Homo Digitalis (3): ‘Pelipatgandaan’ Informasi dan Mikro Politik Keagamaan di Ruang Maya (bagian II)
Dalam unggahan sebelumnya, penulis memaparkan masalah dan konsep terkait keberuangan subjek di ruang privat, publik dan maya [Lih. Homo Digitalis (3): ‘Pelipatgandaan’ Informasi dan Mikro Politik Keagamaan di Ruang Maya (bagian I)]. Untuk ulasan selanjutnya, penulis akan memaparkan konsepsi akar rimpang untuk menjelaskan problem pelipatgandaan di ruang maya, dan keterkaitannya dengan kehidupan beragama.
Jika masalah ruang maya adalah ‘pelipatgandaan’ informasi
yang berakibat pada tidak bertambahnya ruang baru dan keragaman, maka apakah
hal ini mengacaukan momen dialektis para warga net dalam menciptakan Sittlichkeit? Migrasi digital masyarakat
warga menjadi warga net tidak begitu saja mejadikannya ‘bermukim’ total di
ruang maya. Mereka hanya mengalami secara semiotik masalah ‘pelipatgandaan’
informasi ini, yang akan selalu tersublimasi dan termanifestasi dalam alam
bawah sadar individu. Jika kesadaran manusia hanyalah hasil kerja pengolahan
data dari apa yang datang melalui inderanya dan dengan apa yang terdapat dalam
alam bawah sadarnya, maka proses ‘pelipatgandaan’ ruang maya ini akan mampu
mengaburkan kemungkinan-kemungkinan kebenaran realitas yang lain, namun
sekaligus mengintensifkan kebenaran subjektifnya atau seleranya, karena ruang
maya bekerja dengan menampilkan yang itu-itu saja. Contohnya, algoritma ruang
maya dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi atas pilihan-pilihan kita dengan
mempelajari aktivitas kita, bahwa rekomendasi yang ditampilkan merupakan
intensifikasi atas pilihan kita, namun kenyataannya kita kehilangan
kemungkinan-kemungkinan lain yang berada di luar bingkai intensifikasi itu.
Neo sedang menghentikan laju peluru. Ia adalah seorang tokoh protagonis di dalam film The Matrix (1999) yang disutradarai oleh The Wachowskis. Dunia maya diwujudkan dalam imajinasi film The Matrix. Sumber gambar: uk.businessinsider.com |
Berbeda dengan pendapat Karlina
Supelli, ‘pelipatgandaan’ di dalam ruang maya dapat dibayangkan seperti
mekanisme gerak sulur akar rimpang (rhizome) yang selalu bergerak menutupi
suatu bidang. Ruang maya bukanlah seperti ruang dalam trimatra arsitektural,
akan tetapi merupakan bidang datar tanpa batas. Artefak informasi para warga net
ini menjadikan jejak teks yang dilipatgandakan di dalam World Wide Web (www).
Katakanlah www ini seperti bidang
polos tanpa batas yang siap diisikan apa saja seperti halnya buku, maka www bukanlah ruang yang menjadi tujuan
para warga net karena buku adalah semacam ‘ruang antara’ bertemunya antar dua
subjek. Menurut Deleuze dan Guattari di dalam
buku A Thousand Plateau: Capitalism and
Schizophrenia (1987) mengemukakan bahwa:
“A book has neither object nor subject; it is made of variously formed matters, and very different dates and speeds. To attribute the book to a subject is to overlook this working of matters, and exteriority of their relations… In a book, as in all things, there are lines of articulation or segmentarity, strata and territories; but also lines of flight, movements of detteritorialization and destratification (hal 3)… All this, lines and measurable speeds, constitutes an assemblage. A book is an assemblage of this kind, and as such is unattributable. It is multiplicity—but we don’t know yet what the multiple entails when it is no longer attributed, that is, after it has ben elevated to the status of substantive. One side of a machinic assemblage faces the strata, which doubtless make it a kind of organism, or signifying totality, or determination attributable to a subject; it also has a side facing a body without organs, which is continually dismantling the organism, causing asignifying particles or pure intensities to pass or circulate and attributable to itself subjects that it leaves with nothing more than a name as the trace of an intensity (hal.4)."
