Kehidupan Ekonomi dan Bekerja

Pernahkah anda merasa cemas karena pekerjaan? Situasi kantor yang kian tidak kondusif. Atasan baru yang membawa gerbong kroni dari organisasi lamanya. Bos super cerewet yang tidak pernah paham apa yang ingin dikerjakannya dan yang ada hanya sering menyalahkan bawahan. Senior yang tiba-tiba meminta melalui ‘WA via jalur pribadi’ dengan rayuan setengah paksa untuk mengerjakan dokumen-dokumennya di tengah istirahat malam kita. Kolega dan teman sejawat yang dipecat tanpa alasan yang jelas. Perampingan organisasi karena krisis global. Atau, alasan manajemen apalagi yang terkadang membuat kita selalu sulit tidur. Apapun itu segala kejadian yang kadang tidak terhindarkan dalam dunia kerja. Inilah dunia manusia!


Sumber gambar: https://liveraf.files.wordpress.com/2012/06/this8.png


Akan tetapi, dari segala situasi di atas bukankah memang seperti itu (baca: wajar dan lumrah) konsekuensinya ketika kita bekerja di dalam sebuah organisasi. Titik balik dari kondisi itu, pernahkah anda menunggu lama untuk bisa diterima kerja? Pernahkah anda merasa tidak nyambung lagi ngobrol bersama teman-teman sekolah/kuliah dulu karena terlalu lama menganggur? Atau paling tidak pernahkah anda membayangkan apa yang terjadi pada diri anda, ketika anda tidak berani datang ke acara pernikahan teman karena anda tidak punya uang untuk memberikan sumbangan? Jika pun tidak perlu memberikan sumbangan (amplop kosong) siapkah anda mempertanggungjawabkan cara hidup anda dalam lingkup sosial ketika teman-teman anda bertanya soal “apa pekerjaan anda?”. Inilah dunia pekerjaan manusia yang tanpanya akan mampu mencerabut ‘ada’ manusia itu!

Tentu saja, hidup di dunia kapitalisme modern sekarang ini, bekerja memiliki arti penting dalam kehidupan seseorang. Mankiw (2007) memberi gambaran bahwa kehilangan pekerjaan bisa menjadi peristiwa ekonomi yang menyulitkan dalam kehidupan seseorang. Bekerja tidak hanya sebagai tindakan seorang individu untuk mempertahankan standar hidupnya, tetapi juga sebagai pemenuhan atas rasa pencapaian hidupnya. Kehilangan pekerjaan berati turunnya standar hidup di masa sekarang, cemas akan masa depan, dan menurunkan rasa percaya diri orang itu. Tidak adanya pekerjaan pada diri seseorang bukan berdampak secara keekonomian belaka, namun lebih kepada masalah sosial dan psikologis dari orang itu. Giddens dan Sutton (2009) menjelaskan bahwa pengalaman menganggur (tanpa pekerjaan) akan sangat mengganggu bagi siapa saja yang terbiasa memiliki pekerjaan tetap. Mereka memaparkan bahwa dampak emosional bagi seseorang yang tanpa pekerjaan dan tidak mampu kembali bekerja akan terjebak dalam depresi dan pesimisme akut, sehingga seseorang itu menarik diri secara total dari realitas hidupnya (Ashton, 1986 dalam Gidden dan Sutton, 2009). Hal ini penting, bahwa pekerjaan menjadi status sosial yang melekat pada seseorang. Kehilangan pekerjaan sama saja kehilangan identitasnya. Maka dari itu, meskipun seseorang sangat kaya dan pasti tetap hidup karena warisan misalnya, tetap membutuhkan pekerjaan. Hal ini karena terkait dengan cara berada dalam keseharian seseorang itu.

       
Apa itu ‘bekerja’?

