Membuat Telaah Kritis (6) : Karangan ilmiah dan alur berpikir induktif (kualitatif) atau deduktif (kuantitatif)

Memeriksa sebuah karangan tentu saja menuntut keterampilan tersendiri. Menulis itu tidak mudah, jika ada yang bilang mudah, tentu saja si penulis itu sudah memiliki ketrampilan itu terlebih dahulu atau hanya memberikan alasan normatif yang bersifat motivasional. Namun untuk orang yang tidak terbiasa menulis, maka untuk menuangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk tertulis akan menuntut sumberdaya pikiran si penulis yang tidak sedikit. Jerih payah si penulis ini akan sebanding dengan pengalamannya dalam mengolah pengetahuan. Artinya, semakin banyak membaca, memperkaya referensi, semakin mudah dalam menuangkannya dalam bentuk tulisan.

Pengalaman penulis dalam hal ini adalah perihal menggunakan bahasa dalam menyampaikan gagasan itu lebih penting. Terutama penyampaian gagasan pada pembuatan telaah kritis. Dalam penyampaian gagasan pun, penulis sepakat dengan Rahardi (2009), yaitu hendaknya tetap berprinsip pada kejelasan (clarity), ketepatan (accuracy), dan keringkasan (brevity). Penyampaian gagasan ini pula, dalam ihwal karangan, sebaiknya karangan dikonstruksi agar mampu menceritakan gagasan-gagasannya sendiri, utuh, tidak berserakan, tidak ada kata yang lepas dari frasa, atau kalimat yang mengotori paragraf. Jadi, dalam menulis hendaklah berpegang pada prinsip “writing with heart, editing with brain!” Alasannya, di dalam praktik penulisan karangan ilmiah, terdapat dimensi-dimensi kebahasaan yang harus dipenuhi, antara lain (Rahardi, 2009):

  1. Fakta/Data sebagai dasar; Gagasan yang dikemukakan harus memiliki landasan faktual, artinya ada kaitan erat antara gagasan dan data yang dapat ditemukan atau dibuktikan di dunia nyata. Hal ini dengan kata lain ada hal yang mampu dibuktikan secara material.
  2. Pemikiran, analitis dan konklusi logis; Karangan ilmiah harus memenuhi dimensi logis dalam tiga hal, yaitu: pemikiran atau penalarannya, analisis atau pembahasannya, dan penarikan simpulan atau penyimpulannya. Hal ini dapat dicermati dalam bentuk alur berpikir karangannnya, yaitu: apakah deduktif, induktif atau abduktif.
  3. Objektif dan tidak berpihak; Karangan ilmiah itu perihal mencari suatu kebenaran. Analisa kritis memang harus benar-benar didasarkan dari landasan teoritis yang kuat (misalnya: teori-teori yang sudah teruji secara empiris). Karangan ilmiah bukan hasil pencaplokan atau pencomotan dari berbagai karangan ilmiah lainnya yang secara subjektif ditentukan berdasarkan rasa suka atau tidak suka. Namun hal ini karena memang benar-benar telah melalui proses berlogika yang benar.
  4. Akurat dan sistematis; Karya ilmiah harus bersifat sistemik dan sistematik, yaitu mengacu sepenuhnya pada sistem tata cara/ konvensi penulisan karya ilmiah. Sedangkan perihal sistematis adalah karangan ilmiah tersebut disusun secara runtut, dan ditata sesuai dengan cara penulisan yang sudah baku. Selain itu karangan ilmiah harus dikonstruksi secara akurat, hal ini untuk menghindari logika atau pemikiran yang melompat (datang secara tiba-tiba).
  5. Tidak emosional; Karangan ilmiah sebaiknya ditulis dengan tenang dan hati-hati. Karangan sebaiknya tidak boleh bernuansa emosional, penuh dengan nuansa keharuan, berbelit-belit, tidak langsung pada persoalan dan/atau sasarannya.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka kita dapat mengetahui apakah sebuah karangan baik atau tidak. Karangan ilmiah yang baik paling tidak memenuhi dimensi-dimensi tersebut.

