Relativisme dan Upaya Jalan Tengah Mencari Universalisme
“Siapakah yang sebetulnya memiliki pola berpikir yang serba porno? Apakah ini menjadikan gejala baru sebuah pornokrasi, yaitu apasaja dengan bantuan kekuasaan akan dibuat menjadi porno?” Tersebut ialah suatu pertanyaan reflektif yang diajukan pada telaah kasus karya seni yang dibungkam (baca: demo-pornokrasi). Namun dalam keseharian kita yang hidup di era dimana kapitalisme berkuasa dengan berbagai rayuan produk-produk pemuas hasratnya telah melahirkan problematika pornografi. Pertanyaan diatas mengarahkan pada suatu tudingan secara ad hominem yaitu menuduh langsung kepada orangnya dan sekaligus memiliki tuduhan adanya pola-pola kekeliruan ad baculum. Tentu saja pertanyaan tersebut ingin menimbang lebih jauh apa-apa yang dikategorikan secara porno dalam konteks subjektivisme dan relativisme. Daya tawar pertanyaan tersebut meminta ruang negosiasi terkait dengan definisi pornografi itu sendiri untuk berdialog secara terbuka, apalagi kaitannya ini dengan kehadiran figur telanjang di ruang publik. Seolah ketika subjektivisme tersebut berbicara atas nama kelompok dan mengusung ideologi serta dogma tertentu lantas menjadi legitimlah tuduhan porno itu. Artinya sejauh orang-orang kebanyakan mengatakan sesuatu itu adalah porno, maka porno lah itu. Kesepakatan opini massa seolah sudah merupakan ‘sabda’ yang kualitas tingkatannya sama dengan suara Tuhan sebagai pengada utama. Justru disinilah letak masalahnya bahwa realitas yang dipahami secara kolektif apakah lantas kemudian itu merepresentasikan realitas sesungguhnya? Ataukah, hal ini hanya merupakan citra dari realitas yang kemudian digelembungkan makna-maknanya dan lantas justru mengaburkan kebenaran yang sesungguhnya? Dengan kata lain, kebenaran objektif ini belum tentu benar, bisa jadi sudah mengandung cacat bawaan yaitu sesat pikir berjamaah alias salah kaprah.
Dalam artikel kali ini penulis akan membahas secara rasional sekaligus mengajak pembaca merenungkan suatu proses-proses bagaimana suatu pornografi didiskusikan dalam ranah etika komunikasi. Haryatmoko (2007) dalam bukunya Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan dan Pornografi, secara khusus membahas hal ini. Pornografi per definisi adalah suatu representasi eksplisit (gambar, tulisan, lukisan, foto) dari aktivitas seksual atau hal yang tidak senonoh, mesum, atau cabul yang dimaksudkan untuk dikomunikasikan ke publik (Ogien, 2003 hal. 31, 47, di dalam Haryatmoko, 2007). Dari definisi tersebut tentu saja ukuran senonoh, mesum, cabul ini mengandung unsur pemaknaan subjektif, artinya hal ini akan bertolak dari suatu kondisi moral seseorang, yaitu bagaimana seseorang bisa memberikan suatu putusan benar/salah, pantas/tidak berdasarkan atas suatu ketersituasiannya. Hal ini bisa menjadi macam-macam, dari relativisme budaya, konteks kandungan nilai seni, sastra, sains dan politik, atau hingga kondisi mental seseorang. Namun apapun hal ini, Haryatmoko menyanggah bahwa hal ini bukanlah hanya unsur subyektivisme dan bagaimana pun tidak bisa dikatakan relatif.
Haryatmoko secara umum merangkumkan tema-tema alasan dalam perdebatan publik tentang pornografi. Paling tidak terdapat tiga alasan utama yang mendasari penolakan ihwal pornografi, antara lain: (1) perlindungan terhadap anak-anak atau generasi muda, (2) aksi preventif terhadap perendahan martabat atau pelecehan terhadap perempuan, dan (3) aksi preventif atas sifat subversifnya yang mampu menghancurkan tatanan nilai keluarga dan masyarakat khususnya terkait seksualitas. Bahwa aksi preventif tersebut diajukan terkait dengan kepercayaan bahwa pornografi dianggap akan menimbulkan rangsangan seksual sehingga akan mendorong perilaku yang membahayakan atau merugikan orang lain. Pornografi dijadikan orientasi perilaku remaja dalam hal seksualitas. Pornografi cenderung membangkitkan kekerasan terhadap perempuan. Pornografi telah mengobjekan manusia dan sehingga subyek mereduksi dirinya dari ungkapan-ungkapan perasaan, afektif, yaitu pasangan adalah objek seksualnya yang hanya menjadi suatu pemuas hasrat seksual belaka (hal.95).
