Homo Digitalis (1): Sebuah tanggapan

Manusia dan dunia adalah masalah filsafat eksistensialisme, akan tetapi dengan kelahiran dunia baru, yaitu dunia digital, apakah lantas hal ini kemudian menjadikan membuka kembali persoalan eksistensialisme? Artikel ini adalah upaya refleksi penulis terkait dengan kesadaran akan tata dunia baru dengan kehadiran cyberspace ini. Dunia virtual ini sendiri lahir di era kapitalisme lanjut, sebagai bagian dari globalisasi. Era pertukaran informasi tanpa batas dan laju modernisasi yang melahirkan berbagai macam modus-modus baru pada manusia sebagai agen utama dalam kehidupan ini.

Revolusi Perancis yang menuntut pemisahan antara kekuasaan Agama dan kekuasaan Negara, Sumber gambar: historyjk.blogspot

Artikel ini sendiri berangkat dari tulisan Homo Digitalis karya F. Budi Hardiman yang terbit di harian Kompas pada hari Kamis tanggal 1 Maret 2018, yang berangkat dari keterlemparan dan kecemasan manusia sebagai Dasein. Manusia dan dunianya adalah suatu kondisi yang tidak terpisahkan, being-in-the-world adalah kemenyatuan mereka yang menjadikan mereka mampu merasa kerasan untuk bermukim. Akan tetapi perkembangan akal budi manusia yang selalu mencari batas-batas terluar berhasil menciptakan dunia baru yang khas hasil dari teknologi manusia, dan membuat manusia itu kini berada dan tak terpisahkan dalam dunia ciptaannya sendiri, yaitu being-in-the-www. Homo Digitalis tidak hanya sekedar pengguna gawai, namun ia tidak hanya mengendalikan tetapi mengendalikan sekaligus dikendalikan. Homo Digitalis di dalam ruang ini memiliki kebebasan yang semakin brutal melanggar hak bebas individu lainnya. Homo Digitalis mendapati seolah dalam dunia baru tanpa negara, digital state of nature. Dalam keadaan itu terdapat pengkaburan prinsip keadilan dan sehingga tidak mengetahui mana yang adil dan tidak. Setiap orang bisa menjadi hakim dan bahkan menjadi tuhan atas yang lain.

World Wide Web merupakan suatu entitas yang hidup dan digagas oleh korporasi dan kemudian kini dilestarikan secara bersama-sama oleh penggunanya. Dunia digital saat ini berkemampuan untuk memungkinkan penggunannya beraktivitas seperti halnya di ruang interaksi publik. Namun dunia ciptaan ini bukan baik-baik saja, justru penuh masalah dusta dan tipu daya. Apa yang terjadi dalam dunia kita sesuai hakikat penciptanya “artificial”, bahwa kita sedang terus menciptakan sebuah copy dari copy, kita sedang mengkarbon teks dari suatu duplikasi teks tanpa mengenal kepenuhan konteks, kita sedang menderivasi realitas, tanpa tahu mengapa kita berada dalam proses itu. Jika kita mengiyai Baudrilliard, kita memang sedang berada dalam simulacra. Hidup dalam era digital memang penuh tantangan, bahwa gulungan ombak informasi yang kian lama kian deras, bergerak secara abrasif menggerus horizon kebenaran.
   
[5] “But the Lord came down to see the city and the tower the people were building. [6] The Lord said, “If as one people speaking the same language they have begun to do this, then nothing they plan to do will be impossible for them. [7] Come, let us go down and confuse their language so they will not understand each other.”
(Genesis 11: 5-7)

