Imaji-imaji Relasi menurut Carol Gilligan (1)

Dalam keseharian kita, sering kali kita tidak pernah memikirkan, mengapa aku jatuh Cinta dengan Ia. Sering kali bahwa Cinta di pahami sebagai letupan-letupan emosi, ekspresi-ekspresi jiwa, yang tidak pernah cukup untuk didefinisikan, dirumuskan, atau bahkan diukur. Namun mungkinkah Cinta ada tanpa adanya relasi? Manakah yang tepat, cinta mendahului relasi, atau relasi mendahului Cinta? Tentu saja untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu membahas apa-apa saja dari keduanya?

Sungguh sulit bagi saya yang tidak pernah mengenyam bangku kuliah di Fakultas Filsafat, untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun saya ingin mencoba berangkat dari rerangka pikir Romo Magniz yang membahas etika kepedulian, etika, etika laki-laki (Magnis-Suseno 2005, 236), yang menggunakan kritik Carol Gilligan atas etika Kantian dalam rerangka etika Kohlberg. Tuduhan yang dilangsungkan Gilligan bak bom bagi etika keadilan, yang menjadikannya berbeda dari etika-etika feminis yang telah dipublikasikan pada masa itu. Alasannya adalah etika kepedulian melahirkan etika khas perempuan ditengah kekuasaan wacana etika kaum laki-laki. Giligan pun menuduh Kohlberg yang timpang dalam pembahasannya karena hadirnya prasangka gender yang menuntut agar “etika kepedulian” itu dianggap setara kualitasnya dengan “etika keadilan”.

Simpulan Romo Magniz terkait dengan etika kepedulian ini didasarkan pada sikap baik antar sesama, artinya tuntutan agar kita selalu bersikap baik, tidak ada alasan apa pun mengapa kita harus bersikap adil. Seseorang hanya mau bertindak adil karena ia mau bersikap baik. Keadilan merupakan syarat agar kebaikan yang sudah diandaikan secara moral tidak cacat, tetapi agar orang mau bersikap adil, ia sudah harus peduli. Sehingga, keutamaan dasar moral adalah kebaikan hati. Dengan demikian, orang yang tidak peduli pada orang lain sudah apriori tertutup terhadap moralitas. Lebih jauh, Adorno menegaskan bahwa manusia dengan alasan apapun tidak boleh dihancurkan, atau menolak segala perbuatan keji (Rorty, 1989, XV dalam Yudith Shklar dalam Magnis-Suseno 2005). Hal ini pun ditegaskan oleh etika Spaemann, bahwa moralitas harus dimengerti dari puncak pengalamannya, yaitu dalam cinta kasih, yaitu perpisahan antara kebahagiaan dan kewajiban, antara cinta pada orang lain dan pada dirinya sendiri hilang (Spaeman 1990, dalam Magniz Suseno 2005). Jelas dari rerangka pikir Romo Magniz, bahwa konteks cinta dan relasi menghadirkan pengalaman lebur antara diri sendiri dan orang lain, yang terkait dengan tegangan antara kebahagiaan dan kewajiban atas dasar moralitas yang didahului oleh kepedulian terhadap orang lain.

Bertolak dari persoalan etika dan bermula dari rerangka Kohlberg, Gilligan membahas rupa relasi dengan membuka diskusi terkait dengan psikologi Freudian, yang menurutnya tidak tepat untuk menjelaskan persoalan-persoalan perempuan terkait dengan tahapan-tahapan perkembangan kapasitas Cinta. Berkaitan dengan kritik tersebut, perkembangan psikologi seseorang akan berkaitan dengan keputusan-keputusan atas pemecahan masalah-masalah kehidupan yang menyangkut dimensi moral. Secara singkat, tahapan Kohlberg menyangkut hal-hal, yakni: (1) Tahap 1 – 2, kebutuhan individu, (2) tahap 3 – 4, mampu berbagi soal konvensi-konvensi pada kesepakatan terkait dengan masyarakat, (3) tahap 5 – 6, mampu berpikiran logis, yang bebas dan tidak berpihak atas kesamaan dan ketimbalbalikan.

Dengan demikian, terasa dari tahapan itu bahwa rerangka Kohlberg mendasarkan pada logika keadilan, yang dikembangkan dari pemikir-pemikir laki-laki. Hal ini justru akan menjadi masalah dalam psikologi apabila diterapkan pada perempuan. Dari wawancara yang dilancarkan oleh Gilligan, terhadap dua partisipan berumur 11 tahun, laki-laki dan perempuan, memberikan jawaban dengan proses-proses bernalar yang berbeda, hal ini ditunjukannya dengan bagaimana perempuan lebih melihat situasi dalam konteks ketimbang mengacu pada prinsip-prinsip hukum secara membuta. Dunia relasi perempuan, dari wawancara itu, diinterpretasi berbeda dari rerangka Kohlberg, bahwa kaum perempuan memandang suatu dunia relasi-relasi dan kebenaran psikologis diletakan di dalam ranah sebuah kesadaran (awareness) atas jalinan-jalinan antar orang-seorang yang mengangkat sebuah pengakuan akan tanggung jawab di antara mereka, sebuah persepsi dari kebutuhan akan tanggapan. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bagi perempuan bahwa pengertiannya dalam moral terlahir dari pengakuan akan relasi, keyakinannya dalam komunikasi, yaitu sebagai cara pengaturan atas resolusi konflik, dan pendiriannya—yaitu penyelesaian untuk dilema akan mengikuti representasinya yang memaksa—terlihat sugguh jauh dari sifat naif dan ketidakdewasaan bernalar. Perempuan dalam beretika, lebih mengutamakan rasa peduli, sebagai metode akan pengungkapan kebenaran, yaitu pandangan utama atas penyelesaian konflik tanpa kekerasan. Dalam hal ini, pihak-pihak yang berkonflik dipandang bukan lagi sebagai pihak-pihak yang bermusuhan (pikiran laki-laki-terj. penulis), melainkan sebagai jalinan relasi-relasi yang dari padanya keberlanjutannya ditentukan (Gilligan 1982, 30).

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)