Homo Digitalis (2): Transaksi Digital


Sejak manusia menciptakan alat tukar sebagai suatu jawaban atas masalah dalam menghadapi kelangkaan atas kebutuhan-kebutuhan materinya, manusia menjadi memiliki tujuan dalam eksistensinya. Manusia dalam segala aktivitas kehidupannya menjadi dikuantifikasi dalam ukuran moneter. Manusia ekonomi (homo economicus) mendasarkan kemenyeluruhan aspek kehidupannya hanya dalam rangka menutup jurang antara realitas sesungguhnya dan realitas persepsiannya, yaitu semata-mata dalam rerangka nalar rasional terkait perkara ekonomi, dengan kata lain Ia menghendaki untuk menyelesaikan perkara-perkara kelangkaan pada dirinya sendiri.

Leviathan karya Thomas Hobbes, negara adalah merupakan kumpulan hak dari setiap atom-atom yang bermukim di suatu wilayah tertentu, Sumber gambar: https://steemitimages.com/
Ketika era digital lahir, maka manusia semakin mampu mengisolasi dirinya untuk pertukaran semata, segala sesuatunya direduksi dalam logika biner, yang disimbolkan dalam 1 dan 0, ada dan tidak ada. Demikian pun dengan sistem keuangan, dengan logika ini maka menuntut suatu negasi dari sistem yang sudah mapan. Negara dapat diandaikan sebagai suatu bentuk kemapanan sistem sosial, yang memiliki segala perangkat untuk menciptakan kestabilan ekonomi melalui fungsi sosio-politiknya. Namun, dengan kehadiran dunia maya, tembok negara dapat ditembus dengan mudah melalui keterhubungannya dalam jejaring. Pertukaran informasi menjadi mudah tanpa adanya sensor dari penguasa, dan sehingga manusia yang berada di dalamnya mampu menghilangkan identitasnya sendiri (menjadi avatar—being anonymous) untuk mendapatkan kebebasan mutlaknya. Dengan kata lain, dunia digital adalah bentuk state of nature, di mana penghuninya secara bebas dapat melakukan apa saja tanpa berisiko kehilangan kebebasannya.

Bagaimana dengan sistem ekonomika keuangan di dalam kehadiran dunia digital ini?
Ekonomi secara sistem adalah sebuah kopling (penghubungan) antara dua sistem besar, di satu sisi adalah sistem konsumsi, yaitu setiap individu secara pribadi berusaha untuk mempertahankan kehidupannya (makan, minum, bernafas, dan lain sebagainya), di sisi lain individu secara bersama-sama dan berkelompok berusaha untuk memproduksi segala sesuatu yang dibutuhkan oleh sistem pertama. Sistem produksi ini merupakan proses penciptaan nilai melalui transformasi material apapun yang dimasukan kedalam rantai produksinya. Dua sistem ini saling membutuhkan, karena akan selalu tercipta kelangkaan bagi keduanya. Secara sederhana, setiap orang bekerja dalam dua sistem ini, ia mengkonsumsi sekaligus memproduksi. Akan tetapi apa-apa yang dikonsumsi dan apa-apa yang diproduksi selalu saling mengandaikan satu dengan yang lain, dan keterbatasan akan kapasitas individu akan hal ini akan selalu membatasi dirinya untuk dapat bertahan secara subsisten. Dengan adanya kondisi ini maka kelangkaan sudah bersifat niscaya dan selalu ada.

Dengan adanya sebuah jurang pemisah ini, maka kelangkaan dan pemenuhan kebutuhan juga menjadi konsekuensi eksistensi dalam hal aktivitas ekonomi. Individu lantas menciptakan barter (pertukaran ekonomi) untuk tetap dapat memenuhi kebutuhannya. Akan tetapi mekanisme barter ini tidaklah efektif dan efisien, untuk mengatasi hal itu maka dibutuhkan suatu alat tukar yang handal, dapat dipercaya, mampu menyimpan nilai, dan terpenting berkemampuan mentransformasi hal apapun untuk mengatasi persoalan transaksi ini. Uang tidak bekerja secara individual semata, seperti halnya komoditas, katakanlah emas. Uang bekerja secara sosial melalui mekanisme sosial yang kompleks dalam eksistensinya. Uang menuntut peran serta agen-agen ekonominya untuk selalu menjaga nilai pasarnya, dengan kata lain uang membutuhkan aktivitas di belakangnya sebagai pendasaran atas nilai-nilainya yang membuatnya selalu dapat dikonversikan dengan barang dan jasa.

