Seri Belajar Pasar Modal (3—bagian I): Ceteris Paribus, Garis Waktu, dan Aplikasi Manajemen Keuangan Perorangan

Greng…greng…greng suara gas sepeda motor disentak-sentak, sehingga suara itu pun mendadak membuat gaduh seisi warung Pak Kamto. Lantas Silo beranjak keluar dari warung untuk menengok siapa gerangan pelaku pencipta kebisingan itu. Sambil setengah penasaran, namun juga geram Silo melangkah keluar.

“Eh elu, Pri.. muke gile mentang-mentang naik motor laki, main geber-geber sembarangan aja, ganggu orang tahu!”

“Hahaha.. gimana, Sil? Keren kagak tongkrongan gue sekarang? Lumayan kan selain bisa buat gue modal narik ojol, ya bisa buat gagah-gagahan dong.”

“Jadi, ini motor lu sendiri? Katanya bulan lalu elu pusing nyari duit, eh kok sekarang malah punya motor baru. Ngepet di mana lu Pri?”

“Busyet Sil, tega bener lu.. ya kaga lah.. ceritanya gue menang banyak dari taruhan bola gue hehe.. nah sebagian uangnya ya buat DP nih motor, sisanya gue cicil deh dari gaji bulanan gue. Tapi tenang Sil, kaga usah curiga dulu lu.. gue sekarang udah mulai ngikutin saran lu kok, setiap bulan gue udah sisih-sisihin nih duit buat kebutuhan-kebutuhan, termasuk tabungan buat anak gue nanti. Ya belum banyak sih tapi paling nggak udah mulai lah.”

“Hebat lu ye sekarang.. udahlah lanjutin cerita di dalem aja, ngopi-ngopi dulu lah!” Silo mengajak Supri ke dalam warung. 

Mengambil cicilan kendaraan bermotor memang menggiurkan, apalagi ketika tanpa uang muka dan bunga cicilan 0%. Sepintas terlihat murah dan menguntungkan, namun ketika kita tidak dapat membayarnya karena nilainya turun terus maka yang hadir adalah tukang pentung alias penagih utang, Sumber gambar: www.allmandlaw.com

Pengantar
Sejatinya ilmu keuangan menurut sebuah kuliah teori keuangan yang diampu oleh Andrew W. Lo di MIT Sloan (2008) mendefinisikan Keuangan adalah gabungan antara kekayaan (baca: uang, nilai Rupiah) dan ilmu matematika. Dalam hal ini, pembahasan dalam artikel ini bertujuan untuk memberikan dasar motivasi bagi siapa saja yang ingin mengelola harta benda yang dimilikinya dengan menempuh jalan dari ilmu manajemen keuangan. Sebagai seorang individu yang tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi di ilmu keuangan, anda tidak perlu merasa takut dan apalagi kecil hati untuk belajar “bagaimana caranya mengelola harta benda anda sendiri.” Karena secara mendasar ketika anda pernah belajar konsep-konsep operasi matematika (baca: “+”, “-“, “x” dan “÷”) hal itu sudah mencukupi, kecuali memang anda ingin menjadi ilmuwan di bidang manajemen keuangan. Kerangka artikel ini akan dibagi menjadi dua bagian besar pembahasan, yaitu (1) ceteris paribus, garis waktu, aplikasi keuangannya, dan (2) Statistika deskriptif, kementakan (probabilitas) dan statistika inferensi. Untuk Artikel kali ini, penulis masih menekankan pada bagian pertama, yaitu memaparkan beberapa konsep penting yang bersumber dari ilmu ekonomi, keuangan, dan matematika dasar yang akan menjadi titik tolak bahasan-bahasan ke depan. Pada bagian pertama ini, pembaca akan diajak untuk memahami konsep-konsep seperti ceteris paribus, garis waktu, uang dan aplikasi manajemen keuangan personalnya.