Dalam esai ini penulis ingin merefleksikan kembali hubungan-hubungan antara kebenaran, agama dan ruang publik di media digital. Tulisan ini bermaksud untuk memberikan kita rasa waspada atas informasi-informasi yang kita terima dalam laku hidup keseharian kita di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar kita paling tidak selalu berani memberikan jeda sejenak terhadap apa-apa saja yang melingkupi diri kita, yaitu agar kita tidak cepat-cepat memutuskan sebagai suatu kebenaran, dan bahkan agar berpikir ulang sebagai tindakan preventif atas tindakan-tindakan kita sendiri yang tanpa sadar semakin reaktif menanggapi informasi-informasi yang datang. Tulisan ini akan memaparkan kondisi ruang publik digital dan berbagai gagasan dan pendapat dari berbagai macam kuliah yang disampaikan oleh para akademisi bidang filsafat dan ilmu sosial dan budaya dan berbagai opini dari media digital.

Sebelum kita menanggapi apa itu Homo digitalis, marilah coba kita meraba dalam data kuantitatif terlebih dahulu seperti beberapa diagram dibawah ini. Berdasarkan data dalam angka pada Grafik I, Indonesia menduduki peringkat keempat pengguna Facebook terbanyak di dunia, dengan jumlah kira-kira 130 juta pengguna. Angka ini apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang dapat diperkirakan pada tahun 2018 mencapai 261 juta jiwa, artinya tingkat rasio penggunaan Facebook di Indonesia adalah 1:2 pengguna.  Apabila dibandingkan denga negara India yang berpenduduk 1,30 miliar , rasio ini hanya mencapai 1:5 orang. Data ini pun didukung oleh data survei sosial media terpopuler oleh pengguna gawai cerdas yang disajikan pada Grafik II. Facebook menduduki posisi teratas, didususul berturut-turut oleh Instagram pada posisi kedua, dan Twitter pada posisi ketiga. Pengguna sosial media tersebut adalah penduduk Indonesia dalam rentang usia 16 tahun sampai dengan 35 tahun di tahun 2016. Data ini pun tidak jauh berbeda jika disandingkan dengan data tersaji dalam Grafik III, bahwa penetrasi media sosial dalam jejaring kanal digital penduduk Indonesia berturut-turut menunjukan angka 43% penduduk Indonesia berbagi informasi melalui Youtube, 41% melalui Facebook, 38% melalui Instagram, dan 27% melalui Twitter. Hal yang menarik lainnya tingkat berbagi informasi melalui media Chatting seperti Whatsapp dan LINE juga cukup tinggi yang masing-masing sebesar 40% dan 33%. 
Grafik I. Negara-negara pengguna Facebook Sumber: We are social: Januari 2018, diunduh dari Statista pada tanggal 20 April 2018


Grafik II. Media sosial terpopuler yang digunakan oleh penduduk Indonesia. Sumber: eMarketer, JakPat Data survei Januari 2016 n = 1033 responden umur 16 s.d. 35 tahun. diunduh dari www.statista.com pada tanggal 20 April 2018

.
Grafik III. Penetrasi jejaring media sosial di Indonesia. Sumber: We are social, Global Web Index Q2 and Q3 2017, diunduh dari Statista pada tanggal 20 April 2018