Secara awam, bekerja (work) merupakan aktivitas manusia dalam menghasilkan uang yang akan digunakannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Secara sederhana manusia berupaya untuk bertahan hidup. Tentu saja definisi tersebut mengandung makna ekonomi, bahwa inti manusia bekerja adalah merelakan dirinya untuk dieksploitasi (disewa dan digunakan sebagai faktor produksi) untuk melakukan tujuan perusahaan. Bekerja adalah mengupayakan suatu produk yang dapat dibayar dengan upah sebagai ongkos sewa keekonomiannya (Mankiw & Taylor, Economics, 2014). Akan tetapi, definisi ekonomi tidak cukup untuk menjelaskan apa itu dalam dimensinya, karena manusia kenyataannya bisa saja bekerja tanpa dibayar (misalnya, pekerjaan rumah tangga, sukarelawan, dan sebagainya). Dalam definisi sosial, bekerja adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelesaian tugas-tugas dengan melibatkan segala usaha mental maupun fisik. Bekerja memiliki tujuan produksi akan barang dan jasa untuk melayani kebutuhan manusia di dalam jalinan sistem sosial budayanya (Giddens & Sutton, 2009). Mereka menjelaskan lebih jauh, bahwa bekerja dalam pekerjaan (work) harus dibedakan dengan bekerja dalam hal kesibukan (occupation, diterj. okupasi), karena kenyataannya banyak pekerjaan yang nyatanya adalah konteks sosial yang sering kali tidak mendapatkan upah. Bekerja dalam hal pekerjaan adalah untuk diri sendiri, sedangkan bekerja dalam hal kesibukan adalah untuk orang lain atau sekedar upah. Sebagai contoh, istri kita yang sibuk dengan pekerjaan rumah, tidak bisa kita perlakukan seperti seorang pembantu yang kita gaji tiap bulan (meskipun konsep nafkah serupa dengan upah)! Bahkan, di negara kita ini, sama seperti di kebanyakan negara berkembang, justru pekerjaan yang berada diluar sistem ekonomi (sektor informal) justru banyak menopang ekonomi negara (lihat: Basri, 2009). Sesuai dengan banyak studi terdahulu, definisi bekerja itu sendiri masih terlalu luas dan belum konklusif, yaitu dalam kegunaannya sebagai operasionalisasi untuk menjelaskan aspek sosial-ekonomi masyarakat (Abbott, 2005). Karena luasnya makna dari definisi bekerja dalam suatu masyarakat, maka telah membuat kabur pemahaman tentang apa ‘bekerja’ itu sendiri.


Penjelasan filosofis: ‘ada’ karena pekerjaan

Marx (1818 – 1883) memahami bahwa keterasingan manusia dari kesosialannya merupakan hasil dari pekerjaan di dalam sistem ekonomi kapitalis. Mengapa tanpa adanya pekerjaan seseorang bisa berdampak dalam kondisi psikis seseorang? Keterasingan diri seseorang atas pekerjaan juga serta merta mengakibatkan terasingnya diri seseorang itu dari lingkup sosialnya. Manusia adalah makhluk sosial, kehilangan relasi dengan sesamanya akan membuat seorang individu itu terganggu psikisnya. Mengapa demikian? Magnis-Suseno (1999) menjelaskan dengan baik sekali mengenai kondisi keterasingan ini. Bahwa inti dari ajaran Marx terkait dengan pekerjaan ada tiga, yang meliputi: Pertama, pekerjaan merupakan sarana manusia untuk menciptakan dirinya sendiri, yang menjadikan manusia itu unik. Kedua, pekerjaan merupakan upaya objektivikasi diri manusia itu. Terakhir, Melalui pekerjaan manusia itu membuktikan diri sebagai makhluk sosial, karena hasil pekerjaannya dibutuhkan oleh sesamanya.

Bagaimana manusia ini menciptakan diri dari pekerjaannya? Perlu dipahami bahwa manusia adalah makhluk ganda yang unik. Di satu sisi, manusia adalah makhluk alami yang pada hakikatnya sama seperti binatang, yaitu membutuhkan alam untuk hidup. Namun di sisi lain, manusia menghadapi alam sebagai sesuatu yang asing di luar dirinya, sehingga manusia itu perlu menyesuaikan alam dengan kebutuhan-kebutuhannya. Manusia melalui kesadaran (rasio) yang dimilikinya membuat kegiatan kesehariannya sebagai objek bagi dirinya. Manusia melalui kehendaknya bisa bebas memproduksi mengikuti ukuran yang inheren dan hukum keindahan. Manusia berbeda dari binatang yang berproduksi (baca: bekerja) berdasarkan insting belaka. Akan tetapi, manusia bekerja secara bebas dan universal. Bebas karena ia dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung. Universal karena di satu sisi ia dapat memakai beragam cara untuk tujuan yang sama, di sisi lain ia dapat menghadapi alam tidak hanya terbatas dalam satu konsep kebutuhannya. Jadi, menurut Marx bahwa manusia memiliki sikap terbuka pada nilai-nilai estetik, sehingga manusia menjadi berbeda secara hakikatnya dari binatang karena manusia menunjukan sifat kehendak bebas dan universalnya.

Dalam konteks pekerjaan, apa maksud dari objektivikasi diri manusia itu? Manusia memiliki daya penciptaan. Seniman mampu menciptakan benda-benda yang sama sekali berbeda dari benda yang ditemukan di alam. Maksudnya adalah bahwa dalam bekerja manusia mengambil bentuk alami dari alam (objek yang tersedia di alam) dan memberikan bentuk sesuai dengan gagasannya sendiri. Ia mengobjektivasika diri ke dalam alam melalui pekerjaannya. Manusia itu dapat berjarak untuk melihat dirinya melalui hasil kerjanya, mendapat kepastian tentang bakat dan kemampuannya (aktualisasi diri dalam gagasan Abraham Maslow). Melalui pekerjaan, manusia itu menjadi nyata. Manusia itu selalu melahirkan kekuatan-kekuatan dasariahnya ke dalam realitas alami, sehingga alam menjadi alam manusia, mencerminkan siapa manusia itu, membuktikan realitas hakikat manusia. Hal ini berarti, jika anda tidak merasa kerasan di suatu organisasi, maka mungkin orang lain juga merasakan yang sama. Organisasi adalah alam ciptaan manusia, melalui aturan dan kebijakan karyawan melalui manajemen sumber daya manusia, talah menciptakan ekosistem buatan untuk manusia itu sendiri.

