MRT, Sarinah, dan Arena Ekonomi Kapitalis

Akhirnya di akhir pekan ini aku memutuskan untuk keluyuran, “klintong-klintong” kalau orang jawa bilang. Sudah penat dan jumud rasanya menghadapi keluh kesah orang-orang sekitar yang melulu bercerita tentang kesulitan keuangan. Aku jujur gak habis pikir, salah mereka di mananya, tapi buat aku lebih sulit mengatur keinginan dari pada perihal keuangan. Berbagai ajakan diskusi melakukan start-up perusahaan, pun juga peluang-peluang bisnis aku ingkarkan begitu saja, pura-pura tak tahu dan tak peduli. Mode "pesawat udara" pun menjadi jurus andalan. Kalau untuk klien, aku dengan mudah menolak atau menjadwalkan ulang rapatnya, bilamana mereka meminta waktu pertemuan di hari Minggu. "Tuhan saja memilih untuk menganggur bung, apalagi aku kan!"

Jalan-jalan kali ini aku memutuskan tanpa persiapan dan iterinari yang jelas. Tujuannya satu, ngelayap! Seperti biasa setelah mengurus urusan rumah tangga dan birokrasi dari Ibu yang sudah cukup sepuh dan lebih mengambil peran sebagai sipir penjara alih-alih seorang pamong, aku bersiap-siap. Aku pun mengambil beberapa barang-barang yang sekiranya diperlukan dan sudah tersedia di depan mata. Sweaters, sepatu, kunci mobil dan tas berisikan seperangkat alat pembayaran, dan lain sebagainya. Sudah malas mikir dan berencana. Aku pun juga sudah tidak peduli dengan gaya busana dan cara berpakaian, intinya warna hitam: formal atau kasual, titik. Dua tahun sudah aku berpakaian seperti “wayang wong”, baju dan celana yang itu-itu saja. Berbeda dengan orang-orang kebanyakan jaman ini, untuk pemilihan pakaian saja harus sibuk dengan perkara-perkara sosial dan serba menimbang rasa cemas kalau-kalau malah dirundung oleh para kenalan dan pengikutnya. 

Jalanan cukup lengang sore itu. Dalam dua puluh menit berkendara aku sudah berhenti dan memarkir mobil. Mulai lah pikiranku bertanya-tanya, ke mana? Mau ke mana sore ini? Ke mana tujuannya? Sambil menimbang-nimbang keputusan apa, aku mulai membongkar tas besar yang aku bawa tadi. Satu persatu aku pilah, dan ah ya.. tentu saja buku. Paling tidak, andaikan nanti bingung di tengah jalan, sekurang-kurangnya aku bisa mampir di sebuah kedai dan membaca. Pertanyaan tadi pun masih melintas di benak, dan aku pikir sudahlah naik transportasi publik dulu, kalau bosan atau ada yang menarik tinggal turun di stasiun pemberhentian. Sembari aku mengeluarkan kasut aku, dan tersadar bahwa aku pun telah keliru mengambil itu.

Memang sudah menjadi rutinitas hari Minggu, selain membersihkan dan merapikan kamar, aku juga selalu merawat barang-barang. Aku memang memiliki loyalitas pada barang-barang bermerk tertentu dan model yang itu-itu saja. Meskipun ada tawaran model atau tren produk baru, loyalitas terhadap gaya tertentu tidak mempengaruhi putusan pilihanku. Kebetulan sepatu yang aku bawa adalah berjenis boots bertali buatan Inggris Raya yang sudah jarang aku pakai. Dulu boots itu sering menemani untuk datang nonton ke acara-acara konser musik, akhir-akhir ini ya hanya dikeluarkan untuk diangin-angin dan dirawat kulitnya. Ya sudah lah apa boleh buat, sekali-kali patut dicoba keluar di ruang publik dengan gaya yang bisa dipastikan aneh bin eksentrik seturut norma dan kebiasaan sosial. Setelah cukup repot memakainya, akhirnya selesai juga. Ya bagaimana tidak, untuk memakainya saja cukup menghabiskan waktu dan mengeluarkan keringat. Untuk menganyam tali sampai atas dengan 20 lobang itu memang perlu ketabahan ekstra.

