Refleksi antara Rasio dan Iman: melawan keterkungkungan nalar dalam keyakinan membuta

Tergelitik rasa hati dengan membaca kicauan seorang mantan pemimpin redaksi majalah tempo dan juga budayawan di sosial medianya. Ya namanya juga pernah menjadi wartawan senior, ia tentu saja tahu caranya untuk menggoreng isu-isu. Ia mengunggah sebuah surat usulan suatu institusi pendidikan terkait dengan cara penerimaan mahasiswa baru (bisa dilihat disini: http://bit.ly/2hfESVG). Kurang lebih kicauan itu hanya meminta konfirmasi menyoal usulan suatu fakultas itu, yang konon fakultas itu merupakan tempat paling prestisius yaitu ia menyandang gelar sebagai fakultas cabang ilmu sosial terbaik yang dimiliki bangsa ini. Isi surat itu secara ringkas adalah pernyataan usulan kesanggupan institusi tersebut untuk memberikan dukungan penerimaan mahasiswa baru dengan cara seleksi melalui kemampuan calon mahasiswa yang dilihat dari kemampuan menghafal kitab suci atau seni membaca kitab suci. Dalam surat itu pun tidak dieksplisitisasi menunjuk agama tertentu. Terkait dengan hal ini, netizen pun serentak ramai dengan posisi pro dan kontra pada pembelaannya masing-masing, dan mereka pun aktif memberikan tanggapannya termasuk sumpah serapahnya. Tidak lama kemudian, pihak rektorat mengeluarkan pernyataan (press release) terkait penolakan usulan dari fakultas tersebut.

Flammarion engraving, Penggambaran seorang seniman akan dua dunia antara dunia manusia dan dunia transenden. Sumber gambar: https://en.wikipedia.org/wiki/Flammarion_engraving
Sinopsis fenomena diatas tentu saja juga membuat saya berefleksi lebih jauh tentang keyakinan saya, tentang kehidupan beragama yang saya jalani selama ini. Terbelesit berbagai macam pertanyaan yang menghinggapi benak saya, dan berbagai kecurigaan yang menggerakan saya untuk membuat paparan reflektif pada artikel ini. Banyak hal yang dapat ditanyakan dari fenomena itu, misalnya: Apa makna kejadian ini semua? Apakah ini sebuah maneuver politik Universitas ternama? Lantas untuk apa itu semua dilakukan oleh mereka, bahwa Universitas juga bisa saja dikuasai oleh sekelompok orang dengan ideologi tertentu? Mengapa harus dengan agama atau sesuatu yang ‘suci’ seseorang diberikan privilese untuk dapat menikmati pendidikan tinggi? Dimana posisi Universitas milik negara ini dalam perihal tata usahanya untuk mendistribusikan pengetahuan secara adil dan merata? Mengapa sesuatu yang pribadi (agama selalu berhubungan dengan keyakinan, penghayatan hidup, pengalaman batin seseorang, yang melingkupi secara menyeluruh eksistensinya) ini justru malah hendak dicampurkan dengan sesuatu yang rasional dan objektif?

Dalam hemat saya, isi surat itu sebetulnya dalam konteks negara pancasila yang mengakui adanya “ketuhanan yang esa” ini, sebetulnya argumen tersebut sah-sah saja, namun ketika disandingkan dengan tuntutan pluralisme hal ini menimbulkan polemik. Netizen pun mungkin merasa mendapat ancaman dari sesuatu yang implisit pada surat itu, yang tentu saja jika benar bisa menimbulkan keresahan bagi mereka. Fenomena diatas pun bisa dimaknai sebagai sesuatu yang berhubungan dengan aksi masa terkait dengan penolakan doktrin atau ideologi tertentu. Agama tidak terlepas dari memberikan inspirasi moralnya terhadap relasi manusia dengan sesamanya. Agama pun juga dapat dipandang memiliki doktrin dan ideologinya tersendiri. Fenomena diatas intinya adalah timbulnya konflik yang diwakili oleh netizen karena adanya kesenjangan antara dua ‘–isme’ yang berbeda dalam memaknai fenomena itu.

Hal tersebut tidak mengherankan apabila menilik kebelakang mengingat penolakan oleh ormas-ormas terkait diskusi buku oleh seorang tokoh moderat (baca disini: http://bit.ly/2m8KAO6) beberapa tahun silam di Universitas tersebut. Ada resistensi tertentu dari kelompok masyarakat terkait upaya komunikasi atas hal-hal yang dianggap suci. Politisisasi kegiatan berbau keagaamaan sebetulnya merujuk pada pengertian populisme. Apa arti populisme ini? Kata populisme berasal dari kata populus, yang dalam bahasa latin berarti rakyat. Namun ini harap dibedakan dengan kata demos yang berarti rakyat juga. Pengertian populus dalam arti ini lebih mengarah kepada massa yang tidak terbeda-bedakan atau terklasifikasi, atau lebih dekat dengan kerumunan orang[i]. Ketika populisme ini mengusung ‘agama’ atau lebih dikenal sebagai populisme kanan, maka hal ini akan berkaitan dengan rasa solidaritas umat yang merasa berdaulat bersama yang bentrok dengan hukum negara demokrasi—segala sesuatu yang menjadi kesepakatan bersama, sebagai tata laku hidup—sehingga hal ini tentu saja akan membelah kelompok dalam eksklusifitas keagamaannya, yaitu menjadi “kita—aku dan kelompok agamaku yang berdaulat” dengan “mereka—orang-orang yang non-agamaku atau liyan”.

