Konsekuensi Modernitas: Kepercayaan

Menyoal masyarakat modern dalam kajian budaya tentu saja bukanlah hal yang mudah dipahami. Ketika kita berhadapan langsung dengan fenomena sistemik dan kompleks di dalam mekanisme sosial, maka beragam pendekatan tentu saja akan selalu menimbulkan perdebatan dan kritikan yang samar dan kadang tanpa pernah berujung pangkal. Namun hal ini menarik karena masalah budaya dan sosial-ekonomi, meskipun merupakan remeh temeh dalam kehidupan sehari-hari, apabila diakumulasikan akan berdampak pada perubahan sosial yang semakin mengarah pada kekacauan/ chaos (Barker, 2000, p. 105).

Sumber gambar: http://respectwomen.co.in/wp-content/uploads/2015/07/modernity-quotes.jpg
Tudingan keras banyak dilontarkan pada mazhab kapitalisme, yang di era modern ini menghendaki adanya kestabilan. Hasil pemikiran ini pun berdifusi dari akar semu pahamnya hingga memodifikasi keseluruh cabang dan ranting-rantingnya. Dalam ranah ekonomi, implikasi nyata dapat dijumpai dengan adanya kebijakan dan aturan institusi dan organisasi yang menghendaki adanya standarisasi kualitas tertentu untuk menciptakan jaminan harga atas barang dan jasa. Modernitas bagaimana pun juga telah mengarahkan kita pada sebuah pola pikir rasional, dengan logika yang mensyaratkan keterukuran dan kehadiran kausalitasnya.

Fenomena transformasi modernitas sangat lekat dengan sosio-politik-ekonomi yang terstrukturasi melalui budaya. Tahapan-tahapan budaya yang bergeser dari masyarakat tradisional, agraris, industry, dan lalu modern memiliki akibat pada pengkelas-kelasan masyarakat yang berkaitan dengan symbol dan cara hidupnya. Dunia modern sendiri ditandai oleh serangkaian negara-negara kapitalis industrial yang menggunakan tekanan politis senjata terhadap penduduk mereka melalui pemantauan secara sistematis dan terencana (Barker, 2000). Terbukanya batas-batas budaya, yang kemudian secara inheren mengglobal, yaitu mampu menghilangkan batas ruang dan waktu, dan melenyapkan hubungan-hubungan sosial lokal dan disatukan kembali di tempat yang berbeda (Giddens, 1991).

Dari pemaparan diatas, dapat diasumsikan terdapat tiga anteseden utama sebagai enabler dalam proses transformasi modern, yaitu publik, bisnis/industri, dan pemerintah. Apabila sebuah fenomena modern dipandang sebagai sebuah sistem, maka kita dapat menciptakan meta-model yang berangkat dari ide John M. Keynes (1933) dalam bukunya The General Theory of Employment, Interest and Money, yaitu terjadinya hubungan siklus sistemik diantara tiga enabler tersebut. Ketiganya merupakan sebuah sistem abstrak yang terjadi dalam mekanisme pertukaran informasi dan makna yang melekat pada setiap simbol-simbolnya, dan di setiap enabler tersebut mewakili sub-sistem lain yang juga terjalin dalam sistem abstrak besarnya. Sistem sirkular tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:


Dalam sistem besar terdapat tiga aktor utama, yaitu rumah tangga, bisnis/industri, dan pemerintah. Melalui pendekatan sosial ekonomi, maka untuk mengusung kehidupan manusia aktivitas dijalankan dengan mengambil posisi peran dari tiap-tiap enabler tersebut. Bahwa dalam sistem sosial tersebut terdapat ambivalensi yang mendukung terjadinya pertukaran nilai dari setiap aktivitas yang dijalankan berdasarkan peran dan fungsinya. Setiap relasi ini menuntut adanya pertukaran yang resiprokal dalam bentuk nilai yang sama dari aktivitas yang berbeda, yaitu demi mengupayakan adanya sebuah sistem abstrak yang dapat dipercaya. Misalnya peran rumah tangga menjanjikan tenaga kerja untuk bisnis dan pemerintah, sebagai perimbangannya akan mendapatkan penghasilan yang diterima kembali dan digunakan untuk menyokong kehidupan secara internal (upah yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan rasa aman/ perlindungan), disisi bisnis/industri membutuhkan rumah tangga agar segala faktor produksi mereka dapat diserap, dan dari sisi pemerintah membutuhkan aturan dan jaminan bahwa keberlangsungan aktivitas mereka akan tetap berjalan dengan semestinya.

