Αμβροσία

Tepat di tanggal 01 Februari 2018 kemarin, berjalan enam tahun sepuluh hari semenjak Kundi Amerta, Blog ini terus merekam berbagai jejak-jejak pemikiran. Tidak disangka ternyata pengunjung blog ini mencapai 33180 dengan rata-rata 5-20 kunjungan per hari, dengan komposisi pengunjung paling banyak dari Indonesia yaitu sebesar 73.73% (untuk lengkapnya dapat memperhatikan gambar peraga 1). Dalam hal ini, untuk artikel yang paling diminati adalah Membuat Telaah Kritis bagian Kedua. Melalui data tersebut, dengan tidak mempertimbangkan adanya keterlibatan hacker maupun botnet, artinya porsi terbesar audiens dari blog ini sudah tepat sasaran yaitu para warganet Indonesia yang membutuhkan informasi terkait dengan tema-tema kuliah penelitian bagian pengantar. Tema-tema ini adalah hal-hal metodologis yang mengupayakan sikap kritis peneliti. Hal ini penting bagi kami untuk terus berkarya menyebarluaskan ilmu pengetahuan, mengingat bahwa ketimpangan ekonomi dan jurang literasi masyarakat Indonesia yang luar biasa parah di tengah Revolusi Industri IV ini.

Stonehenge difoto dari udara, sumber gambar: www.english-heritage.org.uk

Grafik 1. Komposisi pengunjung blog pillarsofthemind.

Semenjak kundi amerta dibuka, bahwa upaya pembatasan dan pemisahan dua dunia jelas masih tampak, namun justru dewasa ini batas-batas antara teks-teks yang maya dan nyata itu semakin kabur. Apakah ini yang dimaksud sebagai zaman era hyper-reality? Apakah ini merupakan tanda-tanda segala sesuatu yang ada hanya merupakan simulacra? Masalah teks dan literasi adalah masalah personal zaman milenial ini. Blog sesuatu yang usang dan mulai tertinggal, namun justru melalui blog ini berbagai peningkatan literasi dapat ditingkatkan. Apalagi masyarakat Indonesia yang kini menjadi bagian dari warga net dulunya adalah kaum-kaum yang ‘kurang daya literasinya’, ada suatu budaya yang dilompati, yaitu dari budaya ‘tutur’ tiba-tiba dipaksa untuk hidup pada budaya digital, bahkan saat ini pun dunia sudah memasuki budaya robotic. Tanpa adanya transisi melalui budaya literasi, maka ada proses berpikir yang belum terbentuk, apalagi terasah dengan baik. Suatu kesulitan era millenial ini adalah terputusnya daya-daya arkeologis dan genealogis atas suatu pencarian kebenaran. Apa yang tampak melintas di linimasa layar gawai pintarnya secara cepat-cepat dapat menangkap derasnya sekuens informasi-informasi dalam rupa aforisme. Mekanisme pembanalan melalui perilaku baca yang serba instant dan tuturan spontan—kebiasaan mensortir berdasarkan jargon-jargon headline yang menarik yang disuguhkan melalui berbagai algoritma perangkat social media, berbeda dengan perilaku membaca di perpustakaan yang mengedepankan penjelajahan dan eksplorasi, pencatatan dan mensintesakan. Literasi yang kian terpangkas dengan adanya pengalaman-pengalaman berselancar baru, yaitu dengan antarmuka-antarmuka tautan yang semakin sederhana, lugas, dan selalu dalam rancangan sekuensnya menghilangkan kesan laman ‘surat kabar’. Hal ini semakin membuat seorang individu kehilangan daya-daya selam ke dalam palung logos, bahwa sesuatu yang tersaji semakin dicekoki, hanya sedikit sekali ruang untuk menimbang, memilah dan bahkan memilih.

