Bahasa dan Kekeliruan Logika

Kepada anak zaman nir akal yang baik,

Selamat datang dunia 2017...

Apa manfaat belajar logika? Tentu saja ini aneh untuk orang awam, karena logika adalah sesuatu yang sudah ada, digunakan, dialami, dan dimiliki seseorang yang nota bene waras. Lantas apa gunanya? E. Sumaryono (1999) dalam kata pengantar bukunya menyebutkan bahwa ada banyak keuntungan mempelajari logika, antara lain mempertinggi kemampuan untuk menyatakan gagasan-gagasan secara jelas dan berbobot, meningkatkan keterampilan menyusun definisi atas term dan kata-kata, serta memperluas kemampuan untuk merumuskan argumentasi dan memberikan analisisnya secara kritis. Akan tetapi, manfaat tertinggi adalah pengetahuan dan pengakuan bahwa akal budi atau nalar kita dapat kita terapkan pada setiap aspek kehidupan manusia. Dengan kata lain, kita menggunakan akal budi sebagai alat bereksistensi.

Kartun Rene Descartes karya Joost Swarte. New Yorker cover art. Descartes menyatakan bahwa manusia seringkali ditipu oleh iblis, sehingga tersesat cara berpikirnya. Sumber gambar: griffioen-grafiek.nl


Untuk mengetahui manfaat mempelajari Logika secara tuntas, coba para pembaca yang budiman bisa menonton ceramah umum dari Ibu Karlina Supelli berikut ini.


Pada hakikatnya manusia yang berlogika tidak terlepas dari penggunaan bahasa. Dalam hal ini anima simbolicum dan anima rationale merupakan kesatuan dalam kelindanan dimensinya (Kusumohamidjojo, 2009). Sebagai contoh, ketika kita merenung, maka kata-kata di kepala tentu saja mengacu pada bahasa yang kita gunakan sehari-hari. Aktifitas bahasa ini secara hierarkis, paling tidak bisa digolongkan menjadi tiga, antara lain: linguistic acts, speech acts, dan conversational acts. Secara sederhana ketiga aktifitas kebahasaan secara berturut-turut merujuk pada aktifitas pada bahasa itu sendiri, manusia pengujarnya, dan manusia yang berujar dalam relasi dengan manusia lainnya (Sinnott-Armstrong & Fogelin, 2015). Hal ini pun juga diungkapkan (Sumaryono, 1999), bahwa logika dan bahasa memiliki keterkaitan yang tidak terpisahkan.

Belajar dari Nietzsche, sejauh apa kita masih percaya dengan pikiran kita sendiri? Pengungkapan ini tidak dimaksudkan untuk membuat kita justru terjebak dalam nihilisme yang membuat kita kehilangan pegangan dan makna hidup. namun hal ini diungkapkan untuk membuat kita lebih peka terhadap kesalahan-kesalahan yang kita buat sendiri. Hal ini yang memampukan diri kita untuk menjadi tetap santun di hadapan ketidakterbatasan realitas. Hal ini pula yang membuat kita sadar akan keterbatasan cakrawala berpikir kita sendiri.

Secara definisi sesat pikir (atau paralogisme, atau dalam bahasa inggris disebut sebagai logical fallacies) terbagi atas dua pokok besar ranah kekeliruannya. Pertama adalah berdasarkan relevansinya. Kedua adalah ambiguitasnya. Berikut ini, berdasarkan Sumaryono 1999, secara ringkas dapat dipaparkan dan dikembangkan contoh-contoh dari kekeliruanlogika, antara lain:

