Kendali Diri, Waktu, dan Menunda Keinginan

Nampaknya manusia memang cenderung tidak rasional. Meski kita ini telah memproklamirkan bahwa era modern adalah era rasional, dan telah berkembang jauh semenjak abad ke-17 waktu Descartes meletakan fondasi kesadaran murni. Bagaimana dengan manusia Indonesia, sudah rasionalkah mereka? Atau, seberapa sadarkah mereka bahwa mereka sudah rasional? Tentu saja, yang tidak rasional belum tentu melulu bermakna negative, tapi apa-apa yang serba tidak rasional itu justru menjauhkan kodrat manusia yang berpikir secara aktif dengan akal budinya.

Perkara kesadaran dan berpikir ini memang menjadi problematis. Apalagi perihal ini terjadi di era budaya kapitalisme modern, yang nota bene seringkali produk-produknya memang benar membantu peri kehidupan manusia, namun juga yang khas dari budaya ini adalah daya hipnosisnya dan penghisapannya. Manusia dibuat untuk sebisa mungkin menjauh dari kesadaran murninya, dan terlarut dalam sajian-sajian yang menyerap sumber daya mereka yang paling berharga, ialah waktu.

Sumber gambar: doctorandum.com

Membaca buku Predictably Irrational karya Dan Ariely saya terhenti pada suatu bab yang membicarakan “Mengapa kita tidak dapat membuat diri kita sendiri melakukan apa yang kita kehendaki?” Sebuah bab yang berfokus pada masalah manusia pada umumnya senang menunda-nunda sesuatu. Menurutnya mengapa manusia sering menunda sesuatu karena manusia itu cenderung sulit mengontrol dirinya sendiri. Tapi dalam arti ini bukan berarti manusia tidak sama halnya seperti binatang yang lebih dikendalikan karena instingtual mereka belaka.

Lantas, saya berpikir bukan karena kata tanya “mengapa”, tetapi “apa” yang datang menghampiri dan membuat manusia bertindak menjadi seperti itu? Apakah memang benar, seorang manusia tak ubahnya seperti organisme bio-chemo-mechano saja, yang dari awalnya pikiran manusia itu seperti kertas putih kosong? Apa wujud asali manusia itu sendiri: apakah embrio, chromosome, atau kah DNA? Unsur protein yang dalam mekanisme alamiahnya justru membutuhkan “tubuh” dan menjalankan berbagai kegiatan yang katakanlah “di dunia material/ fana” ini untuk memperbaiki kode-kode DNA dan bereproduksi. Secara substansial, manusia hanyalah suatu fase dalam siklus kehidupan DNA untuk mempertahankan bentuk kode-kode yang dimilikinya. Hal ini seperti halnya DNA adalah suatu program yang dapat menuliskan dirinya sendiri, namun hanya dapat dilakukan perbaikan atau pembusukannya di dunia material saja. Seperti halnya suatu perangkat lunak, menulis—instalasi—operasi—debug—menulis—instalasi… dalam ad infinitum.

Sebelum kita lebih jauh, mungkin kita bisa berefleksi dahulu terkait menunda-nunda pekerjaan dan kontrol diri. Mungkin saja pembaca bisa bilang oh saya sudah terbiasa dengan deadline, “karena bos saya galak”, atau “saya bisa terkena penundaan bonus.” Dalam situasi yang bersifat memaksa (karena ada reward and punishment, mungkin mengikuti skema kerja penuh deadline terjadi bukan karena kita memang secara sadar bahwa pekerjaan adalah tanggung jawab saya, akan tetapi karena ada semacam intimidasi yang menghadirkan rasa takut apabila kita tidak menyelesaikan tugas pada waktu yang sudah ditentukan. Bagaimana ketika situasinya diubah, bahwa atasan anda memberikan beberapa tugas dengan beberapa termin deadline tapi tanpa adanya ‘reward and punishment’. Atau, bagaimana jika situasinya bahwa atasan anda membebaskan waktu deadline tugas tersebut, seluruh tugas yang ada itu hanya akan dikumpulkan pada satu waktu tertentu. Apabila waktu pengerjaan tugas tersebut terhitung lumrah dikerjakan, manakah yang akan anda pilih, mengumpulkan sebelum deadline atau pada saat deadline? Ketika anda memilih untuk menunda pekerjaan, maka aktivitas apa yang anda kerjakan?

Dari pertanyaan-pertanyaan itu, lantas saya berpikir bahwa apabila saya mengakui bahwa control diri saya lemah, maka faktor eksternal saya menunda pekerjaan saya itu paling tidak ada dua sumber, yakni: sesuatu dari lingkungan saya bermukim, atau sesuatu akibat saya mengakses lingkungan yang lain secara sengaja. Sebagai contoh di satu sisi, ketika anda tinggal bersama keluarga, ntah siapa pun bisa jadi datang mengajak anda untuk ikut serta dalam kegiatan lain, entah Ibu anda minta tolong ke warung, entah adik anda minta ditemani belanja pakaian, atau hewan peliharaan anda yang mendadak ribut karena minta camilan, macam-macam. Sedangkan contoh di sisi lain, ketika anda sudah terbebas dari segala gangguan dan hiruk pikuk lingkungan, maka anda duduk di depan mesin pencari anda, dan berniat untuk mengerjakan tugas, dan anda mulai berselancar. Namun lagi-lagi anda terjerumus dalam tontonan video, sajian foto-foto dari lini masa anda, atau ada artikel-artikel yang kurang relevan namun berhasil menyedot perhatian anda untuk membacanya.

