Kolektivisme: Suatu egoisme terselubung dalam dialektika aku – kalian.

Sebuah fenomena tren yang tidak baru dalam hal media komunikasi, ya Whatsapp group! Sebenarnya tidak ada yang salah dengan sebuah aplikasi berkirim teks dari gawai canggih digital itu, yang jadi masalah adalah pemilik yang sekaligus penggunanya. Agaknya saya masih setuju dengan ujaran “smartphone doesn’t necessarily make you smart!” dan juga pun setuju dengan ujaran lain “smartphone mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat!”. Teknologi sekarang ini semakin mengasingkan individu penggunanya. Mudah saja, alih-alih mengumpulkan orang setiap minggu, buat saja grup whatsapp-nya, kemudian langsung bertukar informasi di dalam grup tersebut. Seolah totalitas interaksi antar manusia direduksi menjadi sebuah serial teks belaka, dan ngerinya lagi kualitas hubungan antar personal disama-ratakan dengan permainan keguyuban dan eksklusivitas kelompok.

Jujur saya cukup sinis dengan hal ini. Selain masalah berbagai pelanggaran etika dalam berkomunikasi, bahaya lain pun juga muncul, misalnya adalah ada seseorang yang memiliki masalah keuangan dan kemudian menjadi anggota grup WA tertentu, dengan dalih seorang kenalan dari masa lalu, ia bisa saja memanfaatkan setiap nomor yang tertera di grup WA itu (tentu itu menjadi pergeseran masa lalu yang lantas menjadi ‘masalah loe’). Atau katakan lah perang mulut di grup gara-gara masalah ketidaksepahaman atau ketidaksealiran dengan ideologi tertentu. Belum lagi undangan masuk grup yang tiba-tiba tanpa adanya permisi atau persetujuan, keluar grup tanpa pamit yang dianggap ‘memberontak’ dan menarik diri dari kelompok. Praktik-praktik memarginalkan dan mengalienasi seorang individu dari kelompoknya yaitu dengan cara membuat grup WA baru secara diam-diam untuk mengeluarkan individu itu secara sembunyi-sembunyi juga. Saya pun juga menduga bahwa ribut-ribut di grup WA bisa berakhir ribut fisik di dunia nyata. Lantas sebenarnya masalahnya dimana? Sebenarnya simpel apabila memiliki etika dalam berkomunikasi, grup-WA sebagai platform kelompok harus memiliki perangkat sosial yang mengatasi masalah-masalah yang terjadi di dalamnya. Group admin juga tidak serta merta hanya menjadi tukang kelola nomor telepon, akan tetapi sebaiknya juga menjadi moderator yang selalu memberikan koridor komunikasi antar pihak disana. Praktisnya sih begitu, akan tetapi jika kita telisik lebih jauh, sebenarnya hal ini merupakan suatu implikasi dari cara pandang sosial yaitu individualisme – kolektivisme.