Corak relasi yang terjadi dalam mekanisme populisme kanan ini adalah politik identitas[ii]. Ciri relasi semacam ini adalah adanya relasi yang saling menegasi antara “kita” dan “mereka”. Relasi ini bisa bermacam-macam, misalnya populer—berada dalam arus utama dengan non-populer—berada diluar arus utama (sub-budaya), mayoritas dengan minoritas, elitis dengan jelata, dan lain sebagainya. Adanya kelompok yang dinegasikan atau dikeluarkan (excluded) dari masyarakat umum ini dianggap mengganggu, tidak sejalan, berbeda, dan lebih jauh lagi dianggap merusak tatanan hidup yang dicita-citakan. Kelompok mayoritas menolak bahkan anti terhadap kemajemukan masyarakat yang memang sudah terberi. Bahkan upaya mereka "menyeruak muncul menyatakan ketidakpuasannya pada sistem politik yang ada, dan mendesakkan keinginannya dengan aksi jalanan dan gerilya media sosial." [iii]. 

Dalam hemat saya, reaksi netizen atas sesuatu yang implisit itu dapat kita pandang sebagai reaksi atas adanya potensi ketidakadilan di ruang publik. Hal ini terjadi karena mereka sudah mengandaikan lebih dahulu kondisi ideal Universitas plat merah itu mengusung pancasilaisme yang merupakan symbol rezim rasionalisme di tengah masyarakat. Artinya bagi siapa saja Warga Negara Indonesia yang mengafirmasi pancasila sebagai landasan hidup bersama berkesempatan dapat menikmati pendidikan tinggi di Universitas itu. Hal ini pun secara keras, suatu rasionalitas dipandang menjadi suatu puncak perayaan kemanusiaan, sehingga ruang untuk Tuhan sudah pasti diluar dari ranah ilmu pengetahuan. Manusia berdaulat atas rasionya sendiri tanpa adanya campur tangan Tuhan yang selalu merepotkan manusia dengan urusan-urusan moral dan penjelasan abstrak (mengapa ilmu pengetahuan harus terbebas dari Tuhan dan manusia harus mempertanggungjawabkan relasinya dengan Tuhan secara rasional, dengan kata lain adanya relasi antara iman dan rasionalitas akal budi akan dibahas nanti)[iv]. Pun secara moderat bahwa bobot ‘keagamaan’ sebaiknya tidak dicampuradukan dalam ruang yang seharusnya milik publik, karena pada hakikatnya pendidikan itu barang bebas, setiap insan manusia berhak menikmatinya seperti udara segar dan sinar matahari pagi. Pendidikan bukan milik gologan mayoritas berdaulat tertentu yang kemudian meminggirkan para minoritas sebagai liyan.

Universitas sebagai penyelenggaraan pendidikan, yang memiliki peran mendekatkan barang bebas kepada masyarakat maka universitas dapat dipandang sebagai institusi oleh publik, milik publik dan untuk publik. Artinya penyelenggaraan dan segala tata usahanya berada di ranah publik yang seharusnya mengusung kebebasan untuk diakses oleh siapapun sepanjang ia adalah warga negara yang sah. Akan tetapi bagaimana jika Agama masuk ke ranah Universitas sebagai alat seleksi masuk mahasiswa, padahal pancasila mengakui agama-agama yang berketuhanan yang esa? Dalam hal ini secara ideologi dapat dibenarkan, sejauh ada suatu keadilan dalam proses seleksi itu. Artinya seluruh agama dan aliran kepercayaan di Indonesia memiliki hak untuk mengikuti kesempatan seleksi itu dan secara konsekuen harus difasilitasi oleh Universitas itu dalam rangka penyelenggaraan seleksinya. Dalam konteks ini pun, pancasila berperan sejauh sila pertama itu tidak menghilangkan hakikat dari sila-sila lainnya. Sila pertama harus menimbang keempat sila lainnya yang berelasi langsung dengan moral warga negaranya. Jadi, sejauh apa pada praktiknya gagasan yang bersumber dari sila pertama tersebut dapat diselenggarakan secara benar tanpa mereduksi esensi sila-sila yang lain. Selain itu, meskipun warga negara di Indonesia beragama dan memiliki ketakwaan, dalam diri mereka juga tidak dipungkiri terdapat mentalitas modern yang mengedepankan rasionalitas dan lebih berpandangan sekuler.[v] Konsekuensinya, kelompok masyarakat yang berciri ini akan meminta agama sebaiknya berada di ruang privat, dan tidak seharusnya berada di ruang publik. Ruang publik adalah milik publik yaitu semua manusia yang berkesadaran dan berakal budi, ruang untuk iman adalah ruang milik pribadi[vi].

