Membuat Telaah Kritis (5) : Bepikir lurus

Melanjutkan tulisan sebelumnya yaitu “Membuat Telaah Kritis bag. 4: Memeriksa suatu Kritik”, sajian kali ini penulis akan lebih mendasarkan terlebih dahulu pada tata cara berpikir lurus, dan logika penalaran. Mengapa demikian? Dalam ranah ilmiah atau di dunia akademis, apapun bentuk tulisannya maka satu-satunya alat yang dimiliki manusia adalah “logika”. Dengan alasan itu pula apapun bentuk model pemikirannya, maka secara konsekuensi logika antroposentris, sepanjang lolos pemeriksaan hukum-hukum logika, maka secara normatif akan terhindar dari pelbagai kesalahan atau kesesatan berpikir.

Apa itu berpikir lurus? Berpikir lurus itu bukan hal yang mudah, karena mengandung unsur habitus disana. Fenomenanya, banyak orang terjebak dengan cara berpikir yang itu-itu saja[1] , sibuk memutlakkan hasil penyimpulannya, percaya begitu saja dengan argumentasi-argumentasi yang sudah deterministik, dan menggunakannya untuk mempengaruhi orang lain agar sepakat dan sekaligus mengkonfirmasi bahwa pikirannya adalah benar. Padahal, agar dapat berpikir lurus, tepat dan teratur, seseorang harus menempuh suatu hukum logika yang secara ketat harus ditepati, yaitu untuk menyelidiki segala bentuk realitas. Hal ini dapat ditempuh melalui kedisiplinan tertentu dengan menggunakan azas-azas dan kaidah-kaidah dari ilmu pengetahuan. Logika yang digunakan pun memiliki ilmu pengetahuan tersendiri yang terumus dalam hukum-hukumnya. Artinya, Logika merupakan perangkat yang hakiki dan melekat pada manusia, namun dalam penggunaan perangkat ini, tidak setiap orang mampu berdisiplin dalam menerapkan hukum-hukum itu. Dengan demikian, hal-hal yang telah diperiksa secara ketat ini akan menjadikan manusia berpikir dengan lurus, tepat, dan sehat dan terhindar dari sesat pikir.

Oleh sebab itu, bagaimana kita bisa menghindari apa yang disebut sebagai “sesat pikir”? Untuk menjawab pertanyaan ini penulis berangkat dari definisi sesat pikir tersebut diatas. Kata kunci sesat pikir adalah tidak berpikir dengan lurus, tidak taat asas, tidak menyelidiki dengan tuntas, yang itu semua akan membentuk anti-tesis dari proses berpikir lurus dalam menanggapi realitas. Secara sederhana bahwa kesimpulan yang diperoleh dalam menalar adalah benar, ketika diyakini ternyata merupakan bentuk kepalsuan/ kedustaan/ pseudo-, yang semuanya itu merupakan kegagalan dalam suatu argumen. Sumaryono (1999) memaparkan ada dua kemungkinan kegagalan argumen, yaitu: (1) premis yang terbentuk dari proposisi yang keliru. (2)premis-premis tidak saling berhubungan dengan kesimpulan yang dicari. Dari bentuk kegagalan argumen jenis kedua inilah terdapat apa yang disebut sesat pikir.

Contoh:

  • Premis 1 : Tuhan menciptakan manusia pertama berjenis kelamin laki-laki.
  • Premis 2 : Perempuan diciptakan dari tulang rusuk manusia pertama yang berjenis laki-laki.
  • Kesimpulan : Tuhan menciptakan perempuan sebagai manusia kedua, yaitu manusia turunan dari manusia pertama.
  • …sehingga manusia pertama lebih agung posisinya dari manusia kedua… dan seterusnya hingga memunculkan budaya patriarkal misalnya.


Argumentasi diatas jelas keliru[2]  dan setiap kekeliruan dalam menalar itu merupakan argument yang salah. Ada dua macam argumen yang salah, yakni sebagai berikut: Pertama, argumen yang sebenarnya keliru namun tetap diterima secara umum karena banyak orang yang menerima argumen tersebut tidak “merasa”[3]  kalau mereka itu sebenarnya telah tertipu. Kekeliruan semacam ini kemudian disebut sebagai Kekeliruan relevansi. Kekeliruan ini dapat dibagi lagi menjadi cakupan-cakupan yang lebih spesifik lagi, yaitu: (1)Argumentum ad Baculum, (2)Argumentum ad Hominem I, (3)Argumentum ad Hominem II, (4)Argumentum ad Ignorantiam, (5)Argumentum ad Misericordiam, (6)Argumentum ad Populum, (7)Argumentum ad Verecundiam, (8)Accident, (9)Converse Accident, (10)False Cause, (11)Petitio Principii, (12)Complex Question, (13)Ignorantio Elenchi. 