Sistem yang terhubung dan bekerja dalam sistem keuangan saat ini, antara sentralistik dan desentralistik. Sumber gambar: penulis.

Mata uang dapat dipahami sebagai suatu alat penilai keseluruhan aktivitas ekonomi di suatu negara, dengan kata lain mata uang di suatu negara memiliki sifat universal terhadap seluruh barang dan jasa yang diproduksi oleh warga negara. Harga sebuah mata uang dinilai sesuai dengan hukum ekonomi, yaitu permintaan dan penawaran, dan melalui mekanisme inilah suku bunga menjadi nilai atas suatu mata uang. Karl Marx dalam teori uangnya mendefinisikan bahwa harga (di sini: harga pasar) hanya merupakan sesuatu ekspresi dari nilai komoditas-komoditas di dalam suatu nilai komoditas uang itu sendiri yang dipilih sebagai acuan standar moneternya. Sebagai contoh: 1 kg beras sama dengan Rp15.000,00 sedangkan harga 1kg emas sama dengan Rp.1.000.000,00. Ketika seorang petani bertemu dengan seorang penambang emas di pasar untuk saling bertukar komoditas yang telah mereka produksi, maka unit konversi yang mampu mengkuantifikasikan secara moneter adalah Rupiah. Dalam arti ini mata uang hanya merupakan unit konversi semata atau lebih tepatnya disebut sebagai token.

Akan tetapi, definisi mengenai uang di atas menjadi sulit diterapkan bagi dunia digital. Mata uang digital (cryptocurrency), seperti bitcoin misalnya, tidak bekerja dalam sistem sentralistik seperti halnya mata uang negara. Di dalam suatu sistem keuangan negara, unit konversi ini dijaga dan dijamin kestabilannya melalui mekanisme sistem perbankan yang secara independen bekerja untuk menjaga nilai mata uang yang berlaku. Sistem perbankan konvensional pada dasarnya merupakan suatu jejaring perantara keuangan, yang terpusat pada bank sentral. Sedangkan sistem mata uang digital telah membongkar jejaring ini dengan menghilangkan seluruh perantara keuangan yang ada, dan mengikutsertakan setiap pemegang mata uang digital ini di dalam mekanisme yang disebut sebagai blockchain.


Apakah bitcoin dan blockchain itu?  
Untuk mudahnya sila menonton video berikut ini!


Dalam sistem mata uang digital ini paling tidak menghadapi tiga tantangan, yang meliputi: (1) Bagaimana menetapkan sebuah consensus di dalam jejearing yang terdistribusi? (2) Bagaimana menyelesaikan masalah perilaku pembayaran ganda (double spending)? (3) Bagaimana menciptakan validasi suatu transaksi yang memadai? Bitcoin mengklaim mampu menyelesaikan masalah-masalah tersebut.