Mengapa melalui pekerjaan manusia dapat berjumpa dengan sesamanya? Hanya manusia binatang yang sanggup berjumpa (encounter) dengan sesamanya. Dengan pekerjaan manusia itu membuktikan diri sebagai makhluk sosial. Tidak mungkin bahwa manusia hidup memenuhi kebutuhannya sendiri untuk dirinya sendiri (self-provision) secara mutlak. Anda bisa membayangkannya hidup seperti tokoh di dalam film Cast Away! Hasil pekerjaan kita memenuhi kebutuhan sesama kita, ketika orang lain menerima dan menghargai hasil kerja kita, kita merasa diakui. Kita merasa berarti karena tahu bahwa kita berarti bagi orang lain, sehingga pekerjaan adalah jembatan antar manusia. Tidak bisa tidak, manusia seringkali menjadi dekat dengan sesamanya karena berhubungan dalam konteks pekerjaan. Tampak bahwa dengan adanya relasi dengan sesamanya, maka manusia bersifat sosial. Tidak hanya sampai di situ, bahwa hasil karya manusia melalui pekerjaan telah menjadikannya artefak sejarah. Pekerjaan memiliki dimensi historis. Kita hidup di dalam dunia yang merupakan hasil pekerjaan ratusan generasi manusia sebelumnya. Manusia dan pekerjaannya telah melahirkan tradisi-tradisi pengetahuan manusia, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Maka bagi Marx, sejarah industri dan eksistensi objektif industri sebagaimana terjadi merupakan sebuah buku terbuka bagi kekuatan-kekuatan hakikat manusia.

Lantas, bagaimana manusia menjadi terasing dari dirinya di dalam ekonomi kapitalis? Jika pekerjaan menjadi sarana perealisasian diri manusia, maka bekerja seharusnya memberikan kepuasan batin bagi manusia itu. Namun, kenyataannya adalah sebaliknya, pekerjaan tidak merealisasikan hakikat mereka melainkan justru mengasingkan mereka. Mengapa demikian? Menurut Marx, bahwa dalam sistem ekonomi kapitalisme, orang tidak lagi bekerja secara bebas dan universal, melainkan semata-mata karena terpaksa, sebagai syarat untuk tetap hidup. Manusia sebagai buruh upahan tidak akan pernah merasakan keberartian pekerjaannya. Semakin si pekerja menghasilkan pekerjaan, semakin ia, dunia batinnya, menjadi miskin. Hal ini terjadi karena ia tidak dapat bekerja menurut hasrat dan dorongan batin, melainkan harus menerima pekerjaan apa saja yang ditawarkan oleh pemilik pabrik. Ia harus menjadikan kegiatan hidupnya pekerjaan, sebagai sarana untuk mempertahankan kehidupan fisik. Itulah keterasingan dalam pekerjaan. Hal ini menjadikan manusia terasing dari hakikatnya, ia sekaligus terasing dari sesamanya. Secara empiris, keterasingan dari sesama menyatakan kepentingan-kepentingan yang bertantangan. Hal ini lah yang menurut Marx bahwa kapitalisme digerakan oleh egoisme mengejar keuntungan, bukan untuk kepentingan bersama. Persis seperti asumsi dasar yang digunakan di dalam ekonomi, yaitu kepentingan diri sendiri untuk mengejar keuntungan.


Penjelasan sosiologis: bekerja adalah masalah perspektif

Masalah ‘tanpa pekerjaan’ bukan perkara bekerja dibayar dan tidak dibayar, namun lebih apa dan bagaimana masyarakat memaknai pekerjaan dalam konteks transaksi nilai-nilai sosial mereka. Konteks bekerja antara di desa dan di kota pun sudah memiliki perbedaan karakter, bahkan hingga dalam konteks lingkup sosial terkecil sekalipun (keluarga), bahwa pekerjaan rumah dan pekerjaan kantor tidak dimaknai secara adil. Kenyataannya, pekerjaan rumah itu jika dipandang dari perspektif manajemen sumber daya manusia, maka pekerjaan ini memiliki cakupan bidang kerja yang luar biasa lebar, menuntut ketelitian tinggi, melelahkan, selalu berada di dalam jalur kritis (critical path) dan bahkan tidak mendapatkan upah keekonomian. Kerap kali hal ini menjadi alasan untuk menciptakan kesenjangan sosial, yaitu antara pemberi kerja (disini majikan, siapa saja yang memiliki modal dan bisa memberikan upah) dan penerima kerja (disini sebagai pelaku pekerjaan rumah tangga, misal: ibu rumah tangga, pembantu, saudara yang ikut ‘ngenger’, dan sebagainya). Ketidaksepahaman atas pengertian perihal kerja, bekerja dan pekerjaan akan menimbulkan konflik antar subyek, yang tentu saja disini adalah tiap-tiap anggota keluarga.