Kedua, Argumen yang keliru karena kesalahan dalam penalaran yang disebabkan oleh kecerobohan dan kekurangperhatian orang terhadap pokok persoalan yang terkait, atau keliru karena dalam menggunakan term dan proposisi yang memiliki ambiguitas makna dari bahasa yang dipergunakan dalam berargumen. Kekeliruan semacam ini kemudian disebut sebagai ambiguitas penalaran/ ambiguitas argumen. Ada pun kekeliruan ini terjadi akibat kesalahan prosedur berpikir dan terjadi dalam argumen-argumen yang susunannya terdiri dari kata-kata dan pernyataan-pernyataan yang ambigu, mendua arti, atau memiliki makna ganda. Kekeliruan jenis ini juga dapat dibagi lagi menjadi cakupan-cakupan yang lebih spesifik lagi, yaitu: (1)Ekuivokasi, (2)Amphyboly, (3)Accent, (4)Komposisi, (5)Pembagian.

Dari pemaparan terkait dengan isu sesat pikir, maka untuk menjawab pertanyaan tersebut kita sebaiknya kembali kepada hakikat dari sesat pikir itu sendiri. Sesat pikir pada hakikatnya adalah jebakan bagi proses penalaran kita. Pola-pola, azas-azas, hukum-hukum dan lain sebagainya yang termasuk dalam perangkat logika, merupakan tuntunan yang ditawarkan agar kita selalu cermat dan peka terhadap kesalahan-kesalahan dalam menalar. Hal ini bertujuan agar kita terhindar dan selamat dari penalaran palsu. Untuk menghindari kekeliruan relevansi, kita sendiri harus tetap bersikap kritis terhadap setiap argumen. Penguasaan bahasa akan menjadi kunci dalam mengatasi kekeliruan semacam ini. Sedangkan untuk menghindari ambiguitas, kita perlu melacak, menyelidiki, dan memeriksa definisi-definisi. Kuncinya adalah mengupayakan agar setiap kata atau kalimat memiliki makna yang tegas dan jelas. Jika, ingin meradikalkannya, kita bisa belajar dari Nietzsche perihal skeptisme dan nihilism, yaitu jangan mempercayai apapun yang datang pada pikiran kita sendiri, termasuk pikiran kita sendiri.
 

Taksonomi logika

Secara dasariah logika merupakan paradoks. Dimensi logika terdapat dua jenis yang tidak terpisahkan, yaitu logika kodratiah (secara spontan, tidak bersih dari subyektifitas) dan logika ilmiah (secara runtut dan taat azas, mengurangi sesat pikir subyek). Logika pun dapat dibagi atas tiga unsur pembentuknya yang dibentuk secara urut-urutan proses penalaran juga. Mengacu pada Alex Lanur (1983, Logika: Selayang Pandang, hal.11-12) unsur-unsur logika dibagi menjadi, yaitu: (1) pengertian-pengertian, kemudian pengertian-pengertian ini disusun sedemikian rupa sehingga menjadi (2)keputusan-keputusan. Lalu segala sesuatu yang diputuskan itu, disusunlah menjadi (3)penyimpulan-penyimpulan. Realitas logika adalah di alam pikiran kita sendiri, dan hal itu tidak terlepas dengan aktivitas kebahasaan kita. Ketiga unsur tersebut merupakan kegiatan dasariah dari akal budi manusia. Kegiatan akal budi itu ialah:

  1. Menangkap sesuatu sebagaimana adanya (tanpa memungkirinya)
  2. Memberikan keputusan, artinya menghubungkan pengertian yang satu dengan pengertian lainnya atau memungkiri hubungan itu.
  3. Merundingkannya. Artinya, menghubungkan keputusan-keputusan sedemikian rupa, sehingga dari satu keputusan atau lebih, manusia akan sampai pada suatu kesimpulannya.

Lebih jauh, ulasan mengenai logika ini dapat diurai lebih lanjut melalui bagian-bagian yang disusun oleh Eugenius Sumaryono (1999, Dasar-dasar Logika). Dengan memahami anatomi dari logika, maka diharapkan kita mampu memahami dimensi-dimensi pembentuk pemikiran seseorang. Bagian-bagian itu antara lain:

  1. Bahasa dan Logika
    1. Bahasa dan fungsinya
    2. Gagasan, Term dan Tanda
    3. Definisi
    4. Pembagian dan Klasifikasi
  2. Putusan dan Proposisi
    1. Putusan, Kalimat dan Proposisi
    2. Proposisi Kategoris
    3. Proposisi Hipotetis
  3. Penalaran dan Penyimpulan
    1. Logika, Validitas dan Kebenaran
    2. Hakikat penalaran
    3. Konversi, Obversi, Posibilitas dan Aktualitas
    4. Silogisme Kategoris
    5. Silogisme Hipotetis
    6. Bentuk-Bentuk lain dari penyimpulan.