Konteks diatas bertolak pada tata cara hidup orang perkotaan, yang diasumsikan lebih melek teknologi dan terpapar lebih banyak dengan modernitas ketimbang orang yang tinggal di pedesaan atau pedalaman. Paling tidak, meskipun jaringan internet pun sudah tersebar luas tuntutan aktivitas virtual yang tinggi dan serba terkoneksi dalam jejaring dunia maya telah menjadikan fenomena sosial khas masyarakat yang tinggal dan bereksistensi di perkotaan. Keguyuban dunia virtual memang di satu sisi memberikan keuntungan dalam ihwal pertukaran informasi, namun di sisi lain juga terdapat kerugian yang sesungguhnya tidak bisa kemudian didapuk sebagai tanggung jawab individu semata. Dalam hal keguyuban ini, Soerjono Soekanto (1997, hal. 144), Pengantar Ilmu Sosiologi, ia mencirikan bahwa kehidupan manusia Indonesia tergolong paguyuban (Gemeinschaft) bukan patembayan (Gesellschaft). Guyub atau hidup dalam kelompok merupakan cara hidup manusia yang dibangun diatas fondasi Wessenwille, yaitu kehendak alamiah yang merupakan ekspressi dari kebutuhan naluriah, kebiasaan, keyakinan atau kecenderungan manusia. Berbeda dengan hal itu, masyarakat (Gesellschaft) dibangun atas dasar kehendak rasional intrumental (Kurwille) yang dengan sendirinya sudah mencakup intensi dan kepentingan siapa saja yang berinteraksi di dalamnya (Damsar & Indrayani, 2017). Jika keguyuban ditandai dengan derajat interaksi individu yang juga mencakup suatu aktivitas kelompok di dunia maya, maka apakah lantas ini juga merupakan suatu cerminan dari sifat alamiah (kodrat natural) dari manusia? Ataukah keguyuban ini sebenarnya hanya relasi dari para aktor egoisme belaka yang selalu melibatkan kepentingan-kepentingan rasional yang menumpang pada nilai-nilai sosial belaka?

Georg Simmel tentang Relasi Individu dengan Kelompoknya.
Interaksi aku dengan kalian, merupakan suatu dialog dalam relasi dialektika tuan dan budak. Aku sebagai tuan atas kuasa tubuh dan pikiranku yang memproduksi dan menetapkan nilai-nilai bebasku, direspons dalam beragam penolakan dan penegasian oleh kalian (kaum budak) dalam belenggu nilai-nilai bersama. Akan tetapi, situasi ini tidak sepenuhnya berlangsung aku (tuan) dan kalian (budak), dalam kondisi tertentu bahwa individu dapat berlaku sebagai tuan dan sekaligus sebagai budak. Hal ini yang kemudian ditangkap oleh Simmel, bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk ganda, di satu sisi ia memiliki teritori non-sosialnya dan sekaligus memiliki teritori sosialnya. Ketersituasian manusia sebagai individu memiliki elemen yang ontologis dan yang ontis, akan tetapi tidak dipisahkan seperti dalam pemikiran Heideggerian akan tetapi hal ini justru memiliki relasi ketersalingan atau resiprokalitas. Hardiman (2010) memaparkan dengan baik sekali terkait masalah relasionalisme ini di dalam makalahnya, yaitu: George Simmel dan Relasionalisme: sebuah tinjauan filosofis atas hubungan individu dan masyarakat. Berikut dibawah ini akan disarikan peta-peta pemikiran Simmel dari makalah tersebut.

Hardiman membuka makalahnya dengan suatu strategi pencarian “jalan tengah” bagi individualisme Barat dan kolektivisme Asia. Kasus ideologi pancasila (versi orde baru) itu sendiri secara epistemologis menolak individualisme yang mendasari liberalisme Barat, yang dalam proses kolektifnya ikut menindas kebebasan individu, sehingga masalah di Indonesia adalah bagaimana melampaui individualisme dan kolektivisme itu sendiri. Dualitas ini telah menghadirkan konflik sebagai persoalan modern yang paralel dengan arus proses individuasi, yang tidak lain adalah suatu proses perluasan ruang kebebasan manusia. Melalui sistem ekonomi pasar dan perkembagan institusi hak milik pribadi ikut serta dalam suatu ekses yang tidak terkendali dari individuasi, yaitu individualiasi. Hal ini pun secara konkrit telah melahirkan problematis tegangan antara individualisme dan kolektivisme yang mengantarkan kita pada pertanyaan yang mendasar: Apakah sebenarnya seorang ‘individu’ itu? Apakah ‘masyarakat’ itu? Bahwa kedua pertanyaan ini membutuhkan suatu jawaban yang lebih bersifat epistemologis dan antropologis, yaitu apa itu individualisasi dan kolektivisasi yang sedang terjadi pada masyarakat modern?