Ceteris Paribus sebagai Snapshot
Secara etimologis, kata “ceteris paribus” berasal dari bahasa latin, yang berarti “dengan hal-hal lainnya tetap sama” atau dengan sederhana dapat dinyatakan bahwa sesuatu itu tidak akan mendapatkan pengaruh apapun dari hal ihwal lainnya. Konsep ceteris paribus menjadi seperti mantra dalam ilmu ekonomi, karena penggunaannya menjadikan seseorang dapat mengasumsikan suatu kejadian ekonomi berada dalam suatu kondisi terisolasi dari pengaruh lainnya (bdk. Mankiw dan Taylor, 2014). Penggunaan ceteris paribus ini begitu penting dipahami bahwa dalam rerangka ceteris paribus, sesuatu menjadi dapat dianalisa dalam rerangka yang lebih sederhana dari beragam hal (baca: faktor ekonomi) yang mungkin saja juga berpengaruh. Fenomena ekonomi adalah sesuatu yang sifatnya sangat kompleks dan dinamis, yang merupakan hasil dari jalin kelindan berbagai macam hal yang menyebabkan masalah kelangkaan. Jadi dalam hal ini, konsep ceteris paribus akan sangat berguna untuk menjawab dan menjelaskan masalah-masalah ekonomi, dan termasuk di sini nanti masalah-masalah yang berkaitan dengan apa-apa saja yang terjadi pada aktivitas ekonomi, apalagi di pasar modal. 

Pengaplikasian ceteris paribus ini seolah kita memiliki bingkai dalam nalar kita yang dapat menghentikan realitas aktual ekonomi. Ceteris paribus adalah semacam potret atau snapshot dalam bingkai metode analitis ekonomi. Contoh aplikasi sederhananya adalah ketika kita membaca koran dalam segmen ekonomi, kemudian kita dapat mengkaji apa yang menjadi isi dari berita tersebut. Perhatikan cuplikan berita ekonomi berikut ini:
Kredit Melambat, Bank Besar Timbun Duit di Surat Berharga
Perlambatan penyaluran kredit membuat bank menumpuk dana di surat berharga. Hal itu terutama dilakukan oleh bank-bank besar, yakni bank umum kelompok usaha (BUKU) IV yang memiliki dana berlebih di tengah pengetatan likuiditas perbankan.
(Sumber: Muhammad Khadafi, Bisnis.com, 23 September 2019, 12:35 WIB)
Dari berita tersebut kita dapat menggunakan logika jika-maka sebagai upaya spekulasi atas prediksi masa depan terhadap masalah kredit usaha, perhatikan kalimat berikut: “Jika perilaku penumpukan dana di surat berharga oleh bank terus berlanjut—ceteris paribus—maka perlambatan penyaluran kredit akan terus berlanjut.”

Ceteris paribus, dalam hal ini mengasumsikan paling tidak, perilaku strategi perbankan akan tetap sama, bank sentral dan otoritas lainnya tidak mengeluarkan kebijakan lainnya yang mempengaruhi perilaku bisnis bank berubah (misalnya: penurunan suku bunga acuan), hal ini akan dapat kita kunci dalam bingkai nalar kita bahwa faktor-faktor lainnya dianggap tetap. Sesuatu itu terpaksa kita anggap konstan, karena kita perlu menganalisa hubungan sebab akibat atas tindakan-tindakan kita berikutnya. Dengan menggunakan konsep ceteris paribus, maka andaikan kita akan mengajukan kredit usaha, maka konsekuensinya kita dapat tahu bahwa kita akan meminjam uang menjadi lebih mahal. Pengandaian lainnya, misalkan kita memiliki saham-saham dari industri perbankan, maka konsekuensinya imbal hasil saham kita akan dapat kita duga tidak mengalami peningkatan lebih

Untuk pengkayaan lebih lanjut, pembaca dapat artikel penulis terkait prinsip dan logika ekonomi (1) dan (2). Selanjutnya anda dapat melatih diri anda dengan membiasakan membaca berita, entah dari sumber-sumber elektronik maupun sumber cetak, dan cobalah membuat pengandaian “jika-maka” dengan konsep ceteris paribus tersebut.