Bagaimana relasi agama dan ruang publik itu sendiri? Agama dan ruang publik sudah dibahas oleh Sunarko (2010) dengan mengemukakan pandangan Jürgen Habermas soal ini. Dalam hal mendamaikan iman dan rasio di dalam masyarakat diperlukan adanya sikap keterbukaan diantaranya. Tradisi religius juga memiliki inspirasinya sendiri dalam potensi semantik yang dimilikinya. Hal ini tidak tertutup pada posisi rasio modern sekular juga perlu menempuh proses belajar yang berujung pada prinsip berpikir (mengedepankan filsafat) pasca metafisika. Dalam arti ini, upaya ontologis sudah tidak dimungkinkan lagi untuk mempertanggungjawabkan “ada secara keseluruhan”, tetapi bukan berarti kita jatuh melulu pada paradigma naturalistik-sainstistik dan mereduksi pengetahuan hanya pada apa yang secara empiris dapat dibuktikan[vii]. Dalam hal ini, meskipun seseorang beragama tidak lantas terjebak dalam dualitas kronis yang seolah membawanya pada sifat-sifat berprikebadian ganda. Satu sisi, ia berperilaku yang dituntun oleh anjuran moral agamanya, di sisi lain ia berperilaku seolah dirinya adalah ateis. Apa maksudnya ini? Proses dialogis lebih mengedepankan rasio komunikatif dibandingkan rasio bertujuan, yaitu baik dari mereka yang beragama maupun yang tidak beragama dituntut kesediaanya untuk melepas berbagai atribut-atributnya (posisi egaliter/ kesetaraan pada konteks doktrin keagaamaan yang menyeluruh) demi menemukan posisi epistemisnya. Posisi epistemis ini penting karena berhadapan langsung dengan kenyataan kemajemukan pandangan hidup, otoritas ilmu pengetahuan sendiri, pengakuan terhadap prinsip bahwa yang terjadi di dunia politik adalah argumen-argumen yang sekular, atau tidak menerima segala bentuk populisme kanan[viii]. Dalam hal ini, universitas justru sebagai ruang bebas untuk bertemunya dialog antara iman dan rasio dengan mengedepankan asas keterbukaan. Meskipun dalam praktiknya iman melalui teologi dan rasio melalui filsafat berjalan sendiri-sendiri, akan tetapi upaya-upaya terjadinya diskursus melalui posisi-posisi epistemis tetap dapat dilakukan.

Bagaimana posisi agama dalam relasi antagonistik mayoritas dan minoritas ini? Relasi kuasa tidak terhindarkan dari relasi yang bersifat dialektis, yaitu dominasi dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas selalu terjadi. Secara spesifik pertanyaan tersebut mengarah terhadap relasi yang berujung dengan kekuasaan yang berlebihan, yang ditandai dengan sikap-sikap intoleran dan penuh dengan kekerasan. Haryatmoko (2014) mengemukakan bahwa faktanya agama memiliki dua rupa. Satu sisi agama mengajarkan sesuatu ajaran moral yang baik tempat penganutnya mendapatkan kedamaian, namun di sisi lain agama justru menjadikan alasan penganutnya untuk bertindak dengan jalan ‘kekerasan atas nama Tuhan’. Malahan, agama justru sering kali bukannya meniadakan atau meredam konflik namun justru malah memberikan landasan ideologis demi pembenaran-pembenaran simbolis. Mekanisme konflik yang berbuah irasionalitas pencampuradukan antara kepentingan pribadi dan kelompok dengan kehendak Tuhan pun menjadi tanda kurangnya atau bahkan tiadanya sikap kritis. Kehendak Tuhan yang datang melalui pewahyuan ditelan mentah-mentah tanpa adanya penafsiran, padahal perlu disadari antara wahyu, ajaran dan tindakan akan selalu ada jarak yang tidak terselami karena keterbatasan manusia itu sendiri.

Bentuk relasi dominasi paling keras adalah penolakan ada itu sendiri. Penolakan ini tidak hanya dalam bentu verbal tetapi yang paling parah adalah dalam bentuk melukai fisik, bahkan hingga menghilangkan nyawa “yang-liyan” itu. Pemaparan mekanisme relasi antagonistik di atas dipaparkan lebih lanjut karena adanya pemutlakan suatu kondisi ideal dalam dualitas plural lawan singular. Sejalan dengan ini, Veitch (2012) melihat adanya dua cara pandang dalam kelompok beragama bahwa kelompok dengan pandangan cenderung mengedepankan fundamentalisme akan melihat tidak adanya apa pun yang sama dengan kaum pluralis dan akan berkeingingan untuk menegasi kaum pluralis[ix]. Sedangkan, kaum pluralis akan senantiasa melihat kaum fundamentalis sebagai aktor sosial yang harus ada dalam mengembangkan pemikiran keagamaan. Namun demikian ia memperingatkan dalam praktik relasi sosial yang terjadi dominasi kaum fundamentalis ini cenderung menjadi aksi radikal demi menjaga keutuhan dan kesucian agama. Dalam hal ini, fakta adanya kelompok pluralis dan fundamentalis ini merupakan representasi dari keterbatasan manusia dalam menginterpretasi wahyu, sehingga terciptalah jurang pemahaman secara ideologis. Upaya kontribusi intelektual studi-studi keagamaan, adalah penting dalam hal-hal lain, terutama demi diupayakannya ada pengetahuan kritis terhadap proporsionalitas dari klaim-klaim agama yang superior[x].
 
Sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh Veitch di atas, ihwal itu selaras dalam pemikiran Haryatmoko, yang mengemukakan bahwa dalam agama sendiri ada tiga peran yang rentan dengan kekerasan. Hubungan antara agama dengan kekerasan dapat dipahami melalui peran agama sebagai kerangka penafsiran religius terhadap hubungan sosial (aspek ideologis), peran agama sebagai faktor identitas, dan ketiga agama sebagai faktor legitimasi etis hubungan sosial. Pertama, agama dalam peran ideologisnya mampu menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan relasi-relasi sosial. Dalam bentuk ini bahwa relasi kekuasaan rentan terjadi karena sifat ideologi yang mampu mengaburkan atau menyelubungi kepentingan-kepentingan dalam penafsiran dan pemaknaan. Artinya, dalam mekanisme ini tindakan ini agama memiliki peran sistem pembenaran dominasi. Kedua, agama memiliki peran pembentuk identitas secara sosial melalui stabilitas sosial, status, pandangan hidup, cara berpikir, dan etos tertentu. Dalam hal ini, agama berfungsi sebagai faktor perekat sosial dan sekaligus menjadi struktur simbolis dari ingatan kolektif pemeluknya, sehingga segala bentuk penghinaan agama akan bersinggungan dengan identitas pemeluknya, dan ini segera akan memicu konflik[xi]. Ketiga, agama dapat memberikan dukungan ada tatanan sosial (legitimasi). Identifikasi sistem sosial, politik, atau ekonomi tertentu dengan nilai-nilai agama tertentu akan memancing penolakan oleh agama lain, dan penolakan semacam ini menjadi rentan dengan kekerasan, karena semakin menjauhkan kesepakatan bersama dalam penentuan kriteria objektif tindakan. Apalagi kondisi sosial yang pada tatanannya cenderung hanya menekankan simbol-simbol kesucian bukan dari suatu penghayatan akan cenderung bersifat dangkal dan merendahkan martabat kelompok agama lain. Hal ini akan mudah menyulut konflik[xii].