‘Urbanisasi’ massa ke ruang maya ini,
merupakan perpindahan modus eksistensi para individu untuk bermukim. Jika
diandaikan kembali ke zaman Yunani kuno, gerak massa ini seperti kaum nomaden
yang selalu berpindah-pindah ke polis-polis
yang ada. Ruang maya bukanlah polis
itu, karena ruang maya tidak dapat dihuni seperti halnya polis yang memiliki struktur aturan. Ruang maya menjadi ruang nomad diantara ruang bermukim (sedentary). Di dalam ruang maya ini, batas
pemisah antara ‘yang privat’ dan ‘yang publik’ ini menjadi kabur atau dengan
kata lain individu dapat mendeteritorialisasi dan mereteritorialisasi. Konektivitas
dalam jejaring digital memungkinkan seseorang dapat mengunggah sesuatu ‘yang
privat’ namun seringkali dimaknai oleh pengguna lain sebagai masalah publik dan
sebaliknya. Dalam hal ini, konektivitas ini tidak dapat lagi dimetaforakan
seperti halnya sebuah pohon yang memiliki tatanan, teritori, mengakar dan memiliki
struktur yang menyatukannya secara total, namun konektivitas lebih cenderung
bergerak menyerupai dinamika akar rimpang yang serba dinamis, tidak ada
pusatnya, melipatganda menjalar ke segala arah, dan sekaligus dapat dimasuki
dari segala arah[i]. Mekanisme
komunikatif dalam ruang maya ini dapat diandaikan seperti halnya setiap orang yang
sedang menjadi penulis dan sekaligus pembaca buku, atau siapapun sedang bersama-sama
merakit (assemblage) hal apapun di
dalamnya secara otonom, dan tidak lagi heteronom seperti di dalam Polis. Mekanisme komunikatif di ruang
maya adalah bentuk rhizoma[ii].
Pemisahan antar ruang dan pelipatgandaan tersebut telah
membawa kita pada perkara politis terkait agama. Bagaimana pandangan akar
rimpang ini mengkritik mekanisme tradisional yang totaliter, seperti munculnya
beragam radikalisme keagamaan di Indonesia? Konsep akar rimpang hendak mengajak
kita untuk melepaskan kekangan-kekangan pemikiran lama, atau teritori lama.
Pemisahan ‘yang privat’ dan ‘yang publik’ merupakan cara berpikir yang masih
terjebak dalam metafora ‘pohon’, yaitu meskipun beranting dan bercabang namun
akan kembali kepada satu batang besar sebagai titik tengahnya. Memperlawankan
secara biner ‘yang privat’ dan ‘yang publik’ sama halnya dengan
mengklasifikasikan laki-laki dan perempuan, atas dan bawah, kaya dan miskin,
negara dan rakyat, agama dan non-agama, dan lain sebagainya. Cara berpikir
semacam ini, menurut Deleuze dan Guattari masih membawa pola-pola fasisme, yang
secara otomatis akan menolak pluralisme. Berbeda dengan rhizoma, karena ia
dapat mengkoneksikan segala sesuatu untuk bergerak keluar melalui ‘lintasan
penerbangan’ (line of flight)[iii]
demi menemukan sesuatu yang baru, atau deteritorialisasi. Dengan kata lain,
secara eksistensialisme individu mampu beranjak untuk meninggalkan tempat
bermukim lamanya, yang serba nyaman[iv].
Dengan ini, ‘pelipatgandaan’ yang terjadi di ruang maya dapat menghasilkan
kebaruan, namun perlu diwaspadai bahwa teknologi informasi sesungguhnya tidak
bebas, karena tetap memisahkan penggunanya dengan algoritma biner, dan sehingga
memungkinkan terjadinya intensifikasi ekonomi dari ‘pelipatgandaan’ itu.
Agama melalui institusinya, merupakan
bentuk molar, yang memiliki kuasa sentralistik yang memutus pelipatgandaan ini
dengan konsep dosa. Akan tetapi, agama dalam individu dapat menjadi molekular
selama individu tersebut diperbolehkan ikut mentafsir sesuai dengan realitas
partikularnya. Fasisme melekat di setiap individu dan dapat bangkit menjadi
suatu yang total di dalam bentuk politik makronya. Orang tua dapat melegalkan
kekerasan dengan menggunakan alasan ketuhanan/keagamaan kepada anaknya, karena
keluarga semacam ini juga merupakan bentuk terkecil institusi politik berbentuk
tirani keagamaan, organisme yang membatasi body
without organ (hasrat)[v].
Dengan kata lain, agama secara politik mikro tereduksi maknanya menjadi hanya
suatu alasan dan sarana melancarkan kehendak untuk berkuasa[vi].
Beredarnya kanal radikalisme agama di ruang maya merupakan proses molecular
yang bergerak dinamis, tanpa adanya struktur etis, dan berikutnya menjadi suatu
molar, terstruktur dan teragregasi di ruang nyata. Terorisme (dan bom bunuh
diri menjadi bentuk ekstrimnya) adalah kondisi molar dari gerak molekular ini[vii].