A. Kekeliruan Relevansi
Pada kelompok kekeliruan ini, paling tidak dapat dikenal 13 jenis kekeliruan dalam melogikakan, antara lain:
  1.  Argumentum ad Baculum, contoh sesat pikir semacam ini terjadi akibat pengaruh kekuasaan. Misalnya sebuah dogma atau ajaran sekte yang diterapkan dengan cara paksaan akibat seorang pemuka masyarakat mengikuti suatu ajaran tertentu, sehingga ajaran itu dipaksakannya untuk dipeluk masyarakat, karena dianggap si pemuka tersebut sebagai kebenaran.
  2. Argumentum ad Hominem I, Maksud dari kekeliruan argument ini adalah secara subyetif bertujuan untuk menyerang manusianya (Hominem – Homo = Manusia) secara langsung. Contohnya, tindakan bullying yang dengan sengaja merendahkan orang lain, atau tindak pelecehan. Hal lain adalah karena kondisi/ keadaan psikologis orang lain. Misalnya, seseorang yang mengalami depresi, ia kesulitan berelasi (mudah tersinggung, marah, cara komunikasinya buruk, dsb.). Hal ini bukan berarti secara serta merta segala pemikiran orang itu keliru, atau menyalahkan segala pemikiran orang itu karena dengan cepat kita memutuskan bahwa orang itu gila misalnya. Bukan berarti karena Michel Foucoult itu penganut BDSM atau terkena HIV/AIDS, lantas kita tidak membaca bukunya. 
  3. Argumentum ad Hominem II, Masih mirip dengan kekeliruan ad Hominem I, namun hal ini berorientasi pada kepentingan pribadi dan hubungan yang ada di antara keyakinan seseorang dan lingkungan hidupnya. Hal ini bisa dikatakan merujuk pada konsekuensi dari struktur berpikir akibat suatu budaya dimana orang itu tinggal.
  4. Argumentum ad Ignorantiam, Kekeliruan ini terkait dengan perkara-perkara yang tidak mudah dibuktikan benar atau salahnya, atau jahiliah, misalnya takhayul, fenomena psikis, metafisika, dll. Misalnya, fenomena hantu, biasanya orang Indonesia percaya bahwa Hantu itu ada, dan mereka takut bahwa hantu ada di tempat-tempat yang dipersepsikannya angker. Meskipun demikian, sangat sedikit dari mereka yang pernah mengalami dan memahami fenomena mistis itu.
  5. Argumentum ad Misericordiam, Kekeliruan ini terjadi apabila kita memutuskan sesuatu dengan subyektifitas perasaan atas belas kasihan. Hal ini, memang seolah terasa kontradiktif dengan anjuran nilai-nilai cinta misalnya. Tetapi perkaranya adalah kita sering tertipu dengan kondisi yang menyinggung nurani kita, contohnya peminta-minta di lampu merah. Kenyataannya ada beberapa orang yang sengaja menyamar dengan menjadi buntung, pura-pura buta, sakit kusta, dan sebagainya yang intinya apapun itu secara simbolis membuat nurani kita tergerak untuk menolong. Padahal kenyataannya mereka adalah gerombolan bromocorah berkedok yang merampok harta privat kita di ruang publik alatnya adalah derita.
  6. Argumentum ad Populum, nama lain dari kekeliruan ini kita kenal sebagai salah kaprah, kekeliruan ini merupakan kekeliruan berjamaah, bersama-sama, melibatkan banyak orang, atau dengan kata lain kekeliruan yang berterima umum, padahal tidak adanya dukungan bukti-bukti yang jelas.
  7. Argumentum ad Vericundiam, Suatu cara pandang realitas berdasarkan pendapat kepakaran atau ahli yang akan menjadi sesat pikir bila kita percaya begitu saja dengan sang pakar atau ahli ini. Percaya begitu saja tanpa melibatkan akal budi kita, dengan kata lain menganggap pakar ini sebagai dewa ilmu pengetahuan.
  8. Accident, kekeliruan ini terjadi akibat suatu peristiwa yang dianggap kebetulan, namun menjadi berlaku umum.
  9. Converse Accident, kekeliruan ini terjadi akibat kita memusatkan pikiran pada suatu hal tertentu yang populer (main stream), atau terjebak dengan ‘kaca mata kuda’ sendiri. Misalnya, perempuan yang bersolek dan berbadan kurus lebih diminati oleh kaum laki-laki, lebih populer, sehingga banyak perempuan berlomba-lomba menguruskan badan dan bersolek namun abai untuk meningkatkan kualitas diri yang lain.
  10. False cause, kekeliruan ini timbul karena kita salah dalam menyimpulkan suatu sebab. False Cause dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, non-causa—pro-causa, bahwa premis yang disusun untuk sebuah kesimpulan bukan lah sebab yang sebenarnya. Kedua, post hoc ergo propter hoc adalah suatu peristiwa yang dijadikan alasan atau menjadi sebab bagi peristiwa lainnya. Contoh untuk kedua jenis false cause tersebut adalah andaikan anda menumpang mobil kawan anda. Anda sebenarnya enggan untuk ikut, namun karena sudah larut dan anda tidak sabar menunggu tumpangan lain, maka anda meminta tumpangan. Di jalan mobil yang anda tumpangi mendadak mogok. Maka kawan anda itu membuka kap mesin mobilnya, sambil menggerutu “Ini pasti gara-gara dia sekarang menumpang mobil saya, mobilnya jadi mogok, memang dia pembawa sial!” (non-causa—pro-causa). Lantas dengan dilandasi kepedulian, anda menghampiri kawan anda, dan bertanya “sudah ketahuan masalah mogoknya?” sembari dalam hati anda berkata “duh.. apakah ini gara-gara tadi saya lupa berdoa ya, jadi mobil yang saya tumpangi mogok” (post hoc ergo propter hoc).
  11. Petitio Principii, sesat pikir semacam ini terjadi karena premis-premis penyusun kesimpulan diturunkan dari kebenaran umum, mempertanyakan proposisi-proposisinya. Sederhananya kesimpulannya sama dengan premisnya atau berupa sirkular.
  12. Complex Question, kekeliruan ini disebabkan karena pertimbangan dikotomi biner ya/tidak harus mempertimbangkan juga posisi tidak/ya dalam jawaban, yang tidak sepenuhnya benar.
  13. Ignoratio Elenchi, hal ini merupakan kekeliruan yang timbul dari kesimpulan yang tidak relevan, artinya argumentasi-argumentasi yang disusun untuk kesimpulan khusus, diarahkan untuk menjelaskan kesimpulan lain yang berbeda.