Universitas sebagai lembaga milik negara yang mewakili publik, dalam hal ini harusnya menyadari adanya kerentanan-kerentanan konflik yang mampu ditimbulkan oleh agama di dalam ruang sosialnya. Artinya, upaya seleksi mahasiswa dengan ‘suatu agama tertentu’ pun sudah mereduksi subyek. Para mahasiswa yang akan diseleksi masuk bukanlah benda mati yang siap diproses melalui ban berjalan, atau perihalnya robot-robot yang diseleksi dan sehingga cukup kompatibel dengan program-program tertentu. Mahasiswa adalah subyek yang memiliki kehendak bebas dan termasuk bebas dalam memilih kepercayaan akan Tuhannya (ataupun mencoret Tuhan agar ia bebas) dan menjalankan suatu cara hidup sesuai dengan anjuran keagamaan tertentu. Mahasiswa merupakan manusia yang secara sosial juga memiliki kebebasan untuk membangun identitasnya melalui jalan-jalan eksistensialnya. Kebebasan mahasiswa ini diperlukan dirinya untuk mempertanggungjawabkan imannya secara nalar sehat[xiii]. Seleksi masuk bisa dipandang sebagai suatu tindakan pengkondisian sosial tertentu, sehingga dalam arti ini, seleksi masuk dengan menggunakan saringan bernuansa agama pantas dicurigai ada kepentingan para demagog dan populisme kanan. Seleksi masuk mahasiswa semacam ini justru di masa depan akan mencetak pribadi yang rentan konflik, karena ia berangkat dari suatu rasa bangga (disini: merujuk pada konsep hasrat thumos dari Platon) yang terbangun melalui tatanan sosial akan melegitimasi raison d’étre atas agama yang dianutnya itu menjadi fanatisme. Apalagi pengkondisian itu, akan menciptakan kondisi homogen tertentu yang justru akan menciptakan eksklusivisme pada institusi dan berikutnya akan memperparah fanatisme.

Mengapa demikian? Sejalan dengan pernyataan Hannah Arendt, yaitu “Kita tergoda untuk mengubah dan menyalahgunakan agama menjadi ideologi, dan menodai usaha yang telah kita perjuangkan melawan totalitarisme dengan suatu fanatisme. Padahal fanatisme adalah musuh besar kebebasan.”  Misalnya: seorang mahasiswa yang berhasil masuk dan diterima di Universitas tersebut akan memiliki rasa bangga akan keberhasilannya, ketika ia mengetahui keberhasilannya karena “kesalehannya” maka hal ini justru menimbulkan kerancuan. Tidak heran apabila mahasiswa itu kelak akan beralasan “Saya mengalahkan belasan ribu calon mahasiswa karena kesalehan dan ketakwaan saya. Tuhan berpihak pada saya karena saya pandai membaca dan menghafal kitab suci. Saya yakin Tuhan tidak berpihak pada orang kafir.” Andaikan saja ungkapan itu muncul di sosial medianya. Dalam pengertian sekuler, ungkapan mahasiswa ini bersifat abstrak dan tidak masuk diakal. Ungkapan metafisiko-religius itu pun muncul karena ia sudah terpengaruh agama yang dianutnya yang berubah menjadi ideologi dan menjadikan pribadinya yang fanatis. Lebih tepat apabila ia mengakui saja ketekunannya, usaha kerasnya, pertolongan dan dukungan orang tuanya, fasilitas belajar yang baik, IQ-nya yang tinggi, dan lain sebagainya. Jadi dalam hal ini, untuk menghindari adanya fanatisme, Universitas harus bijak dalam mengelola kemajemukan sosial yang ada, tidak secara sempit menafsirkan sila pertama pancasila, akan tetapi jauh lebih tepat bila mengambil posisi sekuler namun tetap memfasilitasi dan mengupayakan selalu terjadinya ruang dialog antar agama, untuk mempertahankan sifatnya yang publik itu[xiv]. Jelas bahwa fanatisme yang berlanjut pada fundamentalisme dan radikalisme akan merusak tatanan kemajemukan di ruang publik masyarakat Indonesia.