Ann Oakley (1974) di dalam Giddens dan Sutton (2009) menggugat akan definisi pekerjaan ini dengan mempertanyakan keterkaitan antara pekerjaan yang dibayar dengan tugas-tugas rumah tangga? Mengapa pekerjaan rumah tangga ini kerap kali menjadi ekslusivitas sebagai pekerjaan perempuan? Dalam hal ini Oakley berargumentasi bahwa secara eksistensinya dunia kerja dan dunia rumah tangga terdapat garis pemisah yang jelas. Dengan hadirnya gagasan industri, perihal bekerja menjadi diposisikan sesuatu yang jauh dari konsep rumah tangga dan keluarga. Rumah tangga telah menjadi suatu tempat konsumsi dari pada tempat produksi. Praktis dalam hal ini, ketika pasangan suami istri bekerja di luar rumah, maka untuk memenuhi produk (barang dan jasa) rumah tangga mereka harus menyewa tenaga kerja lain (dialihkan ke pembantu rumah tangga sebagai penyedia produk jasa). Tentu saja dengan mengingat Marx, bukankah suami dan istri itu akan kehilangan ‘ada’-nya dan saling terasing? Apakah hal ini dalam jangka panjang akan mentransformasi kadar keintiman mereka (bdk. Anthony Giddens, 1993, The Transformation of Intimacy: Love, Sexuality and Eroticism in Modern Societies)?

Menurut Ann Oakley, pekerjaan domestik (domestik work) menjadi sangat tidak kentara lagi sebagai suatu pekerjaan nyata, alasannya karena tidak mendapatkan upah langsung (baca: uang) dari aktivitas atau pengorbanannya. Bahkan secara signifikan pekerjaan rumah tangga dipandang sebagai perihal yang alamiah dari dunia perempuan dan dunia pekerjaan yang ‘sebenarnya’ adalah diperuntukan bagi laki-laki berada di luar rumah. Artinya, bahwa pekerjaan rumah tangga secara praktis pada hakikatnya merupakan kewajiban perempuan sebagai bentuk baktinya terhadap suami yang pulang dengan hasil tangkapan dan buruannya. Memang tidak bisa dipungkiri, gagasan zaman masyarakat perundagian ini masih ditemukan praktik-praktiknya hingga era kapitalisme modern sekarang. Memang secara biologis, laki-laki dan perempuan tidak bisa menghilangkan masalah sexisme secara 100%, akan tetapi gender tidak bisa dijadikan pemutlakan alasan untuk klasifikasi pekerjaan. Bahkan setelah Simone de Bouvair menyerukan ‘I am a woman, therefore I think’ sekalipun, ketimpangan sosial terutama soal gender di dalam klasifikasi pekerjaan tidak bisa dihapuskan praktik-praktiknya—perempuan mungkin sudah bisa menduduki berbagai jabatan penting di perusahaan, namun belum bisa menggeser maskulinitas dan pratriarkal. Perihal pemisahan antara apa-apa yang merupakan aktivitas pekerjaan berada di ranah publik dan di ranah oikos masih saja berada di seputaran gagasan Aristoteles.

Perhatian sosiologis memang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pandangan ekonomi. Dalam bekerja gagasan Adam Smith (1723 – 1790) satu zaman sebelum Marx, melahirkan gagasan spesialisasi pekerjaan dalam bukunya The Wealth of Nation (1776). Dengan membagi suatu pekerjaan menjadi bagian-bagian terkecilnya, maka dapat meningkatkan tingkat efisiensi kerja, dibandingkan apabila hanya dikerjakan seorang saja. Akan tetapi, sesungguhnya perhatian Adam Smith disini tidak melulu menyoal pekerjaan, perhatiannya masih menimbang persoalan moral. Dalam konteks sosial-ekonomi pekerjaan sudah secara apriori tidak bisa meninggalkan landasan etikanya, karena hal ini menyangkut persoalan relasi bersama antar individu. Semenjak lahirnya kapitalisme Adam Smith, baru satu abad kemudian gagasan dasar terkait dengan pekerjaan dirumuskan oleh seorang konsultan bisnis terkemuka di Amerika Serikat, yaitu Frederick Winslow Taylor (1865 – 1915). Lahirnya Taylorisme kian mewarnai proses mekanistis radikal dari gagasan Smith ini. Menurutnya suatu proses yang bersifat industri dapat dicacah lagi secara waktu dan pengorganisasiannya menjadi lebih akurat. Ide dari Taylor ini kemudian diappropriasi oleh Henry T. Ford (1863 – 1947) untuk menciptakan jalur perakitan kendaraan bermotornya. Gagasan tersebut berhasil untuk mendisiplinkan para pekerja untuk bertindak sesuai dengan standar kepatuhan manufaktur itu demi terciptanya kualitas keluaran produksi yang seragam untuk melayani mass market. Sejak berhasilnya manufaktur Ford ini, gagasan jalur perakitan yang sanggup melayani konsumen secara masal ini disebut Fordisme.

