Tempus Fugit

Entah… mungkin kata yang paling tepat untuk mulai mengungkapkan segala hiruk pikuk rasa yang berkecamuk menghampiriku bulan ini. Yeah “Wake me up when September ends!” kupikir itu lebih baik, ketimbang aku harus membongkar dan menyusun kembali segala sesuatu di pikiranku. Setelah perjalanan panjang pendidikan yang menguras emosi. Meskipun selesai, namun hanya menghadirkan pesimisme baru. Ingatan akan drama relasi, antara romantika dan pengkhianatan, antara profesionalisme ideal dan oportunisme dangkal... Kembali lagi aku tidak berhasil mejejak realitas, tidak berhasil melompat lagi. Hanya penuh tanya dan curiga, segalanya kutangguhkan… hanya bisa menunggu apa yang nyata. Early midlife crisis? Mungkin saja, tapi ya itu tadi entah, aku tidak tahu, hanya kehilangan orientasi.. ku pikir.

Sumber gambar: http://allartsgallery.com/paintings/paintings/923/medium_medium_Tempus_fugit-35x30_cm_1__1_.jpg?1292091027

Tadinya aku hanya ingin menyimpannya saja dalam benakku, namun hal ini kurasa penting untuk diungkap. Ya... berawal ketika sebuah foto dikirimkan kepadaku melalui WA, mungkin pengirimnya tanpa maksud apa-apa, hanya sekedar ingin mempertontonkan. Warna lembut pudar pada foto itu dan beberapa kekusaman menandakan usia dari fisiknya. Sesuatu yang tidak pernah kulihat apalagi kuingat, hingga menggelitik kesadaranku. Dalam foto ada seorang anak kecil, dengan rambut lurus belah pinggir. Ia sedang digendong seorang perempuan muda, berparas cantik, penuh senyum simpul bahagia. Nampaknya perempuan ini masih cukup belia, dua puluh delapan usianya yang tidak sesuai dengan parasnya. Anak kecil itu, ya itu adalah aku yang berumur satu tahun lewat beberapa bulan. Aku yang belum memiliki kesadaran, aku yang belum berfungsi logikanya, aku yang hanya bisa merasa saja. Cinta? Mungkin, apalagi kalau bukan itu, sesuatu yang diberikan pada kita sejak di dalam rahim. Sesuatu yang lebih primordial dari logika dan rasa. Sesuatu di luar kesadaran kita, mungkin setiap jengkal sel-sel otak, dendrit, neuron, dan deoxyribonucleic acid telah merekam tabula rasanya.

Aku pun lantas bertanya-tanya masih butuhkah kita apa yang disebut definisi Cinta? Perlukah kita berelasi dengan orang-orang lain dan menumbuhkan kelindanan-kelindanan akar diantaranya atas idea Cinta? Jika cinta hanya selalu menimbulkan masalah dengan logika, bukankah logikapun tidak dapat menjangkau cinta? Apakah hanya cinta yang mampu mengisi kekosongan dan kecemasan batin, dimanakah kepenuhannya?

Santo Ignatius dari Loyola dalam Suscipio-nya secara radikal begitu menginginkan Cinta. Hal itu tertuang dalam teks yang menjadi sakral pada umat Katholik, begini bunyinya:
Suscipe, Domine, universam meam libertatem. Accipe memoriam, intellectum, atque voluntatem omnem. Quidquid habeo vel possideo mihi largitus es; id tibi totum restituo, ac tuae prorsus voluntati trado gubernandum. Amorem tui solum cum gratia tua mihi dones, et dives sum satis, nec aliud quidquam ultra posco.
dalam versi Indonesia,

Terimalah, Tuhan, semua kebebasanku. Ambillah ingatanku, pengertianku, dan semua kehendakku. Apapun yang aku punya atau miliki semuanya Engkau karuniakan kepadaku; aku memberikan semuanya kembali kepada-Mu dan menyerahkan semua itu sepenuhnya ke dalam kehendak-Mu. Berikanlah aku Cinta pada-Mu saja bersama dengan rahmat-Mu, dan aku menjadi seorang yang kaya dan tidak mengharapkan apa-apa lagi.

Cinta itu unik, bahkan ia lebih berkuasa ketimbang penciptanya. Cinta itu kontradiktif, bahkan karena Cinta orang rela mati (menghilangkan cinta itu sendiri). Cinta itu kontroversial, karena sanggup melampaui Cinta itu sendiri. Cinta itu tidak perlu penerjemahan, bahkan ketiadaan kata-kata pun mampu ditembusnya. Cinta itu kekal dan universal, yang datang dan perginya seperti pencuri, sehingga Cinta terus hidup, dan berbagai anatominya pun hingga saat ini coba diretas melalui setiap anasir-anasirnya, demi mencari sebuah hakikat ‘Apa itu Cinta?’.