Untuk menjawab pertanyaan itu Hardiman membagi empat segmen besar, yaitu: (1) individualisme sebagai duduk perkara, (2) Pemikiran Georg Simmel, antropologi Kantian dan Wechselwirkung, (3) melampaui individualisme dan kolektivisme, dan (4) bentuk-bentuk Vergesellschaftung. Pada bagian pertama, individualisme dilacak dalam berbagai pemikiran ideologis politis modern, dan dilepaskan dari liberalisme sebagai konsekuensi epistemis pada disiplin sosiologi. Individu menjadi suatu realitas par excellence melalui proses atomisasi dari totalitas kolektif. Kedua, pelacakan lebih jauh tentang individualisme dan liberalisme itu dengan bertolak pemikiran dari Kant, yaitu bahwa masyarakat didasarkan pada model antropologis tentang manusia sebagai makhluk ganda, sekaligus dijadikan konstruksi sosiologis yang mendasarkan pada ketegangan paradoksal dalam diri manusia. Ketiga, penolakan terhadap kondisi individu par excellence tersebut, dan juga masyarakat an sich yang tidak dapat dipertahankan secara epistemologis, bentuk yang melampauinya diproposisikan yaitu relasi-relasi di antara para individu di dalamnya. Keempat, melalui sosiologi Simmel memfokuskan pada relasi-relasi yang terjadi dan sehingga masyarakat terbentuk dari aktivitas sosiasi (Vergesselschaftung) yang terjadi.

Pokok permasalahan yang diangkat adalah bukan perkara nilai-nilai sosial belaka, namun lebih mendasar yaitu masyarakat yang tidak lagi dipandang sebagai suatu bentuk statis dalam suatu ikatan ruang dan waktu, namun Simmel menggugat hal ini karena ‘proses timbal balik’ yang dilupakan dalam hubungan antar individu. Efek ketersalingan yang menjadi dasar relasionisme tidak bisa dipandang sebagai suatu bentuk metafisis tunggal, akan tetapi kesatuan ini ditentukan oleh dinamika gerak berbagai komponen di dalamnya yang memberi efek-efek timbal balik (hal. 8). Dampaknya dalam hal ini, sosiologi tidak akan pernah mencapai titik absolutnya dalam netralitas dan objektivitas. Lebih lagi, individualisme maupun kolektivisme, organisme maupun mekanisme berkaitan dengan ‘tipifikasi’[i] para individu dan karenanya berkaitan pula dengan bentuk-bentuk penataan ruang, penataan struktural, pembagian kerja dan proses-proses ekonomi dalam sebuah masyarakat (hal. 9). Dalam hal ini, secara antropologis manusia adalah makhluk perbedaan, karena manusia tidak dapat secara total ‘dilarutkan di dalam bejana’ kelompoknya dan juga tidak dapat seluruhnya memisahkan diri atau ke luar dari kelompoknya, individualitas dan kolektivitas berhubungan secara dialektis. Kecenderungan sifat individualistis maupun kolektivistis adalah tidak lain adalah bentuk pengabaian salah satunya. Dalam kenyataanya manusia berada di dalam sekaligus di luar kelompoknya.

Masyarakat adalah relasi itu sendiri, masyarakat adalah suatu efek samping dari mekanisme relasi sosial yang kompleks, yang tidak lain adalah sosiasi. Bentuk-bentuk sosiasi itu terjadi dari berbagai kelindanan jejaring resiprokalitas interaksi antar manusia yang begitu kompleks dan tidak terbilang jumlahnya, baik dalam motif altruistik ataupun intensional. Hal ini menjadikan objek kajian sosiologis Simmel menjadi begitu lebar, yang tidak terpaku pada individu-individu elitis, namun juga apa yang disebutnya sebagai “masyarakat berdua”. Titik tolak analisis Simmel adalah hubungan itu sendiri, yang dalam semua analisisnya itu, hubungan resiprokal individualisasi dan kolektivisasi diandaikan dan juga dipaparkannya, sehingga objek kajian sosiologi Simmel berpokok pada bentuk-bentuk sosiasi, yang meliputi: (1) hubungan superordinasi dan subordinasi yang tidak bisa diisolasi satu sama lain karena keduanya menghasilkan efek timbal balik. (2) Individualisasi dan kolektivisasi, artinya individu selalu mereservasi suatu wilayah non-sosial dalam dirinya sehingga kebersamaannya dengan yang lain tidak ‘menghabisi’ dirinya. (3) Konflik (Streit), hal ini merupakan kesatuan dalam suatu pertentangannya, (harmoni—kontradiksi, Herakleitos; atau cinta—benci, Empedokles).