Memahami Garis Waktu dan Manajemen Keuangan Perorangan

Sifat dari ceteris paribus di atas, seolah kita mampu menghentikan waktu dan mengamati kejadian per kejadiannya. Bahkan kita juga dapat mengandaikan kejadian di masa depan dengan berdasarkan data-data historis (baca: fakta-fakta masa lalu yang menjadi pertimbangan nalar). Waktu merupakan faktor penting lainnya dalam mempertimbangkan nilai harta benda kita. Kita tidak bisa menghindari dimensi waktu, karena kita hidup di dalamnya, begitu pun aktivitas keuangan kita, aktivitas ekonomi masyarakat, seluruhnya terikat dalam waktu. Hal ini berarti konsep waktu juga harus selalu menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan. 

Namun, tanpa disadari kita sering kali melupakan faktor waktu ini. Sering kali keputusan terkait penggunaan uang kita justru digunakan untuk hal-hal yang bersifat jangka pendek. Dalam menganalisa kondisi seorang individu saat ini, perlu mempertimbangkan faktor waktu tersebut. Contohnya, seorang karyawan di usia produktif, penting memikirikan masa pensiun. Seorang mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan tinggi perlu memperhatikan faktor lama studinya. Bahkan, seorang ibu rumah tangga yang bertugas mengalokasikan uang belanja dari gaji suaminya pun perlu juga mempertimbangkan faktor waktu ini. Lantas, mengapa faktor waktu ini juga menjadi isu sentral dalam pengelolaan keuangan?

Tidak seorang insan pun yang dapat terlepas dari dimensi ekonomi. Seorang petapa yang hidup di gunung sekalipun tetap melakukan aktivitas ekonomi, paling tidak dari dirinya dan untuk dirinya sendiri. Hasil panen kebun subsistennya, harus ia alokasikan paling tidak untuk konsumsi dirinya saat ini dan konsumsi dirinya nanti. Namun, di dalam kehidupan sosial modern, yaitu uang menjadi suatu tolok ukur kemakmuran individu dan menjadikan adanya suatu keniscayaan bahwa seseorang perlu belajar tentang pengelolaan harta bendanya dalam konteks waktu ini. Hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa profesi manajer keuangan tidak hanya berlaku di dalam industri jasa penyaluran kapital saja, namun kenyataannya bahwa seseorang adalah manajer keuangan untuk dirinya sendiri, dan orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Rumah tangga adalah perusahaan kecil yang kenyataannya memiliki baik aktivitas produksi dan aktivitas konsumsi. Entah berwujud mengambil cicilan kendaraan bermotor, mengajukan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), membeli produk asuransi, mengikuti arisan kampung, mengambil program tabungan pendidikan anak, memberikan pinjaman kepada atau meminjam dari teman dekat, dan lain sebagainya adalah contoh-contoh aktivitas dari perilaku keuangan.

Di dalam ranah keuangan nilai waktu uang diukur dengan tingkat suku bunga. Untuk memahami hubungan waktu dan uang, coba anda perhatikan ilustrasi berikut ini.
  • [A] Anda membayar Rp1.000.000,00 pagi ini, dan mendapat kembali Rp950.000,00 anda di sore harinya.
  • [B] Anda mendapatkan Rp950.000,00 hari ini, dan mengembalikannya Rp1.100.000,00 tahun depan.
  • [C] Anda memberikan pinjaman Rp1.200.000,00 hari ini, dan mendapat cicilan pelunasan sebesar Rp100.000,00 di tanggal 26 di setiap bulannya.
Manakah skema yang anda anggap masuk akal? Apakah selisih nilai uang sekarang berbeda dengan nilai uang satu tahun kemudian? Tentu saja pada pilihan A, tidak masuk akal karena dalam kondisi normal keseharian anda dan tanpa adanya perjanjian tertentu yang melatarbelakanginya, nilai uang tidak mungkin turun sebesar Rp50.000,00 kurang dari 24 jam. Mungkin saja anda mau memilih skema B, karena selisih Rp150.000,00 masih anda anggap wajar sebagai penambahan hasil pengembalian. Sedangkan pada skema C, apabila anda sudah memahami konsep nilai waktu uang, maka anda tidak mungkin memilih skema tersebut, karena anda akan tahu bahwa nilai Rp1.200.000 di tahun depan akan lebih kecil nilainya dari Rp1.200.000,00 saat ini. Perbedaan nilai uang anda tersebut akibat adanya perbedaan titik waktu, adalah tingkat suku bunga yang berlaku pada transaksi saat itu. Dengan kata lain tingkat suku bunga adalah perubahan nilai uang anda dalam prosentase.