Implikasi dari Taylorisme dan Fordisme telah melahirkan isu kepercayaan dalam pekerjaan. Tugas dan aktivitas pekerja yang ditentukan oleh manajemen dilekatkan ke dalam mekanisme gigi roda sistem produksi. Para pekerja yang berada di dalam mekanisme cara kerja semacam ini dipandang sama seperti mesin produksi, sehingga akan selalu diawasi dan diberikan sedikit kebebasan otonomnya. Dampak dari hal ini, para buruh komitmen dan moral para pekerja justru terkikis karena mereka sedikit merasakan bekerja atau bagaimana mereka mengerjakannya. Pendekatan ini hanya sedikit memberikan ruang percaya bagi karyawan atau dikenal sebagai low-trust system. Lebih jauh, kondisi ini justru memberikan akibat ketidakpuasan dan kemangkiran yang tinggi, serta konflik yang kian sering terjadi. Berbeda dengan hal itu, rasa percaya yang tinggi justru saat ini menjadi basis dari pekerjaan. Karyawan tidak lagi diawasi dengan ketat, bahkan diberdayakan untuk ikut serta untuk menentukan kecepatan pengerjaan, dan bahkan ikut berkecimpung dalam menentukan konten dari pekerjaan mereka. Manajemen sebagai sistem hanya mewakili pemberi kerja dalam menciptakan suatu platform bersama dalam bekerja.

Gagasan bekerja pun juga semakin berkembang hingga disebut sebagai post-Fordism. Gagasan ini mendiskripsikan cara berproduksi ekonomi kapitalis yang semakin mengusung dan mementingkan fleksibilitas dan inovasi demi memenuhi kebutuhan pasar. Gagasan ini muncul sebagai tanggapan atas kebutuhan pasar yang semakin tersebar dan terkostumisasi. Praktiknya, pekerjaan semakin terdesentralisasi hingga dalam organisasi terjadi perubahan, yang tadinya menata dengan struktur yang kaku dan berjenjang, saat ini justru hanya berupa tim-tim kerja yang sanggup menanggapi ide-ide yang semakin beragam dan mampu melayani produk yang sangat terkustomisasi. Wujud praktik gagasan post-Fordisme ini paling tidak mengusung bentuk kelompok produksi yang bekerjasama dengan cara berkolaborasi di sepanjang jalur perakitan. Ide ini lahir untuk menghindari pekerjaan yang bersifat terlalu berulang di sepanjang hari. Bentuk lain adalah cara produksi yang mampu memenuhi tuntutan pasar yang semakin terkostumisasi secara masal. Pasar yang berubah membuat manufaktur yang memproduksi secara masal justru semakin menemukan batasnya, karena terbentur skala ekonomi (menjadi terlalu mahal untuk memproduksi yang sedikit). Selain itu, bentuk produksi juga terjadi tidak lagi hanya lintas kota saja, namun juga lintas negara. Dalam hal ini bentuk produksi tidak lagi perihalnya bagaimana barang dan jasa diproduksi, namun juga dimana produk itu dibuat. Manufaktur produk-produk tidak lagi terpusat, namun juga semakin tersebar.

Dapat ditarik benang merah dari pemaparan di atas bahwa bekerja adalah masalah perspektif kepercayaan, yang timbul dari hubungan antar subyek. Perspektif disini menjadikan makna bekerja menjadi begitu rentan dengan kesalahpahaman. Bekerja memiliki dimensi subjektif, meskipun kenyataannya aktivitas itu memiliki dimensi obyek materialnya. Apabila sesuatu hal memiliki dimensi subjektif, maka tidak akan terhindarkan dari suatu struktur mental tertentu yang dikonstruksikan oleh sejarah. Jelas, perihal moral sebagai code of conduct untuk memutuskan sesuatu hal tidak serta merta turun dari langit, tetapi dibentuk secara dinamis menjadi produk budaya. Perlu diwaspadai bahwa ilmu ekonomi, pada kenyataannya merupakan perangkat egois, yang berkecenderungan untuk selalu meradikalkan kepentingan diri sendiri atas kepuasan individu, bukan sosial. Maka dari itu, relasi psikologis dan psikososial menjadi melekat dalam dimensi budaya kapitalisme modern. Penjangkaran pada budaya ini menjadi sebuah upaya mencari jalan tengah untuk menjembatani konflik kepentingan di tiap-tiap kelompok dikotomis (majikan – buruh, suami – istri, orang tua – anak, keluarga besar – keluarga batih, mayoritas – minoritas dan seterusnya). Aktivitas ekonomi merepresentasikan bagian krusial dari kehidupan sosial dan disulam bersama-sama melalui beragam norma, aturan, tuntutan moral dan habitus yang secara bersama-sama membentuk masyarakat. Bekerja dan uang juah lebih penting sebagai sumber identitas, status, dan harga diri. Hal ini tidak mampu hanya dikenali dan diraih secara individual, namun hanya bisa dilaksanakan dalam konteks sosial (Fukuyama, 1995).