Baca juga seri artikel-artikel lainnya!
  1. Membuat telaah kritis
  2. Mengkritisi jurnal penelitian
  3. Cara mengkritik yang baik
  4. Memeriksa suatu kritik
  5. Berpikir lurus
  6. Karangan ilmiah dan alur berpikir induktif atau deduktif

Sekedar berbagi pengalaman
Penulis menganjurkan bahwa proses melogikakan sesuatu dengan lurus mensyaratkan keutamaan sebuah latihan. Apabila kita sanggup untuk berdisiplin diri dalam menggunakan perangkat-perangkat tersebut, secara normatif kita dapat menghadapi realitas dengan lebih baik. Realitas sebagai mahasiswa ketika hendak menulis karya ilmiah atau tugas akhir biasanya memiliki romantika dan dialektika tersendiri dengan dosen pembimbing dan promotornya. Realitas ini yang seringkali menjebak kita dalam kenyataan-kenyataan palsu, yaitu:
  1. Dosen pembimbing saya sulit ditemui, terlalu sibuk, sehingga tulisan saya tidak diperiksa. (Padahal draf/naskah yang kita kirimkan belum bersih dari kesalahan-kesalahan eja, maupun tata tulis).
  2. Dosen pembimbing saya, tidak memahami persoalan apa yang saya tulis. (Padahal dalam menulis, yang paling paham adalah si penulis itu sendiri. Jika orang lain tidak bisa memahami tulisan kita, coba periksa tata cara kita bercerita, mengulas, memaparkan sebuah masalah. Karya ilmiah memiliki aturan yang berbeda dengan karya tulis lain, misalnya: prosa sastra. Karya tulis yang baik bisa menceritakan dirinya sendiri).
  3. Dosen pembimbing saya, tidak jelas dalam mengoreksi, mempersalahkan metode-metode yang saya ajukan, sudah saya perbaiki kalimatnya sesuai dengan koreksian dosen, kok malah disalahkan lagi, menuntut terlalu banyak, dsb. (Padahal realitasnya kita kurang memahami literatur-literatur yang kita gunakan dalam menyusun karya tulis, ditambah lagi pembimbing tidak paham yang kita tulis, yang ada adalah maksud pembimbing adalah mengkoreksi dengan pengetahuan dan pengalaman mereka, namun kita tidak bisa melogikakan hal itu, sehingga yang ada adalah perasaan, tidak dipahami, diacak-acak, dsb.)
Nah, dengan demikian, komunikasi rasional yang baik antar dosen pembimbing dan kita, akan memberikan hasil karya tulis yang memuaskan. Paling tidak dalam penyusunan karya tulis, anggaplah hal itu menjadi latihan anda untuk meningkatkan kompetensi anda dalam hal berlogika dan berbahasa dalam ranah akademis (dan hidup anda tentunya). Pun ketika kita mengkritik kita bisa mengerti posisi kita dan sikap kita, tidak asal kritik, tidak asal berlogika. Sok tahu, padahal sebenarnya tidak tahu/ paham. Hanya biar kelihatan pandai atau demi disanjung, dipuja atau dihargai[4]. Sikap semacam inilah yang menjadikan kita berpribadi yang tidak menyenangkan.

Daftar Catatan Kaki

[1] meskipun penulis menyangsikan seorang individu bisa mengubah pola pikir yang sudah menjadi strukturnya tanpa harus terasing dengan dirinya

[2] Penulis tidak menyajikan perdebatannya disini karena akan mengkontestasikans segala pola-pola dan struktur yang sudah termanifestasikan dalam budaya.

[3] Penulis sengaja menaruhnya dalam tanda kutip, karena kata merasa yang digunakan oleh Sumaryono (1999) sesungguhnya merupakan dimensi plural atas kesadaran dari manusia yang berwawasan. Sehingga dalam hemat penulis, kata merasa disini sebetulnya dapat dimaknai sebagai kepekaan kita terhadap suatu argumentasi akibat dari keterbatasan pengetahuan kita yang menginduksi kesadaran kita.

[4] Nafsu-nafsu yang terletak di dada menurut Platon

Daftar Bacaan

Lanur, A. (1983). Logika: Selayang Pandang. Yogyakarta: Kanisius.
Sumaryono, E. (1999). Dasar-Dasar Logika. Yogyakarta: Kanisius.

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)