Foto itu pula, mengingatkanku kembali kisah tetangga di tempat masa kecilku, ya tetangga ibuku. Seorang kakek yang ditinggalkan oleh istrinya. Istrinya telah meninggalkan dunia. Kakek itu duduk disamping peti jenazah istrinya itu tidak pernah beranjak. Kakek itu pun dengan tersenyum hanya terus membelai istirnya itu, sambil mencium keningnya sesekali, dan seraya berkata-kata setengah berbisik… “Tunggu aku disana, sabar ya.. sebentar lagi kamu tidak sendirian disana, aku akan segera menyusulmu Mah!”... Kakek itu dengan 'cinta-kepada-istrinya' itu pula mencoba menjelaskan apa itu ketiadaan. Sebuah elegi yang tak kunjung ubah menjadi ratapan seorang Kakek.

“By all means, marry. If you get a good wife, you'll become happy; if you get a bad one, you'll become a philosopher” 

Mungkin sudah terlalu lama bahwa aku mempercayai bahwa Cinta itu tidak ada, atau mungkin sudah terlalu lama tanpa sadar aku berlatih mengejar ataraksia kaum Stoa. Tapi mungkin saja hal-hal soal mencintai dan dicintai sudah ku represi dalam benak bawah sadarku, sakit mental mungkin saja! Namun, melalui foto itu dan kakek itu pula mereka telah menghadirkan kesadaranku akan waktu. Hingga seolah kini aku hanya sedang diam di tempat terpaku membiarkan segalanya berlalu. Aku pun bergetar karena menyadari bahwa aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri dan pun terlalu egois untuk tidak menjamah dunia-dunia yang lain. Aku pun bergetar, karena apakah dengan berlalunya waktu aku sudah membunuh apa yang dulu disebut Cinta.

Foto dan cerita itu pun memaksaku menyibak tirai, dan memaksaku untuk mencabuti paku-paku berkarat yang lama tertanam di daun jendelaku. Aku pun membongkarnya, membukanya agar bisa memandang keluar... Ternyata sudah tengah hari. Aku kesiangan! Sejenak terlintas, apakah ini akan segera berganti senja? Ataukah aku bisa merasakan sejuknya pagi di hari yang lain? Aku melihat teman-teman sekolahku dulu mereka sudah berhasil dalam menjejak di tahapan kehidupan yang baru, meskipun yang lain ada pula yang gagal.

Semua ini terjadi hanya dalam Lebenswelt. Tidak ada seorang manusia pun yang bisa lolos dari waktu. Ia menyejarah. Dalam keseharian kita telah melupakan ada diri kita, bahkan terlalu sibuk dengan hal-hal yang tidak esensial. Sibuk untuk tetap berada.

Budaya yang mampu merekam dunia kehidupan ini pun ikut bersepakat dan berujar bahwa hidup seorang manusia adalah siklus. Tuhan pun dengan jabatan kekal abadi causa sui-nya diduga ikut campur tangan dalam otoritas politik dalam setiap proses lahir, jodoh, rejeki, dan mati. Seolah hidup ini berada pada garis-garis konsep lahir, masa kanak-kanak, bersekolah, berjuang melatih diri, masa remaja, berproses mencari jati diri, menemukan diri dan memupuk untuk mejadi dewasa, dijodohkan, bereproduksi, menjadi orang tua, menjejakkan nilai-nilai dan mencipta kesadaran pada penerusnya, masa tua, menyaksikan bibit-bibit yang sudah menjadi pohon kokoh telah melahirkan tunas-tunas baru, dan lalu mati. Ideal memang, namun bagaimana jika ternyata alam ini sudah tidak mampu lagi menyediakan sesuatu yang ideal buat manusia? Bagaimana jika alam telah kehilangan garis-garisnya. Atau bagaimana jika sebaliknya bahwa manusia tidak mampu lagi beradaptasi dengan alamnya? Segala realita-realita sudah tidak mampu lagi dijelaskan oleh pikiran manusia? Akankah kita sanggup untuk tetap memaknai setiap keterlemparan-keterlemparan kita? Mampukah kita selalu melompat dari momentum ke momentum yang lain?