Terkait dengan hal tersebut diatas, pengungkapan berdasarkan etika minimal menyatakan bahwa pornografi telah melukai pihak lain. Etika minimal terdiri dari tiga pilar, yaitu (1) sikap netral yang mengakui adanya kebebasan memilih akan apa yang baik bagi dirinya dalam kaitannya dengan seksualitas. (2) Prinsip menghindari kerugian pada pihak lain, yaitu menurut cara berikir konsekuensialis bahwa kepedulian ini ingin menghilangkan potensi kerugian yang akan ditimbulkan pada pihak lain. (3) Prinsip untuk menempatkan nilai yang sama pada suara atau kepentingan setiap orang. Hal ini mengakar pada tradisi deontologi yaitu kewajiban setiap orang untuk tidak menjadikan orang lain sebuah sarana (memperalat), akan tetapi menjadi tujuan pada dirinya. Pada prinsip pertama ini mengakui dan menghargai hak akan kemandirian moral yang pada kaitannya dapat diartikan sebagai kebebasan memilih akan apa yang baik bagi dirinya dalam hal seksualitas. Pada prinsip kedua dan ketiga, tersirat suatu tuntutan adanya kesetaraan, maka secara funsional akan mengatur hubungan dengan pihak lain dengan menghindari segala bentuk paternalisme (hal.95).
Isu lanjutan yang berpotensi muncul adalah perkembangan produksi hukum untuk mengatur secara represif justru memposisikan perempuan menjadi korban lebih jauh lagi. Penilaian moral yang bermuatan suatu nilai tanggung jawab mengusung sebuah logika, yaitu silogisme. Dalam hal ini maksudnya adalah premis minor yang diusung akan selalu berhubungan dengan fakta. Segala sesuatu yang berkaitan dengan fakta harus bisa diverivikasi. Hal ini pun setara dalam penilaian moral yang sudah mengandaikan lebih dahulu adanya verivikasi (hal 95). Pembuktian pada akhirnya akan bersifat a priori, sehingga dalam penilaian moral perlu pembuktian-pembuktian yang sahih, berdasarkan logika dan dukungan ilmu pengetahuan (sebagai satu-satunya alat yang dimiliki manusia) bukan berdasarkan keyakinan membuta karena dogma agama, takhayul, atau ihwal apa pun terkait dengan hal-hal metafisis tertentu. Misalnya, isu pornografi akan mengakibatkan suatu perilaku-perilaku menyimpang dalam hal seksualitas, penyimpangan disini akibat adanya aksi mimesis dari seseorang yang terbiasa dengan menonton sajian tersebut. Aksi mimesis adalah perilaku meniru-niru, akibatnya seseorang akan memiliki dorongan untuk meniru apa-apa yang tersaji di dalam adegan pornografi itu, padahal apa yang ada disana adalah suatu rekayasa, suatu simulasi saja, sesuatu yang telah melampaui realitas itu sendiri. Pun hal tersebut tentu saja adalah suatu hipotesis yang perlu dukungan bukti empiris. Belum lagi, ada perdebatan lain yang mempu menandingi dalam tingkatan teoritisnya, contohnya adanya kehadiran pendekatan teori catharsis yang mengatakan bahwa semakin orang sering mengkonsumsi pornografi, semakin tidak ingin melakukan hubungan seksual misalnya (hal.96).
