Dialektika Relasi (3)

Sumber gambar: http://api.ning.com/files/4sFEfbHWPVpc61OFjjVhzJKYu4-N7I-fZ862TZsQ6CiSGz75z*ymuKET5i-c5rRo5KIEtO4cvXIuy2Rmr58oO1l3BNlgYc3u/Atlas.jpg



“Man is responsible for what he is... We are alone, without excuses. This is what I mean when I say that man is condemned to be free.” –Sartre

Dalam tulisan kali ini akan membahas relasi dalam konteks filsafat eksistensialis, yaitu dalam upaya menjawab pertanyaan mendasar terkait dengan persoalan ‘berada’ dan ‘berada-bersama’, yang dalam bahasa inggrisnya adalah being and being-with. Masih terkait dengan cinta dan relasi antar manusia, bahwa tidak mudah untuk memahami aliran filsafat eksistensialis ini. Bahwa perang pemikiran antara kubu Jerman dan Perancis pun memiliki gengsi tersendiri pada filsafat ini. Keduanya merupakan filsuf besar, meskipun salah satunya lebih dikenal di jalur hermeneutik dibandingkan eksistensialis. Dua tokoh eksistensialis tersebut adalah Martin Heidegger, 1889 – 1976, (Filsuf Jerman) dan Jean-Paul Sartre 1905 – 1980 (Filsuf Perancis), yang hidup hampir sejaman, yaitu sama-sama mengalami era perang dunia kedua. Sartre inilah yang mengkritik masalah eksistensial manusia dari Heidegger, meskipun Heidegger sendiri mengklaim bahwa Sartre keliru memahami teksnya (Hahahaha....ini keliatannya mereka berdua terjebak masalah ego atau mungkin lagi-lagi terjerumus pada dialektikanya Hegel—redaksi). Teks-teks karya asli mereka pun bukan teks-teks yang mudah untuk dikunyah dan dikecap, apalagi ditelan, dan membacanya pun kalau bukan memang seseorang yang berprofesi filsuf ya jatuhnya hanya menyulitkan diri kita sendiri, ditambah takutnya justru keliru dalam menafsirkannya.

Sebelum menyambung ke masalah eksistensial dalam relasi antar manusia, ada baiknya kita mengulas sedikit mengenai dilektika yang ada, yaitu bahwa relasi didasarkan pada ketidaktahuan/keterasingan dari pengetahuan (lihat: dialektika relasi 1), dan relasi didasarkan pada hubungan timbalbalik untuk saling dikenal yang didasarkan pada dinamika ego dan narsistik individu (lihat: dialektika relasi 2). Landasan-landasan relasi disini kemudian menjadi penting, karena relasi tidak lagi hanya sekedar kesadaran kita terhadap benda-benda mati di sekitar saja, namun kesadaran kita dan sekaligus pra-struktur kesadaran yang mengilhami terjadinya hubungan antar subyek, yaitu subyek (aku) dan subyek liyan (aku yang liyan). Sehingga keterjebakan pada pemikiran-pemikiran akan aku menjadikan caraku untuk berada (struggle to exist). Mungkin inspirasi saya datang, ketika merenungkan sebuah ujaran seseorang yang sedang menyaksikan dua manusia yang sedang kasmaran, “dunia milik berdua, yang lain hanya mengontrak!”. Jelas dari ujaran ini tersirat bahwa relasi dan cinta mampu mereduksi alam sekitar, bahkan manusia lain menjadi berada di dalam ketiadaan (kondisi saling mengobjekan, seperti melihat dari lubang kunci).


“You've got a solution that you like, but you're choosing to ignore anything you see that doesn't comply with it.”