Dari sifat-sifat diatas yang harus dipenuhi, para penulis ilmiah sebaiknya menyajikan gagasan dengan berpikir lurus atau linier. Hal ini tentu saja selain memudahkan pembaca untuk memahami gagasan, pembaca pun akan merasakan kenikmatan dalam sajian itu. Hal ini pun bila kita memahaminya dengan sungguh-sungguh maka akan memudahkan kita untuk menganalisa, terutama apabila kita mengambil jarak dengan tulisan kita sendiri (mengambil posisi pembaca). Hal ini pun tidak terbatas pada karangan kita sendiri, akan tetapi juga terhadap bacaan-bacaan orang lain, sehingga sesungguhnya dengan kedisiplinan membaca dan menulis, kita akan terbantu dalam melatih proses berpikir lurus.

Berpikir lurus dalam sebuah proses penciptaan karangan merupakan proses yang kompleks. Berpikir lurus tidaklah mudah, karena melibatkan tata cara baku. Seperti telah disebut diatas, proses berpikir lurus paling tidak menyangkut dua arah utama, yaitu deduktif dan induktif. Sedangkan abduktif merupakan…. Untuk itu diperlukan pemahaman bagaimana aliran pemikiran itu terbentuk dalam karangan ilmiah.

Apa saja bentuk-bentuk alur lurus sebuah karangan ilmiah? Paling tidak ada satu bentuk umum dan tiga bentuk kombinasi lainnya, yaitu: bentuk linier dengan tinjauan ke belakang, bentuk linier berulang, dan bentuk linier melingkar. Akan tetapi, dalam tulisan kali ini hanya dibahas bentuk umumnya saja.

Perhatikan dua diagram berikut!



Proses berpikir tidak terlepas dari sebuah alur masukan-proses-keluaran (input-proses-output). Artinya disini setiap tahapan proses membutuhkan data-data yang disaring dengan kaitan-kaitannya dengan kendala, asumsi, metode analisis, ancangan analisis, dan tolok ukurnya. Setiap data yang di proses ini kemudian akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan. Setiap kesimpulan konkret yang dikonstruksikan akan membangun dimensi gagasan besar atau abstrak dari pemikiran. Banyaknya dimensi mengikuti sebuah ranah yang akan digagas, misalnya ranah metafisika akan membutuhkan dimensi-dimensi konseptual, atau objek material alam pikiran yang banyak. Alasannya karena empirisme tidak mampu membuktikannya. Contoh ranah metafisis adalah karangan tentang Tuhan, Cinta, Setan, Mantra dan Kepercayaan, dan lain sebagainya. Sebaliknya semakin dapat diamati dan dapat dimaterialkan, maka semakin dapat dikonkretkan simpulannya karena semakin lepas dari ruang imajinasi.

Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa dalam melakukan penulisan maka akan memenuhi alur linier tersebut. Pertama, Dalam segmen penyusunan masalah (dapat ditemukan di bagian pendahuluan) maka akan dipaparkan kendala, asumsi, persyaratan-persyaratan. Dalam segmen ini, biasanya dalam karangan ilmiah empiris akan berisi cerita mengenai tegangan-tegangan teori dalam menjelaskan fenomena. Misalnya, penelitian-penelitian yang tidak terbukti ketika direplikasi di situasi yang berbeda, bermasalah secara pendekatan statistik, data yang diduga mengandung bias, dan lain sebagainya. Kedua, segmen penganalisisan (dapat ditemukan di bagian kajian literatur, metodologi, dan pengolahan data serta diskusinya). Pada segmen kajian literatur, yang dianalisa adalah gagasan-gagasan untuk menyelesaikan problem, teori-teori yang menjadi ancangan, dan hasil-hasil penelitian yang menjadi tolak ukur. Tidak dipungkiri bahwa dalam simpulan setiap bagian akan menjadi masukan bagi segmen selanjutnya, misalnya: rumusan masalah dan tujuan penelitian menjadi masukan bagi kajian literatur, proses pengelompokan dan pemilahan gagasan untuk mendukung argumentasi akan melahirkan hipotesis penelitian bagi segmen metode/ metodologi, dan seterusnya. Terakhir, dalam segmen penyimpulan akan berisikan rangkuman simpulan-simpulan pada tahap-tahap sebelumnya, yang saling berkait untuk mengantar pembaca sampai pada temuan gagasanya.