Ditengah kerumitan perlunya adanya bukti-bukti empiris ditengah membuat suatu hukum terkait dengan pornografi, justru yang perlu dihindari adalah segala bentuk-bentuk logika jangka-pendek, yaitu logika yang berfokus pada keuntungan segera atau yang serba instant. Logika ini analoginya adalah seperti di jalan pemukiman, ketika banyak orang berlalu lintas dengan kecepatan tertentu (peristiwa), dan kecepatan ini dianggap berpotensi membahayakan jiwa warga (konsekuensi), maka untuk menanggulanginya adalah dibuat tanggul jalan (polisi tidur), alih-alih memberikan tindakan preventif melalui bentuk-bentuk sosialisasi dan aksi terhadap individu yang ngebut. Membuat tanggul jalan merupakan suatu bentuk pelarangan yang diartikulasikan secara mekanis agar setiap orang dipaksa memperlambat kendaraannya. Memang benar di satu sisi akan sangat efektif memperlambat kendaraan yang melintas, namun disisi lain juga akan mengurangi kenyamanan berkendara bagi dan juga meningkatkan bahaya. Tanggul jalan adalah solusi yang tidak adil, karena bagi yang berkendara secara santun dan tertib ikut merasakan dampaknya. Artinya keputusan tanggul jalan ikut menghukum bagi seluruh pengendara, namun tidak pernah memberikan efek jera bagi pelaku. Hal ini dikarenakan pesan ‘suatu moral’ tidak sampai dan tidak ditegakkan. Jadi dalam hal logika jangka pendek seperti ini, jika ada pornografi, alih-alih memberikan suatu ceramah keilmuan dalam multidisipliner malah melarang dan pada akhirnya justru menciptakan mekanisme bayangan atau tandingan (hadirnya pasar gelap misalnya). Artinya pelarangan pornografi tidak menghilangkan pornografi, justru semakin marak melalui mekanisme bayangan itu tadi.
Apa solusinya dalam masalah pornografi ini? Dalam argumennya, Haryatmoko mengetengahkan bahwa pornografi adalah suatu isu yang berkaitan dengan masalah moral masyarakat bukan hanya masalah konseptual belaka, akan tetapi juga mememiliki keterkaitan dengan pengambilan sikap moral dan politik di masyarakat. Masalah pornografi ini diidentifikasi menjadi tiga masalah pokok, pertama benturannya dengan kebebasan berekspresi, terutama bila berkaitan dengan seni. Kedua, benturannya dengan hak mendapatkan informasi. Terakhir, benturannya terhadap hak pemenuhan suatu pilihan orang lain, meskipun dalam kondisi ketika seni dan pendidikan seni sendiri dianggap kabur, dan pilihan ini tidak merugikan orang lain. Dengan pengidentifikasian semacam itu Haryatmoko mengusulkan langkah yang paling krusial adalah berangkat dari penyelesaian batas-batas mana yang dianggap pornografi, dan mana yang bukan. Pentingnya kehadiran batas ini dapat mengupayakan untuk terhindar dari masalah relativisme. Ada empat acuan pokok yang dapat digunakan untuk memutuskan hal itu, antara lain: Pertama, konsepsi umum yang termasuk maksud, ciri, dan hakikat tentang seni yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Kedua, konsep moral umum, yaitu apakah telah melakukan dehumanisasi (mengobjekan) manusia. Ketiga, reaksi emosional sebagai dampak dari hal itu. Keempat, dukungan sains empiris dari disiplin psikologi (hal.97).
Ruang Refleksi
Bahwa diskusi terkait dengan etika komunikasi dan pornografi berangkat dari penolakan suatu pandangan relativisme. Lantas, bagaimana penjelasan terkait dengan relativisme ini dalam kaitannya dengan hubungan antar individu? Relativisme akan terkait dengan rasionalitas, dan telah menjadi suatu masalah pokok yang menjadi perdebatan dalam ilmu sosial (Burke, 2015). Pertanyaan mendasar yang diajukan Burke terkait relativisme berangkat dari pertanyaan yang berjangkar pada rasionalitas. Pertama, sejauh apakah manusia itu rasional? Kedua, apakah ada tolok ukur baku dan universal bagi rasionalitas, atau apakah ada tolok ukur yang partikular yang melekat dengan masing-masing budaya? Bagi kaum relativis, mereka tidak menghalalkan segalanya, namun dengan mempertimbangkan konteks budaya setempat, sesuatu yang dianggap rasional tidak bisa terlepas dari konteks situasi sosial. Mengomentari pedoman yang diberikan oleh Haryatmoko tersebut diatas, maka penyelesaian terkait pornografi masih bersifat abstrak. Arahan hal tersebut sebagai upaya pencarian jalan tengah yang bersifat universal tetap akan tunduk dibawah suatu faham atau ideologi negara, kecuali hal ini diletakan dalam fondasi hak asasi manusia yang itu pun dalam praktiknya masih banyak terdapat pelanggarannya. Hal ini pun juga dapat dipandang secara pesimistis, yaitu bahwa upaya penyelesaian konkret masalah pornografi ini masih berpotensi kembali terjebak dalam relativisme budaya, karena permasalahan ini tetap menggunakan pertimbangan logika dalam memutuskannya.