Bagaimana relasi agama dan ideologi sebagai sistem kultural? Dalam hal ini kita bisa berpegang pada argumentasi Geertz (1973), yaitu dalam sistem kultural religi dan ideologi dapat berelasi melalui sains (baca: akal budi). Masalah religi di dalam sistem kultural mesti diselesaikan dengan menganalisa dari aksi-aksi simbolis yang terjadi disandingkan dengan aksi-aksi sosial maupun psikologis. Melacak peran religi (disini: agama) baik secara psikologis maupun sosial tidak semata-mata mencari relasi antara tindakan-tindakan ritual keagamaan dengan jalinan sekular sosial tertentu. Akan tetapi hal ini lebih kepada masalah memahami bagaimana masyarakat itu mempercayai konsepsi atau kepercayaan yang secara implisit ‘secara nyata memang nyata’ dan bagaimana hal itu mempengaruhi keragaman nalar budi mereka, yang mempengaruhi atas segala alasannya yang masuk akal, praktiknya, sifat manusiawinya, dan juga moralnya. Sedangkan dalam hal ideologi, perlu ada pemisahan antara sains sebagai representasi dari nalar dengan ideologi, relasi ideologi sebagai sistem kultural adalah sebagai justifikasi, atau bersifat ‘apologetic’ atau pemakluman dari sesuatu, yang di dalam suatu sistem kultural hal itu secara aktif memberikan perhatian terhadap upaya-upaya memapankan sesuatu (establishment) dan pertahanan terhadap pola-pola atas kepercayaan dan nilai. Akan tetapi, bukan berarti ideologi dan religi tidak terjamah oleh sains dalam hal ini. Sains dalam sistem kultural adalah suatu alat diagnosa, ilmu kritis, dan dimensi dari budaya itu sendiri. Meskipun ideologi, religi, dan sains merupakan ranah yang berbeda, sains dalam religi membantu mengeksplisitisasi dari yang emplisit sehingga membantu pemahaman, dan begitu pula sains dalam ideologi dapat membantu memahami (apa, bagaimana cara kerjanya, dan apa-apa saja yang ditimbulkannya), dan dapat membangun kritik yang mampu memaksa ideologi menjadi lebih realistis. Dalam sistem kultural, sains dapat meredam proses-proses yang mengarah pada kondisi semakin ekstrim, baik yang terjadi pada religi dan ideologi.

Argumentasi Geertz di atas jelas memposisikan akal budi harus mendahului dan sekaligus melampaui ideologi, bukan sebaliknya. Agama ketika menjadi ideologi memiliki kemampuan dalam menjelaskan realitas. Ketika proses-proses ekstrim terjadi maka produksi-produksi makna yang ada dalam relasi sosial juga serta merta menjadi kontras. Kehadiran Tuhan dalam suatu agama memberikan tuntunan-tuntunan moral tertentu dalam menentukan benar dan salahnya dalam relasi-relasi sosial. Dalam hal ini manusia dengan kemanusiaannya harus lebih tinggi posisinya dibandingkan dengan ideologi agama. Hal ini untuk menghindari seorang individu menjadi terlalu ekstrim dalam memandang sesuatu. Kondisi ektrim tidak berbeda halnya dengan pandangan radikal. Justru pandangan-pandangan ini mengarahkan beriman tanpa nalar justru menjebak seseorang itu pada tindakan-tindakan yang irasional, dan nalar tanpa iman justru membuat seseorang itu kehilangan inspirasi dari sesuatu yang transenden. Memposisikan ideologi agama di bawah kemanusiaan tidak mengingkari adanya Tuhan, justru malah memposisikan Tuhan sebagai inspirasi kemanusiaan yang universal, bukan sesuatu yang tidak terjangkau oleh manusia, namun justru semakin dekat karena kemanusiaan itu sendiri dipercaya merupakan hasil dari wahyu dari sesuatu yang transenden. Jadi, sikap-sikap seperti fanatisme, fundamentalisme, ekstrimisme, radikalisme, totaliterisme atas religi justru mengingkari kemanusiaan itu sendiri yang bersifat universal. Tafsir sempit akibat relativisme budaya dapat diatasi dengan sains. Meskipun ranah religi dan sains berjalan sendiri-sendiri, sains dapat memberikan interpretasi-interpretasi baru terhadap posisi epistemis yang diupayakan tersebut di atas pada dialog antar agama.

Bagaimana relasi agama dan ideologi dalam bingkai pluralisme? Fakta bahwa agama berkembang dalam sejarah menimbulkan suatu kebenaran yang relatif terhadap konteks budaya setempat. Artinya pemaknaan kejadian yang tertuang dalam kitab suci kita tidak bijak apabila menutup mata menelan inspirasi peristiwa yang terjadi di budaya tertentu dan dipaksakan untuk dicangkokkan dalam cara hidup kita. Relativisme budaya ini juga mengandung kebenaran, tetapi sikap relativisme tidak juga dibenarkan dalam melihat kemajemukan kebenaran yang ada. Mengapa suatu realitas kita anggap benar, dan memang benar tergantung dari posisi epistemis masing-masing individu. Artinya, tingkat intelektualitas ikut berperan dalam keputusan kita untuk meyakini suatu kebenaran tertentu. Namun perihal agama ini menjadi cukup sulit apabila hendak diapropriasi karena masalah kebenaran agama tidak seperti halnya kita meyakini “suatu kebenaran rasa asam dan manisnya buah apel”, tetapi ini menyangkut penghayatan yang sifatnya sangat pribadi dan berangkat dari dalam individu itu sendiri. Dalam hal ini objektivisme terhadap pernyataan kolektif tentang Tuhan pun secara niscaya harus diragukan juga, artinya bahwa kesaksian masyarakat banyak tentang adanya Tuhan bukan berarti Tuhan secara realitas itu ‘ada’, namun penolakan terhadap Tuhan dalam bingkai atheisme pun juga tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Artinya ada dan tidak adanya Tuhan adalah murni masalah seorang individu, tidak masuk akal apabila hal ini diobjektivisasikan. Artinya, pandangan bahwa mayoritas kelompok memandang bahwa Tuhan menurut agama A yang benar, bukan berarti pandangan minoritas terhadap Tuhan melalui agama B menjadi keliru.