Mekanisme transaksi digital dalam sistem desentralistik saat ini, Sumber gambar: Chiu dan Koeppl (2017)
Mata uang digital yang akan dibahas oleh penulis di sini adalah bitcoin, yang diciptakan oleh Satoshi Nakamoto (2009). Sampai sekarang pencipta bitcoin ini masih belum terungkap oleh warga net karena diyakini bahwa Satoshi Nakamoto ini merupakan pseudonym. Di dalam makalahnya, Nakamoto menciptakan bitcoin sebagai kas elektronik yang mampu bekerja secara peer-to-peer murni, yang memampukan setiap pihak dapat bertransaksi langsung tanpa melalui adanya peran institusi keuangan. Isu utuma yang ingin diselesaikan melalui kas elektronik ini adalah masalah kepercayaan. Isu kepercayaan ini terefleksi melalui biaya-biaya mediasi yang melibatkan biaya-biaya transaksi, pembatasan praktik minimal dari ukuran transaksi, dan memotong kemungkinan transaksi non-reguler. Untuk mengatasi masalah ini, kedua belah pihak yang bertransaksi tidak memerlukan kepercayaan dari pihak ketiga sebagai penyelenggara sistem keuangan, yang diperlukan adalah hanya cryptographic proof. Kedua belah pihak yang bertransaksi menjadi bagian dari dalam sistem peer-to-peer ini, dan sistem ini akan terjamin keamanannya sepanjang setiap pihak yang jujur (honest nodes) secara kolektif mengkontrol kekuatan CPU lebih besar dari kelompok yang menyerang sistem (attacker nodes).

Mekanisme blockchain, Sumber gambar: Nakamoto (2009)

Transaksi kas elektronik oleh Nakamoto didefinisikan sebagai suatu rantai dari beberapa tanda tangan digital. Setiap pemilik mentransfer koinnya kepada pihak setelahnya dengan menandatangani hash dari transaksi sebelumnya dan kunci publik pada pemilik setelahnya, dan menambahkan kunci ini di akhir koin. Hal ini dapat dibayangkan seperti gerak estafet, dengan tongkat yang hanya bisa digunakan bila dua pihak yang bertransaksi saling memberikan kuncinya, namun kunci ini hanya berlaku dari pemilik sebelumnya. Dalam hal ini setiap pembayar perlu mengetahui bahwa pemilik koin sebelumnua tidak menandatangani transaksi apapun sebelumnya. Masalah dari transaksi ini bagaimana mencegah terjadinya pembayaran lebih dari satu kali. Di dalam model sentralistik, hal ini diselesaikan melalui proses kliring di Bank Sentral. Akan tetapi dalam mekanisme berantai sentralistik ini, setelah setiap transaksi, setiap koin harus dikembalikan ke penerbit koin, dan hanya koin-koin yang diterbitkan secara langsung melalui otoritas sentral yang dipercaya. Satu-satunya cara untuk mengkonfirmasi ketidakhadiran dari suatu transaksi adalah dengan memperhatikan keseluruhan transaksi dan menentukan dari siapakah transaksi tersebut datang terlebih dahulu. Untuk menghilangkan Bank Sentral di sini, setiap transaksi harus diumumkan kepada public, dan ditunjang oleh sistem yang bagi partisipan-partisipannya menyetujui untuk satu sejarah pemesanan (history order) yang mereka terima sebelumnya. Pembayar membutuhkan bukti bahwa dalam waktu tertentu dari setiap transaksi, pihak mayoritas telah menyetujui bahwa transaksi sebelumnya telah diterima lebih dahulu. Mekanisme berantai inilah yang kemudian disebut sebagai blockchain.

