Sic Mundus Creatus Est

"Tampaknya, kefanaan ini memang sekonyong-konyong menjadi begitu berharga di hadapan ketiadaan."

“Tic Tac Tic Tac Tic Tac…” begitulah yang diucapkan Helge Doppler, ia adalah seorang karakter pada serial film Dark. Ya, semenjak masa pageblug ini melanda dunia, kesadaranku diajak menelusuri lorong-lorong labirin pikiran. Aku pikir aku memang gila ringan, dan menonton tayangan Netflixlah menjadi paracetamol akan hal itu. Ah ya pageblug, apa yang baru dari hal itu, toh sejak zaman Nabi Musa pun juga sudah melanda bangsa Mesir, toh Albert Camus juga sudah bercerita panjang lebar dari sudut pandangnya. Sebuah cerita-cerita yang sejak masa-masa terpenjara di sekolah menengah sudah kunikmati lembar demi lembar bacaannya, terkait bagaimana kita memperjuangkan kehidupan ini secara habis-habisan.

Mungkin ada benarnya juga, apabila sedang bergumul hendaknya jangan menonton tontonan yang be-rating tinggi. Sebaiknya tontonlah film-film action atau drama-drama remaja chicklit saja… Ah, ya gak juga aku pikir… benar saat menonton memang terasa ringan, tapi itu lho ketidaklogisan dramaturgi dan penataan plot di setiap adegan… malah bikin mumet berkepanjangan, alih-alih terhibur malah menjadi kritikus monolog dan sibuk umpat-mengumpat akibat reaksi overthinking ala benang ruwet dengan simpul mati di sana sini. Sulit memang ketika segala neuron dan synapsis di kepala ini terkendala dengan cairan kimia yang entah apa pemicunya reaksi perubahannya. Apa-apa kok serba dianalisa jadinya.

“Tic Tac Tic Tac Tic Tac…” sama persis dengan sekuens kata-kata repetitive yang muncul dari karikatur seorang penderita Dementia di serial itu. Serial yang sesungguhnya secara konseptual sudah cukup aku mafhum dengan membabat buku-buku Nietzsche, Camus, dan Heiddeger. Keberulangan, Genealogy, Lingkar Keabadian, Keterlemparan, Kebermulaan, Keberakhiran, ah apalah itu semua untuk menjelaskan hal ihwal “ada”. Hingga episode terakhir dari musim ketiga serial itu, aku masih beranggapan bahwa menonton serial dengan kualitas “dua ibu jari teracung” itu ya hanya “Nice to have, saja”. Ya, sebuah upaya pengalih perhatian dari situasi sosial pelik yang kuhadapi dalam kurun lima tahun belakangan ini.

Hingga tak lama waktunya setelah episode terakhir itu selesai kutonton, aku menerima kabar bahwa seorang kakak dari Ibu menderita sakit keras. “Tante, sebaiknya iklaskan saja Mama, karena jantungnya Mama sudah bengkak, ginjalnya pun sudah tidak berfungsi, paru-parunya terendam cairan.” ujar seorang anaknya yang paling tua. Cuaca sekelilingku mendadak menjadi suram, isak tangis dan cucuran air mata bisa setiap menit ku saksikan. Begitu pula aksi protes dan kemarahan, serta merta sikap tidak terima dengan realitas yang tiba-tiba tersaji di keluarga kami ini, menjadi begitu kental dan mengisi hari-hariku. Aku yang menentramkan diriku dengan segala upaya untuk menyelami ketiadaan, asketisme yang sudah cenderung schizoid, dengan segala argumentasi stoikisme yang kalau dipikir-pikir sudah menjadi sindrom aspergers taraf sedang; mendadak harus terseret dalam hiruk pikuk pribadi-pribadi yang mempersiapkan dirinya untuk menerima sebuah ketiadaan.

Memang tidak mudah menghadapi ketiadaan, apalagi dalam arti fisik. Ketika tubuh ini diminta kembali untuk melebur bersama alam dan masuk dalam fluksus urai-susun atom-atom kehidupan, maka tak seorang manusia normal pun akan sanggup menghadapi situasi itu. Tidak ada yang ikhlas. Tampaknya, kefanaan ini memang sekonyong-konyong menjadi begitu berharga di hadapan ketiadaan. “Kandani ook.. urip iki mung setipis helai rambut!” ujar salah seorang teman yang menjadi penyintas wabah dunia ini, menjadi penegas pikiranku terkait hal itu.