Menurut DeFusco, et al. (2007), secara mekanis tingkat suku bunga dapat dipikirkan dengan cara-cara sebagai berikut. Pertama, tingkat suku bunga dapat dipandang sebagai tingkat pengembalian yang disyaratkan. Kedua, tingkat suku bunga dapat dipertimbangkan sebagai tingkat diskonto. Terma diskun[1] merupakan sesuatu hal yang bermakna memberikan pengurangan nilai, sehingga kembali pada ilustrasi di atas seluruh nilai yang tersaji di atas apabila dihitung secara waktu akan dapat diketahui tingkat diskontonya. Selisih pengurangan nilai adalah tingkat diskun dalam nilai Rupiah. Ketiga, tingkat suku bunga dapat juga dipertimbangkan sebagai biaya-biaya kesempatan (opportunity costs) yang melekat. Suatu biaya kesempatan adalah suatu nilai yang terjadi akibat seseorang mengambil pilihan atas dua pilihan. Ingat dalam ekonomi selalu berlaku zero-sum-game, atau analoginya anda tidak bisa mendapatkan angka dan gambar sekaligus dalam permainan pelemparan koin uang.

Pada titik ini, para pembaca telah disuguhkan dengan tiga konsep utama, yaitu ceteris paribus, waktu, dan tingkat suku bunga. Dari ketiganya maka pembaca telah memiliki bingkai pemahaman terkait uang dan waktu dan penulis mengajak untuk bertolak dari tiga hal mendasar ini. Perkara manajemen keuangan adalah perkara orientasi nilai pada saat ini dengan masa yang akan datang. Berkaitan dengan nilai uang dan waktu, maka berdasarkan orientasinya dapat dibagi dua, yaitu: (1) Nilai masa depan, dan (2) Nilai sekarang. Proses perhitungan nilai masa depan ini dalam istilah ilmu keuangan disebut sebagai efek compounding[2], yaitu dari titik waktu sekarang ke titik waktu masa depan. Sedangkan dalam perhitungan nilai sekarang memiliki arah yang sebaliknya, orientasi masa depan yang merupakan harapan atau proyeksi kita atas suatu nilai ditarik ke titik saat ini. Dalam istilah keuangan h ini disebut sebagai efek discounting.

Sebagai ilustrasi, efek compounding dan discounting ini pembaca dapat memperhatikan gambar berikut di bawah ini.

Gambar 1. Hubungan antara nilai sekarang dan nilai masa depan dalam garis waktu

Dari gambar di atas nilai sekarang (PV—present value) dan nilai masa depan (FV—future value) terdari dari dua komponen lainnya, yaitu waktu/periode pembayaran (T—time) dan (r—tingkat suku bunga). Dalam efek compounding, proses pemajemukan nilai merupakan proses operasi perkalian, sedangkan dalam efek discounting adalah operasi pembagian suku bunga dalam pangkat waktu. Maka bilamana kita kembali dalam kasus skema A, B dan C di atas, bahwa pada prinsipnya akan lebih layak, apabila nilai PV (FV) yang dijanjikan/tertera dapat dihitung berdasarkan rerangka nilai waktu di atas untuk menentukan apakah lebih mahal/murah dan menguntungkan/merugikan.