***

Aku melangkah menuju stasiun MRT. Jarak dari lokasi parkiran mobil dan stasiun itu tidak cukup jauh, kurang lebih sekitar 750 m atau sekitar delapan sampai sepuluh menit jalan kaki. Dengan pakaian serba hitam, tas selempang, dan kaca mata hitam akhirnya aku sampai pada ruang tunggu keberangkatan. Aku berusaha cuek saja. Persetan dengan persepsi dan tatapan mata orang. Toh, ya aku gak kenal mereka, dan penghakiman mereka juga tidak akan menyebabkan isi dompetku berkurang. Lagipula, siapa yang tahu juga kan isi hati dan kepala orang lain. Namun benar juga, sembari menunggu aku memang menyadari ada beberapa tatapan mata yang salah fokus dan mencuri-curi pandang, dan hal itu justru memantik pertanyaan di benak aku. “Mengapa orang-orang sini, kok tidak bisa dengan mudah menerima sesuatu yang eksentrisme dan di luar kenormalan ya?” “Apakah masyarakat kolektif itu justru cenderung mencari-cari persamaan dan kemiripan, alih-alih menerima perbedaan, terjebak dalam stereotipe?” “Bagaimana jika kondisi lingkungannya berada di masyarakat yang secara kultural itu sudah homogen? Apakah mereka berpikir sebaliknya, menciptakan perbedaan dan keunikan dirinya?” “Apakah memang benar seperti yang dikatakan George Simmel, bahwa manusia itu menghidupi paradoks, mereka selalu berada di dalam tegangan antara yang-beda dan yang-sama?” “Apakah memang norma sosial itu memang sesignifikan itu dalam menentukan cara berpikir dan mengambil keputusan seseorang?” Sepertinya ini akan menjadi pengalaman baru yang menarik aku kira. Akhirnya kereta pun datang. Aku melangkah masuk dan duduk di tengah gerbong, di bagian pinggir dekat pintu. Tak lama kemudian, pintu ditutup dan Kereta pun meluncur perlahan menuju pusat ibukota.

Kereta pun melaju, dan dari pengeras suara masih terdengar propaganda pandemi COVID-19. Di dalam kabin kereta, setiap penumpang tidak diperkenankan untuk berbicara. Beberapa orang petugas keamanan secara silih berganti berpindah-pindah gerbong untuk mengawasi dan mendisiplinkan penumpang. Meskipun demikian masih ada saja beberapa kelompok orang yang mencuri-curi untuk tetap bisa berbicara di situ. Aku salut dengan manajemen MRT karena mereka bisa menciptakan sistem kendali secara halus dan sopan, mereka juga tidak berbicara hanya menggunakan bahasa isyarat awam dan gestur tubuh untuk berkomunikasi. Aku terkesan dengan cara komunikasi simbolis yang efektif ini. Sebuah peraturan itu memang sejatinya membuat tidak nyaman seseorang, karena menunda sebagian kebebasannya demi hak-hak orang lain yang bersama-sama dalam suatu sistem itu. Penegakan aturan dengan cara permohonan maaf dan meminta keterlibatan seseorang, memang lebih manusiawi dari pada menggunakan tindakan represif berbalut kekerasan verbal.  

Dalam lima menit, keadaan mulai senyap. Nampaknya orang pun menjadi serba tidak nyaman karena untuk berbicara saja harus mencuri-curi kesempatan. Kabin itu mulai terasa seperti perangkat kekuasaan sosial yang mampu 'mencuci otak' siapa saja yang di dalamnya untuk patuh. "Ah Foucouldian sekali, persetan dengan si gundul posmo itu..." Tetiba hal itu melintas di kepalaku. Aku pun mulai membuka buku yang tadi aku bawa. Masih ada beberapa bab yang harus aku selesaikan dan refleksikan di minggu ini terkait dengan ekonomika keperilakuan. Sembari ditemani oleh Dan Ariely, aku pun sesekali melihat-lihat pemandangan dari atas kereta, dan tentu saja sembari curi-curi pandang juga terhadap penumpang yang mempertanyakan kehadiranku di gerbong itu. “Mungkin, perasaan inilah yang dimaksudkan sebagai fenomena “Escape from personality” seperti yang digagas oleh T.S. Elliot. Perasaan momen keterasingan dan penolakan telah hadir dalam benakku akibat membandingkan dengan apa yang telah dimaklumkan secara umum. Dalam bungkus eksentrisme busana yang melekat ditubuhku, aku bisa merasakan “sebagai yang asing” di Kota ini.
 