Yah keterlemparanku dan keterjatuhanku.. bagaimanapun memang aku hanya makhluk mortal, dan suatu hari aku hanya ingin menikmati proses menjadi tiada secara sangat pribadi. Ya ‘Ada’ dalam dirinya itu hanya dalam kesementaraan, namun ‘Ketiadaan’ itu mutlak adanya. Tidak pernah terpikir dalam benakku apakah yang melampaui ketiadaan itu sendiri. Aku belum pernah berjumpa dengan apa yang disebut dengan kematian. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang semakin tak mampu lagi ku jawab. Sirna sudah logika dalam kelindanan keraguan-keraguan atas diri. Memang persoalan yang pelik ketika kita bertanya soal ada. Mengapa aku harus ada, dan mengapa aku bukannya tiada?

Waktu pun cepat berlalu...Tadinya aku apriori tertutup dengan apa itu Cinta. Cinta itu hanya sebuah kegagalan manusia dalam bernalar, sebuah keniscayaan semu saja yang hanya bisa kuyakini dalam wujud seperti itu. Semua harus serba logika. Hingga Ia ‘Sang Sisyphus Cinta’ melontarkan pertanyaan “Mengapa kamu tidak ingin jatuh Cinta?” seolah ia membujuk dan merayuku untuk siap terjatuh bersama dalam obsessive compulsive disorder-nya. Awal yang sudah penuh kontradiksi, “Kamu boleh bertanya apa saja soal Cinta, namun kita tidak boleh jatuh Cinta.” Sesuatu yang tentu saja sudah kontroversial, ketika ia berujar “intinya kita boleh bersama, tapi aku tidak mau suatu hari akan ada dendam diantara kita, karena aku takut”. Namun kala itu logikaku berkata dalam sebuah modus untuk menghadapi realita dalam rangka menghadapi bipolar-nya. Jika dan hanya jika cinta itu ada, maka kebencian pun tiada. Dendam adalah bagian dari kebencian. Maka, ketika saling sepakat untuk tidak mendendam, mungkin Cinta akan ada disana.

“By all means, marry. If you get a good husband, you'll become happy; if you get a bad one or some, you'll become imperceptible”

Sungguh tidak terasa... dua tahun sudah aku bersamanya, mencoba mengenalnya, melebur dalam dunia dan mewaktu untuk saling bercerita, kopi demi cangkir kopi berlalu. Cerita dari pengalaman masa kecil kami, kenakalan, rasa sedih, duka, tangis, kekecewaan, kegagalan, kekerasan, keterlemparan dan keterjatuhan kami, bahkan perdebatan kami tentang persoalan yang sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan. Protes kami atas suatu masa, mengapa kami baru sekarang dipertemukan oleh semesta. Analisa kami atas sebuah nostalgia, mengapa dulu kami saling tidak mengada. Cerita demi cerita kami lalui, demi saling mencari bahwa kami ada. Meskipun kami saling tahu bahwa sesungguhnya kami tidak mungkin untuk selalu ada, ada dan tiada kaminya pun tidak jelas dan sulit bertahan untuk selalu bersama dalam kelindanan konsep-konsep yang sudah tersedia.

Dari foto itu, kakek itu, obrolan-obrolanku bersamanya, telah memampukanku untuk berharap semoga aku bisa melemparkan diriku berikutnya. Meskipun aku tidak yakin bisa, namun itu layak untuk dicoba. Karena, hanya manusia binatang yang sanggup berjumpa dengan sesamanya. Dalam manusia itu pula bahasa dan makna-makna itu ada. Anima simbolicum tepatnya.

Mungkin perjumpaan manusia dengan Cinta memang tidak mampu dijangkau dengan logika manusia itu sendiri, karena Cinta adalah bentuk logika semesta, logika yang paling sempurna, yaitu supra logika (meminjam istilah Fitz-Gibbon)Kini, ketika pengetahuan dan logika kita tidak sanggup lagi menjangkau untuk menjangkarkan, maka  hanya doa yang mampu kudaraskan kepada-Nya, semoga semesta ini bisa tetap menjaganya.  Semoga Tuhan alam semesta berkuasa mencabut hukuman-hukuman para dewa yang dijatuhkan kepadanya. Hanya itu yang kubisa berikan sebagai ungkapan terima kasihku atas perjumpaan dengannya, dan ...pada akhirnya "Semoga segala kekuatan semesta ini selalu memberkati kita dan melindungi kita semua, berserta orang-orang yang kita sayangi, kita cintai, yang kita ingat dan yang kita doakan pada hari ini." Amin.

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)