Apabila masa depan kita adalah dunia yang serba terhubung secara digital, bagaimana revolusi bitcoin ini lantas mengubah struktur sistem keuangan kita?
Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis merujuk kepada Tapscott dan Tapscott (2016) yang menjelaskan beberapa prinsip utama yang harus dipegang dalam memahami revolusi blockchain ini, antara lain akan menunjang terjadinya hal-hal berikut ini:
  1. Integritas jejaring: suatu kepercayaan melekat secara intrinsik, bukan datang dari luar atau ekstrinsik.
  2. Kekuatan/ kuasa (power) yang terdistribusi: dalam hal ini tidak ada kekuatan yang mampu menguasai secara dominan. Melalui system kekuatan didistribusikan merata dan menyebar ke jejaring peer-to-peer tanpa ada yang bisa memonopoli kekuatan tersebut di setiap poinnya. Dalam hal ini blockchain merupakan bentuk kolaborasi massa par excellence.
  3. Nilai sebagai insentif, yaitu terdapat sistem mengatur setiap insentif bagi keseluruhan pemangku kepentingan secara merata.
  4. Keamanan, yaitu ukuran keamanan dilekatkan di dalam jejaring tanpa adanya satu titik pun kegagalan, dan jejaring itu menghasilkan tidak hanya kerahasiaan, tetapi juga otentisitas untuk setiap aktivitasnya.
  5. Kerahasiaan/ privasi, yaitu setiap orang harus mengendalikan data mereka sendiri, dengan adanya jaminan kerahasiaan, maka kebebasan setiap pihak menjadi ikut terjamin.
  6. Perlindungan hak, yaitu setiap pemilik hak bersifat transparan dan dapat diselenggarakan
  7. Inklusi, yaitu suatu ekonomi akan dapat bekerja dengan baik bila dapat melibatkan semua pihak.
Dengan adanya revolusi di ketujuh aspek itu, maka jasa keuangan secara niscaya akan berubah. Hal ini secara ekonomi akan membongkar monopoli yang diselenggarakan oleh institusi keuangan, sistem tersentralisasi tidak berjalan efisien, terutama dari waktu penyelesaian setiap transaksinya, dan terlalu mahal untuk menjaga bahwa institusi tersebut tetap dapat beroperasi. Dengan teknologi blockchain, maka hal-hal tersebut dapat diselesaikan secara murah dengan jaminan tanpa adanya kebocoran data pengguna. Paling tidak di dalam Tapscott dan Tapscott (2016) mengemukakan enam alasan kunci mengapa blockchain dapat mengatasi masalah jasa perantara keuangan ini, meliputi: (1) Atestasi / pengesahan, hal ini dilakukan di dalam sistem jejaring dan oleh perangkat komputasi yang dimiliki bersama, bukan lagi milik institusi. (2) Biaya yang semakin murah dengan memangkas biaya-biaya yang diakibatkan oleh penyelenggaraan back-office pada setiap institusi. (3) Kecepatan, yaitu karena segala sesuatu terjadi di dalam sistem, maka waktu kirim menjadi sangat singkat. (4) Manajemen risiko dengan eksposur-eksposur akibat dari settlement risk, counter party risk, systemic risk, dan agency risk yang semakin terkendali. (4)Inovasi nilai, dan (5) sumber terbuka /open source, yaitu memiliki kemampuan adaptasi terhadap perubahan yang sangat tinggi. Atas dasar berbagai alasan tersebut, maka sektor jasa keuangan akan berubah, paling tidak ada delapan elemen nilai yang akan dipengaruhi, antara lain: (1) pengotentikan identitas, (2) pemindahan, (3) penyimpanan, (4) peminjaman, (5) pertukaran, (6) Pendanaan dan investasi, (7) Penjaminan dan manajemen risiko, dan (8) Penghitungan nilai itu sendiri.