Lebih jelasnya untuk memahami alur ini dalam bentuk deduktif dan induktif, pembaca yang budiman bisa memperhatikan diagram berpasangan berikut ini!

Diagram alur linier deduktif,  Sumber: Widjono (2007)



Diagram alur linier deduktif dalam wujud gagasan,  Sumber: Neuman (2006)

Untuk mengkritik karangan berbentuk deduktif, secara sederhana kita bisa mengujinya dengan memeriksa validitas alur logika yang disajikannya. Secara formal, argumentasi analog memiliki bentuk sebagai berikut:

Modus ponens
jika p maka q (atau p mengakibatkan q)
q
maka q

Modus tollens 
jika p maka q (atau p pasti diikuti q)
bukan q
Maka p

Silogisme hipotetis
jika p maka q
jika q maka r
jika p maka r

Silogisme Disjungtif
Atau p atau q
bukan p
maka q

Jawaban dari uji validitas ini adalah hasil dari uji empiris dengan alat statistik yang ditentukan dengan metode tertentu. Disini uji validitas adalah bentuk uji logika deduktif, harap dibedakan dengan uji validitas dan reabilitas data.

Diagram alur linier induktif,  Sumber: Widjono (2007)

Diagram alur linier induktif dalam wujud gagasan,  Sumber: Neuman (2006)


Untuk mengkritik karangan berbentuk induktif, secara sederhana kita bisa mengujinya dengan memeriksa logika analog yang disajikan. Secara formal, argumentasi analog memiliki bentuk sebagai berikut:

A, B, dan C memiliki sifat-sifat x dan y
A dan B memiliki sifat Z
Maka, C mungkin juga memiliki sifat Z

Selain dua sifat dasar alur logika diatas, perlu juga mengenal bentuk-bentuk model berpikir. Penulis pada umumnya menggunakan beberapa model berpikir dalam rangka penyusunan karangan ilmiah. Apapun alur utamanya (deduktif ataupun induktif), model-model berpikir ini merupakan strategi dan siasat penulis untuk menyampaikan gagasannya. Hal ini pun merupakan putusan penulis dari hasil proses logisnya. Atas dasar ini kepiawaian kita dalam memeriksa antara alur-alur berpikir menjadi berperan penting. Artinya apa yang diputuskan penulis dan persesuaian atau pengingkarannya dengan konteks gagasan atau masalah yang diangkat akan menjadikan. Adapun model-model berpikir yang umum digunakan adalah (Rahardi, 2009):
  1. DAM-D: duduk perkara, alasan, misal, duduk perkara’
  2. DSD: dahulu, sekarang, depan
  3. PMHT: perhatian, minat, hasrat, tindakan
  4. 5W-1H: what, who, when, where, why, how (apa, siapa, kapan, dimana, mengapa, bagaimana)
  5. TAS: tesis, anti-tesis, sintesis (tipe kontras)
  6. PIK: pendahuluan, isi, kesimpulan
Dengan memahami alur logika dan berdisiplin diri dalam menggunakan prinsip-prinsip logika tersebut diharapkan pembaca akan mudah dalam mengenali anatomi karangan ilmiah, dan lebih mudah dalam melakukan persesuaian atau pengingkaran atas sebuah gagasan. Hal inilah yang membantu dalam menciptakan telaah kritis yang baik.


Rekomendasi Bacaan
Neuman, W. L. (2000). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. London: Pearson: Allyn and Bacon.

Rahardi, K. (2009). Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Erlangga.

Widjono, H. (2007). Bahasa Indonesia: Mata Kuliah Perkembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Jakarta: Grasindo.

Woodhouse, M. B. (2000). Berfilsafat: Sebuah Langkah Awal (edisi ke-3). (A. N. Permata, & P. H. Hadi, Terj.) Yogyakarta: Kanisius.


Baca juga seri artikel-artikel lainnya!




              Comments

              Popular posts from this blog

              Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

              Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

              Triangulasi (Metode Campuran)