B. Kekeliruan Ambiguitas
Pada kelompok kekeliruan ini, paling tidak dapat dikenal 5 jenis kekeliruan dalam melogikakan yang terutama akibat tata bahasa, antara lain:
  1.  Ekuivokasi, dalam argumen mungkin saja ditemukan kata yang bunyi dan penulisannya sama, namun maknanya berbeda. Hal ini akan menimbulkan kekacauan dan kesalahan pengertian.
  2. Amphiboly, kekeliruan ini adalah akibat dari pengajuan premis-premisnya memiliki konstruksi gramatikal yang ambigu, yaitu batasan maknanya menjadi tidak jelas.
  3. Accent, kekeliruan ini muncul akibat adanya perubahan makna, perubahan tekanan pada bagian kalimat, sehingga bersifat menipu pembaca atau pendengar. Perubahan tekanan ini dapat mengecoh fokus pembaca atau menyelubungi makna sebenarnya.
  4. Komposisi,  penyusunan argumentasi semacam ini akan menimbulkan kekeliruan, karena penyusunan tata bahasa yang salah, bisa karena atribut keterangannya, atau identik dengan atribut yang lain.
  5. Pembagian, kekeliruan ini terjadi akibat salah mempertimbangkan posisi dan menjadi tidak peka terhadap posisi lainnya, jika mayoritas masyarakat benar, maka yang minoritas masyarakat tidak ada/ dianggap, padahal mungkin yang minoritas (bagian dari masyarakat juga) bisa saja benar. Artinya, jika keseluruhan benar, maka akan menjadi benar untuk bagian-bagiannya. Namun bisa juga, apa yang benar bagi suatu bagian, dianggap benar juga untuk bagian-bagian lainnya.
Paling tidak penjabaran ihwal relasi bahasa dan kekeliruan logika dapat memberikan rasa waspada bagi diri kita sendiri untuk tidak terperangkap pada pikiran kita sendiri, apa lagi pikiran orang lain yang disebarkan secara dogmatis. Atas dasar rasa waspada itu pula, dengan semakin sadar dan mawas diri terhadap bahasa yang kita gunakan, dan potensi kekeliruan logika maka kita bisa lebih santun dalam bersikap terhadap apa-apa yang datang, yang selalu mengargumentasikan tentang keberadaan kita. Melalui rasa waspada itu pulalah, kita bisa saja berlindung dari kesesatan, atau memanfaatkan kesesatan untuk melindungi kebenaran.