Lantas inspirasi apa yang dapat kita tangkap dari data presentasi tabel-tabel tersebut diatas apabila kita yakini sebagai peta keterlemparan kita di dunia kita sebagai manusia Indonesia? Untuk menjawab hal ini, marilah kita menambahkan berbagai pegangan untuk interpretasi. Bedasarkan data BPS, komposisi penduduk Indonesia yang berkesempatan untuk selesai mengenyam pendidikan tinggi hanya 11% dari keseluruhan (lihat: Ambrosia, Grafik 3). Hal ini jika kita mengkaitkan dengan Grafik II, maka kita mendapatkan sebaran pengguna media sosial berdasarkan tingkat pendidikan mereka. Dari kurikulum pendikan di Indonesia, secara ideal sebaran umur periode sekolah akan berada pada kelompok-kelompok berikut ini: (1) SD: 6-12 tahun, (2) SMP: 12-15 tahun, (3) SMA: 15-18 tahun, dan (4) pendidikan tinggi D3 atau S1: 18-23 tahun. Hal ini berarti, sangat dimungkinkan bahwa sebaran 16-35 tahun ini termasuk responden yang sedang dalam masa pendidikan, dan awal jenjang karirnya. Pun tidak tertutup kemungkinan terdapat responden dengan tingkat pendidikan hingga tingkat menengah pertama saja. Dari situ kita maka secara cepat dapat langsung mendapatkan gambaran tingkat kekuatan analisa informasi dari kelompok-kelompok masyarakat ini. Merujuk pada Hofstede, Hofstede dan Minkov (2010) bahwa masyarakat berciri kolektif cenderung memiliki pola-pola konsumsi yang bergantung pada orang-orang lain, dan sumber informasi utama mereka adalah jejaring sosial mereka, alih-alih percaya pada media (hal. 117). Padahal dengan menggunakan klasifikasi menurut Ferdinand Tonnies, mekanisme sosial masyarakat Indonesia adalah cenderung berciri paguyuban (Gemeinschaft) yang lahir melalui proses Wesenwille yaitu suatu mekanisme sosial yang masih melibatkan perasaan dari pada akal budi semata, alih-alih berciri patembayan (Gesselschaft) yang merupakan hasil dari proses Kurwille atau rasionalitas bertujuan saja (Soekanto 1982). Dalam hal ini dapat dibayangkan di Indonesia, bahwa mekanisme transaksi informasi dan produksi makna akibat terungkapnya kebenaran diduga dapat dipengaruhi oleh ideologi kelompok dan kadar kemampuan nalar anggota-anggota di dalam kelompok itu. Artinya apa? Bahwa kerumunan massa yang berada di kanal-kanal media sosial, tidak serta merta dapat diandaikan seperti monad-monad yang tersebar secara bebas dan saling asing di dalam suatu lanskap ruang-waktu. Akan tetapi, kita perlu memperhatikan proses interaksi sosial mereka sebagai suatu peristiwa komunikasi berantai dalam kelit-kelindanan interkoneksi tekstual anggota-anggotanya baik di dalam kelompok dan di luar kelompok, serta melalui irisan-irisan setiap kelompoknya.

Penyihir yang dibakar oleh masyarakat di era abad pertengahan. Penyihir dianggap memiliki praktik-praktik sesat dan bertentangan dengan ajaran agama. Bagaimanapun juga membakar manusia atas nama agama adalah bentuk radikalisme beragama. Sumber gambar: irishhistorypodcast.ie