Burke (2015) menyoroti masalah relativisme ini paling tidak dengan empat hal berikut ini. Pertama, dalam tradisi berpikir Freudian diyakini bahwa tidak setiap saat setiap individu itu rasional. Kedua, perlu dibedakan antara rasionalitas tindakan dan rasionalitas keyakinan. Ketiga, perlu dibedakan pula rasionalitas pengambilan keputusan secara individual dari rasional sebuah tatanan sosial atau politis. Terakhir, dalam suatu keputusan dari pilihan rasional, diteorikan bahwa masyarakat merupakan individu-individu yang mengikuti strategi tertentu yang memaksimumkan keberolehan manfaat (analisis untung rugi). Teori tersebut bertolak dari sebuah asumsi bahwa individu-individu mengevaluasi kemungkinan hasil yang berkaitan dengan pilihan-pilihan mereka berdasarkan selera dan nilai-nilai yang mereka pegang. Artinya kasus relativisme budaya dan rasionalitas adalah masalah justifikasi kebenaran antara yang dipercaya dan realitasnya, dan ini adalah hal terkait dengan epistemologi.
Sedangkan secara epistemologi, artinya menyoal bagaimana cara individu itu membuat keputusan, relativisme merupakan suatu faham yang mengingkari adanya dan dapat diketahui kebenaran yang objektif dan universal oleh manusia. Artinya bahwa tidak ada kebenaran yang objektif, yang ada dan berlaku sebagai kebenaran adalah apa-apa yang bersifat relatif. Hal-hal ini sangat ditentukan oleh subjek yang bersangkutan atau individu (kepribadian, mental, atau intelektualitas seseorang), kelompok masyarakat dan budaya tertentu, sistem keyakinan dan cara pandang tata laku hidup yang dianut. Relativisme pun secara bentuknya dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, relativisme subjektif secara praktis serupa dengan subjektivisme. Secara sederhana dapat digambarkan apa yang benar untuk A belum tentu benar untuk B. Kedua, relativisme budaya yaitu suatu relativisme yang tidak mengakui adanya kebenaran objektif dan universal, dalam arti semua tingkatan pengetahuan hanya bersifat lokal. Penentuan benar atau salah (moral) itu relatif terhadap konteks sosial-budaya tempat keputusan itu dilakukan (kontekstualisme) dan acuannya ditentukan berdasarkan konsensus sosial dalam masyarakat (konvensionalisme). Tidak ada acuan sebagai ukuran kebenaran yang netral dan berlaku untuk semua individu dalam masyarakat (Sudarminta, 2002).
Dalam bahasan mengenai pornografi, kasus karya seni yang dibungkam dengan suatu dogma tertentu perlu langkah-langkah dialogis yang perlu merangkul semua pihak. Pemerintah sebagai penguasa juga tidak terlepas dari logika-logika jangka pendek yang tentu saja perlu dikawal oleh semua pihak dalam aksi sosio-politis. Pengabaian dan tindakan pasif dalam mempersoalkan pornografi akan mengakibatkan suatu tindakan yang tanggung renteng terhadap tatanan kehidupan, karena hal ini keputusan penolakan pornografi sampai menembus batas-batas seni tentu saja juga sudah keterlaluan. Apalagi putusan itu dilangsungkan dengan menggunakan moral yang diacu dari sebuah faham fondasionalisme. Tentu saja ini akan mereduksi apa-apa dengan tuduhan pornografi. Negosiasi dalam ruang budaya heterogen kemudian perlu meletakan agama di bawah payung budaya, bukan sebaliknya. Fakta sejarah bahwa klaim kebenaran suatu agama seringkali justru berakhir dengan pertikaian antar umat beragama, yang sesungguhnya sudah jauh dari tujuan agama itu sendiri. Pada dasarnya agama yang diletakan sebagai penyumbang nilai-nilai moral sesungguhnya dalam sejarah sudah bersifat relatif dan partikular terhadap universalitas manusia. Penguasa dan wakil rakyat disini pun seharusnya tidak terjebak dalam suatu logika jangka pendek yang kemudian menjadikan moral masyarakat diatur dalam payung hukum, apa lagi produksi undang-undang yang bersifat ‘selalu dapat dipelintir’ sedemikian rupa menjadi alat melanggengkan kekuasaan daripada keadilan itu sendiri. Perihal pornografi ini merupakan suatu konstatasi nilai-nilai relatif pada sistem kepercayaan kelompok. Artinya penyelesaian hal ini secara sosial perlu melihat tegangan-tegangan yang terjadi secara epistemis. Seperti yang dikemukakan oleh Sudarminta (2002) bahwa tentu saja kepastian mutlak tentang kebenaran segala pengetahuan tidak dimungkinkan, sebab manusia adalah makhluk tergantung situasi (contingent) dan makhluk yang dapat keliru (fallible). Pengetahuan manusia memang bersifat relasional dan kontekstual, tetapi bukan berarti objektivitas dan universalitas menjadi tidak dimungkinkan. Upaya Haryatmoko diatas adalah sebagai mengupayakan jalan objektif yang dapat merangkul semua pihak terkait dengan sikap moral terhadap pornografi tanpa menciderai keadilan. Hal ini penting dilakukan oleh semua pihak sebagai langkah aktif dalam menentukan tolok ukur kebenaran.