Sherlock Holmes
Baker Street 221B
London

Masalah eksistensial ini, agak sulit dipahami apabila kita tidak mengerti asal-muasal pemikiran Sartre, yaitu justru dari pertanyaan Heidegger terkait ‘ada’ pada manusia yang bertanya tentang dirinya. Dalam ontologi Heidegger, manusia didefinisikan bukan sebagai binatang, ataupun makhluk astral, namun diwacanakannya sebagai Dasein (baca: Waktu bagian 2). Dasein berbeda dengan das Man, yaitu Dasein yang terasing dari Ada-nya sendiri karena berada dalam keseharian dengan menjadi das Man. Menurut Heidegger, manusia memiliki cara mengada yang berbeda ketika di dalam keseharian dan tidak di dalam keseharian. Masalah sesuatu yang ‘Ada’ ini bagi Dasein bukan lah mengacu pada benda, namun lebih mengarah pada situasi. Alasan mengapa manusia disebut Dasein, karena dalam pemakaian kata “manusia” atau Mensch tersirat abstraksi adanya dualitas subjek—objek, akan tetapi dalam Dasein dualitas itu tidak berfungsi lagi. Karena mengacu pada situasi, maka (1) tempatnya tidak tergantikan atau unik, dan (2) yang berada di sana itu juga terlempar begitu saja atau disebut sebagai faktisitas.  Penjelasan dan pendalaman lebih lanjut mengenai eksistensial ini akan menggunakan pemaparan dari F. Budi Hardiman tentang konsep umum, dan Saras Dewi terkait konsep 'ada-bersama-alam', serta Budiono Kusumohamidjojo tentang segitiga 'manusia-alam-kebudayaan' dalam drama relasi eksistensialnya.

Nah pendekatan eksistensial ini yang khas dari Heidegger adalah bahwa manusia sanggup membangun dunianya sendiri, untuk mengatasi kecemasannya. Kecemasan inilah yang khas dari Dasein sebagai cara untuk berada. Dalam kondisi inipula lah Dasein mengalami keterjatuhannya (Verfallen). Namun, konsep Heidegger diatas begitulah abstraknya. Untuk bisa sampai ke sana, kita ada baiknya memahami apa itu Dasein sendiri. Sifat ‘Ada’-nya Dasein adalah ‘ada begitu saja’, yaitu ada di dalam dunia begitu saja tanpa tahu dari mana dan mau kemananya. Kenyataan bahwa berada di dalam dunia itu bersifat niscaya. Artinya, anda sekarang ketika membaca tulisan ini pun, tidak pernah ditanya terlebih dahulu apakah mau membaca atau tidak, dan mau meninggalkan blog ini atau tidak setelah pertanyaan sebelum ini. Begitu pun kehadiran kita di dunia sebagai Dasein, yaitu dalam istilahnya Heidegger kita ini sebagai ‘keterlemparan’ (Geworfenheit). Karena kita (di dalam titik sebelum keterlemparan) tidak pernah ditanya lebih dahulu mau atau tidak hidup di dunia ini. Jadi dalam rerangka pikir Heidegger, kita tidak pernah tahu apa yang terjadi sebelum kelahiran dan kematian kita, kita kenyataannya hanya dipaksa dari kecil untuk percaya bahwa kita diciptakan dan akan kembali kepada Sang Pencipta suatu saat nanti. ‘Ada begitu saja’ inilah kemudian yang disebut sebagai faktisitas. Disinilah letak keterkutukan Dasein, pada hakikatnya Ia sendiri tidak tahu sebetulnya siapa dirinya sendiri, hanya dari kehadiran dari Dasein yang lain kita bisa berspekulasi mengenai siapa kita ini. Paling jauh menurut Damardjati Sapadjar, dari mana kita ini sebagai manusia (Dasein) ya dari batin ‘suasana hati’ kedua orang tua kita (pada ‘kala-itu-mereka-mengada-bersama’).