Tentu saja dari dua hal diatas bahwa relativisme budaya dan objektivisme mengandung sikap yang tidak bisa menerima kebenaran yang lain. Relativisme dengan sendirinya sudah menolak kebenaran ada yang lain, karena memutlakan posisi kebenarannya sendiri, dan sehingga sikap seperti ini secara niscaya tidak akan bisa membina suatu relasi sosial[xv]. Sikap yang perlu dikembangkan adalah pluralisme. Sikap ini justru merelatifkan keyakinan mutlaknya sendiri demi mengakui posisi kebenaran dari keyakinan orang lain. Akan tetapi sikap ini bukan berarti kita kehilangan apa yang kita yakini, akan tetapi kita tetap yakin dengan kebenaran kita itu, seraya kita juga memberikan orang lain untuk mengungkapkan kebenarannya. Sebagai contoh: Si A beragama X suka menikmati daging kucing karena tidak ada pantangan dari agamanya, sedangkan B beragama Y, tidak diperbolehkan oleh agamanya untuk makan daging kucing. Maka jika si A mengedepankan sikap pluralis, maka ia akan meminta maaf sebagai bentuk toleransi karena ia berempati bagi si B yang ketika itu menyaksikan realitas si A yang berada dihadapannya makan daging kucing akan bentrok dengan keyakinannya dari ajaran agamanya itu. Maka dalam hal ini si A tetap yakin bahwa tidak ada yang salah ketika ia memakan daging kucing, akan tetapi sekaligus si A ini mengakui bahwa pandangan B bahwa tindakannya itu keliru juga diakui. Tentu saja sikap pluralis dapat menghindari konflik akibat perbedaan ideologis semacam ini. Contoh lain, suatu ketika orang tua si A meninggal dunia, dahulu orang tua A beragama X, namun sudah sejak lama bahwa salah satu orang tua A itu meninggalkan keyakinan dari agama X yaitu sepeninggal suaminya, dan kemudian menekuni agama Y. Saudara-saudarinya A cukup majemuk dalam beragama, sebagian masih berkeyakinan X, sebagian lagi berkeyakinan Y, dan beberapa darinya mengikuti aliran kepercayaan. Bagaimana penyelesaian upacara pemakaman untuk orang tua si A ini? Pandangan pluralisme akan mampu menyelesaikan masalah orang tua si A ini tanpa konflik. Pandangan pluralis dalam agama akan mampu melihat dan meyakini bahwa arwah dari orang tua si A akan tetap diterima di sisi Tuhan dengan tenang, meskipun ia sudah murtad dari agama X dan mengikuti aliran Y. Upacara pemakaman atas orang tua A itu juga tidak akan menjadi masalah apakah mengikuti tradisi ajaran agama X atau Y, karena pandangan pluralis akan sanggup merangkul (baca: terkandung sikap inklusif) salah satu ajaran. Keluarga si A yang pluralis pastinya akan membuat dua jenis upacara untuk memfasilitasi hal itu dan menjauhi logika berpikir hitam putih, antara X atau Y manakah yang benar[xvi].



           
Universitas dalam sistem budaya adalah simbol rezim rasionalitas, karena memang pada hakikatnya lembaga pendidikan tinggi menguasai segala bentuk epistemologi dalam sains. Sudah tentu bahwa perkembangan akal budi manusia ada disini. Hal ini sudah ada semenjak zaman helenisme di Yunani dengan Akademianya Platon. Saat itu pun Platon sudah mengkritik konsep dewa-dewi yunani yang terlalu antrophomorphis. Tradisi berpikir antara sains (filsafat) dan iman (teologi) menjadi wacana sepanjang abad pertengahan hingga puncaknya pada pemikiran Yohanes Duns Scotus (ca. 1266-1308) dan William dari Ockham (1287-1347). Mereka ini ibarat jembatan pemikiran antara via antiqua dan via moderna, dan Ockham lah kemudian memutus jembatan penghubung antara filsafat dan teologi. Mereka berdua adalah anggota dari tarekat Fransiskan yang kemudian dianggap disersi karena filsafatnya yang bertentangan dengan konsepsi Tuhan kala itu. Jalan perpisahan antara iman dengan sains dibatasi oleh Ockham dengan argumentasi bahwa tidak masuk akal pengetahuan ilmiah dihasilkan dari iman. Simpulan itu terungkap dalam analisisnya tentang kemungkinan teologi kodrati berikut ini (Feddroso dalam Spade, 1999):

As for the claim that there are two kinds of science, one of which proceeds from principles that are known per se by the light of a higher science, I reply that even though this is true of a subordinate science, still, no given individual ever has evident knowledge of the relevant conclusions unless he knows them either through experience or through premises that he has evident cognition of. Hence, it is absurd to claim that I have scientific knowledge with ´respect to this or that conclusion by reason of the fact that you know principles which I accept on faith because you tell them to me. And, in the same way, it is silly to claim that I have scientific knowledge of the conclusions of theology by reason of the fact that God knows principles which I accept on faith because he reveals them.

Adalah tidak mungkin suatu konklusi dari argumentasi adalah tidak sahih apabila premis-premisnya sahih. Permasalahan yang terungkap dari argumentasi Ockham diatas membuktikan apapun argumentasi yang premisnya berangkat dari argumentasi tentang Tuhan adalah tidak bisa diterima oleh akal. Atas dasar argumentasi inilah anda dapat berefleksi sendiri apakah suatu Universitas yang memproduksi ilmu pengetahuan yang segala premis-premisnya didasarkan atau berasal pada sesuatu hal yang hanya bisa di buktikan secara kemungkinan transenden, dalam hal ini masih memiliki kesahihan ilmiah? Oleh karenanya bentuk ketuhanan apapun harus dilepaskan dari sains, tetapi melalui jalan sains kita dapat dibantu untuk semakin beragama secara sehat nalar.