Sebuah gagasan kunci yang menarik dari proses memasyarakat alá Simmel adalah kritik terhadap konstruk dari masyarakat yang statis itu sendiri. Artinya, struktur konsepsi masyarakat yang tadinya menjadi suatu ketersituasian yang tidak terelakan dan sudah jadi, namun justru di mata Simmel hal ini seolah menjadi bisa ditawar, dan tergantung dari bagaimana caranya seorang individu terlibat dalam interaksi sosialnya. Kesadaran akan adanya paradoks-paradoks yang terjadi seketika manusia itu berinteraksi dengan manusia lainnya telah menganjurkan bahwa setiap individu harus berani selalu berada dalam tegangan-tegangan itu. Ketika manusia berada di dalam situasi tersebut, maka dengan sendirinya manusia menyadari bahwa dirinya adalah ‘makhluk perbedaan’, artinya sebagai individu, ia tidak akan pernah mau dan tidak akan bisa disamakan sepenuhnya dengan orang lain. Manusia selalu ingin sedikit berbeda dari yang lain, akan tetapi ia juga tidak ingin diisolasi dari sesamanya, atau dibedakan sepenuhnya dari manusia lainnya. Manusia dalam cara beradanya adalah sama sekaligus berbeda dari sesamanya.

Penjelasan ini bertolak dari liberalisme[ii] pada pemikiran Hobbes (1588-1679), yaitu secara konsekuensi apabila individu adalah elemen terakhir pembentuk totalitas, maka elemen-elemen ini tidak lebih dari mekanisme dari kelompok egois-egois yang bermasyarakat. Oleh karenanya, totalitas sosial tidak memiliki realitasnya sendiri, melainkan merupakan “tambahan” dari pikiran individu pada hubungan-hubungan atomistis yang tak pernah melampaui aku-kamu, yakni tak pernah menerima kekitaan sebagai sebuah realitas[iii]. Apabila hubungan semacam ini tidak pernah melampaui apapun mekanismenya, maka siapa pun yang rasional dapat membentuk masyarakat, bilamana masyarakat itu tersusun dari mekanisme-mekanisme keadilan belaka yang netral terhadap nilai-nilai kultural (hal. 4). Liberalisme ingin memperlihatkan bahwa rasa kekitaan itu sekunder; dan yang primer adalah mekanisme-mekanisme obyektif yang menata interaksi atom-atom sosial. Komuniter dianggap dapat menindas individu, maka masyarakat harus netral dari mereka, bahwa dalam Kant atau Hobbes, individu dimaknai sama yaitu mengesampingkan kolektivitas. Akan tetapi penjelasan dari liberalisme ini kemudian digugat oleh Simmel, secara epistemologis ia mempertanyakan suatu derajat yaitu: “seberapa individualkah seorang individu?” Hal ini lah yang kemudian ditolak Simmel dalam perkara gagasan atomisasi dan dibuktikannya bahwa individu adalah makhluk plural. Hal ini berarti seorang manusia tidak dapat didefinisikan secara pasti, karena menurut Simmel bahwa manusia bukanlah suatu kesatuan, melainkan jumlah dan produk keanekaragaman faktor yang darinya orang secara kualitatif maupun fungsional hanya dapat mengatakan tidak persis bahwa semua faktor itu mengarah kepada suatu kesatuan.