Refleksi Penulis
Dari pemaparan akan berbagai tawaran keunggulan di atas, sekilas bahwa bitcoin dan blockchain memang menjadi suatu solusi tunggal untuk mengatasi masalah sistem keuangan sentralistik. Perlu diakui bahwa blockchain memang menjadi sebuah alternatif solusi untuk mengatasi masalah ketidakmerataan distribusi kekayaan dari sistem kapitalisme. Akan tetapi, penulis masih memiliki berbagai keraguan atas mekanisme sistem keuangan melalui blockchain itu sendiri. Jika substansi uang dipandang sebagai intrumen konversi nilai dengan segala atribut yang melekat, dan urusan segala distribusi dari uang ini diselesaikan oleh suatu mekanisme perantara keuangan, maka sistem blockchain tidak lebih dari mengubah posisi perantara keuangan sebagai designated market maker menjadi posisi market takers dan atau consumers. Artinya di dalam blockchain yang berubah hanyalah mekanisme transaksinya saja, yang setiap agen ekonomi yang terlibat mengusung tiga peran sekaligus, yaitu sebagai market takers, consumers dan market makers. Dengan kata lain, spesialisasi absolut teknologi keuangan yang terwujud sebagai institusi-institusi keuangan dicacah menjadi atom-atom yang lebih kecil-kecil namun terhubung satu dengan lainnya, dan sehingga tidak ada atom-atom yang terkonsentrasi untuk mendominasi atom-atom lainnya. Sederhananya, bahwa saya sebagai individu dapat mencetak uang saya sendiri, menggunakan dan sekaligus mensirkulasikan uang itu untuk kepentingan saya, sepanjang disepakati oleh publik. Dalam hal ini, konsekuensinya adalah segala bentuk biaya-biaya yang terjadi akibat partisipasi di dalam blockchain menjadi tanggungan saya sendiri, maka dalam hal ini secara sistem blockchain memang seolah-olah tanpa biaya transaksi, akan tetapi biaya ini hanya ditransformasi menjadi bentuk biaya yang lain yang ditanggung oleh partisipan. Hal ini hanya dapat berjalan optimal jika setiap partisipan berperan penuh, dan blockchain digunakan oleh jumlah partisipan yang sangat banyak. Aspek lain yang bisa menjadi pertimbangan sebagai dasar mata uang digital ini tetap ada bahwa partisipan sangat tergantung dengan energy, artinya biaya penambangan koin ini sangat tergantung dari biaya energi (misalnya: listrik, migas), artinya mata uang digital tidak mungkin ada di lingkungan ekonomi tanpa energi, atau ketika energi menjadi barang publik yang sangat langka.
   
Pendapat lain yang perlu dipertimbangkan adalah terkait dengan aspek keekonomian. Chiu dan Koeppl (2017) mengusung kritik terkait dengan mekanisme sejarah pencatatan dari setiap transaksi, pemutakhiran terdistribusi atas informasi, dan konsensus melalui kompetisi akan suatu pemutakhiran itu. Suatu fitur kunci ekonomi dari mata uang digital adalah bahwa penambangan koin (mining—aktivitas agen ekonomi untuk mengupayakan validasi setiap transaksi) merupakan suatu barang publik, sementara itu pembayaran ganda yang bertujuan untuk menipu mata uang digital ini, bergantung pada setiap insentif-insentif partisipan/ individu yang membalikan transaksi tertentu. Dari argumentasi ini, sejalan dengan argumentasi di atas bahwa mata uang digital akan bekerja secara baik apabila volume dari transaksi cukup besar dibandingkan secara relatif dengan ukuran transaksi individual (misalnya: pada sistem pembayaran ritel).

Dari sisi sosiologi, Dodd (2017) mengemukakan bahwa bilamana bitcoin berhasil sebagai ideologi, maka dalam hal ini bitcoin akan gagal dalam tatanan praktis sebagai uang. Alasanya adalah, merujuk pada pemikiran Georg Simmel, bahwa “perlakukanlah uang sebagaimana halnya sebuah benda, bukan sebuah proses”. Bitcoin didasarkan pada suatu premis yang menafikan hal ini, sehingga uang sesungguhnya adalah suatu klaim, jika tidak di dalam “masyarakat”, maka akan melekat pada segala ragam modus atas eksistensi dan pengalaman yang dibagikan bersama. Dalam kasus Bitcoin ini, terdapat analogi yang menyerupai antara pandangan yang mendasari uang sebagai suatu ‘benda’ pada dirinya sendiri dan suatu ide bahwa teknologi akan mampu untuk membentuk suatu sistem sosial (misalnya: uang), yaitu terbebas dari intervensi/ peran manusia. Dalam hal ini, bitcoin bukanlah menciptakan uang tanpa ‘kepercayaan’, tetapi justru bitcoin merupakan kepercayaan membuta terhadap teknologi. Bitcoin sendiri nampak tidak hanya mereplikasi, tetapi juga memperburuk keadaan ketimpangan kekayaan dan kuasa yang dapat ditemukan di dalam sistem keuangan saat ini.