Blog ini berangkat dari cogito ergo sum sebagai semangat awalnya. Upaya-upaya kami untuk menyelesaikan perkara eksistensi kami sendiri ditengah gerusan berbagai tuntutan zaman. Ada sebuah kesangsian-kesangsian atas segala sesuatu yang merupakan semangat Cartesian pada mulanya. Hal ini berarti seturut dengan Decartes, kami hendak melontarkan perkara-perkara metafisis untuk menemukan sebuah fundamen yang pasti, yaitu suatu titik yang tidak tergoyahkan seperti aksioma matematik[i]. Ketika masing-masing dari kami menulis pada blog ini tidak disangsikan lagi, bahwa kami memang benar-benar ada, karena ada proses penyangsian, yang itu adalah proses berpikir kami. Titik tolak kesadaran diri (cogito) ini menjadi dinding laut untuk membendung daya abrasi ombak dari samudra informasi yang begitu merusak sendi-sendi logika. Masalah di dunia maya ini adalah karena keroposnya daya kritis sosial, setiap orang berlomba-lomba untuk selfie dan mengunggahnya di social media demi mendapatkan follower yang banyak dan segera dapat menambang keuntungan dari perannya sebagai endorser produk-produk tertentu. Padahal untuk membuat materi unggahan yang tidak membosankan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tiket ke luar negeri, tempat wisata yang mempesona yang setidaknya apik ketika di dalam lensa, baju mahal dengan brand-brand terkenal, dan lain sebagainya. Mereka ini bergerak secara ikut-ikutan (mimesis) tanpa menyangsikannya apa esensi dari hal ihwal itu semua.

Memang tak dapat dipungkiri bahwa landasan awal blog ini adalah rasionalisme. Tulisan-tulisan argumentative yang begitu menyerang, tutorial-tutorial yang begitu kering, dan logika-logika yang dibangunnya begitu keras. Ketika kesadaran kami dihadapkan pada suatu pertanyaan ‘untuk apa ini semua?’ Hal ini tidak serta merta mudah dijawab dengan hanya sebagai catatan segala proses belajar yang secara akumulatif dilakukan. Memang blog ini adalah artefak dari proses kemenjadian kami, namun penting bagi kami untuk melihat segala sesuati ini dalam perspektif keabadian. Hal ini menjadikan sub specie aeternitatis sebagai semangat kebebasan berpikir kami sebagai lanjutan dari ergo cogitans. Bagi kami kebebasan adalah sebuah kondisi ‘tidak disebabkan’, kami tidak dapat mengelak dari nafsu-nafsu kami sendiri, dalam hal ini kami tidak bebas, karena segala tindakan kami disebabkan oleh hasrat kami sendiri. Emosi yang mencakup rasa senang dan sakit ini mengandaikan bahwa segala sesuatu datang dari luar diri kami. Dalam menulis ini kami menjadi mampu untuk memilah mana yang berada dari luar (pasif) dan mana yang murni berada dari dalam kami (aktif). Kepekaan dalam memilah apa-apa yang pasif menjadikannya sesuatu yang benar-benar aktif semakin bebas lah kami. Kebebasan berpikir ini menjadikan ciri adanya kesadaran akan hubungan sebab akibat. Kami sadar bahwa kegusaran kami atas diri kami dan dunia, dan sehingga kami berpikir dan bertindak atasnya adalah bukti kami membebaskan diri[ii]. Ajaran Spinoza ini penting bagi kami dalam menangkal pendangkalan belajar (mengasah kesadaran) sebagai dampak perilaku pasif yang dipaksa menerima berbagai macam informasi dan data-data sampah.

Grafik 2. Komposisi prosentase jumlah tamatan berdasarkan tingkat pendidikan di Indonesia tahun 1994 s.d. 2017, sumber: www.bps.go.id, diolah
Grafik 3. Komposisi prosentase tingkat tamatan angkatan kerja berdasarkan tingkat pendidikan di Indonesia hingga pemutakhiran bulan Agustus 2017, sumber: www.bps.go.id, diolah. 