       
Penjelasan ekonomi: bekerja adalah trade-off

Pekerjaan yang ada saat ini banyak dimaknai secara ekonomi. Dengan berdiri sendiri dari filsafat dan melepaskan diri dari sosial, pekerjaan akan menjadi dimaknai lebih sempit. Alasannya, bekerja merupakan suatu proses produksi dari aktivitas ekonomi yang hanya menjadi bagian dari elemen faktor-faktor ekonomi (pekerja, tanah, dan modal). Berdasarkan pemikiran neoklasik, teori distribusi menyatakan bahwa setiap rupiah yang dibayarkan untuk setiap faktor produksi tergantung dari penawaran dan permintaan atas faktor tersebut. Maka dari itu, penjelasan secara ekonomi akan lebih mudah menjawab pertanyaan Ann Oakley tersebut diatas, mengapa pekerjaan rumah tangga tidak dihargai dan dimaknai sama dengan pekerjaan di luar rumah. Alasan ekonomi makro secara sederhana akan menjawab pekerjaan rumah tangga bukan ranah produksi, sehingga kurang atau dianggap tidak layak dihargai secara keekonomian. Hukum penawaran dan permintaan terjadi karena adanya kelangkaan. Tentu saja ahli statistik dan ekonometri yang tergolong aktif secara ekonomi, maka akan dihargai lebih tinggi dibandingkan loper koran atau buruh stasiun pompa bensin. Penghargaan ekonomi tidak lain karena upah atau imbalan moneter yang didapatkan selama seseorang tersebut ‘disewa’ sebagai faktor ekonomi.

Mengapa demikian? Di atas telah dikatakan bahwa upah disebabkan oleh penawaran dan permintaan atas faktor tenaga kerja. Bahwa ekonomi kapitalis bisa dipahami secara sederhana melalui hubungan antara rumah tangga (households) dan perusahaan (firms) sebagai perwakilan pemilik kapital/modal (tanah dan sarana produksi). Akan tetapi, karena secara moral perbudakan itu tidak dibenarkan (zaman modern, dahulu ras-ras tertentu dianggap lebih rendah atau setara dengan binatang, sehingga berhak diberdayakan sebagai ‘budak’), maka perusahaan hanya boleh menyewa faktor produksi yang disebut buruh atau pekerja. Artinya, ada manusia-manusia yang berkehendak untuk bekerja dengan menyewakan tenaganya atau keahliannya untuk para majikan atau pemilik modal. Karena pemilik modal ini tidak bisa menjalankan usahanya tanpa adanya pekerja-pekerjanya. Kepentingan diri si pemilik modal inilah kemudian yang menggerakkan adanya permintaan akan pekerja, dengan memberikan kepercayaan atas kapitalnya untuk digunakan sesuai dengan kepentingan si pemilik modal itu. Sedangkan para pekerja ini merelakan dirinya untuk mengorbankan kepentingannya sendiri, demi mendapatkan upah yang dapat digunakan untuk membeli keperluan sehari-hari (alasan bertahan hidup). Maka dari itu, penawaran atas tenaga kerja muncul akibat sebuah ‘trade-off’ antara kerja dan bersenang-senang (leisure). Semakin orang mampu mengorbankan rasa senangnya demi upah, semakin ia mampu bekerja lebih lama. Penawaran dan permintaan ini tidak serta merta datang akibat hubungan antar kepentingan pelaku, tetapi kepentingan ini lebih di sebabkan oleh permintaan akan barang dan jasa di pasar. Pasar tercipta karena kebutuhan dan pertukaran secara sosial. Pasar menentukan faktor produksi yang akan digunakan oleh perusahaan demi berkompetisi untuk memenuhi kebutuhan pasar dan memaksimalkan keuntungan. Oleh sebab itu permintaan atas faktor produksi permintaan turunan, karena diturunkan dari permintaan pasar.