Ruang Refleksi

Anima rationale! Seruan saya terhadap para manusia.

Setelah menempuh pendidikan yang penuh dengan lika-liku, tidak lurus, tidak mulus. Kekecewaan pada diri sendiri yang perlahan mungkin terobati, meskipun sesal akan waktu yang sudah berlalu tidak akan pernah bisa kembali. Menjadi mahasiswa itu bukan perkara gampang! Tidak hanya sekedar membayar uang SPP dan lantas kuliah seperti di tempat kursus. Menjadi mahasiswa itu sama saja merugikan diri sendiri secara keekonomian! (lho kok bisa?) Penjelasannya adalah Menjadi mahasiswa memiliki tugas belajar, sehingga produktivitas mahasiswa tidak ditentukan oleh nilai moneter/ keuntungan finansial. Akan tetapi, mahasiswa menciptakan nilai-nilai dalam relasi-relasinya sebagai manusia. Meningkatkan kualitas manusia itu sendiri (kompetensi diri) agar bisa semakin bermanfaat di masyarakat (secara utilitarianisme). Hal ini tentu saja nilai-nilai ini tidak bisa dijelaskan secara konteks keekonomian. Namun jelas, peran dan tanggung jawab mahasiswa adalah sebagai manusia berkompetensi dan berdayaguna secara utuh dan menyeluruh (mencakup dimensi etis, estetis, dan logis) dalam keberadaannya di masyarakat atau perannya sebagai warga di ruang publik. Menjadi mahasiswa itu adalah manusia dalam keniscayaannya yang berproses untuk semakin menjadi manusia. Berjuang untuk melampaui manusia lama untuk menjadi manusia yang lebih unggul. Atas dasar alasan ini lah segala pengorbanan finansial (biaya riil dan biaya kesempatan) menjadi masuk diakal karena ada nilai yang lebih tinggi, yaitu nilai kemanusiaan itu sendiri yang harus diletakan diatas nilai moneter. Bagaimanapun ilmu ekonomi lahir dari ilmu moral, bukan sekadar percaya pada hasil prediksi parameter regresi dan kurva normal belaka!

Yah… Idealnya sih begitu! Namun apa yang terjadi jika Universitas pun sudah berganti dikuasai oleh rezim kaum sophist baru. Sudah tentu, eksploitasi manusia kian terjadi, eksploitasi intelektual pun tidak ditutup-tutupi lagi, eksploitasi yang terjadi demi nafsu-nafsu yang gagal dikekang. Ilmu pengetahuan tidak dikembangkan, justru dikebiri, dipancung, dimutilasi. Kaum sophist baru ialah manusia-manusia pandai namun tidak berkeutamaan. Manusia-manusia yang sibuk menguras harta benda manusia yang lebih bodoh. Manusia-manusia pengecut yang bersembunyi dibalik kedok-kedok teori dan nilai-nilai moral deterministik. Manusia-manusia yang sibuk menggunakan alasan norma, custom, mores, adat atau apalah itu semua yang menjadi matahari baru. Matahari yang kecil-kecil yang bisa dibongkar-pasang sesuai kebutuhan moral in situ. Manusia-manusia yang mengagungkan dirinya sendirinya. Manusia-manusia yang sibuk melepaskan epistemologi dari universalitas kebudayaan, demi kejayaan partikularitas sains belaka. (mungkin di titik ini, saya langsung terkena tuduhan sesat pikir dan mulai gila!)