Pengaplikasian rerangka nilai waktu uang di atas mari kita simak kasus berikut ini:
  • [A] Silo meminjamkan uangnya kepada Supri sebesar Rp10.000.000,00 hari ini. Supri berjanji akan mengembalikan uang Silo 3 tahun lagi sebesar Rp11.000.000,00. Tingkat suku bunga pinjaman konsumsi pada bank milik pemerintah diketahui sebesar 5,50% per tahun. Apakah bunga Rp1.000.000,00 yang dijanjikan Supri menguntungkan Silo?
  • [B] Supri menabung sebesar Rp10.000.000,00 di Bank dengan mengambil produk deposito 3 bulan, selama 3 tahun. Tingkat suku bunga deposito 3 bulan pada bank diketahui sebesar 5,50% per tahun dihitung harian (365 hari). Apakah bunga deposito Supri dapat menutup janji bunga kepada Silo?
Pada kasus A, dapat di hitung sebagai berikut:

Dapat diketahui bahwa PVA=Rp10.000.000,00, FVA=Rp11.000.000,00, r=5,50%/tahun, dan T=3. Dari pertanyaan di atas dengan kata lain apakah nilai FVA yang dijanjikan pada waktu sekarang lebih besar dari nilai sekarang uang Silo. Sebut nilai sekarang janji Supri adalah PVA’, maka apakah PVA’>PVA?


PVA’=Rp11.000.000,00 / (1 + 5,50%)3
PVA=Rp11.000.000,00 / (1,174)
PVA=Rp9.367.750,30

PVA’ > PVA?

Rp9.367.750,30 < Rp10.000.000,00
Maka Silo meskipun mendapatkan tambahan bunga sebesar Rp1.000.000,00 dari Supri, namun pada kenyataannya berdasarkan nilai intrinsiknya pengembalian uangnya tidak lagi sebesar Rp10.000.000,00—ceteris paribus[3]. Berkurangnya nilai sekarang pada Rp10.000.000,00 Silo secara nilai waktu adalah akibat efek discounting.

Sedangkan pada kasus B (masih berkaitan dengan informasi pada kasus A) perhitungannya menjadi seperti berikut ini,

Diketahui, PVB=Rp10.000.000,00, r=5,50% per tahun (dihitung harian d=365, dibayarkan per 3 bulan = per 90 hari), dan T = 3 tahun. Apakah FVB - PVB (baca: bunga bank Supri) > FVA?

Menghitung tingkat suku bunga harian (rd) dan periode pembayaran (T),
r365d/3m = 5,50%/365 x 90
r365d/3m = 1,50 x 10-4 x 90 = 0,0136

Tm3 =  (12 / 3) x 3
Tm3 = 12 periode bunga

FVB = Rp10.000.000,00 x (1 + 0,00136)12
FVB = Rp10.000.000,00 x (1 + 0,00136)12
FVB = Rp10.000.000,00 x 1.1754 (dengan pembulatan)
FVB = Rp11.754.000,00

FVB - PVB = Rp11.754.000,00 - Rp10.000.000,00
FVB - PVB = Rp1.754.000,00

Maka, akibat posisi utang-piutangnya, setelah 3 tahun–ceteris paribus–Supri masih tetap mendapatkan pendapatan bunga sebesar Rp1.754.000,00 – Rp1.000.000,00, yaitu Rp754.000,00. Sedangkan Silo jika diandaikan dengan instrumen yang sama (deposito yang dipilih Supri) akan menanggung rugi senilai biaya kesempatannya, yaitu akibat meminjamkan uang kepada Supri sebesar nilai keuntungan bunga yang dinikmati Supri. Dengan kata lain, posisi zero-sum-game terbukti pada hubungan Silo dan Supri. Pendapatan bunga yang dinikmati Supri dari bank dan Silo dari Supri merupakan hasil dari proses compounding.
  