Jika kita bertolak dari interpretasi data diatas, hal ini sepintas adalah masalah komunikasi saja. Akan tetapi segala kerumitan yang timbul dari hubungan kebenaran, agama dan ruang publik media digital tentu saja akan dapat menuduh ini semua adalah perkara-perkara epistemologis semata. Namun hal ini tidaklah demikian, dimensi realitas itu berlapis-lapis dan kompleks, dengan kata lain sejatinya realitas itu memang chaos atau absurd. Berikut ini akan dirangkumkan tesis-tesis yang diajukan para akademisi dalam kuliah-kuliah filsafat terkait dengan perkara ini, antara lain:
  1. Hal komunikasi ini diungkap oleh A. Setyo Wibowo melalui analisanya terkait dengan cara pandang Sofisme, yang mendasarkan pada permasalahan penyebaran informasi fiktif (hoax) yang bersifat massif dan segera (real time). Posisi kanal-kanal media digital ini mampu menciptakan sesuatu dari efek ruang gemanya, dan sesuatu itu mampu bergerak secara viral (contagion effects), dan sesuatu itu tidak peduli apakah betul-betul fakta atau hanya baru opini semata. Apa yang terjadi saat ini pengkomunikasian kebenaran justru dikesampingkan, yang penting adalah tujuan pemenangan debatnya saja. Pernyataan Georgias bahwa tidak ada yang nyata dalam dunia ini (nothing exists), andaikan ketiadaan itu ada maka tidak akan bisa ditangkap oleh pikiran. Andaikan hal itu bisa ditangkap, maka itu akan tidak bisa dikomunikasikan kepada orang lain. Dalam hal pendasaran semacam ini, maka kebenaran menjadi kabur, karena yang ada adalah tafsir-tafsir individual saja, persis seperti apa yang terjadi di dalam komunikasi media digital sekarang ini.
  2. Kekaburan kebenaran yang tersaji di media sosial merupakan dampak dari hoax yang secara massif menambal lubang ketidaktahuan. Masalah ini kemudian disebut sebagai era Post-Truth, dalam materi kuliahnya, Haryatmoko mengkaitkan masalah opini dan fakta ini terkait dengan disinformasi dan emosi sosial. Pertama, melalui tesis Hannah Arendt, ia menegaskan bahwa logika pelaku penebar hoax ini menyajikan informasi dengan memanfaatkan logika orang-orang yang dibohongi. Si penebar kebohongan bahkan menggunakan kata “kebenaran alternatif” demi tujuan politisnya untuk merekayasa agar prasangka negative kelompok-kelompok masyarakat diintensifkan melalui manipulasi emosi mereka. Populisme piawai menggunakan demagogi dan retorika karena inti komunikasi adalah membidik pengaruh melalui manipulasi, dan yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan unsur-unsur emosional/sentimental dari pada yang rasional. Kedua, emosi lebih berkemampuan untuk memutuskan dalam hal pencapaian tujuan politik karena opini politik lebih ditentukan kesan pertama atau intuisi dari pada penalaran (reasoning). Sejalan dengan David Hume, rasio tidak berdaya menghadapi hasrat karena tindakan adalah hasil dari dorongan/penolakan terhadap obyek yang bertolak dari rasa senang. Akal budi hanya memberi informasi adanya obyek dan hubungannya, bukan dorongan. Penalaran menjadi alat pembenaran atas apa-apa yang sudah dipercaya atau tidak dipercaya. Ketiga, menurut Haidt bahwa politik pencitraan terkait pada relasi individu dengan kelompoknya, karena pada dasarnya manusia itu lebih groupish daripada selfish, adanya kecenderungan untuk memberi perhatian pada kelompoknya (agama, suku, asal-usul, ideologi politik) yang menghasilkan fanatisme kelompok. Hal ini disampaikan Haidt, bahwa hal ini berkaitan dengan insting sosial bagi yang merasa kuat, hukum kesalingan, mekanisme pujian dan menyalahkan, dan pengaruh kimiawi tubuh terhadap yang outgroup. Keempat, adanya penggunaan “negativitas operasional” untuk menjustifikasi kebohongan agar seolah menjadi kebenaran, karena dimainkannya logika komparasi dengan menghadirkan sesuatu yang dipersepsikan lebih bohong. 
  3. Dalam kaitannya dengan komunikasi di ruang publik digital ini, Sunarko mengangkat masalah post-sekularisme. Pertama, sorotan agama dan ruang publik digital ini tidak terlepas dari dinamika komunikasi didalamnya. Sekularisasi merupakan proses historis demistifikasi atas cara berpikir manusia, makin berkurangnya peran agama di jaman modern. Hal ini menghasilkan karakteristik era modern lanjut adalah menurunnya pengaruh agama dan peran agama di ruang publik. Terkait dengan ini Habermas berpendapat dengan adanya sikap keterbukaan dalam argumentasi (saling belajar) dan berkomunikasi antara sains dan agama akan memberikan kemajuan bagi keduanya. Hal ini menuntut agama untuk bisa melepaskan klaim sebagai satu-satunya yang memiliki otoritas untuk menafsirkan dan menentukan cara hidup mana yang legitim, sedangkan pemerintah dan negara harus menerima prinsip ketidakberpihakan dalam hal pandangan hidup (Weltanschauung) terkait dengan urusan moral. Kenetralan pemerintah ini harus diisi dengan aturan perundangan yang demokratis. Kedua, kritik atas Habermas disampaikan dalam argumentasi yang beragam, yaitu menurut John Rawls bahwa ruang publik yang berlaku umum hanyalah argumentasi secular, berdasarkan akal budi sehingga dapat dikomunikasikan kepada semua pihak. Juga kaum beragama harus menerjemahkan keyakinannya ke dalam bahasa profane di ruang publik. Menurut Wolterstoff, bahwa tidak hanya ruang publik umum (informal) melainkan juga pada tataran ruang publik formal/resmi, seperti parlemen dsb., kaum beragama diperkenankan beragumentasi menggunakan ‘bahasa religius’ mereka.