MRT di Jakarta itu belum lama dibangun. Jakarta sebagai kota metropolis baru memiliki layanan transportasi masal publik di awal 2019. Meskipun konsep dan rancangannya sudah lama digagas sejak 1985. Saat itu, B.J. Habibie sebagai kepala BPPT lah yang meminta untuk mengkaji transportasi Jakarta. MRT di Jakarta dibangun pada jalur “as” membelah timur dan barat, menghubungkan bagian selatan mengarah ke utara kota, melengkapi jalur kereta komuter yang sudah beroperasi lebih lama. Integrasi MRT dan Jalur Penglaju (Commuter Line) terhubung antara pusat kota urban dan area sub-urban, dan bahkan sampai pelosok area rural di Jawa Barat. Dengan adanya MRT semakin tegas bahwa Jakarta adalah kota metropolis modern, yang menjadi pusat bagi orang-orang di republik ini mengais remah-remah kue ekonomi.

Sambil berandai-andai dan masih dihantui oleh perasaan resah karena nekat “salah kostum”. Aku mendadak terhibur oleh sinar matahari sore menghiasi bangunan-bangunan beton pencakar langit. Jalur MRT di Jakarta tidak semuanya berada di bawah tanah, setengah lintasan dibangun di atas rel layang. Sungguh menjadi pengalaman yang tidak biasa, bagi orang sepertiku yang tinggal dan bekerja di area sub-urban. Tidak lama hingga separuh lintasan, kereta masuk terowongan dan menuju ke bawah melintasi rel-rel dibawah tengah kota. Hanya gelap dan sesekali terlihat lampu servis di dinding terowongan. Derit dan decit friksi roda dan rel kereta juga menjadi irama ritmis orkestrasi 28 menit dalam 12 pemberhentian. Akhirnya, bait terakhir dari pengeras suara terdengar bahwa wahana MRT telah sampai pada pemberhentian terakhir, ialah Stasiun Bundaran HI.

Peron bawah tanah di Stasiun MRT Bundaran HI, sumber gambar: foto pribadi penulis

Satu persatu anak tangga aku daki, untuk kembali ke permukaan bumi. Setelah tangga ke 63 akhirnya aku dapat merasakan kembali polusi udara kota secara langsung. Di sekitar terlihat banyak orang-orang yang mencoba mengabadikan moment perjalanan mereka. Berbagai pose dan sudut lensa, dan saling bergantian mencoba menangkap ekspresi keriaan. Tak lama kemudian, keriaan itu pun berubah seketika menjadi suatu keheningan, mereka semua terserap ke dalam gawai untuk mengunggah foto dan video yang baru saja mereka ciptakan. Beragam gestur, mimik dan ekspresi spontan, mendadak hilang dan lekas menjelma menjadi tubuh kaku dengan gerak lambat. Apa yang nyata dan apa yang maya, dapat berubah seketika dalam beberapa ketukan dan sapuan jari saja.

Aku pun berjalan kaki, aku menuju Gedung Sarinah. Aku teringat membaca di sebuah harian yang memberitakan Gedung Sarinah sudah selesai di renovasi. Dari berbagai sumber, Gedung Sarinah sendiri sudah mengalami beberapa kali renovasi. Sebagai situs sejarah ekonomi Indonesia, gedung ini boleh dikatakan sebagai tonggak pertama perdagangan ritel modern Indonesia. Ir. Soekarno kala itu mencanangkan beberapa proyek mercusuar, yang gagasan utamanya adalah untuk membangun gerai pemasaran produk-produk Indonesia yang akan menjadi pusat penjualan dan promosi. Gedung ini dibangun pada tahun 17 Agustus 1962 dan selesai setelah empat tahun setelahnya. Desain dari gedung ini juga dikerjakan oleh seorang Arsitek kelas dunia yaitu Abel Sorensen yang sebetulnya lebih dikenal karena desain-desain perabot rumah atau mebelair modern. Karya-karya Sorensen sendiri hingga kini masih dipajang di MoMA sebagai koleksi tetap.