“Tic Tac Tic Tac Tic Tac…” waktu pun berlalu hingga prediksi tentang ketiaadaan itu semakin dekat. Hari itu terasa sesak, waktu seolah berlalu dengan cepat… 

“Bagaimana kondisi Bude?” Tanyaku

“Bude, kakinya sudah menghitam dan bengkak, pembuluh darahnya terlihat semua, di kulitnya pun juga kelihatan ada cairan-cairan yang keluar… katanya itu efek dari obat herbalnya.” 

“Lho, siapa yang bilang itu?” Kejarku lagi, penasaran

Mamaku, lantas menceritakan bagaimana nasib kakaknya yang selalu memanjakan dirinya itu. 

“Berdasarkan apa yang kamu lihat barusan itu, sudah segera saja Bude dibawa ke UGD, aku bukan dokter, tapi barangkali masih bisa tertolong, waktu kita hanya 1 x 24 jam untuk menghadapi uremic crisis, itu dari yang pernah aku baca.” 

Suasana pun semakin tegang antara kelompok yang mengatas namakan Tuhan untuk serba ikhlas “membiarkan yang sakit tiada begitu saja tanpa diobati” dengan kelompok yang pro-medis untuk berspekulasi mempertahankan kehidupan. Suasana semakin semrawut, antara relasi kuasa, harmonisasi dan kebersamaan keluarga, prosedur medis dan pengobatan alternatif, retorika dan dilektika, perang  antara Mitos dan Logos, alhasil Bude mangkat di tengah kericuhan politik keluarga, tanpa mendapatkan suatu treatment medis dan etis dari “pihak-pihak yang mengaku sebagai keluarga.” Ini sungguh suatu tragedi sosio-mickopolitis, karena eksistensi manusia yang tidak berdaya hanya ditentukan oleh sekelompok orang yang mengaku dekat, namun senyatanya adalah suatu konstelasi transaksi kepentingan dan ideologi pribadi semata.

“Tic Tac Tic Tac Tic Tac…” Bagiku ke-bagaimana-an cara seseorang itu tiada (kondisi: pra-kematian) tidaklah penting. Kita ini, sebagai manusia, memang secara hakikat adalah makhluk mortal, yang pasti akan mati. Meskipun dalam hal itu, kita tidak pernah tahu kapan waktunya, hal yang lebih penting buatku adalah bagaimana cara seseorang itu merangkul kehidupan itu beserta realitas se-nyata-nyatanya. Artinya, bagaimana cara ia hiduplah yang sudah selayaknya dan sepantasnya kita kenang, bagaimana ia mensiasati segala problema kehidupan ini, yaitu mempertahankan “hidup” dengan segala kemungkinan-kemungkinannya secara habis-habisan, secara total, amor fati ! Hal ini kemudian sekurang-kurangnya menjadikan bahan permenunganku akan: Bagaimana kita—yang masih hidup—ini menjalankan hidup itu sendiri? Bagaimana kita ini, dalam relasi kemanusiaan kita secara bersama-sama saling menjaga kehidupan ini, dan yang-hidup.

Pertama, romantisasi proses pra-tiada ini perlu dikurangi. Namun hal ini juga bukan berarti kita harus menolak suatu upaya memento mori secara mutlak. Kenangan akan kematian seseorang, justru mengarahkan kita pada sesuatu yang hidup, sebab kematian pada hakikatnya merupakan batas eksistensi manusia, dengan demikian melalui kematian itu hal ihwal hidup mendapatkan bingkai refleksinya, sehingga hidup menjadi relevan untuk diperiksa. Kenangan akan pra-tiada seseorang itu memang pada dasarnya baik untuk mengurai kekecewaan, namun secara a priori menuntut akan adanya langkah dan sikap lanjutan. Karena kenangan yang terus menerus tidak akan mampu mengembalikan seseorang yang telah tiada secara fisik, kenangan hanya hadir dalam rupa imaterial dan justru membelenggu seseorang dalam lembah depresinya. Hal ini harus segera digantikan dengan inspirasi bagaimana seseorang itu dulu semasa hidupnya bereksistensi, sehingga melahirkan pemaknaan baru bagi orang-orang yang ditinggalkan. Cara dan makna yang dikenang dan disintesakan itu akan memperkaya batin kita untuk tetap melanjutkan hidup. Cara dan makna yang melekat dengan seseorang itu berubah menjadi esensi, dan dampaknya justru memberikan kebangkitan dan hidup kembali pada orang yang telah tiada itu sekurang-kurangnya pada tingkat intelektual. Nilai esensial inilah yang kemudian akan melahirkan sikap moral baru bagi kita dalam menjalankan kehidupan dengan segala pilihan dan tawarannya.