Dari berbagai argumentasi tersebut di atas, penulis memberikan pandangan bahwa blockchain adalah suatu teknologi yang mengupayakan adanya suatu kolaborasi massa par excellence, dalam hal ini penulis memandang bahwa blockchain ataupun bitcoin bukanlah sesuatu yang buruk, akan tetapi bahwa diperlukan suatu regulasi yang melindungi setiap partisipan dari blockchain ini. Kenyataaan yang tidak terelakan adalah uang adalah klaim atas suatu modus eksistensi dan pengalaman yang dibagikan, konsentrasi pengetahuan dan infrastruktur penambang koin misalnya, dalam arti ini sesungguhnya tidak berbeda dari suatu sentralistik sistem dalam arti yang berbeda. Dalam perkara blockchain yang menciptakan digital state of nature melalui uang, yang sejatinya dapat menimbulkan kekacauan relasi sosial (hal ini sudah terjadi, misalnya: human trafficking, obat-obatan terlarang, senjata, prostitusi, penjualan organ tubuh, perjudian, dan lain sebagainya). Hal ini terjadi karena adanya penggabungan antara digital dan riil itu, aspek sosial negatif justru difasilitasi dengan kehadiran bitcoin, dan melalui blockchain maka negara tidak kuasa melalui hukumnya untuk menindak individu itu. 

Tabel 1. Matriks korelasi antara mata uang negara-negara terhadap bitcoin, 21.07.2013 s.d. 08.07.2018, harian, Sumber data: Yahoo Finance, diolah. 

Blockchain dalam arti tersebut memiliki persamaan pada pemikiran Thomas Hobbes pada karya Leviathan, yaitu untuk mengatasi kekacauan yang ditimbulkan oleh bitcoin ini, setiap partisipan perlu menyerahkan sebagian haknya untuk dapat dijaminkan oleh suatu pihak tertentu yang mampu mengelola dan menjamin hak setiap individu itu agar tetap bebas, dalam hal ini adalah negara. Dengan analogi ini, maka bitcoin tidak lah tepat apabila diberlakukan sebagai semacam mata uang yang bisa diterbitkan oleh korporasi/ swasta/ individu, karena akan menciptakan suatu nilai kurs atas mata uang negara dan mata uang yang diterbitkan itu. Paling tidak setiap individu yang menjadi penambang koin digital itu perlu terdaftar dan diawasi oleh otoritas jasa keuangan. Sebagai ilustrasi kasus, perhatikanlah tabel 1. di atas yang menunjukan korelasi antara mata uang negara dengan bitcoin, setiap negara akan menjadi terhubung melalui proses arbitrase, dalam hal ini bitcoin menjadi semacam mata uang bersama digital yang justru dapat menjadi pintu masuk kegagalan sistem ekonomi (seperti pada kasus Euro dan negara Yunani). Untuk itu, blockchain dan mata uang digital hanya baik diterapkan oleh negara, agar kembali selaras dengan mata uang konvensional, dan dalam arti universal ide mata uang seperti bitcoin harus dikuasai oleh institusi international (misalnya: world bank). Akhirul kata, kehidupan kita sudah di teras dunia digital, kita tidak dapat lagi menoleh kebelakang, dan dunia digital ini melaju dengan cepatnya, sudah siapkah kita dengan perubahan-perubahan yang terjadi? Siapkah kita hidup dan terhubung melalui blockchain ini?

Daftar Bacaan
Chiu, Jonathan, and Thorsten Koeppl. 2017. The Economics of Cryptocurrencies - Bitcoin and Beyond. Orange, California, April. Accessed August 17, 2018. https://www.chapman.edu/research/institutes-and-centers/economic-science-institute/_files/ifree-papers-and-photos/koeppel-april2017.pdf.
Dodd, Nigel. 2017. "The Social Life of Bitcoin." Theory, Culture and Society 35 (3): 35-56.
Nakamoto, Satoshi. 2009. Bitcoin: A Peer-to-peer Electronic Cash System. May 24. Accessed August 17, 2018. https://bitcoin.org/bitcoin.pdf.
Tapscott, Don, and Alex Tapscott. 2016. Blockchain Revolution: How the technology behind bitcoin is changing money business, and the world. New York: Penguin Random House.

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)