Art Panel pada Lobby Gedung Sarinah pasca renovasi, sumber gambar: foto pribadi penulis


Gedung Sarinah desain awal sebelum tahun 1971, sumber gambar: pinterest.com


Gedung Sarinah di tahun 1971, sumber gambar: pinterest.com


Gedung Sarinah di tahun 2019 sebelum direnovasi, sumber gambar: travel.kompas.com


Perabot rumah tangga karya Abel Sorensen di MoMA, sumber gambar: moma.org


Instalasi "Good Design" sebuah mebelair bergaya modern karya Abel Sorensen di MoMA, sumber gambar: moma.org


Ir. Soekarno dan Sarinah memiliki hubungan yang emosional di masa kecilnya. ‘Si Mbok’ begitu biasa beliau memanggilnya. Sarinah adalah seorang ‘Mbok Emban’ atau pengasuh Ir. Soekarno di masa kecil. Rasa hormat, kagum, dan sayang begitu melekat dalam diri Ir. Soekarno atas pribadi Sarinah. Nama Sarinah boleh aku katakan sebagai perempuan kedua setelah Ibunya yang mencetak pribadi Ir. Soekarno. Jauh sebelum Gedung Sarinah berdiri, Ir. Soekarno telah mengarang sebuah buku dengan judul yang sama. Buku itu terbit dua tahun setelah Indonesia Merdeka. Buku Sarinah sendiri merupakan esai karya Ir. Soekarno yang memberikan gagasan dan pandangan tentang kewajiban kaum perempuan di tengah perjuangan Indonesia. Isu feminisme modern sendiri baru digagas secara padat dalam buku Le Deuxième Sexe (The Second Sex) tahun 1949 oleh Simone DeBeauvoir, seorang filsuf berkebangsaan Perancis yang beraliran eksistensialisme. Namun, Ir. Soekarno sudah mengangkat isu-isu itu secara gamblang di era awal kemerdekaan. Tahun 1955, Indonesia secara resmi sudah memberikan hak suara dalam pemilihan umum kepada kaum perempuan.

“… Apa sebab saya namakan kitab ini “Sarinah”? Saya namakan kitab ini “Sarinah” sebagai tanda terimakasih saya kepada pengasuh saya ketika saya masih kanak-kanak. Pengasuh saya itu bernama Sarinah. Ia “mBok” saya. Ia membantu Ibu saya, dan dari dia saya menerima banyak rasa cinta dan rasa kasih. Dari dia saya mendapat banyak pelajaran mencintai “orang kecil”. Dia sendiri pun “orang kecil”. Tetapi budinya selalu besar! Moga-moga Tuhan membalas kebaikan Sarinah itu!” -Ir. Soekarno, 1947-

Akhirnya langkahku terhenti di beranda Gedung Sarinah. Dahulu apa yang kuingat Gedung ini dikelilingi oleh halaman parkir roda empat. Namun kondisinya sekarang jauh berbeda. Sekeliling Gedung telah berubah menjadi plaza dengan trap. Tampak beberapa tanaman semak tertata rapi menghiasi plaza itu. Saat itu kondisinya sedang ramai. Hal yang menarik adalah Gedung itu memiliki teras yang berisikan meja dan kursi dari para penyewa los pasar (tenant) yang dapat dipergunakan untuk menikmati sore dengan secangkir kopi atau teh, dengan kudapan kecilnya. Di plaza itu banyak orang yang duduk-duduk bersenda gurau sembari bersosial media. Aku memberanikan diriku untuk melangkah masuk. Sambil tetap waspada, kalau-kalau aku dicegat oleh tenaga keamanan setempat karena dianggap subversif dalam berbusana. Ternyata pikiranku keliru. Setelah melakukan prosedur keamanan umum, laki-laki paruh baya itu pun mengatakan dengan ramah dan gestur bersahabat, 

“Selamat datang di Sarinah, silahkan masuk!” “Terima Kasih, ya Pak!” balasku.