Dari kedua hal itu yang menarik perhatian saya adalah bagaimana kita kehilangan kendali ketika kita sedang berada pada dunia maya. Lebih lagi ketika kita aktif bersosial media. Segala informasi yang datang benar-benar seperti gelombang tsunami yang bahkan bisa sampai mengaduk-aduk emosi kita. Dilansir dari globalwebindex.com ditunjukan bahwa rata-rata orang Indonesia yang berumur 16 hingga 64 tahun menghabiskan 3 jam 14 menit untuk bersosial media. Angka ini lebih lama 49 menit dari rata-rata dunia, dan 1 jam 50 menit lebih lama dibandingkan orang jerman yang terkenal produktif dan tepat waktu. Meskipun bisa saja orang menyangkal bahwa saya bersosial media karena mengelola toko-toko online saya, tapi ya masalahnya anda hanya satu dari sebagian toko online di negara ini yang menggunakan sosial media sebagai wahana promosinya.

Hal ini apabila dipikir-pikir di waktu hari kerja, dalam satu hari orang Jakarta menghabiskan waktu untuk tidur katakanlah 7 jam, maka masih tersisa 17 jam untuk orang tersebut dalam kondisi tidak terlelap. Dikurangi lagi waktu untuk kebutuhan fisik, seperti makan, minum, sembahyang dan sanitasi, katakanlah satu hari memakan waktu 3 jam, maka waktu tersisa hanya 13 jam. Waktu ini masih dikurangi lagi waktu anda berkendara dan parkir kendaraan, yaitu 1 jam 31 menit. Berarti anda masih memiliki 11 jam 30 menit, dan ini dikurangi waktu bekerja 8 jam, berarti tersisa 3 jam 30 menit. Apabila dikurangi dengan waktu bersosial media maka waktu anda untuk hal yang lain adalah 16 menit. Pertanyaannya tugas apa saja yang bisa anda selesaikan dalam 16 menit? Saya kira anda akan memilih untuk melanjutkan mengunggah story anda atau status di linimasa anda bukan?

Gambar 1. Waktu yang Digunakan untuk Bersosialmedia dalam Satu Hari, sumber: wearesocial.com


Bayangkan hal ini apabila anda memiliki cita-cita besar menginginkan mengelola bisnis pribadi, bermain bersama anak, memiliki waktu berkualitas besama pasangan, membaca buku dan meningkatkan kemampuan diri anda, mengerjakan hobby anda, dan lain sebagainya. Tentu saja tatanan budaya di Indonesia ini memang melahirkan reward and punishment tersendiri. Anda bisa menjadi musuh komunitas ketika anda mengendurkan tali hubungan keeratan sosial. Semakin pelik memang situasi perilaku hidup di Indonesia, khususnya di kota besar seperti Jakarta. Ilustrasi di atas menggambarkan apabila situasinya berjalan normal, belum ada kerja lembur, belum atasan mengajak hang out, atau komisaris perusahaan minta untuk didampingi bersenang-senang. Ya tentu saja, yang dikorbankan adalah waktu tidurnya. Padahal tidur memiliki reward and punishment yang paling terasa dan telak bagi seseorang. Ya apa boleh buat kasus kendali diri yang rendah ditambah dengan kalkulasi bobot prioritas yang serba tidak konsisten semakin menjauhkan orang dari tujuan meningkatkan kualitas kehidupan dirinya.

Akan tetapi apalah paparan di atas ya ujung-ujungnya adalah upaya mencari-cari alasan logis, untuk menyangkal diri, bahwa penulis sendiri juga tidak terhindar dari rendahnya kendali diri dan penundaan waktu. Tidak melakukan apa yang sudah dirancang dan direncanakan atas dasar faktor eksternal apapun, ya menuruh penulis adalah kebiasaan yang memang manusiawi karena suka mencari-cari alasan untuk mempertahankan kenyamanannya. Nyaman bukan karena hidup yang serba ada, namun nyaman karena berada dalam zona keseharian yang serba ajeg, meskipun dengan segala kericuhan dan hambatan untuk membuat manusia itu tetap bisa mengembangkan dirinya. Ya.. semoga dalam hidup yang seperti ini setiap insan manusia bisa menunda-nunda juga kematiannya ya, meskipun mungkin itu bukan akhir dalam DNA untuk mencari cara baru menuliskan sejarah dirinya.



Referensi


Ariely, Dan. 2008. Predictably Irrational. New York: HarpersCollins .
Ariely, Dan, and Klaus Wertenbroch. 2002. "Proscrastination, Deadlines, and Performance: Self-Control by Precommitment." Psychological Science 13 (3): 219-224.

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)