal ini melanjutkan
penekanan pada suatu etika radikal dari suatu transformasi, dalam hal
oposisinya dengan protokol moral etika Kantian. Kedua, hal ini menggeser fokus
dari suatu hal yang bersifat uniter dan berasal daru kesadaran berpendorong
rasional, menjadi suatu ontologi pada prosesnya. Ketiga, hal ini memisahkan
dari pemunculan subjek yang berasal dari logika menidak, dan melekatkan subyektifitas
untuk mengafirmasi ‘Keliyanan’ (Otherness)—kebersalingan
yang sebagai penciptaan, bukan hasil dari mengakui ‘Kesamaan’ (Sameness). Kunci-kunci ideal untuk etika
kebebasan ini antara lain: Pertama, fokus pada kebulatan tekad pada diri
sendiri melalui tindakan-tindakan yang menentang ataupun yang melawan, disini
adalah perihal terkait resistensi dan transgresinya. Kedua, perihal ide terkait
kebebasan ini menekankan pada analisa kritis dan secara konstan, atau terus
menerus mempertanyakan. Ketiga, tindakan mencermati diri atau memeriksa diri
sendiri tidak bisa dilepaskan dari analisa sosial atas kondisi-kondisi
dominasi. Dalam hal ini semua teori nomaden adalah bentuk dari pragmatisme
etis. Bagaimana mencari sebuah titik keseimbangan untuk itu semua menjadi
sentral pertanyaan etikanya.
Sampai disini, penulis memberikan kesimpulan sementara bahwa
pemaparan Beck menjangkarkan permasalahan sosial kapitalisme dan globalisasi
ini pada pilihan-pilihan subjek yang tidak lagi mempersoalkan dalam konteks makro politiknya, akan
tetapi lebih kepada perkara-perkara mikronya. Menanggapi pemaparan Beck
tersebut melalui cara berpikir Deluzian, bahwa pengandaian nomad adalah secara
spasio-temporal ketika berada di medan pertempuran, bagaimana bertahan hidup dengan teknologi yang tersedia, seadanya. Keterbukaan akan sesuatu
yang liyan, dan kemampuan beradaptasi akan hadirnya perbedaan-perbedaan cara pandang menjadi kunci bagi seorang subjek untuk dapat terus menjaga
keseimbangan tindakan-tindakan etisnya. Apakah kesimpulan ini terkonfirmasi? Belum
tahu, saya pun berencana untuk kembali dan tinggal di desa itu bersama mereka
untuk menjawab pertanyaan ini.
![]() |
Matahari terbenam di seputaran Pantai Serangan, sumber gambar: Penulis |
Daftar Bacaan
Braidotti, Rosi. "Nomadic Ethics." In
The Cambridge Companion to Deleuze , disunting oleh Daniel W.
Smith, & Henry Somers-Hall, 170-197. Cambridge: Cambridge University
Press, 2012.
Deleuze, Gilles, and Felix Guattari. A Thousand
Plateau: Capitalism and Schizophrenia. diterjemahkan oleh Brian Massumi.
Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987.
Hutton, Will, and Anthony Giddens. Global
Capitalism. New York: The New Press, 2000.
[i]
Penulis menggunakan buku terbitan University
of Minnesota Press yang diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Brian Masumi.
Judul asli dari buku ini adalah Mille
Plateaux, Capitalisme et Schizophrénie yang terbit pada tahun 1980, Paris:
Les Editions de Minuit.
Comments
Post a Comment