Akhirul kata, meskipun baru usulan mengenai adanya seleksi mahasiswa dengan kemampuan membaca kitab suci, dan ihwal ini pun sejalan dengan sila pertama pancasila, akan tetapi dalam pertimbangan logis wacana tersebut tidak bisa diterima. Sejauh tidak ada faktor politis lain dan sikap main aman, penolakan usulan dari rektorat akan hal itu bisa dipandang bahwa universitas negeri tersebut memilih posisi sekuler dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di negeri ini. Relasi iman dan akal budi itu diakui secara masing-masing perannya, bukan dicampuradukan. Seleksi mahasiswa melalui gagasan dari bentuk agama tertentu bisa memberikan dampak positif tetapi akan menciderai hakikat universitas itu sendiri. Seleksi mahasiswa dengan cara itu seolah tampak benar, akan tetapi kemungkinan dampak yang akan ditimbulkannya akan berpotensi menciptakan karakter generasi penerus bangsa yang anti kemajemukan. Seleksi mahasiswa sebaiknya tetap memprioritaskan kemampuan kognitifnya alih-alih dengan moral keagamaan. Akan tetapi peningkatan moral keagamaan bisa difasilitasi oleh universitas negeri dalam domain terpisah yang berada di ruang privat mahasiswa itu sendiri. Oleh karenanya, universitas negeri bertanggung jawab atas kemajuan kebudayaan suatu bangsa. Dalam hemat saya, sebaiknya universitas negeri bersikap netral dalam hal ini namun tetap mengedepankan sikap inklusif, yaitu memfasilitasi dan mendukung upaya dialog-dialog antar agama. Posisi epistemis pemeluk agama berangkat dari diskusi-diskusi yang terjadi di Universitas sebagai tanggung jawab imannya terhadap nalarnya, bukannya justru memerangkapkan mereka di dalam gagasan-gagasan berketuhanan yang malah cenderung menjadi sesat pikir dan takhayul di era pasca modern ini (lihat wawancara Richard Dawkins disini: http://bit.ly/2zA2VsD). Sikap toleransi dan menghindari segala absolutisme nilai seperti ekstrimisme, fanatisme, fundamentalisme, radikalisme, dan totaliterisme harusnya berangkat dari Universitas sebagai garda depan rasionalitas bangsa. Tuhan bekerja dalam ketenangan batin terdalam setiap insan yang percaya, bukan menjadi salah satu variabel di dalam rumus-rumus ilmiah. Tuhan yang hadir secara misterius dalam batin umat-Nya, akan membebaskan manusia itu dari segala kecemasan dan ketakutan, agar manusia senantiasa dapat bebas berpikir logis dalam menghadapi realitas.  



[i] Bdk. Hardiman (2017) hal. 2
[ii] Ibid.
[iii] Bdk. Wibowo (2017) hal. 1-2
[iv] Pemikiran antara relasi Iman dan akal budi adalah tema filsafat abad pertengahan, perjalanan pemikiran ini tidak sedikit pula yang menuai pertumpahan darah (bdk. Armstrong, 1993). Semenjak William dari Ockham maka dengan pisau cukurnya telah memangkas habis gagasan-gagasan ketuhanan yang menyelundup di filsafat sebagai representasi dari rasionalitas dalam rangka menjelaskan realitas.
[v] Zaman modern secara historis dimulai oleh abad fajar budi (Renaissance—abad  ke-17 dan abad ke-18) ketika paradigma abad pertengahan mulai tergantikan dengan pandangan bahwa manusia diakui sebagai manusia secara utuh, dan hal ini membawa pada konsekuensi segala rasionalitas, sekularitas, kepercayaan akan kemajuan melalui usaha manusia, dan paham akan martabat manusia mewarnai gagasan-gagasan yang lahir di era ini yang sejujurnya telah mengendurkan kekuasaan Tuhan atas manusia (bdk. A. Sunarko, 2016 hal. 115).
[vi] Upaya sekularisasi dari negara pun ditempuh secara keras di Turki dalam pemerintahan Mustafa Kemal (1881-1938) yang kemudian dikenal sebagai Kemal Atatürk. Hal ini menyambut motif ketertinggalan dengan negara-negara Barat, yang menuduh agama sebagai pengekang kemajuan budaya. Ia mengubah negerinya seperti negara-negara Barat, yaitu menjadikan agama benar-benar urusan privat. Tarekat sufi dilarang, sekolah madrasah ditutup dan pendidikan ulama dihentikan. Kebijakan ini pun juga melarang penggunaan atribut-atribut keagamaan di ruang publik (lih. Armstrong, 1993, hal. 532).
[vii] Sunarko (2010) hal. 238
[viii] Id hal. 235-236
[ix] Pandangan kaum fundamentalis ini ikut mengusung pandangan totaliter Platon, yang menganggap satu-satunya (singular) kebenaran adalah dunia ideal, yang kemudian dalam sejarah-sejarah agama pemikiran Yunani ini oleh Plotinos disusupkan dalam filsafat Aristoteles dan menyebar dalam filsafat agama dari Yahudi hingga Islam, bahwa yang satu ini adalah Tuhan (bdk. Armstrong, 1993).
[x] Dalam hal ini, argumentasi Veitch disanggah oleh Azra (2012) dan Bagir (2012). Azra (2012) mengingatkan bahwa fenomena radikalisme keagamaan merupakan fenomena yang kompleks dan banyak aspek yang harus diikutsertakan dalam analisanya. Azra (2012) tidak setuju dengan peristilahan “agama radikal” dan mencoba membedakan antara agama in se dengan penganut agama yang bertindak radikal. Sedangkan Bagir (2012) mengkritik dengan positif terhadap kehati-hatian Veitch dalam penggunaan definisi dan peristilahan terkait dengan Islam. Ia mengusulkan beberapa solusi terutama mengakar dari pelurusan berbagai peristilahan dan konsep yang masih kabur pada studi-studi terkait agama dan pentingnya diupayakan studi-studi tentang agama melalui saluran-saluran yang tersedia. Dalam hemat saya, posisi Azra tersebut menyanggah tudingan Veitch terkait agama radikal masih mengandung unsur pemutlakan, bahwa argumentasi Azra tidak bisa melepaskan diri dari ideologi agama itu sendiri. Wahyu, agama dan penganutnya merupakan elemen terpisah namun dalam kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga istilah “agama radikal” dalam konteks jaman sekarang sudah tepat, karena produksi makna wahyu melalui proses sejarah dan sehingga agama in se dalam konteks budaya bisa memberikan doktrin karena kitab suci secara tekstual dapat ditafsir oleh pemeluknya menjadi sesuatu tuntunan perilaku yang bersifat eksistensial yang mengarah pada radikalisme. Faktor-faktor lain yang menyebabkan multidimensinya suatu radikalisme, justru mengaburkan dari masalah sesungguhnya yang sebetulnya bersifat tekstual itu.  
[xi] Sebagai contoh kasus konflik sosial berisu agama yang ditimbulkan oleh ceramah Ahok di Kepulauan Seribu waktu itu (lihat disini: http://bit.ly/2AtmrnT) dapat dilihat sebagai bentuk konflik akibat menyinggung identitas kelompok pemeluk agama. 
[xii] Bdk. Haryatmoko (2014) hal. 71-73
[xiii] Bdk. Magnis-Suseno (2006b)
[xiv] Bahwa posisi perguruan tinggi adalah ruang untuk mencerdaskan nalar mahasiswa, bukan iman. Pendidikan terkait agama apabila memang masih dianggap tepat diberikan harus menekankan kecerdasan, keluasan wawasan, dan pertanggungjawaban intelektual. Posisi pendidikan agama di perguruan tinggi adalah menciptakan mahasiswa memiliki nalar kritis terkait dengan klaim absolut dari agamanya (lihat: Magnis-Suseno, 2006, hal. 292).
[xv] Lih. Magnis-Suseno (2006) hal. 350
[xvi] Dalam hemat penulis, upacara doa arwah dari agama tertentu merupakan instrumen sosial dan psikologis saja sebagai bentuk sakralisasi dari relasi sosial yang sudah terbentuk sebelumnya (dalam pandangan Durkheim), harus diakui bahwa upacara tersebut berfungsi sejauh memberikan ketenangan, penghiburan batin dan ketabahan bagi orang-orang yang ditinggalkannya. Upacara tersebut merupakan bagian dari kebudayaan, yakni tindakan kemanusiaan yang percaya adanya Tuhan. Arwah orang yang ditinggalkan hanya paling mungkin kita yakini secara nalar (disini: ideologi yang mempengaruhi nalar) sudah diterima di sisi sang Khalik. Akan tetapi, tetap harus kita akui bahwa realitas arwah itu ada dimana dan kemananya kita tidak bisa mengetahuinya secara nalar pasti (baca: memutlakannya).

