For What It’s Worth

The Cardigans, band asal swedia yang mengalami masa-masa keemasannya di era medio dan akhir 90-an, merupakan band yang pernah menempati tangga lagu papan atas di dunia. Sebut saja lagu-lagu seperti Love Fool, For what it’s worth, My Favourite Game, dan Erase and Rewind, merupakan musik-musik era mereka yang terlahir pada akhir tahun 70-an. Musik yang menggaungi telinga setiap pendengarnya yang paling tidak bagi segmen pendengar anak muda pada tahun 90-an.




Tadi malam (14 Agustus 2012) mereka menggelar konser di Tennis Indoor, Senayan, Jakarta. Energi The Cardigans ternyata memang masih luar biasa, Nina Persson, vokalis yang dengan umurnya sudah berjalan menuju kepala empat, ternyata masih memiliki power suara yang luar biasa. Bengt Lagerberg juga menabuh drum dengan gaya yang “masih 90-an sekali” mampu memimpin band keseluruhan hampir tanpa cacat. Secara artist performance, memang mereka bermain sangat bagus, walaupun terdapat beberapa kesalahan-kesalahan minor, tetapi secara keseluruhan mereka patut dihargai “two thumbs up”. 

Namun tulisan kali ini bukan ingin mengangkat mengenai betapa bagusnya The Cardigans, tetapi penulis lebih ingin bercerita mengenai konser musik di tanah air. Mengapa demikian, subyektifitas penulis, karena setelah beberapa kali menonton concert, penulis ternyata merasa tidak mendapatkan sesuatu lebih dari apa yang diekspektasikan. Pendekatan analisis penulis menggunakan pendekatan marketing mix konvensional, yaitu: produk, place, price dan promotion. 

Produk baik tetapi Penonton pasif. Seperti paparan diatas bahwa artis kelas dunia dan sempat menjadi band yang sangat popular di era tersebut, sepertinya tidak cukup mampu untuk menyihir penonton. Penonton begitu pasif, bahkan pada lagu pertama saja seolah penonton sedang menonton konser musik klasik atau sedang menonton bioskop, hening, tenang, sibuk dengan media rekam pribadi. Sama sekali tidak terasa antusiasme penonton dalam konser ini, apakah memang artistnya sudah mulai uzur, atau justru event ini salah segmen. 

Area Festival Kosong, tribune penuh, bagaimana dengan pricing strategy? Area festival hanya terisi setengah saja, penonton hanya mengisi barisan depan panggung, namun tidak sampai menyentuh Front of House (FoH), bahkan sampai si artist pun menanyakan hal itu. Tetapi berbeda dengan sisi Tribune, semuanya hampir berjejal terisi penuh, kecuali sisi pinggir dekat panggung karena sudut pandangan yang kurang nyaman. Harga yang dibanderol untuk kelas festival adalah 750.000 IDR nampaknya terlalu mahal, sedangkan tribune tengah yang dibanderol 550.000 IDR cukup penuh. Sepertinya konsumen dalam menghargai produk yang akan mereka beli, tidak lebih dari 550.000, dengan asumsi tidak ada faktor lain. Artist papan atas yang sudah mulai masuk jajaran artist nostalgia, nampaknya tidak mampu dihargai lebih. 

Promosi tidak bergaung. Bahwa dengung The Cardigans akan tampil di Jakarta tidak banyak diketahui orang. Di media-media sosial bahkan sangat jarang orang yang membahas mengenai konser ini. Jika dilihat dari potential market-nya bahwa seharusnya adalah secara demografi masuk kedalam segmen masyarakat rentang umur 25-35, patut ditilik bahwa mereka saat ini seharusnya sudah banyak berada di dunia kerja, yang terpapar informasi lebih sedikit (jumlah menonton TV, city travelling, mendengar radio, dsb.). Mereka justru lebih banyak akses ke dunia maya sebagai social media semi-adiktif (menggunakan tetapi tidak terhubung terus) dan internet surfer saja. Nampaknya faktor ini bisa dicurigai sebagai penyebab mengapa pengunjung tidak banyak yang tahu. 

Tempat baik, waktu? Lagi-lagi alasan demografi, pemilihan tempat untuk concert hall menggunakan Tennis Indoor Senayan sudah tepat, lokasi di pusat Jakarta, aksesbilitas dengan tempat kerja mudah, dan sudah banyak diketahui orang (sering digunakan untuk konser). Tetapi bagaimana dengan waktu, walaupun hal ini kadang sangat tergantung pada si artist sendiri, nampaknya faktor kesalahan memilih waktu penyelenggaraan bisa menjadi penyebab. Bahwa konser tersebut dilaksanakan pada bulan suci ramadhan, pada hari kerja, dan dimulai lewat dari pukul 21.00. Mungkin harapan event organizer dapat menyerap segmen tersebut diatas, tetapi sepertinya hal ini akan membuat banyak pertimbangan bagi konsumen. Mungkin hal ini akan berbeda jika dilaksanakan pada hari Jumat, dua atau tiga minggu setelah lebaran. 

***



Solusi dan masukan bagi penyelenggara event, bahwa manfaat utama dari produk jasa entertainment adalah atmosfer dan rasa ekstatik. Tanggung jawab EO sebagai penyampai nilai konsumen, tidak sebatas pada mendatangkan artist dan menjual tiket saja, tetapi harus memberikan nilai lebih yang sesuai dengan ekspektasi konsumen. Kurangnya antusiasme penonton menjadi catatan penting, apakah salah segmen atau alasan psiko-sosial dan budaya (orang Indonesia terlalu jaga image, tidak ekspresif dsb.). Bahwa disini riset pemasaran menjadi penting, bahwa penyelenggara harus tahu terlebih dahulu apa keinginan dan harapan konsumen produk entertainment (disini: konser musik). 

Perihal teknis, sepertinya jika yang terjadi adalah akibat alasan psiko-sosial dan budaya, maka EO harus bisa menciptakan suasana atau atmosfer yang dapat menularkan penonton untuk lebih ekspresif (kasus konser The Cardigans disini, atmosfer tersebut seolah hanya dipasrahkan pada artisnya saja). Sebaiknya EO membentuk kelompok-kelompok pencipta suasana yang disebar di tengah penonton (berbaur) sehingga dapat memberikan efek penularan, sehingga secara keseluruhan setiap konser mampu menjadikan memorable moment bagi setiap konsumennya. Hal ini yang akan selalu memberikan brand awareness (terutama nama EO) di benak konsumen. Memang pada akhirnya EO butuh kerja lebih keras dan menghadapi masalah yang lebih kompleks. Yah.. For what it’s worth.

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)