Dalam kasus A dan B, Supri mengambil posisi perantara keuangan. Pada kasus A Supri mengambil posisi pinjam (borrowing), sedangkan pada kasus B Supri mengambil posisi meminjamkan (lending) ke Bank. Sesungguhnya dalam posisi Bank juga terjadi mekanisme bisnis yang sama seperti yang dilakukan Supri. Deposito adalah produk perbankan yang seolah-olah memberikan pendapatan bunga lebih tinggi kepada nasabahnya. Namun, dalam posisi bank sesungguhnya bank meminjam atau berhutang pada nasabahnya sesuai dengan kontrak atau janji yang tertera pada produk yang ditawarkan. Peran perantara keuangan dan posisi lending-borrowing selanjutnya akan menjadi isu sentral dalam pasar modal namun tidak akan dibahas pada seri artikel ini. Selain hal tersebut yang juga penting dipahami dari kedua kasus di atas, hubungan nilai sekarang (PV) dan (FV) akan selalu digunakan dalam pengkajian aktivitas keuangan. Fakta bahwa nilai sekarang dan nilai masa depan selalu terpisah dalam titik waktu memiliki konsekuensi, meliputi: (1) Kita hanya dapat menambahkan sejumlah uang hanya jika terindeks pada periode waktu yang sama. (2) Untuk tingkat suku bunga tertentu, nilai masa depan akan meningkat dengan bertambahnya periode pembayaran (bdk. Kasus A dan Kasus B, pada nilai T-nya). (3) Untuk tingkat periode pembayaran tertentu, nilai masa depan akan meningkat sejalan dengan tingkat suku bunganya (DeFusco, et al. 2007). Berdasarkan fakta di atas, apabila anda sunguh-sungguh memperhatikan produk-produk keuangan, yaitu terutama yang berkaitan dengan tabungan dan kredit, maka yang diubah hanyalah komponen-komponen penyusun nilai sekarang dan nilai masa depannya, misalnya: pembayaran bunga harian, bunga dibayarkan kuartalan, dan seterusnya. Jadi dengan memahami nilai waktu uang, maka anda sudah bisa menganalisa produk-produk keuangan yang umumnya ditawarkan pada anda.

Anuitas dan Perpetuitas
Dalam perhitungan nilai waktu uang di atas, baik nilai sekarang maupun nilai masa depan, keduanya menggunakan aliran kas tunggal atau lumpsum (baca: lamsam) dan setiap periode waktu pembayaran diinvestasikan kembali. Bagaimana jika, aliran kas tersebut terjadi beberapa kali? Untuk memahami hal itu, sebagai kelanjutan dari nilai waktu uang, kita perlu memahami beberapa istilah yang biasanya digunakan dalam menilai aliran kas yang terdistribusikan di periode waktu majemuk, yaitu: 
  1. Anuitas adalah suatu perangkat terbatas pada tingkat sekuensial (baca: urut-urutan waktu) aliran-aliran kas.
  2. Anuitas biasa (ordinary annuity) adalah anuitas yang pembayaran pertamanya terjadi pada saat satu periode setelah saat ini atau kontrak/perjanjian dibuat (pembayaran dipatok pada T=1) hingga waktu ke-T tertentu.
  3. Anuitas jatuh tempo (annuity due) adalah anuitas yang pembayaran pertamanya terjadi seketika kontrak/perjanjian dibuat (pembayaran dipatok pada T=0) hingga waktu ke-T tertentu.
  4. Perpetuitas adalah anuitas perpetual (baca: selama-lamanya) adalah seperangkat sekuens aliran kas tanpa titik akhir periode pembayaran dengan pembayaran pertamanya terjadi pada saat satu periode setelah saat ini atau kontrak/perjanjian dibuat.     
Untuk memahami hal ihwal ini, coba perhatikan kasus hipotetis di bawah ini,
  • [A] Supri membeli produk asuransi jiwa unit-link dengan iuran sebesar Rp900.000,00 per bulan. Supri menilai bahwa produk tersebut tepat bagi dirinya yang merasa kurang disiplin dalam perkara keuangan. Di dalam polis asuransi unit-link tersebut dinyatakan bahwa produk investasi merupakan tabungan pendidikan anak, yaitu akan diinvestasikan di instrumen berpendapatan tetap sebesar 5.5% per tahunnya dan akan mulai berjalan setiap lunas 12x pembayaran. Untuk setiap setoran investasi tersebut akan bernilai Rp10.000.000,00 dan baru bisa dicairkan seluruhnya hanya pada akhir perjanjian polis tersebut, yaitu selama 5 tahun. Berapakah uang Supri yang dapat diambil pada tahun ke-5?
  • [B] Silo berencana berinvestasi dengan produk keuangan berpendapatan tetap sebagai antisipasi atas kebutuhan anaknya masuk kuliah. Dalam berbagai tawaran produk investasi yang ditawarkan perusahaan perantara pedagang efek, Silo tertarik dengan produk yang menjanjikan pendapatan tetap sebesar Rp10.000.000,00 setiap tahun, dengan tingkat suku bunga 5.5% per tahunnya dan dibayarkan satu tahun setelah pembelian produk investasi. Perusahaan tersebut menawarkan produk tersebut sebesar Rp42.000.000,00. Berapakah Silo harus menyisihkan uangnya sekarang untuk membeli produk keuangan semacam ini? Apakah tawaran tersebut murah atau mahal?