Gerak ini saling beresonansi di dalam ruang maya, yang mampu bersentuhan dengan
hasrat. Dengan kata lain, ruang maya telah menjelma menjadi kamar resonansi (resonance chamber) para penggunannya.
Pancasila dengan anasir sila-silanya
sesungguhnya dapat diandaikan sebagai suatu ideologi dengan ruang nomad dan
ruang bermukim sekaligus, koridor dari berbagai ‘lintasan penerbangan’ yang
memungkinkan suatu paham etnis, agama, golongan dapat dikompromikan dari
berbagai arah. Memolarkan ide keagamaan malalui sila pertama, secara niscaya
sudah menciderai keempat sila lainnya. Pancasila harus dipandang sebagai satu
kesatuan substansi dan attributnya, karena kebhinekaan itu sendiri adalah
bentuk rhizoma. Kegagalan orde baru yang menyebabkan pancasila kini dianggap
ideologi gagal yang siap diganti dengan ideologi negara agama. Pancasila telah digunakan
rezim orde baru untuk menghabisi segala pelipatgandaan tafsir yang mungkin
dengan jalan kekerasan militeristik, yaitu rezim fasis, sentralistik, dan
tertutup. Reformasi dan ruang maya telah membuka kembali jalinan hasrat
masyarakat ke dalam ruang nomad, yang kemudian hal ini dimanfaatkan oleh
pihak-pihak yang kembali ingin mentotalkan kekuasaannya dengan dalil-dalil
agama dan ketuhanan. Tawaran ideologi negara agama, menjadi menarik bagi
masyarakat yang merindukan kepastian, yaitu sebagai anti-tesis ketidakpastian
dari negara Pancasila-kapitalistik di ruang bermukim lama.
Akhirul kata, apa yang terjadi
dalam ruang maya bukanlah melulu negatif, namun bisa dimanfaatkan sebagai ‘peta
dasar’ dari momen masyarakat warga untuk melahirkan roh berbangsa dan bernegara
secara sehat. Ruang maya adalah suatu ruang resonansi dinamis yang berwujud ‘ruang
antara’ yaitu pertemuan antara ruang bermukim dan ruang nomad. Di dalamnya dan
proses kemenjadian adalah relasi antara subjek yang sekaligus objek dalam
rhizoma pengetahuan yang tidak pernah pasti. Hal ini menjadikan ruang maya
adalah ‘batas antara’, yaitu bak kaca cermin satu arah bagi seorang subjek, dan
menjadi cermin satu arah lain bagi subjek-subjek liyan yang saling berkomunikasi,
suatu kaca sekat yang selalu menghasilkan bias-bias interpretatif akan kebenaran
realitas. Dalam hal ini, Pancasila sebagai dasar negara yang mendasarkan pada
pluralisme harus ditafsir terus agar mampu memanfaatkan ruang maya ini sebagai
alat pencipta prosedur dialektis untuk mengantar warganya mencapai yang
dicita-citakan. Inilah yang menjadi
pekerjaan rumah kita bersama dalam ruang publik maya.
Deleuze, Gilles, and Felix Guattari. 1983. Anti
Oedipus: Capitalism and Schizophrenia. Mineapolis: University of
Minnesota.
Deleuze,
Gilles, dan Felix Guattari. 1987. A Thousand Plateau: Capitalism and
Schizophrenia. Dialihbahasakan oleh Brian Massumi. Minneapolis: University
of Minnesota Press.
Haryatmoko. 2016. Membongkar Rezim
Kepastian: Pemikiran kritis post-strukturalis. Yogyakarta: Kanisius.
Magnis-Suseno,
Franz. 2010. “"Masyarakat Warga" dalam Pemikiran Locke, Rosseau dan
Hegel.” Dalam Ruang Publik: Melacak "Partisipasi Demokratis" dari
Polis sampai Cyberspace, disunting oleh F. Budi Hardiman, 107-121.
Yogyakarta: Kanisius.
Sitorus,
Fitzerald K. 2010. “"Masyarakat Warga" dalam Pemikiran G.W.F.
Hegel.” Dalam Ruang Publik: Melacak "Partisipasi Demokratis" dari
Polis sampai Cyberspace, disunting oleh F. Budi Hardiman, 123-166.
Yogyakarta: Kanisius.