Kedua, karena subyek yang hidup ini menjadi prasyarat terjadinya relasi, maka secara tanggung renteng relasi antar manusia adalah suatu upaya menjaga kehidupan--keselamatan manusia-manusia itu sendiri. Ketika upaya menjaga kehidupan itu ditawar dengan perihal ekonomi, perihal kebersamaan, perihal kepercayaan dan keyakinan tertentu, sejatinya justru mereduksi makna kehidupan itu sendiri. Kehidupan itu seolah-olah dicacah-cacah dan dimaknai hanya berdasarkan pada atribut-atributnya saja yang dianggap relevan oleh setiap pribadi. Pun di sini relasi kuasa justru menghancurkan kemungkinan-kemungkinan ide bahwa yang hidup dapat mampu tetap hidup, karena dalam relasi kuasa bobot terbesar adalah milik subyek individu yang diberikan hak kendali dan/ atau memaksakan kehendaknya. Hal ini akan diperparah situasinya ketika subyek individu tersebut tidak memiliki kecukupan pengetahuan sebagai dasar pertimbangan moralnya, sehingga putusan-putusannya justru menjauhkan dari niatan awalnya, dan menciptakan relasi yang serba merelatifkan segala sesuatu. Sederhananya, alih-alih mengajak semua pihak yang berelasi untuk menolong orang yang sakit, malah disibukkan dalam perihal administrasi dan transaksi politik semata. Relasi antar subyek disini menjadi kontra produktif, dan konsekuensinya yang sakit malah tidak mendapatkan pertolongan yang semestinya.

Memang masih banyak hal lagi yang dapat dianalisa dan diurai dalam hal kejadian itu, akan tetapi dalam hal ini, kedua pertanyaan yang diajukan di atas merupakan bentuk kritik terhadap ide bahwa eksistensi manusia ditentukan oleh kelompok manusia lainnya. Selain itu, juga memberikan rasa waspada kepada setiap individu, bahwa ada suatu momen di mana kita tidak berdaya dan harus rela membenamkan diri dalam relasi kuasa. Dalam kondisi ekstrim, hidup kita ini adalah tanggung jawab diri kita sendiri. Bersikap kritis menjadi cara kita untuk memeriksa tidak hanya kesehatan fisik kita, namun juga mental kita. Karena ketika kita kehilangan kuasa akan diri kita, jangan sampai kita “terkelabui” dengan niatan dan saran-saran palsu yang sejatinya justru mencelakakan kita. Meskipun demikian bukan berarti kita lantas juga menolak kehadiran orang lain, komunikasi yang terbuka mampu memberikan pertimbangan-pertimbangan moral dan sekaligus secara empan papan memberikan peran serta orang-orang yang terikat dalam relasi.

Bahwa relasi keluarga semacam cerita di atas ini tentu saja memberikan pukulan keras bagi nalar. Pun hingga artikel ini ditulis, aku masih mengekskomunikasikan mereka. Cara hidup yang kontra produktif dan membudayakan kematian ini, dengan tegas aku tolak. Sikapku terhadap kelompok ini adalah aku memberikan batas dan jarak sosial yang semakin tegas. Karena buatku relasi itu bukan sesuatu yang terberi secara biologis semata, namun karena hubungan ketersalingan antar subyek yang silih berganti mengambil peran aktual. Segala fakta yang hadir dan argumentasi yang terbangun oleh fenomena itu, mengajakku untuk hening sejenak dan merenungkan kehadiranku dan peranku di tengah-tengah mereka. Upaya-upaya komunikasi apa yang perlu aku lakukan selanjutnya. Peran dan sikap seperti apa yang harus aku kedepankan ketika berjumpa dengan mereka. Aku belum tahu jawabannya. 

Akibat kasus di atas, untuk sementara waktu ini mereka aku tunda dulu kehadirannya. Mereka dengan terpaksa harus aku masukkan kandang “persona non grata”. Pun sama aku juga tidak menolak sikap mereka yang menolak “ada-ku”. Aku memahami dan memaklumi bahwa dalam kondisi ini antara aku dan kalian sedang tidak sepaham dalam arti nilai dan makna kehidupan. Aku perlu mempertimbangkan kembali formasi-formasi relasi antara aku-material, kalian-material, aku-immaterial, kalian-immaterial, aku-kalian-immaterial, kalian-aku-immaterial dan semuanya dalam relasi keseluruhan dengan tuhan. Mungkin dalam kondisi kesementaraan semacam inilah aku harus melanjutkan dan memperjuangkan kehidupan ini tanpa melibatkan mereka. 


Sic Mundus Creatus Est.   


Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)