Selain dalil-dalil filsafat tersebut, penulis juga mencatat berbagai macam opini yang dilansir beberapa media massa digital, antara lain:
  1. Catatan pinggir Goenawan Mohammad, Dalam rumusan itu, sebuah pernyataan dianggap benar bila ia merupakan intellectus (pikiran, pengetahuan) yang cocok (adquatio) dengan rei (kenyataan). Kini rumusan itu guyah. Orang makin menyadari bahwa kenyataan, rei, dianggap cocok dengan pengetahuan, intellectus, karena ia dibentuk agar sesuai dengan pikiran kita. Juga orang makin menyadari, kenyataan tak pernah berbicara sendiri. Kenyataan ada karena diwujudkan oleh bahasa dan selamanya berada dalam bahasa. Ia muncul sebagai tafsir. Ia bukan fakta. Fakta tak pernah ada, kata Nietzsche. Hanya "tafsir" yang ada. Tafsir itulah "para-kebenaran". Ia tak taklid kepada kebenaran ala Aquinas, tapi ia tak menafikannya. "Para-kebenaran" hidup dalam kisah Munchausen sebagai selingan di dunia yang sedang kehilangan. Dalam film The Adventures of Baron Munchausen sang Baron mengeluh. "Kini semuanya logika dan nalar. Sains, kemajuan, hukum hidraulik, hukum ini itu, tak ada yang lain." Ia putus asa. Tak ada ruang yang bebas dari kebenaran ilmiah, tempat ia menyambut ketimun pohon dan lautan anggur- imajinasi dalam tafsir.
  2. Dian Basuki, Era Post-Truth: Kebenaran Jadi Komoditas, “Bila masyarakat berdiri di atas fakta-fakta yang dimanipulasi, dipoles, disembunyikan, dilepaskan dari konteksnya, dan kemudian pendapat individu atau kelompok lebih ditonjolkan sebagai kebenaran, masyarakat ini sesungguhnya rapuh. Ia bagaikan bangunan kartu domino yang dengan satu sentuhan saja seluruh bangunannya runtuh.”
  3. Nofie Iman, Republika Online, “Tentu saja problematika post-truth ini lebih akut dan mendalam daripada sekadar problematika teknologi semata. Mungkin kita perlu beristirahat sejenak dan berhenti mengasumsikan bahwa evolusi ini merupakan perubahan yang organik dan alamiah. Ada kalanya kita perlu kembali pada informasi tekstual seperti surat kabar, buku, atau jurnal ilmiah daripada foto atau video. Betapa pun, informasi tekstual masih lebih superior dalam menyampaikan pesan-pesan yang kompleks dan merangsang daya nalar dan pemikiran kita. Pada akhirnya, kita semua harus beradaptasi agar tidak terus terjebak pada post-truth. Dalam menggunakan media sosial, barangkali kita juga perlu sesekali menengok mereka yang berseberangan dengan kita. Hal ini tak cuma membuat kita menghargai perspektif yang berbeda, tetapi juga "mengacaukan" algoritme dan menyadarkan mereka bahwa kita juga bisa menghargai adanya perbedaan dan toleran terhadap ketidaknyamanan.
  4. Eko Sulistyo, Koran Sindo, Media Sosial dan Fenomena “Post-Truth”, Pemerintah juga bekerja sama dengan operator telepon seluler terkait dengan penggunaan NIK pada KTP elektronik. Ketentuan khusus juga akan diberlakukan dimana satu orang hanya boleh menggunakan tiga kartu perdana saja. Kedepan, pendekatan lunak dengan fokus pada literasi digital akan menjadi pekerjaan serius pemerintah. Literasi dan edukasi akan dilakukan terutama kepada kelompok yang dianggap rentan. Pemerintah akan bekerjasama dengan masyarakat sipil menciptakan “hoax buster” untuk menangkal berita-berita palsu. Pemerintah berkewajiban melindungi warga negara dan kebhinekaan bangsa dari ujaran kebencian, berita palsu dan hoax yang memecah belah masyarakat. Fenomena Post-Truth memberikan tantangan pada pemerintah dan masyarakat bahwa sosmed dapat digunakan dengan bijak, tapi juga bisa menjadi sumber masalah baru
Berdasarkan berbagai pemaparan di atas, saya sepakat bahwa Homo Digitalis akan menemukan masalah baru, yaitu verifikasi realitas. Lawan post-truth bukanlah kebenaran, namun pemeriksaan fakta, dan hal ini lah yang semakin hari semakin langka. Derasnya arus informasi digital semakin membuat manusia ini kelelahan untuk sekedar berjarak dan menalarnya. Informasi yang pelik, acak, dan beragam, namun diintensifikasikan oleh sosial media itu sendiri pada akhirnya akan memberikan pengalaman disibukan oleh sosial media itu sendiri. Manusia pada akhirnya akan kehilangan daya adaptasinya terhadap informasi-informasi di dunia digital. Ia akan semakin banal dan semakin kehilangan daya kritisnya. Manusia hanya mampu memotong/mengkopi (cut/copy) teks lalu merekatkan (paste) sebagian dalam bingkai nalar yang sudah melekat pada dirinya tanpa menimbang konteksnya. Manusia kian sulit untuk melebarkan cakrawala pengetahuannya sendiri, ia kelelahan dengan mentalnya sendiri.