Lantas Ada Apa dengan Dasein? pertanyaan ini lah yang menjadi permenungan Heidegger (dan sebelum bertanya Ada Apa dengan Cinta? yang terlewat dari permenungan Rangga—redaksi). ‘Apa’ dari Dasein ini sendiri belum jelas, artinya secara esensial kita tidak pernah tahu apa dan siapanya. Misalnya ketika kita bertanya “aku apa?”, secara penjelasan objektif kita paling bisa bertanya mengenai bungkus-bungkus identitas yang tersemat pada diri kita akibat dari konsekuensi berada-bersama di dunia. Paling mendasar pun tentang manusia, kita akan mendapatkan penjelasan secara biologis, “kamu laki-laki, karena kamu...” atau “kamu perempuan, sebabnya adalah...”. Pertanyaan yang mungkin lebih idealis, yaitu “aku siapa?”. Harapan kita akan jawaban ini adalah menyangkut hal yang sangat pribadi dan intim. Namun pertanyaan-pertanyaan itu tidak begitu penting ketika tidak menyangkut ‘Adanya’ kita sebagai Dasein. Secara ontologi hal ini berbeda dengan kita ‘ada’ karena tulisan-tulisan pada monitor ini ada, atau kita ada karena bangku itu ada, taman, pohon, udara, dan sebagainya. Ada karena ada bersama objek lain yang benda mati (Cogito, kesadaran murni á la Descártes). Hal ini menjadi rumit, ketika kita berkata “Aku Ada”. Apa arti dari kata Ada disini? (ya mungkin tanggapan langsung orang awam: ”Ada-ada aja lo ah!”, atau “Ada di hati-kkkyuuuu”—redaksi) Ada disini bukanlah Ada yang sudah jadi. Kita ada berarti kita sedang ‘mengada’, dan berarti kita dalam proses menjadi ‘Ada’, maka lebih tepat mengatakan bahwa kita itu ‘mungkin-ada’, karena kita mungkin juga ‘tiada’, dan oleh karena itu ‘ada’-nya bukan suatu ‘mungkin-ada’, melainkan ada seperti bangku, taman, atau pohon. Dengan kata lain, ‘Ada’ Dasein adalah suatu ‘menjadi’ karena terus-menerus mengada dan belum ada secara penuh. Dalam arti ini lah, dalam rerangka Hardiman, Heidegger menyebut Dasein adalah kemungkinan itu sendiri (Seinkönnen). Ada Dasein tak lain daripada sesuatu yang ia tentukan sendiri.              

  

Sherlock Holmes: “Alone is what I have. Alone protects me,”
John Watson: “No! Friends protect people.”

Me: “No! Here, friends deceive people.”



Hal yang menarik dari Dasein adalah cara ia berada di dunia. Saras Dewi melacak keberadaan Dasein dari kesehariannya (Alltäglichkeit atau everydayness). Kata ini baik dalam bahasa Jerman maupun bahasa Inggris merupakan kata benda yang merujuk pada kesifatan dari sebuah entitas. Tentu saja dalam konteks ini adalah Dasein itu sendiri. Gagasan keseharian menghadirkan Dasein, menempatkan atau memposisikan dirinya di tengah-tengah dunia ini. Hal ini berarti Dasein itu melekat dengan alam, tidak dapat dipisahkan dari alamnya, dunianya. Alasannya, alam tidak saja konsep di luar dirinya, tetapi bagian dari kesehariannya. Alam merupakan bagian integral keseharian Dasein secara mendasar membentuk karakter dan sudut pandang dirinya. Kemunculan otentisitasnya ditandai dengan keterlibatan aktif subjek dalam dunianya. Dewi dalam hal ini memberikan penekanan pada pendasaran dari rasa ingin tahu (bdk. dialektika relasi 1 dan 2) yang membentuk kepedulian (bdk. imaji relasi menurut Carol Gilligan). 

Proses kejatuhan Dasein, keterasingannya, cemas karena kepedulian (Sorge), kecemasan karena ketidaktahuan (Angst), ketakutan terhadap sesuatu yang liar dan mengancam (Furcht), akan memunculkan otentisitas untuk mengatasi rasa takut terhadap alam yang berbeda dan liar dan peduli terhadap alam sebagai bagian dunia Dasein. Orientasi pada keingintahuan adalah upaya Dasein untuk menghadapi keterasingannya. Keingintahuan merupakan kemampuan Dasein memikirkan kembali kehadirannya pada saat ini, atau dengan kata lain temporalitas dirasakan dengan rasa ingin tahunya. Dasein dan masalah temporalitasnya merupakan persoalan dirinya terhadap proyeksi ke masa depan, yaitu melakukan lompatan (Geworfenheit), atau melemparkan dirinya dari pijakan masa kini. Temporalitas bagi Dasein, mengikat dirinya dengan sejarah, artinya alam lalu, kini dan masa depan, mampu direfleksikan kembali bagi Dasein. Dalam arti inilah Dasein mampu menciptakan alat untuk ‘bagaimana ia melihat masa depan’. Dasein itu hanya melompat dari dunia-dunianya.  Keterlemparannya pun tidak terpisah dari sekuens keterjatuhan dan dunia yang dibangunnya. Berdasarkan segala pemahaman-pemahaman atas hal yang ontis dan ontologis, Dasein bertahan dengan memanfaatkan kecerdikannya atas segala sesuatu yang dia pahami itu.