Ketika masuk, aku disajikan dengan suasana interior yang begitu mewah. Sinar-sinar dari luar pun ikut menerangi bagian dalam bangunan ini. Beberapa langgam dan elemen grafis juga ikut menghiasi dinding dan langit-langit bagian dalam Gedung Sarinah. Aku menyadari, bahwa aku bukan hanya berada di dalam suatu gedung belanja serba ada, namun aku sedang melebur ke dalam sebuah visi tentang kemajuan ritel Indonesia. Aku berjalan dan berkeliling mengitari lantai demi lantai bangunan itu. Gedung Sarinah yang sekarang ini hanya menjajakan produk-produk lokal saja, mulai dari kriya dan kerajinan hasil produksi kemitraan perusahaan swasta nasional terbuka, hingga produk-produk start-up terpajang di sepanjang koridor. Produk furniture dan perabot rumah tangga yang dipajang ini memang harganya mahal, tapi yang saya persepsikan produk ini jauh bernilai dibandingkan produk asal negara penghasil furniture modern terbesar di dunia. Justru produk Indonesia ini tidak hanya memiliki fungsi kegunaannya secara modern saja, namun secara artistik juga berkualitas dan tetap mempertahankan elemen tradisi di dalamnya. Aku kok berani bertaruh, produk asing ternama favorit dunia itu malah jadi terkesan murahan apabila ikutan dipajang di sini.

“…Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang Merdeka!” -Ir. Soekarno, 1947-

 

Gedung Sarinah kini, sumber gambar: foto pribadi penulis


Setelah berkeliling-keliling sampai lantai atas, aku memutuskan untuk melanjutkan berjalan-jalan di sekitar Sarinah. Gedung Sarinah sendiri berdiri dalam satu blok, yang diapit dengan jalan-jalan yang menghubungkan ke daerah Kebon Sirih dan Cikini. Di sekeliling Gedung itu tampak parkiran motor di atas trotoar, ada beberapa penjaja minuman saset keliling, ada beberapa tukang ojek daring yang sedang menunggu datangnya pesanan, dan berbagai warung makan. Kontras memang, di tengah kemegahan dan keagungan Gedung Sarinah sebagai perlambang ritel modern, di sekitarnya hidup masyarakat yang menunggu sisa remah-remah kue ekonomi. Aku menepi dan duduk di bawah pohon peneduh di sisi jalan itu, dan memesan satu gelas minuman dingin berperisa jeruk instant lengkap dengan es batunya.

“Pak, kalau termos ini habis, mengisi ulang air panas di mana?” “Saya isi di monas, bang.” “Wah, lumayan jauh juga ya, Pak!” Jarak dari Gedung Sarinah ke bilangan Monas itu lebih kurang satu setengah kilometer jauhnya. Apabila ditempuh dengan jalan kaki, bisa memakan waktu sekitar 15 hingga 20 menit. Dari basa-basi itu kami pun mengobrol. Hingga, akupun bertanya

“Apakah setiap hari parkiran motor ramai seperti ini?”

“Oh nggak juga Bang, kalau hujan seharian, sampai Sarinah tutup juga tidak ada yang parkir. Jumat, Sabtu, Minggu sih lumayan penuh, kalau hari biasa ya bisa dibilang setengahnya.”

“Ya bisa dibilang tetap penghasilannya lumayan dong, Pak!” timpa ku.

“Oh gak juga, bang.. mereka kan harus setor ke kelurahan, dua ratus lah sehari.”

“Wah kok gede banget setorannya, memang berapa tariff parkirnya?”

“Sepuluh ribu.” obrolan pun berlanjut hingga minuman dinginku habis.