Daftar Bacaan
Sumber: http://prevos.net/wp-content/uploads/sites/8/2004/08/cultural-relativism-cartoon.png |
Dalam artikel kali ini penulis akan membahas secara rasional sekaligus mengajak pembaca merenungkan suatu proses-proses bagaimana suatu pornografi didiskusikan dalam ranah etika komunikasi. Haryatmoko (2007) dalam bukunya Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan dan Pornografi, secara khusus membahas hal ini. Pornografi per definisi adalah suatu representasi eksplisit (gambar, tulisan, lukisan, foto) dari aktivitas seksual atau hal yang tidak senonoh, mesum, atau cabul yang dimaksudkan untuk dikomunikasikan ke publik (Ogien, 2003 hal. 31, 47, di dalam Haryatmoko, 2007). Dari definisi tersebut tentu saja ukuran senonoh, mesum, cabul ini mengandung unsur pemaknaan subjektif, artinya hal ini akan bertolak dari suatu kondisi moral seseorang, yaitu bagaimana seseorang bisa memberikan suatu putusan benar/salah, pantas/tidak berdasarkan atas suatu ketersituasiannya. Hal ini bisa menjadi macam-macam, dari relativisme budaya, konteks kandungan nilai seni, sastra, sains dan politik, atau hingga kondisi mental seseorang. Namun apapun hal ini, Haryatmoko menyanggah bahwa hal ini bukanlah hanya unsur subyektivisme dan bagaimana pun tidak bisa dikatakan relatif.
Haryatmoko secara umum merangkumkan tema-tema alasan dalam perdebatan publik tentang pornografi. Paling tidak terdapat tiga alasan utama yang mendasari penolakan ihwal pornografi, antara lain: (1) perlindungan terhadap anak-anak atau generasi muda, (2) aksi preventif terhadap perendahan martabat atau pelecehan terhadap perempuan, dan (3) aksi preventif atas sifat subversifnya yang mampu menghancurkan tatanan nilai keluarga dan masyarakat khususnya terkait seksualitas. Bahwa aksi preventif tersebut diajukan terkait dengan kepercayaan bahwa pornografi dianggap akan menimbulkan rangsangan seksual sehingga akan mendorong perilaku yang membahayakan atau merugikan orang lain. Pornografi dijadikan orientasi perilaku remaja dalam hal seksualitas. Pornografi cenderung membangkitkan kekerasan terhadap perempuan. Pornografi telah mengobjekan manusia dan sehingga subyek mereduksi dirinya dari ungkapan-ungkapan perasaan, afektif, yaitu pasangan adalah objek seksualnya yang hanya menjadi suatu pemuas hasrat seksual belaka (hal.95).
Terkait dengan hal tersebut diatas, pengungkapan berdasarkan etika minimal menyatakan bahwa pornografi telah melukai pihak lain. Etika minimal terdiri dari tiga pilar, yaitu (1) sikap netral yang mengakui adanya kebebasan memilih akan apa yang baik bagi dirinya dalam kaitannya dengan seksualitas. (2) Prinsip menghindari kerugian pada pihak lain, yaitu menurut cara berikir konsekuensialis bahwa kepedulian ini ingin menghilangkan potensi kerugian yang akan ditimbulkan pada pihak lain. (3) Prinsip untuk menempatkan nilai yang sama pada suara atau kepentingan setiap orang. Hal ini mengakar pada tradisi deontologi yaitu kewajiban setiap orang untuk tidak menjadikan orang lain sebuah sarana (memperalat), akan tetapi menjadi tujuan pada dirinya. Pada prinsip pertama ini mengakui dan menghargai hak akan kemandirian moral yang pada kaitannya dapat diartikan sebagai kebebasan memilih akan apa yang baik bagi dirinya dalam hal seksualitas. Pada prinsip kedua dan ketiga, tersirat suatu tuntutan adanya kesetaraan, maka secara funsional akan mengatur hubungan dengan pihak lain dengan menghindari segala bentuk paternalisme (hal.95).