Pada kasus A, skema investasi dari produk unit-link Supri dapat diilustrasikan seperti gambar berikut,



Pada kasus B, nilai investasi yang seharusnya dibayarkan Silo akan mengikuti ilustrasi seperti di bawah ini,


Apabila anda amati dari kedua kasus di atas, keduanya merupakan contoh dari anuitas biasa, namun dalam penerapannya kasus A merupakan contoh dari efek compounding. Sedangkan pada kasus B merupakan contoh dari efek discounting. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pada kasus di atas, maka Supri akan mendapatkan uang sebesar Rp55.810.910,26 di akhir tahun kelima. Sedangkan Silo harus menyisihkan uang sebesar Rp42.702.844,76 sekarang untuk diinvestasikan. Tawaran dari perusahaan perantara pedagang efek tersebut adalah murah, karena perusahaan tersebut menjual produk investasi itu dengan diskun sebesar Rp702.844,76. 

Pada mekanisme perhitungan anuitas, nilai pembayaran yang tetap setiap tahun dapat difaktorkan keluar dari perhitungan tingkat suku bunga dan periode pembayarannya. Perhatikan formula anuitas biasa nilai masa depan (FVA) dan nilai sekarang (PVA), sebagai berikut: 
Secara matematis dapat disederhanakan menjadi, 


Dan untuk nilai anuitas sekarang, 

Disederhanakan menjadi, 

Sebagai tambahan dalam perhitungan anuitas nilai sekarang, terdapat konsep perpetuitas yaitu seperti halnya anuitas namun tanpa titik akhir periode pembayaran dengan pembayaran pertamanya terjadi pada saat satu periode setelah saat ini atau kontrak/perjanjian dibuat. Secara matematis dapat diformulakan sebagai berikut, 

Dalam aljabar linier, penjumlahan hingga waktu tak terbatas dapat dirumuskan sebagai nilai pembayaran anuitas dikali dengan “Σ” (baca: sigma—symbol matematika untuk penjumlahan berurut) tingkat suku bunga diskontonya. Dalam rumusan matematis dapat dinyatakan sebagai berikut, 
dimana r > 0 atau tingkat suku bunga harus selalu bernilai positif, maka perpetuitas dapat dirumuskan sebagai berikut,
 