Akan kemanakah kita? Kundi Amerta sudah terlanjur dibuka, dan air Αμβροσία (baca: Ambrosia) pun sudah dicicip. Dalam kenyataan data bahwa Blog itu sendiri telah kehilangan popularitasnya dibandingkan dengan cuitan twitter atau foto-foto selfie Instagram, namun Blog tetap memiliki kekuatan yang berbeda dengan social media. Ia adalah social media yang berjarak dan sekaligus mengisolasi diri. Kami menginginkan tidak hanya menjadi sekedar artefak, namun juga sebagai counter argument atas informasi-informasi palsu dan hoax yang mungkin berasal dari ketidakmemadai cara berpikir kami sendiri. Ini adalah upaya dini melawan kaum sofis baru, yang selalu bertindak untuk menutupi kebenaran dengan berbagai argumentasi dan logika bengkok. Ini pun upaya kami untuk menjembatani ketimpangan akibat minimnya budaya literasi yang sudah pasti kurang memiliki referensi-referensi logika. Dari gambar 2. menyuguhkan kita data indikator pendidikan yang semakin baik yaitu peningkatan lulusan SMP dan SMA dari tahun ke tahun. Namun jika kita berlanjut pada gambar 3. yaitu data silang tempat, bahwa hingga bulan Agustus 2017 tercatat pengenyam pendidikan tinggi di Indonesia adalah porsi yang cukup kecil (12% dari total keseluruhan penduduk Indonesia). Artinya sebaran lulusan pasca sarjana (Strata-2 dan Strata-3) ini masuk dalam porsi 9% dari lulusan Universitas, dan dari data ini termasuk mental-mental kaum sofis di dalamnya. Bukankah begitu 'mengerikan' ketika mereka sanggup 'minteri' lulusan SMP, SMA dan SMK yang komposisinya berjumlah 47%. Bahkan bila perlu menggunakan porsi sisanya sebagai attack dog mereka yang sulit bersaing secara ekonomi karena hanya/tidak lulus SD. Kaum Sofis ini bukan orang bodoh, mereka sudah berbudaya literasi, akan tetapi justru mereka inilah yang memiliki gelar-gelar mutakhir pendidikan tinggi berperilaku tidak beretika dan oportunis. Sibuk memelintir kata dan menutupi kebenaran baik di sosial media maupun media masa. Ketika kaum ini berbicara yang ada adalah orang-orang yang non-tamatan universitas hanya 'iya-iya' saja tanpa menanggapinya dengan sikap kritis, apalagi jika ditambah kaum ini juga menggunakan argumentasi ketuhanan dan keagamaan dan aksi politis kolektivisme komunitas. 

Kaum sofis ada karena rasionalitas mereka dikuasai oleh nafsu-nafsu perut kebawahnya saja. Hal ini individu yang secara sengaja memelintir kata, memainkan kenyataan-kenyataan di tengah ketidaktahuan masa, dengan motif-motif mendapatkan uang. Namun, bilamana kita tidak mengkritisi kaum sofis sama saja kita mendukung mereka untuk membodohi kita. Misalnya saja logika-logika ujaran "air hujan itu dari Tuhan, agar tidak banjir mintalah sama Tuhan untuk tidak menurunkan hujan" alih-alih untuk memperbaiki saluran irigasi, si pengujar ini tentu saja hanya ingin 'ngeles' mengaburkan masalah banjir yang menjadi tanggung jawabnya dengan melibatkan pihak ketiga yang bernama Tuhan. Hal ini adalah contoh kecil dari keseharian kita dari bentuk sophistry, atau minteri, atau akal-akalan. Dengan meneguk air ambrosia, semoga kami tidak terjebak dengan tipu-tipu dan sesat pikir atau bahkan menjadi salah satu dari kaum Sofis itu. Kami pun berharap semoga upaya kami ini, dalam keterlibatan mengembangkan kualitas hidup berkesadara secara multi disiplin ilmu semakin terjalin, bukan semakin menjauh dari diri kami sendiri namun sebagai perluasan jejaring rimpang rizoma ilmu pengetahuan kami sebagai penangkal keterjatuhan dalam jurang tak bermakna dan tak berdasar. Hal yang terpenting bagi kami, dengan tetap secara konsisten menulis dan bersikap kritis, kami ikut serta dalam pengungkapan kebenaran. Tidak hanya secara retorika saja, namun secara dialektika kami siap membongkar makna-makna yang disajikan kaum Sofis. Kesadaran literasi bagi kami lebih penting dari sekedar 'cuitan spontan sumbu pendek' atau foto-foto selfie narsistik.  

Akhirul kata, kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada siapa saja yang secara sengaja menyempatkan diri untuk mampir ke blog kami ini, baik dengan niat membaca atau pun hanya sekedar tersesat oleh hasil index mesin pencari. Mohon doakan kami agar kami selalu dapat memberikan informasi dengan benar dan yang mampu membawa keselamatan bagi semua pihak.





[i] Bdk. Hardiman 2011, hal. 33-34
[ii] Bdk. Hardiman 2011, hal. 43-45

Daftar Bacaan

Hardiman, F. Budi. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011.


Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)