Pengetahuan: Epistemologi




Sumber gambar: http://www.biografiasyvidas.com/monografia/aristoteles/fotos/aristoteles_420.jpg 

Celakalah orang yang tidak tahu bahwa sebenarnya ia tidak tahu.
-Anon-



Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu terpapar berbagai informasi, baik secara sadar maupun tidak sadar. Pun tentu saja telah menjadi sebuah kisah kita bersama, bahwa informasi ini kemudian akan dimaknai sebagai “apa” dan “bagaimana”. Sederhana memang, namun begitu suatu informasi ditafsirkan dan diyakini sebagai suatu kebenaran mutlak, dipolitisasi, diotoritisasi dan mendapatkan legitimasi, didogmakan dan bahkan diartikulasi secara sempit, maka tidak heran apabila akan kita dapatkan contohnya sebuah fenomena “penganut suatu sekte yang bunuh diri secara bersama”. Ngeri bukan?

Sebagai seseorang yang tidak tahu dan serba ingin tahu pun juga bukan hal yang mudah ketika seseorang ini dipahami sebagai aku yang terlempar ke dalam dunia kehidupan (Lebenswelt, demikian kata Heidegger). Aku ini (yang terlempar), kemudian akan serba menabrak dan ditabrak oleh dia yang kita sebut “budaya”. Bahkan ketika siapa Aku ini pun yang merupakan suatu yang “ada” karena memahami, dan akan “menjadi ada” karena aktivitas tersebut, merasa menjadi tidak ada karena tidak dipahami, entah bahasa yang tidak sama, salah memaknai tanda, salah tingkah (gestur yang tidak selaras, asynchronous relation amongst mind-body-soul), dan ketika kita pada akhirnya harus mengambil keputusan untuk menyikapi, pada akhirnya hanya berujung pada kesalahpahaman, sehingga mau tidak mau kita dituntut untuk menjadi serba “jaga image” dan meligitimasi aktivitas yang diturunkan dari konsep munafik. Padahal dua aktivitas ini merupakan akar dari kebohongan dan merujuk pada pengkhianatan.

Sampai disini, ketidaktahuan akan kebenaran dapat membahayakan kehidupan, kesalahpahaman akan kegagalan mengungkap kebenaran juga membahayakan pula. Kepercayaan yang membuta akan kebenaran akan ikut menghadirkan kekacauan juga. Yah mungkin saja dapat diduga bahwa dunia kehidupan ini tidak lebih dari permainan pikiran antara orang-orang yang mencari kebenaran, hanya permainan pikiran-pikiran orang-orang yang tidak tahu.

“Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya”

-Pangemanan, dalam novel Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca, (hal. 46)-



Dalam ranah ilmu pengetahuan, sebagai seorang peneliti ataupun akademisi, bahwa upaya-upaya mengungkap kebenaran telah melekat sebagai identitas. Masalah pengungkapan antara “apa yang benar?” dan “apa yang dipercaya?” menjadi ranah kajian utama dari kelompok ini. Usaha ini pun selalu merujuk pada Plato dan Aristoteles, sebagai perintis apa yang disebut sebagai epistemology. Meskipun keduanya memili dasar fokus yang berbeda (Plato mendasarkan pada prinsip-prinsip yang terwaris dari hal abstrak dan mistis, sedangkan Aristoteles mendasarkan pada hal-hal yang konkret, berwujud dapat diindrai (sense), dan ditemukan secara empiris) (Kaye, 2013). Dalam ranah ini, beberapa pertanyaan pun diajukan yaitu:

Apakah sifat kealamiahan (nature) dari pengetahuan? Apakah hal yang menentukan bahwa seseorang mengetahui sesuatu atau tidak? Apakah kita memiliki pengetahuan?

Dari kedua pertanyaan itu, kita memerlukan landasan alasan logis apa itu pengetahuan. Pengetahuan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu: (1) pengetahuan proposisional, pengetahuan yang merupakan pernyataan dari kalimat yang merujuk pada suatu kasus tertentu, contoh: bumi itu datar, jomblo adalah laki-laki/perempuan yang tidak memiliki pasangan, 2+2=4, dan sebagainya. (2) pengetahuan kebermampuan (ability atau know-how) adalah mengenai kebagaimanaan tentang sesuatu terjadi, misal: aku tahu bagaimana cara berenang, yaitu melompat ke kolam, dan melakukan berbagai gerakan singkron antara tangan dan kaki (Chrisman & Pritchard, 2013).

Epistemologi sebaiknya mengevaluasi “properti-properti” yang dimiliki orang-orang (kecendikiaan) dan tidak hanya properti-properti dari proposisi-proposisi atau sikap-sikap proposisi mental. Proposisi-proposisi mengandung bagian-bagian seperti kebenaran-kebenaran dan kepercayaan-kepercayaan yang saling beririsan. Irisan tersebut melahirkan kepercayaan nyata yang dijustifikasi secara lemah. Pengetahuan berada dalam irisan tersebut namun telah “lolos uji” secara rasional (Chrisman & Pritchard, 2013).


Sumber Gambar: https://en.wikipedia.org/wiki/Epistemology#/media/File:Classical_definition_of_Kno.svg 

Perhatikan diagram Euler diatas! Merujuk pada Gettier (1963) bahwa pengetahuan bisa saja gagal karena tidak dijustifikasi secara benar, maka dari itu pengetahuan perlu diuji secara logika dari premis-premis penyusunnya. Terdapat tiga kasus penyusunan proposisi:


(1). S mengetahui bahwa P (jika dan hanya jika)
(a). P benar
(b). S percaya bahwa P, dan
(c). S terjustifikasi untuk mempercayai bahwa P.

(2). S mengetahui bahwa P (jika dan hanya jika)
(a). S menerima P,
(b). S memiliki kecukupan bukti-bukti yang mendukung P, dan
(c). P benar.

(3). S mengetahui bahwa P, (jika dan hanya jika)
(a). P benar,
(b). S yakin bahwa P benar, dan
(c). S memiliki hak untuk meyakini bahwa P benar

Dari ketiga kasus diatas Gettier berargumen bahwa:
kondisi (1) adalah keliru karena tidak memenuhi kaidah kecukupan kondisi akan kebenaran dari proposisi bahwa S mengetahui tentang P. Sedangkan kondisi (2) dan (3) pada gagal memenuhi pernyataan per bagian dari “terjustifikasi untuk mempercayai bahwa”, poin 2b dan 3c --><-- 1c

To be continued...


Daftar Bacaan
Chrisman, M., & Pritchard, D. (2013). Philosophy for Everyone. New York: Routledge.
Gettier, E. L. (1963). Is Justified True Belief Knowledge? Analysis, 23(6), 121-123.
Kaye, S. (2013). Philosophy: A Complete Introduction. London: Hodder and Stoughton Ltd.



Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)