Isu lanjutan yang berpotensi muncul adalah perkembangan produksi hukum untuk mengatur secara represif justru memposisikan perempuan menjadi korban lebih jauh lagi. Penilaian moral yang bermuatan suatu nilai tanggung jawab mengusung sebuah logika, yaitu silogisme. Dalam hal ini maksudnya adalah premis minor yang diusung akan selalu berhubungan dengan fakta. Segala sesuatu yang berkaitan dengan fakta harus bisa diverivikasi. Hal ini pun setara dalam penilaian moral yang sudah mengandaikan lebih dahulu adanya verivikasi (hal 95). Pembuktian pada akhirnya akan bersifat a priori, sehingga dalam penilaian moral perlu pembuktian-pembuktian yang sahih, berdasarkan logika dan dukungan ilmu pengetahuan (sebagai satu-satunya alat yang dimiliki manusia) bukan berdasarkan keyakinan membuta karena dogma agama, takhayul, atau ihwal apa pun terkait dengan hal-hal metafisis tertentu. Misalnya, isu pornografi akan mengakibatkan suatu perilaku-perilaku menyimpang dalam hal seksualitas, penyimpangan disini akibat adanya aksi mimesis dari seseorang yang terbiasa dengan menonton sajian tersebut. Aksi mimesis adalah perilaku meniru-niru, akibatnya seseorang akan memiliki dorongan untuk meniru apa-apa yang tersaji di dalam adegan pornografi itu, padahal apa yang ada disana adalah suatu rekayasa, suatu simulasi saja, sesuatu yang telah melampaui realitas itu sendiri. Pun hal tersebut tentu saja adalah suatu hipotesis yang perlu dukungan bukti empiris. Belum lagi, ada perdebatan lain yang mempu menandingi dalam tingkatan teoritisnya, contohnya adanya kehadiran pendekatan teori catharsis yang mengatakan bahwa semakin orang sering mengkonsumsi pornografi, semakin tidak ingin melakukan hubungan seksual misalnya (hal.96).
Ditengah kerumitan perlunya adanya bukti-bukti empiris ditengah membuat suatu hukum terkait dengan pornografi, justru yang perlu dihindari adalah segala bentuk-bentuk logika jangka-pendek, yaitu logika yang berfokus pada keuntungan segera atau yang serba instant. Logika ini analoginya adalah seperti di jalan pemukiman, ketika banyak orang berlalu lintas dengan kecepatan tertentu (peristiwa), dan kecepatan ini dianggap berpotensi membahayakan jiwa warga (konsekuensi), maka untuk menanggulanginya adalah dibuat tanggul jalan (polisi tidur), alih-alih memberikan tindakan preventif melalui bentuk-bentuk sosialisasi dan aksi terhadap individu yang ngebut. Membuat tanggul jalan merupakan suatu bentuk pelarangan yang diartikulasikan secara mekanis agar setiap orang dipaksa memperlambat kendaraannya. Memang benar di satu sisi akan sangat efektif memperlambat kendaraan yang melintas, namun disisi lain juga akan mengurangi kenyamanan berkendara bagi dan juga meningkatkan bahaya. Tanggul jalan adalah solusi yang tidak adil, karena bagi yang berkendara secara santun dan tertib ikut merasakan dampaknya. Artinya keputusan tanggul jalan ikut menghukum bagi seluruh pengendara, namun tidak pernah memberikan efek jera bagi pelaku. Hal ini dikarenakan pesan ‘suatu moral’ tidak sampai dan tidak ditegakkan. Jadi dalam hal logika jangka pendek seperti ini, jika ada pornografi, alih-alih memberikan suatu ceramah keilmuan dalam multidisipliner malah melarang dan pada akhirnya justru menciptakan mekanisme bayangan atau tandingan (hadirnya pasar gelap misalnya). Artinya pelarangan pornografi tidak menghilangkan pornografi, justru semakin marak melalui mekanisme bayangan itu tadi.