Biarlah aku menjadi gila jika itu memang taruhannya, karena aku bertaruh di atas sebuah penyingkapan akan kebenaran! Akan tetapi bukankah memang kita hidup di tengah masyarakat yang mulai terjangkit schizophrenia? Manusia-manusia yang serba bingung di tengah gurun nihilisme? Bukankah gejala sesat pikir telah menguasai berita? Bukankah itu sudah menjadi konsekuensi logis untuk hidup di negeri yang surplus doa, namun defisit akal (untuk hal ini saya setuju dengan pernyataan salah seorang pengajar di FIB UI dalam sebuah kuliah)? Coba deh dinalar dulu perkara-perkaranya, setuju atau tidak setuju boleh-boleh saja, silahkan diargumentasikan!

***

Suatu hari seorang senior bertanya “Bagaimana perasaanmu setelah berhasil menyelesaikan studi? Senang kah?”

Jujur saya hanya bisa menghela nafas. Pun entah mengapa urat-urat raut wajahku tidah bermimik sedikit pun, rata dan hambar. Saya tidak pernah bisa menjawab pertanyaan ini. Jawabannya pun akan menjadi agak drama menurut saya.

Akan tetapi, Pernahkah kalian berpikir wahai para sarjana? Apakah yang kalian kehendaki ketika memilih untuk melanjutkan studi? Pangkat dan jabatan, karir, mengisi waktu, cari jodoh, supaya bisa diterima kerja, memperbaiki nilai waktu S1? Atau apa? Bukankah itu semua hanya sebuah alasan-alasan dangkal yang sengaja kau buat-buat? Bukankah itu semua adalah obat penenang atas kecemasan-kecemasan yang bangkit dari hasrat-hasrat yang tidak pernah kalian berusaha mengerti? Bukankah itu semua hanya sebuah alasan-alasan sembari yang kau layangkan demi ketakpahaman atas realitasmu sendiri? Keberadaanmu yang tidak pernah utuh itu?

Kekeliruan saya adalah ketika saya mempercayai begitu saja realitas. Ya, terlalu naif berucap ‘ya’ terhadap realitas. Ah percaya! Kata apa itu? Platon bohong! Ya apalagi, Si Sophist yang telah menipuku dua kali. Si Sophist yang membuatku mengakui bahwa aku seorang keledai. Si Sophist yang begitu sempurna mengenakan topengnya. Topeng sahabat, topeng ningrat, topeng berparas alim, topeng dalam wantah yang lalim. Si Sophist musuh abadi intelektual saya!

Apakah kau masih percaya atas sebuah kata-kata? Katanya hubungan persahabatan itu terjadi jika ada pihak ketiga yaitu niat baik, tapi kenyataannya saya ya tertipu juga! Percaya itu ialah ketika anda tahu akan dikhianati, tapi toh ya dilakukan juga demi menjaga moral-moral palsu. Lantas atas dasar ini, saya pun menjadi curiga kalau Marx pun bohong! Socrates pun ya sama saja! Ya, bohong juga! Semua teori-teori itu ya kenyataannya sebuah kebohongan yang dinegosiasikan dengan logika.
Harusnya saya camkan baik-baik surat kepada Wagner yang secara sembunyi-sembunyi saya baca:
Dari fakta bahwa dalam keseluruhan tidak ada satu kehidupan. Kata menjadi berdaulat dan meloncat keluar dari halaman; frase menjadi gemuk dan menggelapkan makna halaman; halaman mengambil hidup sendiri dengan merugikan keseluruhan—keseluruhan tidak lagi menjadi sebuah keseluruhan. Dan persis inilah tanda bagi gaya dekadensi;
Toh niat baik itu hanya sebuah topeng atas suatu kehendak, kepentingan pribadi. Toh nyatanya pula, di zaman ini manusia-manusia ini sibuk mencari, menambal, menyiarkan topeng-topengnya. Suatu persona yang begitu indah, menawan, menggoda, penuh keterkejutan, penuh perangkap, penuh kedustaan. Toh kenyataannya ruang ketidaknyaataan pun juga menghantui, telah lama mengaburkan batas-batas. Toh kenyataan itu yang berupa topeng, yaitu kehendak akan sesuatu yang menyembunyikan sesuatu yang itu.
               