Refleksi aku – kalian dalam Kolektivisme
Dari manakah pluralitas seorang individu itu? Penjelasan Hardiman dalam hal ini adalah dengan meminjam gagasan pada fenomenologi Schutz, yaitu individu merupakan hasil tipifikasi, “individu” itu sendiri dikonstruksikan. Dalam hal ini, pengertian individu disini berbeda makna dengan individu dalam konteks liberalisme. Karena individu itu dikonstruksikan secara sosial, maka dengan sendirinya individu itu sudah berciri kolektif. Pemahaman penulis paling tidak seorang anak dalam sebuah keluarga batih paling tidak memiliki ciri dari interaksi diri dengan ibunya, dan yang lain ditambahkannya yaitu …dan ayahnya, …dan pengasuhnya, …dan tetangganya, …dan teman sebangku di kelasnya, …dan siapa saja yang dijumpainya sepanjang hidupnya. Dalam arti ini, individualisme tidak dapat dilepaskan dari masyarakat itu sendiri karena merupakan sebuah social value (hal. 7). Masyarakat bukanlah suatu substansi yang berdiri di luar individu-individu, namun individu yang plural ini memiliki efek ketersalingan di dalamnya, sehingga masyarakat sama dengan hasil efek timbal balik dari elemenya, yaitu individu. Efek ini oleh Simmel diandaikan dalam suatu ruang, yaitu dialektika jarak dan kedekatan. Individualisasi dan kolektivisasi dalam masyarakat merupakan hubungan yang mengarah pada sifat homeostatis atau memiliki ekuilbrium. Apa artinya ini? Di satu sisi, semakin para individu dalam sebuah kolektif mengambil distansi satu sama lain dan mengenali yang lain lebih sebagai individu daripada sebagai anggota kelompok, semakin kurang individuallah kolektif itu. Artinya, kolektif itu longgar dan berciri kosmopolitan. Di sisi lain, semakin para individu sampai pada taraf tertentu kehilangan distansi satu sama lain (atau belum terdiferensiasi oleh proses modernisasi) dan mengenali yang lain lebih sebagai anggota kelompok daripada sebagai individu, semakin individuallah kolektif itu. Dalam hal ini, kolektif itu masif, rapat dan berciri etnosentris dan eksklusif (hal. 8).

Ketika aku menganggap ia sama dengan aku, dan aku pun dianggap sama dengan dirinya, apakah lantas hal ini kemudian bahwa aku dianggap sama dengan kelompokku (stereotipifikasi)? Permasalahan awal dari dikotomi individualisme dan kolektivisme sebenarnya adalah suatu keterjebakan pada satu pilihan dari para individu. Dalam hemat penulis proses individuasi dan individualisasi adalah setara dengan proses kolektivisasi, artinya bahwa dalam suatu lingkup geografis tertentu, individu tidak dapat mengelak untuk mengalami proses individualisasi dan kolektivisasi, dan hal ini terjadi secara bersama-sama dalam suatu ruang. Namun, dalam kondisi mewaktu bahwa intensitas suatu terjadinya proses salah satunya telah menjadi suatu ‘keterjebakan’ atau kecenderungan tertentu. Untuk kasus di Indonesia, masalah keguyuban ini telah menimbulkan dampak atomisasi serius dalam masyarakat, seolah Indonesia ini terdiri dari atom-atom yang bukan individu namun dari kelompok. Kebebasan individu hanya terbatas pada suatu pilihannya untuk masuk ke dalam kelompok tertentu. Sederhananya, aku boleh dan bebas menikah dengan seseorang, asal prasyarat bahwa aku diterima oleh kelompok asali pasanganku (keluarga pihak perempuan/ laki-laki) sekaligus aku diperbolehkan untuk keluar dari kelompok asaliku (keluargaku), dan begitu pula berlaku di pasanganku. Kata kunci diterima disini adalah suatu hasil dari proses memasyarakat dengan mengabsorbsi nilai-nilai budaya pada kedua kelompok tersebut itu, sehingga kebebasan memilih merupakan suatu semacam ‘anugerah’ dari kelompok tertentu, yang sesungguhnya hanya suatu kebebasan semu di sesuatu yang kolektif. Semakin kolektif suatu kelompok, maka setiap anggota kelompok (individu) akan mengukur distansi seseorang ini sejauh/sedekat dengan nilai-nilai sosial yang ada. Keberhasilan suatu peleburan dua kelompok ini (akibat pernikahan misalnya) tergantung distansi nilai ini yang bisa ditransaksikan. Oleh karenanya, dalam suatu kelompok yang berciri kolektif maka yang terjadi tidak cukup hanya suatu proses tipifikasi antar individu, namun pada tahapan berikutnya menjadi sekaligus proses stereotipifikasi yang lebih rumit baik antar individu dengan individunya. Hal ini pun dirasa akan memiliki mekanisme yang sama bagi konteks lain dalam dinamika aku dan kalian (kelompok).