Akan tetapi, bagaimana jadinya apabila Dasein bersama Dasein yang lain? Heidegger menjawab hal ini dengan Mitsein atau ada-bersama (being-with), yaitu baginya keseharian kita ditentukan kebanyakan dari pemahaman-pemahaman kita tentang seluruh entitas dalam kaitannya dengan hal-hal perhatian praktis, tujuan, desain, dan termasuk didalamnya keterlibatan kita dengan orang lain. Heidegger menjelaskan bahwa situasi keseharian Dasein adalah ‘in-der-Welt-sein’ namun tidak bisa secara harfiah dipahami sebagai berada di dunia atau ‘being-in-the-world’ semata. Dasein yang menjalani keseharian berasama Dasein yang lain disebut sebagai ‘Dasein-with’ atau ‘Mitdasein’. Kondisi ini terasa penjarakkan antara Dasein itu sendiri, sehingga dengan cara mengadanya Dasein, dalam relasinya berada di dunia bersama, yaitu ‘Mitsein’. Hal ini menjadikan berada di dalam dunia, bukan merupakan hal yang terpisah, manusia dan alam, manusia dan manusia, namum memiliki kesan kemenyatuan dalam ontologinya. Makna ‘being-in-the-world’ menjadi mengarah kepada ‘engage-in-the-meaning’. Inilah manusia sebagai Dasein yang dalam kesehariannya sibuk untuk menafsir alam untuk membangun dunianya dengan makna-makna. 


“if you stare into the abyss, the abyss stares back at you” 
Nietzsche


Sebagai refleksi atas relasi manusia dengan manusia yang lainnya. Rerangka pikir Heideggerian mencoba menjelaskan ‘ada’ itu sendiri. Dalam konteks relasi Dasein dengan Alam (Nature), menjadi Alam pikiran dari Dasein yang lain atau terhubung dengan ‘Ada’ – ‘Ada’ yang lain. Namun hal ini berbeda dengan Hegel, karena Dasein tidak hanya berupaya mengenal, namun juga membangun dan membentuk ‘dunia’ agar dirinya kerasan. Bahwa alam tidak lagi dipandang Dasein sebagai objek semata, namun dengan berada bersama menjadikan Dasein tidak melulu mengobjekan dan berjarak dengan alam, namun ia merangkulnya melalui cara mengadanya untuk menciptakan dunianya. Ide hubungan subjek—objek ini, oleh Gadis Arivia dalam sebuah kuliah, mengganti manusia dengan laki-laki, alam dengan perempuan. Sehingga terasa sekali bahwa relasi Dasein dalam Heideggerian menjadikan Dasein yang menghadapi alam pikiran dari Dasein yang lain menjadikan keseharian dua Dasein itu. Sehingga pada akhirnya Dasein itu sendirilah yang mendeterminasikan Dasein yang lain yaitu menjadi der Dasein dan die Dasein. Dengan adanya pembubuhan artikel pada Dasein yang mulanya adalah das Dasein menciptakan (dalam konteks alat—Zuhandenes) tegangan subjek—objek baru, yaitu alam maskulin yang saling melihat ke alam feminim, yang kembali sejalan dengan masalah relasi Hegelian. Selain itu Dasein pun menghadapi sebuah keterjatuhan Dasein yang lain, yang menjadikan jurang segala kemungkinan tanpa dasar Nietzschean. 


Sumber gambar: http://s2.quickmeme.com/img/90


Sumber gambar: http://s2.quickmeme.com/img/a0




Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)