Supelli,
Karlina. 2010. “Ruang Publik Dunia Maya.” Dalam Ruang Publik: Melacak
"Partisipasi Demokratis" dari Polis sampai Cyberspace, disunting
oleh F. Budi Hardiman, 329-346. Yogyakarta: Kanisius.
Wibowo, A.
Setyo. 2010. “Kepublikan dan Keprivatan di dalam Polis Yunani Kuno.” Dalam Ruang
Publik: Melacak "Partisipasi Demokratis" dari Polis sampai
Cyberspace, disunting oleh F. Budi Hardiman, 23-61. Yogyakarta: Kanisius.
Catatan-catatan Akhir
[ii]
Bdk. Deleuze dan Guattari, A Thousand Plateau: Capitalism and Schizophrenia, 1987, hal. 8. Principle of multiplicity: it is only when
the multiple is effectively treated as a substantive. “multiplicity,” that it
ceases to have any relation to the
One as subject or object, natural or spiritual reality, image and world.
Multiplicities are rhizomatic, and expose arborescent pseudomultiplicities for
what they are. There is no unity to serve as pivot in the object or to divide
in the subject… Multiplicities are defined by the outside: by the abstract
line, the line of flight or deteritorialization according to which they change
in nature and connect with other multiplicities (hal. 9).
[iii]
Istilah line of flight diterjemahkan
oleh Haryatmoko (2016) sebagai ‘garis terbang’, dalam hemat penulis garis
masih memiliki makna sebagai batas yang jelas dan memisahkan dua bidang,
sedangkan line of flight merupakan
lintasan abstrak, seperti semut berbaris yang merayap seolah terdapat
lintasannya. Bdk. ibid. hal. 9 The line of flight marks: the reality of a
finite number of dimensions that the multiplicity effectively fills; the
impossibility of supplementary
dimension, unless the multiplicity is transformed by the line of flight;
[iv]
Bdk. Haryatmoko, 2016, hal. 125.
“Deterioralisasi sebetulnya mau membidik keluar dari zona aman. Nilai suatu teritori
bersifat eksistensial: ia memberi kepada setiap orang lingkup nyaman, sudah
terbiasa dan mengikatnya, yang membantu mengambil jarak terhadap yang lain dan
melindunginya dari kekacauan atau bahaya.”
[v]
Deleuze dan Guattari di dalam Anti-Oedipus,
1983, mengemukakan konsep ‘body without
organ’ sebagai “The body without organs, the unproductive, the unconsumable, serves as
a surface for the recording of the entire process of production of desire, so
that desiring-machines seem to emanate from it in the apparent objective
movement that establishes a relationship between the machines and the body
without organs (hal.11)… “The body
is the body/it is all by itself/and has no need of organs/the body is never an
organism/organism are enemies of the body”…In order to resist organ-maschines,
the body without organs presents its smooth, slippery, opaque, taut surface as
barrier. In order to resist linked, connected, and interrupted flows, it sets
up a counterflow of amorphous, undifferentiated fluid (hal. 9). Bdk. Haryatmoko
(2016), tubuh-tanpa-organ merupakan korsa hasrat itu sendiri yang menjadi
pengalaman schizofren, manusia hasrat. Kapital merupakan tubuh-tanpa-orga-nya
kaum kapitalis.
[vi]
Bdk. Deleuze dan Guattari, A Thousand
Plateau: Capitalism and Schizophrenia, 1987, hal. 208-231. Di dalam bab
1933: Micropolitics and Segmentarity, Deleuze dan Guatari mendefinisikan bahwa
kondisi pemisahan adalah bagian dari manusia, “The human being is a segmentary animal. Segmentarity is inherent to
all strata composing us…life is spatially and socially segmented.”
[vii]
Molar dan Molekular adalah konsep fisika yang digunakan Deleuze dan Guattari
untuk menjelaskan mekanisme dasar umum. Molar diinterpretasikan oleh Tom
Conley, di dalam tautan http://deleuze.enacademic.com/110/molar,
sebagai suatu gerakan yang teraggregasi, bukan dalam pengertian atomistik.
Lawan dari molar adalah molekular (lih. http://deleuze.enacademic.com/111),
objek bisa dipandang sebagai suatu massa dinamis dari molekul, tidak seperti
hanya objek yang terlihat saja, namun melingkupi bagian yang bekerja di
dalamnya berikut juga subjektivitas pengamatnya. Bdk. Deleuze dan Guattari, Anti Oedipus:
Capitalism and Schizophrenia (1983), hal. 283-284 menggunakan konsep ini
untuk mengkritik pandangan psikoanalisa yang membedakan antara individu
(molekular) dan kolektif (molar).
Comments
Post a Comment