Aspek-Aspek dari Teori Sosial (2): Arah Penteorian
Artikel sebelumnya telah
ditunjukan peta-benak yang merupakan anatomi dari teori. Pernah juga telah
dibahas mengenai pemaparan praktis, yaitu suatu prosedur pembuatan telaah
kritis yang juga telah menyinggung arah penteorian. Pembaca dapat merujuk ke
Membuat Telaah Kritis bagian ke-6 untuk mengetahui ihwal prosedur tersebut. Kali
ini penulis akan menjelaskan dua arah penelitian yang memiliki keunikannya dan
kesulitannya sendiri-sendiri.
Dalam bidang filsafat sendiri, dua arah
penelitian ini merupakan dinamika proses ‘mengetahui’ itu sendiri yang tidak
bisa dipertentangkan begitu saja, mana yang lebih benar dan lebih unggul.
Masing-masing arah adalah gerak penalaran manusia itu sendiri dalam menjelaskan
realitas. Hal ini merupakan suatu cara memandang realitas itu dengan sudut
pandang yang berbeda. Kita tidak bisa memandang bahwa dua sudut pandang
tersebut dalam dikotomi biner, namun kenyataannya realitas selalu bersifat
misteri yang membebaskan si penafsirnya dengan sudut pandangnya sendiri. Dalam
metode ilmiah cara pandang ini kemudian menjadi suatu mazhab yang telah
menjadikan landasan dalam menciptakan teknik-teknik menguraikan realitas itu. Alur
deduktif dapat juga dikenal sebagai aliran positivisme, sedangkan alur induktif
dikenal sebagai aliran subjektivisme. Pembahasan argumentasi filosofis tidak
akan dibahas lebih lanjut dalam artikel ini.
Dalam bukunya Neuman (2014) menjelaskan arah penteorian ini dengan
mempertentangkan antara (1) pendekatan deduktif dengan (2) pendekatan induktif.
Secara sederhana, meskipun tidak selalu demikian, di satu sisi, arah deduktif
merupakan gerak abstrak—konkret, yaitu gerak logika dari pemikiran abstrak dan
menghubungkan ide-ide secara logis dengan teori ke suatu bukti konkret. Di sisi
yang lain, arah induktif merupakan gerak khusus—abstrak, yaitu berangkat dari
observasi-observasi khusus atas bukti-bukti empiris dan melakukan generalisasi
dari bukti-bukti tersebut untuk membangun ide abstraknya. Perhatikanlah
ilustrasi di bawah ini!
Dua arah penteorian yang menjadi pendekatan dalam penelitian ilmu sosial, sumber gambar: Neuman, 2014, hal. 70 |
Untuk menteorikan secara
deduktif, peneliti mula-mula berangkat dari konsep-konsep abstrak atau suatu
proposisi teoritis yang menunjukan hubungan logis antar konsep-konsep. Kemudian
langkah selanjutnya adalah mengevaluasi konsep-konsep dan proposisi-proposisi dipertentangkan
dengan bukti konkret. Dalam membuat riset deduktif, peneliti penting menentukan
perihal teori apa yang hendak dibuktikan, misalnya dalam penelitian sosial
hendak membuktikan apakah “Ketidakhadiran kontak personal antara seseorang dan
orang-orang lain di dalam suatu ‘di luar-kelompok’ sosial menyebabkan
pandangan-pandangan negatif atas “di luar-kelompok” itu karena stereotip negatif
dan ketidakpedulian.” Peneliti kemudian mengejawantahkan proposisi tersebut
menjadi suatu pernyataan yang dapat dibuktikan, yaitu dengan membentuk
hipotesis: peningkatan kontak sosial dengan pengetahuan, dan keakraban antar
individu di suatu ‘luar-kelompok’ akan menurunkan kepercayaan negatif, perilaku-perilaku,
dan pernyataan-pernyataan pada ‘dalam-kelompok’.
Di sisi lainnya, untuk menteorikan
secara induktif, peneliti berangkat dari pengamatan indrawi pada dunia empiris
secara langsung. Ketika peneliti berada di dalam sesuatu yang diamati itu,
lantas peneliti mulai merefleksikan apa-apa saja yang terjadi dan memikirkan
dengan membawanya ke arah yang lebih abstrak. Sebagai contoh, ketika seorang
peneliti ingin mengetahui apa yang terjadi dengan kelompok-kelompok sub-budaya,
maka peneliti tersebut akan masuk ke dalam kelompok tersebut, mengamati beragam
gejala-gejala, dan ikut serta menghayati apa yang terjadi di tengah-tengah
mereka. Peneliti itu lantas akan menangkap segala gejala yang tampak, dan
merangkai cerita yang koheren yang mampu menjelaskan sebagai alasan mendasar dari
berbagai gejala yang tampak di permukaan. Dibandingkan dengan alur deduktif,
peneliti lebih memformulasikan ide-ide teoritis baru alih-alih menguji teori
yang sudah ada. Upaya peneliti ini disebut sebagai membangun teori mendasar (grounded theory), yaitu hal ini tak lain
bertujuan untuk membangun secara kualitatif sebuah teori yang setia dengan
bukti. Seorang peneliti kualitatif akan bekerja pada tatanan
peristiwa-peristiwa mikro sebagai fondasi penjelasan makro. Suatu pendekatan teori
mendasar mencari generalisasi dengan cara membuat perbandingan antara situasi
sosial.