Daftar Bacaan

Armstrong, Karen. 1993. Sejarah Tuhan: Kisah 4000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-agama Manusia. Dialihbahasakan oleh Zaimul Am. Bandung: Mizan.
Azra, Azyumardi. 2012. “Kekerasan dan Terorisme Terkait Agama: tanggapan atas James Veitch.” Dalam Mengelola Keragaman di Indonesia: agama dan isu-isu globalisasi, kekerasan, gender, dan bencana di Indonesia, oleh Bernard Adeney-Risakotta, 207-216. Bandung: Penerbit Mizan.
Bagir, Haidar. 2012. “Kekerasan dan Terorisme Bernuansa Agama: tanggapan atas James Veitch.” Dalam Mengelola Keragaman di Indonesia: agama dan isu-isu globalisasi, kekerasan, gender, dan bencana di Indonesia, oleh Bernard Adeney-Risakotta, 217-221. Bandung: Penerbit Mizan.
Freddoso, Alfred J. 1999. “Ockham on Faith and Reason.” Dalam The Cambridge Companion to Ockham, oleh Paul Vincent Spade, 326-349. Cambridge: Cambridge University Press.
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures: selected essays. New York: Basic Books, Inc.
Hardiman, F. Budi. 2017. "Populisme Kanan dalam Negara Hukum Demokrasi." Seminar Dies Natalis STF Driyarkara ke-48.
Haryatmoko. 2014. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Magnis-Suseno, Franz. 2006. Berebut Jiwa Bangsa: dialog perdamaian, dan persaudaraan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
—. 2006b. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Sunarko, Adrianus. 2010. “Ruang Publik dan Agama menurut Habermas.” Dalam Ruang Publik: Melacak "Partisipasi Demokratis" dari Polis sampai Cyberspace, oleh F. Budi Hardiman, 219-240. Yogyakarta: Kanisius.
Sunarko, Adrianus. 2016. “Sosok Agama Modern Menurut Franz Magnis-Suseno.” Dalam Franz Magnis-Suseno: Sosok dan Pemikirannya, oleh F. Budi Hardiman, 114-139. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Veitch, James. 2012. “Pluralisme dan Keragaman di Era Radikalisme Keagamaan.” Dalam Mengelola Keragaman di Indonesia: agama dan isu-isu globalisasi, kekerasan, gender, dan bencana di Indonesia, oleh Bernard Adeney-Risakotta, 177-206. Bandung: Penerbit Mizan.
Wibowo, A. Setyo. 2017. "Populisme di Tangan Kaum Demagog." Seminar Dies Natalis ke-48 STF Driyarkara.

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)