Apa solusinya dalam masalah pornografi ini? Dalam argumennya, Haryatmoko mengetengahkan bahwa pornografi adalah suatu isu yang berkaitan dengan masalah moral masyarakat bukan hanya masalah konseptual belaka, akan tetapi juga mememiliki keterkaitan dengan pengambilan sikap moral dan politik di masyarakat. Masalah pornografi ini diidentifikasi menjadi tiga masalah pokok, pertama benturannya dengan kebebasan berekspresi, terutama bila berkaitan dengan seni. Kedua, benturannya dengan hak mendapatkan informasi. Terakhir, benturannya terhadap hak pemenuhan suatu pilihan orang lain, meskipun dalam kondisi ketika seni dan pendidikan seni sendiri dianggap kabur, dan pilihan ini tidak merugikan orang lain. Dengan pengidentifikasian semacam itu Haryatmoko mengusulkan langkah yang paling krusial adalah berangkat dari penyelesaian batas-batas mana yang dianggap pornografi, dan mana yang bukan. Pentingnya kehadiran batas ini dapat mengupayakan untuk terhindar dari masalah relativisme. Ada empat acuan pokok yang dapat digunakan untuk memutuskan hal itu, antara lain: Pertama, konsepsi umum yang termasuk maksud, ciri, dan hakikat tentang seni yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Kedua, konsep moral umum, yaitu apakah telah melakukan dehumanisasi (mengobjekan) manusia. Ketiga, reaksi emosional sebagai dampak dari hal itu. Keempat, dukungan sains empiris dari disiplin psikologi (hal.97).
Ruang Refleksi
Bahwa diskusi terkait dengan etika komunikasi dan pornografi berangkat dari penolakan suatu pandangan relativisme. Lantas, bagaimana penjelasan terkait dengan relativisme ini dalam kaitannya dengan hubungan antar individu? Relativisme akan terkait dengan rasionalitas, dan telah menjadi suatu masalah pokok yang menjadi perdebatan dalam ilmu sosial (Burke, 2015). Pertanyaan mendasar yang diajukan Burke terkait relativisme berangkat dari pertanyaan yang berjangkar pada rasionalitas. Pertama, sejauh apakah manusia itu rasional? Kedua, apakah ada tolok ukur baku dan universal bagi rasionalitas, atau apakah ada tolok ukur yang partikular yang melekat dengan masing-masing budaya? Bagi kaum relativis, mereka tidak menghalalkan segalanya, namun dengan mempertimbangkan konteks budaya setempat, sesuatu yang dianggap rasional tidak bisa terlepas dari konteks situasi sosial. Mengomentari pedoman yang diberikan oleh Haryatmoko tersebut diatas, maka penyelesaian terkait pornografi masih bersifat abstrak. Arahan hal tersebut sebagai upaya pencarian jalan tengah yang bersifat universal tetap akan tunduk dibawah suatu faham atau ideologi negara, kecuali hal ini diletakan dalam fondasi hak asasi manusia yang itu pun dalam praktiknya masih banyak terdapat pelanggarannya. Hal ini pun juga dapat dipandang secara pesimistis, yaitu bahwa upaya penyelesaian konkret masalah pornografi ini masih berpotensi kembali terjebak dalam relativisme budaya, karena permasalahan ini tetap menggunakan pertimbangan logika dalam memutuskannya.
Burke (2015) menyoroti masalah relativisme ini paling tidak dengan empat hal berikut ini. Pertama, dalam tradisi berpikir Freudian diyakini bahwa tidak setiap saat setiap individu itu rasional. Kedua, perlu dibedakan antara rasionalitas tindakan dan rasionalitas keyakinan. Ketiga, perlu dibedakan pula rasionalitas pengambilan keputusan secara individual dari rasional sebuah tatanan sosial atau politis. Terakhir, dalam suatu keputusan dari pilihan rasional, diteorikan bahwa masyarakat merupakan individu-individu yang mengikuti strategi tertentu yang memaksimumkan keberolehan manfaat (analisis untung rugi). Teori tersebut bertolak dari sebuah asumsi bahwa individu-individu mengevaluasi kemungkinan hasil yang berkaitan dengan pilihan-pilihan mereka berdasarkan selera dan nilai-nilai yang mereka pegang. Artinya kasus relativisme budaya dan rasionalitas adalah masalah justifikasi kebenaran antara yang dipercaya dan realitasnya, dan ini adalah hal terkait dengan epistemologi.