Bagaimana jika seseorang tidak bekerja, atau tidak memiliki pekerjaan? Tentu saja hal ini menimbulkan masalah ekonomi. Perihal pengangguran yang terlalu tinggi di suatu negara tentu saja menyebabkan produksi aggregat rendah. Kondisi ini biasa terjadi di kala resesi ekonomi, yaitu permintaan akan tenaga kerja akan menghilang. Peningkatan pengangguran akan meningkat dan tentu saja akan berdampak pada kondisi kemakmuran suatu negara. Menurut sifatnya kondisi tanpa pekerjaan ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengangguran friksional, dan pengangguran struktural. Pengangguran friksional adalah kondisi tidak bekerja karena waktu tunggu pekerjaan yang dialami seorang pekerja untuk mencari pekerjaan yang sesuai. Sedangkan pengangguran struktural adalah kondisi tidak bekerja karena pasar tenaga kerja tidak mencukupi untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi siapa saja yang menghendakinya. Apabila waktu tunggu ini terlalu lama, entah karena krisis ekonomi yang tidak kunjung berakhir atau pekerjaan yang tersedia tidak memenuhi keahlian dan ekspektasi seseorang, hal ini akan menyebabkan tenaga kerja tersebut enggan untuk mencari pekerjaan (discouraged workers). Misalnya, banyak lulusan bergelar pasca sarjana, dan bahkan bergelar doktor yang pada akhirnya menganggur, karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang mampu menyerap mereka. Sulit untuk seseorang yang telah memiliki kemampuan intelektualitas yang tinggi dan kematangan berpikir hanya bekerja menjadi juru arsip di sebuah perusahaan, atau bekerja lepas di sektor informal. Banyak akhirnya program-program beasiswa pun berakhir ibarat menciptakan mobil canggih, namun tidak didukung oleh fasilitas jalan raya dan sopir yang mampu mengendarainya. Tidak gampang seseorang untuk mendadak berganti keahlian (itulah mengapa karyawan PT Dirgantara Indonesia setelah pailit, banyak dicaplok oleh manufaktur pesawat di luar negeri dan memilih hengkang ke luar negeri).

Wajah Dunia Kerja Indonesia Pasca Krisis


Pengangguran merupakan masalah yang kompleks di Indonesia. Basri (2009) mengemukakan berbagai masalah ekonomi terkait pengangguran. Selain masalah pencatatan statistik klasifikasi pengangguran yang kurang canggih, artinya ada masalah validitas data. Terkait dengan hal itu masalah pengangguran berdampak luas terhadap kehidupan sosial dan politik, yang pada gilirannya akan berimbas pada kestabilan makroekonomi yang susah payah dicapai.  Masalah pengangguran terdidik sebetulnya tidak menjadi masalah, karena mereka bersedia bekerja tidak penuh ataupun menerima pekerjaan-pekerjaan yang kualifikasinya lebih rendah dari potensi kemampuan mereka (disguised unemployment). Hanya saja masalah kualifikasi ketepatan penyerapan kapasitas dan kapabilitas mereka sering kali meleset. Seperti halnya lulusan sarjana bidang ilmu pertanian, ilmu tanah, arsitek, malah ramai berkarya di sektor perbankan. Sedangkan lulusan sarjana manajemen dengan konsentrasi keuangan malah sibuk berternak lele atau ayam. Hal ini akan menyebabkan kehilangan potensi ilmu pengetahuan yang tidak mampu diimplementasikan secara keekonomian sebagai alih teknologi. Hal ini wajar ketika sudah 2-3 tahun bekerja sibuk beramai-ramai kuliah pasca sarjana alih bidang studi di bidang ilmu manajemen dan administrasi bisnis. Sehingga sadar atau tidak sadar, para pekerja terdidik ini sebetulnya sudah kehilangan investasi masa mudanya ketika kuliah sarjana.

Tercatat hingga 2009, Basri menggambarkan bahwa ranah ketenagakerjaan pun semakin suram mengingat jumlah semi pengangguran atau orang yang bekerja secara tak penuh karena kesempatan kerja yang tersedia memang hanya sedikit (under employment). Tentu saja pemerintah sebagai pembuat kebijakan memiliki andil dalam hal ini. Jika seseorang meningkat statusnya dari penganggur penuh menjadi semi penganggur, maka masalahnya tentu belum selesai. Hal ini ditandai dari jumlah pekerja di sektor informal semakin membengkak. Mayoritas pelaku sektor informal masih harus mengandalkan diri sendiri untuk mempertahankan kelangsungan penghasilannya. Menjadi wirausaha (pemilik modal) kenyataannya lebih sulit daripada menjadi pekerja, karena menuntut adanya soft skill dan hard skill yang cukup. Artinya tingkat survival suatu bisnis informal berkembang menjadi bisnis formal sangat rendah. Sektor informal bukanlah sesuatu yang ideal karena pada hakikatnya sektor informal adalah sebuah entitas yang bersifat darurat untuk bertahan hidup (survival economy), sehingga eksistensinya semestinya hanya sementara saja. Imbalan bagi para pelaku sektor informal sangat rendah, yang pada umumnya memperoleh pendapatan di bawah UMR regional (tidak akan mampu untuk mencukupi kebutuhan sekunder). Selain itu, pekerja sektor informal tidak dilindungi oleh jaminan sosial apapun. Lebih lagi, peluang pengembangan usaha atau ketrampilan sangat terbatas (terjebak dalam cara kerja dan bidang kerja yang sama) (Basri, 2009). Bahkan terkadang jam kerja sektor informal melampaui jam kerja sektor formal, meskipun kadang banyak praktik-praktik sektor formal yang juga memperlakukan karyawannya dengan sewenang-wenang, 8 jam kerja di kantor kadang hanya menjadi sebuah cita-cita dan formalitas belaka.

Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), Badan Pusat Statistik, diolah



Penduduk Indonesia yang Menekuni Sektor Formal dan Informal
(dinyatakan dalam juta jiwa)
Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), Badan Pusat Statistik, diolah

Dari diagram dan tabel diatas menunjukan adanya perbaikan dari masalah ketenagakerjaan. Sektor formal kembali lebih tinggi dibandingkan sektor informal, artinya sektor informal tidak lagi menjadi andalan. Meskipun demikian, dari data tabel, peningkatan sektor formal tidak serta merta meningkatkan jumlah pengusaha di sektor formal. Kemampuan penyerapan pekerja di sektor formal memang baik, akan tetapi akan menciptakan kesenjangan baru dari sisi kelompok pemilik modal dan kelompok pekerja (lihat: rasio gini Indonesia). Artinya, pentingnya disini membuka lapangan kerja baru sebagai keterlibatan individu sebagai peningkatan taraf hidup masyarakat. Membuka bisnis yang baik yang berlandaskan nilai-nilai sosial memiliki soft power dalam menciptakan ekosistem masyarakat ekonomi. Pemerintah pun juga telah mengupayakan berbagai program, meskipun pasti akan terdapat banyak celah kritik. Oleh sebab itu, lebih baik kita kaji dan kita kawal bersama, bahwa pemerintah adalah aparatur negara demokrasi, artinya pemerintah dan penguasa adalah alat dari rakyat untuk mendistribusikan beragam hak.


Ruang Refleksi

Hal yang menarik diangkat untuk refleksi adalah merenungkan kembali pertanyaan kritis yang dilontarkan oleh Faisal Basri (2009): “Pembangunan macam apa yang hendak kita tuju?” “Demokrasi mengabdi kepada siapa?” “Akankah kita biarkan kecenderungan demikian terus berlangsung?”. Berbagai pertanyaan mendasar itu mungkin tepat disasarkan kepada pemerintah sebagai pengambil kebijakan yang bertanggung jawab secara penuh untuk kesejahteraan warga negaranya. Akan tetapi, dalam taraf pribadi lebih banyak permenungan makna bekerja itu sendiri. Alih-alih selalu serba mengutuki pemerintah yang serba korup dan manipulatif, lebih baik mempersoalkan kontribusi apa yang bisa saya lakukan untuk berperan serta dalam meningkatkan taraf hidup orang banyak. Misalnya, seorang sarjana peternakan di usia muda yang menempati manajer di sebuah kantor asuransi di kota besar. Alih-alih menjalankan gaya hidup serba modern yang mengkonsumsi untuk segala hedonisme kaum urban. Ia memilih untuk mengembangkan nilai diri dengan bertanggungjawab secara sosial. Ia berinvestasi secara riil, yaitu membuka lapangan usaha di desa dengan membeli lahan empang untuk berternak ikan, dan dipercayakan kepada orang setempat dengan memberdayakannya (lihat: penjelasan sosiologis). Ia hadir di setiap akhir pekan untuk memberikan penyuluhan (memanfaatkan potensi atau modal intelektual) kepada para pekerjanya. Ia memang awalnya membayar para buruh ternak itu dengan murah, namun seiring dengan majunya usaha yang digelutinya, ia mampu menghadirkan teknologi yang diterapkan di desa itu sehingga meningkatkan produksi di desa itu. Semakin besar usahanya, semakin tinggi tingkat produksinya, semakin ia mampu menyejahterakan karyawannya, dan semakin mampu menyerap tenaga kerja di desa itu (lihat: penjelasan ekonomi). Pada akhirnya, ia justru melakukan pensiun dini dan fokus pada usahanya sendiri, ia menikmati usahanya yaitu buah karyanya sendiri. Aktualisasi dirinya tercapai seiring ia tidak lagi terasing dari dirinya (lihat: penjelasan filosofis).

Daftar Bacaan
Abbott, A. (2005). Sociology of Work and Occupations. Dalam N. J. Smelser, & R. Swedberg, The Handbooks of Economic Sociology (hal. 307-330). New Jersey: Princeton University Press.
Basri, F. (2009). Catatan Satu Dekade Krisis: Transformasi, Masalah Struktural, dan Harapan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Fukuyama, F. (1995). Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York: Free Press Paperback.
Giddens, A., & Sutton, P. W. (2009). Sociology (6th ed.). Cambridge: Polity Press.
Magnis-Suseno, F. (1999). Pemikiran Karl Marx: dari sosialisme utopis ke perselisihan revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mankiw, N. G. (2007). Principles of Economics (4th ed.). Mason: Thomson South-Western.
Mankiw, N. G., & Taylor, M. P. (2014). Economics. Andover, United Kingdom: Cengage Learning EMEA.




Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)