Dalam hal ini kebenaran tafsir agama, tidak bisa senantiasa diperiksa dan diverivikasi secara objektif dan sama seperti halnya gema media sosial. Agama bekerja dalam subjektifitas penganutnya yang mengimajinasikan janji suci dari pencipta. Akan tetapi perlu diingat bahwa menerima tafsir tekstual dan lepas konteks sebagai kebenaran yang menjadi berterima umum adalah bentuk argumentum ad populum. Apalagi bentuk-bentuk tafsir ini sering kali disebarkan melalui ruang-ruang komunitas dalam bentuk feodalisme yang semakin menjadikan tafsir keagamaan mudah diterima begitu saja sebagai argumentum ad baculum. Agama selalu bekerja dalam mekanisme logika tawaran doktrin yang selalu bergerak dalam kepastian. Era abad pertengahan telah memberikan pelajaran berharga bagi kita terkait theosentrisme ini. Era digital adalah era yang serba tidak pasti. Bayangkan bila pengujar di media sosial ternyata adalah para demagog dan penebar kebencian yang termotivasi atas  uang saja, dan sembari mengingat bahwa data kuantitatif di atas telah memberikan potret fakta bahwa orang-orang Indonesia ikut aktif terlibat di dalamnya. Dengan demikian, akan kah kita kembali mundur kembali kebelakang beserta cara berpikir kita, ataukah kita memberanikan diri untuk menerima era digital baru ini, dengan semakin berani untuk berpikir sendiri? Sapere aude!

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)