Akhirul kata, sejauh ini anda paling tidak sudah dapat memahami konsep dasar pengelolaan keuangan pada tingkat individual. Konsep nilai waktu uang ini baik lumpsum maupun anuitas sudah dapat anda aplikasikan sendiri dalam aktivitas keuangan sehari-hari anda. Misalnya, apabila anda ingin mengambil cicilan barang tersier seperti kendaraan bermotor roda dua yang dijual tanpa adanya uang muka dan bunga cicilan 0%, janganlah terburu-buru tergiur. Dengan konsep nilai waktu uang ini anda dapat mencurigai, bahwa harga motor tersebut sesungguhnya sudah dinaikan sebesar nilai bunga ditambahkan dengan keuntungan pedagang. Dalam hal seperti ini kita pantas menanyakan berapakah harga barang tersebut apabila dibeli secara tunai, apabila tetap sama, janganlah membeli dari toko tersebut. Apalagi jika harga barang tersebut di pasar akan selalu turun nilainya, maka atas dasar konsep nilai waktu uang, hindarilah membeli barang yang nilainya akan turun di pasar apalagi membelinya secara kredit. Secara khusus terkait dengan perpetuitas, konsep ini akan sangat berguna nantinya dalam memahami nilai wajar saham berdasarkan tingkat dividen yang dibagikan oleh perusahaan ketika kita memiliki saham tersebut.


Catatan-Catatan Akhir

[1] Kata diskun adalah kata serapan untuk discount, yang maknanya sama dengan kata diskon. Kata diskon sendiri meskipun terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, namun sesungguhnya penyerapan tersebut tidaklah taat pada asas EYD terkait kata dari bahasa asing. Menurut Suwardjono di dalam buku Akuntansi Pengantar 1 (2009) edisi ketiga kata discount seharusnya diserap menjadi kata diskun, begitu juga seperti pada kata coupon menjadi kupon, dan account menjadi akun.

[2] Seringkali kata compounding, diterjemahkan sebagai bunga majemuk. Menurut hemat penulis, istilah bunga majemuk memang tidak keliru, namun secara makna masih terlalu sempit dan terbatas mekanisme pelipatgandaan nilai semata dengan tingkat bunga tertentu. Compounding dalam bahasa Inggris lebih merujuk kepada proses pelipatgandaan akibat penjumlahan majemuk yang terdiri dari bagian kecil-kecil namun tidak terpisahkan. Dalam hal ini penulis tetap menggunakan kata compounding alih-alih menggunakan kata penggabugnan, bunga majemuk atau majemuk saja.

[3] Secara ceteris paribus, faktor perkawanan Silo dan Supri tidak ikut dihitung dalam penentuan pembayaran masa depan. Namun Supri apabila memahami konsep ekonomi, yang meliputi ceteris paribus, tingkat suku bunga, dan waktu, maka tingkat pengembalian yang wajar pada 3 tahun lagi adalah sebesar Rp11.742.413,75. Mengapa demikian? Karena nilai Rp10.000.000,00 Silo setelah tiga tahun pada tingkat suku bunga 5.50% adalah sebesar nilai tersebut. Secara moral, dengan mengetahui nilai waktu uang maka akan membantu dalam masalah utang-piutang ini. Namun kenyataanya, hingga hari ini di Indonesia masih banyak kasus-kasus bahaya moral (moral hazard) terkait dengan perkara utang-piutang ini, bahkan sering kali didapati “berhubung teman sendiri maka utang seolah tidak perlu dibayarkan”, dan banyak kasus ketika ‘yang berhutang’ ditagih justru malah marah-marah dan berakhir dalam putusnya hubungan pertemanan, bahkan hingga ke ranah pidana.

Rekomendasi Bacaan
Adams, Andrew, Philip Booth, David Bowie, and Della Freeth. 2003. Investment Mathematics. Chichester: John Wiley & Sons Ltd.
Brealey, Richard A., Stewart C. Myers, and Franklin Allen. 2008. Principles of Corporate Finance. 9th. New York, NY: McGraw-Hill/Irwin.
DeFusco, Richard A., Dennis W. McLeavey, Jerald E. Pinto, and David E. Runkle. 2007. Quantitative Investment Analysis. 2nd. Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Mankiw, N. Gregory, and Mark P. Taylor. 2014. Economics. Andover: Cengage Learning EMEA.




Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)