Secara rumusan metafisika permasalahan individualisme—kolektivisme tidak lebih dari permasalahan identitas seorang pribadi. Pertanyaan seperti “bagaimana caranya aku memahami dia?” dengan sendirinya telah memicu berbagai pendekatan untuk bisa menjelaskan (menerima) seorang subyek seutuhnya. Misalnya seorang individu bernama X yang berciri perempuan, muda, berasal dari suku jawa, introvert, independen, berpikir bebas, maka akan sering mendapatkan pertentangan dari orang lain di suatu lingkungan geografis tertentu. Pada awalnya X akan mudah ditipifikasi sebagai perempuan jawa, namun pada tahapan selanjutnya akan menuai masalah karena perempuan jawa akan di-stereotipifikasi-kan oleh ciri kelompok perempuan jawa pada umumnya. Konflik akan muncul ketika X tidak berperilaku sesuai dengan kelompok perempuan jawa pada umumnya. X pun akan mendapatkan penolakan dari kelompok yang merasa sebagai ‘jawa’. Individu-individu yang merasa jawa akan mau bergaul tetapi juga sekaligus berjarak dan penolakan bertahap dari kelompok akan memicu pemberontakan X. Ia akan diakui dan diterima sebagai kelompok jawa jika dan hanya jika ia rela ‘diasingkan dari dirinya sendiri’ untuk diubah menjadi serupa dengan perempuan jawa pada umumnya, yang bukan dirinya (jiwanya).