Dalam hatiku semakin sengit dengan gagasan kapitalisme individual ala barat ini. Memang dasar Vampir, Chupacabra‼ Aku kemudian melanjutkan berjalan kaki menyusuri tepi jalan. Di pinggir jalan itu cukup rindang. Di sana, aku menyaksikan adanya dua orang pemulung.  Ada dua orang di sana, yang seorang kira-kira berumur 60-an tahun yang sedang merapikan plastik kemasan minuman dan kardus, yang seorang lagi masih muda berperawakan gempal sedang tidur sore. Aku menduga mereka berganti giliran kerja, siang dan malam. Ya apa boleh buat, dimana pun yang namanya paham kapitalisme tidak akan pernah dapat memeratakan kue ekonomi. Jurang antara si pemilik modal, dan si penggarap selalu terpisah dengan jurang yang tak terjembatani. Aku berlalu, menyusuri trotoar jalan. Beberapa orang pemulung lagi bermunculan membawa karung besar dan alat ganco. Apa yang ku amati dari mereka ini, tatapannya kosong. Seolah tatapannya membawaku kepada kepasrahan akan kehidupan dan kerinduan akan kematian sebagai jalan keluar. Aku bergidik. Di tengah jalan itu juga masih ada beberapa penjaja minuman saset. Kebanyakan dari mereka memang laki-laki, namun aku menjumpai salah satu dari mereka ada seorang perempuan tengah usia. Dengan kerudung dan tangan menutupi wajahnya dari panasnya sinar matahari sore, Ia tetap tabah menunggu kalau-kalau ada seseorang yang mampir membeli. Aku pun semakin merinding dan berkeyakinan bahwa mengandalkan “tangan-tangan tak terlihat” dalam sebuah sistem ekonomi kapitalis, itu sama dengan malas berpikir dan membiarkan ketidakadilan terjadi. Benar juga aforismenya Nietzsche, kadang kebijaksaan itu bukan datang dari orang-orang besar, namun justru dari orang-orang yang hidupnya sederhana. Mereka-mereka inilah yang menerima realitas dengan seada-adanya. Mereka memang hidup dari kemasan, tapi bukan pengkonsumsi 'kemasan'.


Penikmat Remah Kapitalis, sumber gambar: foto pribadi penulis

Barangkali bagi sebagian orang kebanyakan, pemandangan seperti itu adalah lumrah dan wajar. Tak sedikit pula yang sinis menganggap mereka penyebab kekumuhan kota ini. Penyebab sampah dan pengganggu pejalan kaki. Ironis memang. Di sekitar suatu visi besar kemajuan dan keadilan ekonomi, justru di situ pula tampak misi yang keropos. Secara bisnis memang kebaruan Gedung Sarinah paling tidak harus dipuji dan diakui akan memberikan dampak ekonomi, sekurang-kurangnya kepada para pengrajin dan pebisnis lokal, yang notabene juga kaum perempuan. Aku pun maklum adanya, bahwa peran serta kita dalam konteks ekonomi kita tidak bisa menyelesaikan masalah sosial secara sekaligus. Akan tetapi, kalau tidak memikirkannya apalagi keputusan dibuat hanya demi keuntungan dan popularitas jangka pendek saja itu sama dengan ketidakpedulian, dan secara niscaya tidak akan mungkin menciptakan sesuatu yang adil. 

Jalan jaksa yang lengang, sumber gambar: foto pribadi penulis


Pikiranku terus berputar seiring langkahku menyusuri Jalan K.H. Wakhid Hasyim. Suasana pun semakin meredup. Gedung-gedung bertingkat di sepanjang jalan itu pun semakin berwarna oranye. Di sekitar jalan itu mulai tampak sepi, hanya ada beberapa wisatawan manca negara yang celingak-celinguk. Rasa letih pun mulai terasa. Aku pun menyeberang jalan, dan masuk sebuah gang. Dahulu gang itu cukup ramai dan terkenal sebagai kampung wisatawan mancanegara yang koceknya tidak cukup dalam. Namun kini, justru terlihat lengang dan sedikit sekali kedai minum dan rumah makan. Ekspektasiku untuk hanya bisa beristirahat dan mendapatkan sebotol bir dingin setelah berjalan-jalan hampir dua jam itu pun kandas. Keinginan itu harus aku urungkan. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi dalam kurun waktu belakangan di area ini. Area itu hanya tampak seperti jalan perumahan biasa. Di situ ada sebuah gerobak dengan uap air panas yang mengepul di antara botol-botol kecap. Aku memutuskan untuk mengakhiri jalan-jalan soreku. Aku menghampiri penjajanya, “Pak! Mie Ayam Pangsit satu porsi ya, sama es teh manis gulanya sedikit saja!” Aku memilih tempat duduk di pinggiran jalan yang teduh, dan membakar rokokku, sembari melepas boots, lalu beristirahat. Es teh pesananku pun datang, sambil menunggu semangkuk mie ayam itu, aku membuka bukuku dan melanjutkan bacaanku lagi: “Beer and Free Lunches, What Is Behavioral Economics, and Where Are the Free Lunches?”


Grafiti di Jalan Jaksa, sumber gambar: foto pribadi penulis


Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)