Tidak jarang saya merenungkan segala sesuatu yang datang, mencoba merasionalisasikan, mencari pijakan-pijakan premis-premis, membongkar pasang batas-batas epistemologis, mendekonstruksi dan merekonstruksi dalam repetisi. Permenungan terhadap hakikat interaksi antar manusia yang hanya selalu menyisakan kesesakan, kepedihan, keprihatinan yang mendalam terhadap cara-cara berpikir manusia yang semakin menumpulkan relung hati, nurani dan sanubari. Keterjebakan logika pada kekuasaan isme-isme, yang menyempitkan cara berpikir mereka terkait dengan apa yang ada, yang nyata ada. Permenungan yang berakhir pada sebuah kelelahan jiwa, memaksa tempurung lutut ini beradu dengan materi ciptaannya. Permenungan yang memaksa menavikan yang fana untuk bisa melompat ke sisi Tuhan sembari merasa menjadi pengecut, ciut, kecut. Zero sum game katanya! That’s life ujarnya!
  
Mungkin inilah dosaku pada Ibuku. Seorang anak yang tidak pernah mau menurut. Permenungan itu pun membawa saya untuk kembali berkelana ke masa lampau. Oh Ibu! Masih teringat jelas ujaranmu padaku waktu aku sepersepuluh umurmu,

“Coba tolong logikanya dipakai!”, 
“Tidak masuk akal, saya tidak percaya!”, 
“Aneh, masak ada hal seperti itu. Mau mencoba menipu saya!”. 

Ujaran-ujaran itupun masih mewarnai perbincangan kami hingga saya dewasa. Ibuku adalah guru kecurigaanku. Tetapi dari manakah ujaran-ujaran itu berasal, ungkapan-ungkapan itu dibangun? Tentu saja Logika, yaitu proses berpikir, proses mental seseorang dalam menjangkau realitas yang terpapar di sekitarnya.

Mungkin saya terlalu naif dalam hal ini. Harus saya akui bahwa kadang kepercayaan atas seorang sahabat perlu pengorbanan. Di dalam persahabatan selalu ada pengkhianatan. Di dalam pengkhianatan perlu ruang kebesaran hati dan kelapangan jiwa agar tidak terjebak dalam dendam, yaitu terkunci dalam turbulensi emosi dan logika yang sama. Dalam kaitannya ini semua, dalam hemat saya, mungkin ada baiknya saya belajar Logika, mencoba berdisiplin diri, untuk berpikir lurus. Yah paling tidak, permenungan saya itu juga terinspirasi oleh filsuf dan kosmolog negeri ini.

Referensi

Kusumohamidjojo, B. (2009). Filsafat Kebudayaan: Proses Realisasi Manusia. Yogyakarta: Jalasutra.

Sinnott-Armstrong, W., & Fogelin, R. (2015). Understanding Arguments: an introduction to informal logic. Stamford: Cengage Learning.
Sumaryono, E. (1999). Dasar-Dasar Logika. Yogyakarta: Kanisius.
Wibowo, A. S. (2004). Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Galang Press.
   

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)