Mekanisme diatas pun juga tidak terbatas pada ruang, akan tetapi melekat dengan sejarah. Kembali dengan X diatas bagaimana kita mengenalinya secara personal, yaitu dengan membuktikan pengandaian berikut: jika X adalah seorang pribadi pada t1 dan Y adalah seorang pribadi pada t2, maka Y adalah orang yang sama dengan X jika dan hanya jika X dan Y memiliki kesamaan tubuh. Misalnya, seseorang dari pergaulan X semasa SMA akan sulit mengenali X jika dulunya X bertubuh gemuk sekali dan sekarang menjadi kurus sekali. Dalam hal ini cerita masa lalu (memory) akan membantu proses tipifikasi untuk mengenali X. Namun tidak selesai sampai disini, bahwa kesadaran seseorang pun juga mewaktu sejalan dengan lingkungan ia bermukimnya. Meskipun X berubah menjadi kurus sekali, sepanjang X masih memiliki otak yang sama (dimana ingatan tersimpan disana) maka X sama dengan Y. Lebih jauh lagi, jika diandaikan X pernah kecelakaan, ia pernah gila, mengalami trauma sehingga perilakunya berubah, mengalami hilang ingatan, dan badannya menjadi kurus sekali, apakah hal ini masih bisa dikenali sebagai X. Tentu saja bisa dengan pendekatan dualisme tubuh-jiwa. Pelacakan melalui berbagai pengakuan kolektif akan menyatakan X pada t1 adalah X yang sama dengan Y pada t2, sehingga rekognisi tersebut secara objektif bisa mengakui X melalui prasyarat pengalaman pada t. Jika X adalah seorang pribadi pada t1 dan Y adalah seorang pribadi pada t2, maka Y adalah seorang pribadi yang sama dengan X jika dan hanya jika (i) X dan Y memiliki ‘roh’ (jiwa/soul) yang sama, dan (ii) Y memiliki ingatan-ingatan pada t2 pada beberapa ingatan-ingatan yang dialami X pada t1. Artinya, bahwa proses identifikasi ini secara sosial akan mendahului proses tipifikasi, yang pada masyarakat kolektif akan berlangsung pula proses stereotipifikasi sebelum melanjutkan pada tipifikasi personal berikutnya. Namun penting diwaspadai di dalam kolektivisme ini, bahwa kenyataannya seseorang tidak akan pernah sama dengan diriku, begitupun aku tidak akan bisa pernah sama dengan orang lain. Namun aku sekaligus tidak bisa menghindari untuk ditentukan oleh orang lain, dan orang lain pun tidak bisa menghindar ditentukan oleh diriku itu. Seseorang tidak lebih pandai dari padaku, dan aku pun tidak lebih bodoh dari orang itu. Penghindaran atas klaim model perbandingan dalam rangka tipifikasi ini akan lebih mudah menerima seseorang sebagai pribadi secara personal. Meskipun ukuran kebenaran adalah diriku sendiri, akan tetapi kebenaran mutlak itu tidak akan pernah ada dalam proses bermasyarakat. Kita akan selalu berkelindan di dalam tegangan, lantas kebenaran mana kah yang ingin kita perjuangkan Ia sebagai pribadi, atau Ia sebagai anggota kelompok?



Daftar Bacaan


Caroll, J. W., & Markosian, N. (2010). An Introduction to Metaphysics. Cambridge: Cambridge University Press.
Damsar, & Indrayani. (2017). Pengantar Sosiologi Perkotaan. Jakarta: Kencana.
Hardiman, F. B. (2010). Georg Simmel dan Relasionisme Sebuah Tinjauan Filosofis Atas Hubungan Individu dan Masyarakat. Studia Philosophica et Theologica, 10(1), 1-19.
Phillips, B. S. (1990). Simmel, Individuality, and Fundamental Change. dalam M. Kaern, B. S. Phillip, & R. S. Cohen, Georg Simmel and Contemporary Sociology (pp. 259-281). Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.
Soekanto, S. (1982). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.




[i] Hardiman meminjam dari konsep fenomenologi sosial dari Alfred Schutz, yaitu individu itu adalah sebuah totalisasi lewat suatu konstruksi epistemis, Ia terdiri dari banyak elemen yang dikonstruksi oleh pikiran pengamat yang menjadi suatu kesatuan. Menurut Schutz bahwa konstruksi realitas ini tidak lain selain apa-apa yang dilakukan oleh kesadaran kita. Dunia sosial (Socialwelt) adalah hasil rekaan kesadaran yang kita kenakan pada obyek-obyek, sehingga obyek-obyek itu berhubungan satu dengan yang lain dan membentuk suatu tatanan tertentu.
[ii] Liberalisme barat disini secara ringkas dapat dipahami sebagai kebebasan individu untuk menentukan nasibnya sendiri, yaitu mencita-citakan masyarakat yang bebas bercirikan oleh kebebasan berpikir oleh individu.
[iii] Idee zur einer allgemeinen Geschichte in weltbürgerlicher Absicht teks ini terdapat di dalam Kant, I., (1974) Schriften zur Geschichtsphilosophie, Reclam, Stuttgart.

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)