Sedangkan secara epistemologi, artinya menyoal bagaimana cara individu itu membuat keputusan, relativisme merupakan suatu faham yang mengingkari adanya dan dapat diketahui kebenaran yang objektif dan universal oleh manusia. Artinya bahwa tidak ada kebenaran yang objektif, yang ada dan berlaku sebagai kebenaran adalah apa-apa yang bersifat relatif. Hal-hal ini sangat ditentukan oleh subjek yang bersangkutan atau individu (kepribadian, mental, atau intelektualitas seseorang), kelompok masyarakat dan budaya tertentu, sistem keyakinan dan cara pandang tata laku hidup yang dianut. Relativisme pun secara bentuknya dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, relativisme subjektif secara praktis serupa dengan subjektivisme. Secara sederhana dapat digambarkan apa yang benar untuk A belum tentu benar untuk B. Kedua, relativisme budaya yaitu suatu relativisme yang tidak mengakui adanya kebenaran objektif dan universal, dalam arti semua tingkatan pengetahuan hanya bersifat lokal. Penentuan benar atau salah (moral) itu relatif terhadap konteks sosial-budaya tempat keputusan itu dilakukan (kontekstualisme) dan acuannya ditentukan berdasarkan konsensus sosial dalam masyarakat (konvensionalisme). Tidak ada acuan sebagai ukuran kebenaran yang netral dan berlaku untuk semua individu dalam masyarakat (Sudarminta, 2002).
Dalam bahasan mengenai pornografi, kasus karya seni yang dibungkam dengan suatu dogma tertentu perlu langkah-langkah dialogis yang perlu merangkul semua pihak. Pemerintah sebagai penguasa juga tidak terlepas dari logika-logika jangka pendek yang tentu saja perlu dikawal oleh semua pihak dalam aksi sosio-politis. Pengabaian dan tindakan pasif dalam mempersoalkan pornografi akan mengakibatkan suatu tindakan yang tanggung renteng terhadap tatanan kehidupan, karena hal ini keputusan penolakan pornografi sampai menembus batas-batas seni tentu saja juga sudah keterlaluan. Apalagi putusan itu dilangsungkan dengan menggunakan moral yang diacu dari sebuah faham fondasionalisme. Tentu saja ini akan mereduksi apa-apa dengan tuduhan pornografi. Negosiasi dalam ruang budaya heterogen kemudian perlu meletakan agama di bawah payung budaya, bukan sebaliknya. Fakta sejarah bahwa klaim kebenaran suatu agama seringkali justru berakhir dengan pertikaian antar umat beragama, yang sesungguhnya sudah jauh dari tujuan agama itu sendiri. Pada dasarnya agama yang diletakan sebagai penyumbang nilai-nilai moral sesungguhnya dalam sejarah sudah bersifat relatif dan partikular terhadap universalitas manusia. Penguasa dan wakil rakyat disini pun seharusnya tidak terjebak dalam suatu logika jangka pendek yang kemudian menjadikan moral masyarakat diatur dalam payung hukum, apa lagi produksi undang-undang yang bersifat ‘selalu dapat dipelintir’ sedemikian rupa menjadi alat melanggengkan kekuasaan daripada keadilan itu sendiri. Perihal pornografi ini merupakan suatu konstatasi nilai-nilai relatif pada sistem kepercayaan kelompok. Artinya penyelesaian hal ini secara sosial perlu melihat tegangan-tegangan yang terjadi secara epistemis. Seperti yang dikemukakan oleh Sudarminta (2002) bahwa tentu saja kepastian mutlak tentang kebenaran segala pengetahuan tidak dimungkinkan, sebab manusia adalah makhluk tergantung situasi (contingent) dan makhluk yang dapat keliru (fallible). Pengetahuan manusia memang bersifat relasional dan kontekstual, tetapi bukan berarti objektivitas dan universalitas menjadi tidak dimungkinkan. Upaya Haryatmoko diatas adalah sebagai mengupayakan jalan objektif yang dapat merangkul semua pihak terkait dengan sikap moral terhadap pornografi tanpa menciderai keadilan. Hal ini penting dilakukan oleh semua pihak sebagai langkah aktif dalam menentukan tolok ukur kebenaran.
Daftar Bacaan
Burke, P.
(2015). Sejarah dan Teori Sosial (2nd ed.). (M. Zed, Zulfami, & A.
Sairozi, Trans.) Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Haryatmoko.
(2007). Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi.
Yogyakarta: Kanisius.
Sudarminta,
J. (2002). Epistemologi Dasar: Pengantar filsafat pengetahuan.
Yogyakarta: Kanisius.
Comments
Post a Comment