Lebih jauh mendalami apa yang
dimaksud dengan arah deduktif dan arah induktif itu, Sinnott-Armstrong dan Fogelin (2015) membahas mekanisme proses alur
evaluatif yaitu sebagai suatu metode terstandar yang digunakan untuk
mengevaluasi argument-argumen. Pada paragraph-paragraf selanjutnya akan
menyarikan diskusi Sinnott-Armstrong dan Fogelin
dengan alur yang meliputi: (1) standar deduktif, yang meliputi logika
proposisional dan logika kategorial. (2) standar induktif, yang meliputi
argumentasi-ke dan argumentasi-dari suatu generalisasi, inferensi menuju ke
penjelasan terbaik dan dari analogi, alasan kausalitas, kemungkinan-kemungkinan
terjadinya sesuatu (chances), dan
pilihan-pilihan (choices). Dalam
standar deduktif peneliti diajak untuk ‘menginvestigasi’ standar keabsahan
suatu argumen (validitas) sedangkan dalam standar induktif peneliti ‘mengeksplorasi’
suatu standar kekuatan dari argumen. Kata menginvestigasi dan
mengeksplorasi di sini menjadi kunci dalam dua jenis alur penteorian. Kata
investigasi digunakan untuk melacak apakah suatu rantai argumentasi telah dilogikakan
secara valid, sedangkan kata eksplorasi merujuk pada suatu upaya sistematis
dalam menjaring berbagai makna dalam hal mengajukan suatu alasan/penjelasan
yang kuat (inference to the best
explanation).
Gregory House (karakter fiktif) seorang dokter eksentrik yang bekerja di sebuah Rumah Sakit Pengajaran Princeton-Plainsboro. Ia mengepalai Departmen Diagnosa Kedokteran. sumber gambar: www.denofgeek.com |
Sebagai seorang peneliti ilmu
sosial, kapankah kita menggunakan kedua jenis pendekatan alur penteorian
tersebut? Untuk menjawab hal ini tentu saja tidaklah mudah, apalagi di dalam
fenomena sosial. Masing-masing alur memiliki kelebihan dan kekurangannya
sendiri. Hal ini seperti seorang dokter yang mengupayakan obat bagi kesembuhan
pasiennya. Secara alur deduktif, dokter akan mampu mengobati secara umum apa
yang menjadi penyakit si pasiennya, dengan menggunakan patokan-patokan dari
berbagai parameter yang telah teruji secara empiris. Dokter spesialis itu akan
mampu menjelaskan sebab-musabab fisiologis mengapa pasien tersebut sakit, akan
tetapi dokter itu akan kesulitan memahami perasaan pasien tersebut. Tak jarang
seorang dokter yang mendapati pasiennya tak kunjung sembuh, maka alur deduktif
akan menemukan kesulitan dalam verifikasi atas hasil diagnosa dokter itu. Hal
ini, menuntut seorang dokter tersebut merujuk ke dokter lain yang memiliki
bidang kerja menemukan penyakit-penyakit baru beserta terapinya. Seorang pasien
yang dilaporkan memiliki cara berpikir aneh, mengalami halusinasi, dan lain
sebagainya, bisa jadi karena ia memang stress (memiliki gangguan kejiwaan)
karena sudah lama tidak tahan dengan penderitaan penyakitnya atau memang karena
memiliki perubahan kimiawi otaknya karena mengidap kanker stadium lanjut. Anda sendirilah sebagai peneliti yang akan tahu kapan menggunakan kedua
alur teori tersebut. Karena sejatinya suatu teori bukanlah 'bola pejal' yang terdiri
dari atom tunggal saja yang telah final dan mampu menjelaskan realitas duniawi apapun, akan tetapi teori memiliki dimensi yang berlapis, dua alur
penteorian adalah hanya sebagai penjelasan mekanisme umum terbentuknya teori
itu.
Neuman, W. L. (2014). Social Research Methods:
Qualitative and Quantitative Approaches (7th ed.). Harlow: Pearson
Education Ltd.
Sinnott-Armstrong, W., & Fogelin, R. (2015). Understanding Arguments: an introduction to informal logic. Stamford: Cengage Learning.
Sinnott-Armstrong, W., & Fogelin, R. (2015). Understanding Arguments: an introduction to informal logic. Stamford: Cengage Learning.
Comments
Post a Comment