Dalam konteks modern, dimanakah letak kepercayaan? Kepercayaan lebih kuat secara makna dibandingkan dengan harapan. Kepercayaan dan rasa percaya menurut Luhmann, keduanya merujuk pada ekspektasi-ekspektasi yang dapat membuat frustasi atau kekecewaan, ketika kejadian-kejadian yang biasanya terjadi diluar dugaan atau dihadapkan pada sebuah ketidakstabilan (Giddens, 1991). Terdapat sepuluh proposisi yang diajukan terkait dengan kepercayaan oleh Giddens, antara lain:
  1. Kepercayaan terkait dengan ketidakhadiran dalam ruang dan waktu. Artinya selama sistem berjalan, maka tidak perlu merasa percaya kepada siapapun. Bahwa selama sistem tersebut secara proses berjalan transparan dan aktivitas secara nyata dapat diamati sehingga setiap orang akan mendapatkan kepenuhan informasi.
  2. Kepercayaan secara mendasar terikat bukan dengan risiko, namun dengan kondisi kontijen. Disini hal yang menjadi perhatian adalah masalah reliabilitas, dengan kata lain ketika terjadi suatu fenomena maka hasil dari kejadian itu di tempat yang berbeda dan waktu yang berbeda hasilnya akan tetap sama.
  3. Kepercayaan merupakan hal yang berbeda dengan keyakinan di dalam konteks reliabilitas dari orang atau sistem. Kepercayaan diturunkan dari suatu keyakinan.
  4. Perhatian atas “sesuatu berjalan dengan semestinya” menjadikan kepercayaan pada seseorang selalu relevan (pada derajat tertentu) dengan rasa percaya di sistem-sistem yang ada.
  5. Dari keempat hal tersebut, secara definitif, kepercayaan mungkin dapat didefinisikan sebagai rasa percaya atas reliabilitas (kehandalan) dari seseorang atau sistem. Hal ini merujuk pada seperangkat outcomes atau kejadian-kejadian, yang terletak pada rasa percaya yang mengekspresikan keyakinan atas suatu kebenaran tertinggi atau cinta atas orang lain.
  6. Dalam keadaan-keadaan modernitas, kepercayaan hadir di dalam konteks kesadaraan (awareness) umum bahwa aktivitas manusia diciptakan secara sosial, alih-alih terkondisi secara alamiah ataupun campur tangan Tuhan. Selain itu, kepercayaan juga hadir dalam jumlah besar melalui cakupan transformasi dari aksi manusia yang diakibatkan oleh dinamika karakter dari institusi sosial modern.
  7. Bahaya dan risiko berelasi dekat, namun bukanlah hal yang serupa. Bahaya dipahami sebagai ancaman dari outcomes yang dikehendaki. Sedangkan risiko merupakan kesadaran atas segala ancaman dari aksi spesifik yang akan dilancarkan.
  8. Risiko dan kepercayaan saling berkaitan erat. Kepercayaan biasanya berguna untuk meminimalisir atau mengurangi tingkat bahaya untuk aktivitas tertentu. Sepanjang risiko secara sadar dikalkulasikan, risiko yang mampu diterima merupakan sebuah sisi dari “induktif pengetahuan dalam bentuk lemah”, dan dalam hal penalaran ini, akan selalu terdapat keseimbangan antara kepercayaan dan kalkulasi dari risiko.
  9. Risiko tidak hanya semata-mata aksi individual, akan tetapi juga terdapat “lingkup-lingkup risiko” yang secara kolektif mempengaruhi individu secara jamak.
  10. Kebalikan dari kepercayaan secara sederhana adalah kondisi tidak percaya. 
Merefleksi dari bagan Keynes dan pemaparan Giddens mengenai kepercayaan, melahirkan beragam pertanyaan kritis mengenai kehidupan sehari-hari terkait lingkungan rumah tangga, pekerjaan dan peran penguasa. Seberapakah percayakah kita terhadap sistem abstrak yang ada? Terkait dengan risiko dan kepercayaan, seberapa mampukah kita mampu mengukur dan memaknai tanda-tanda dan simbol-simbol yang terjadi dan dapat diamati? Cukup rasionalkah kita dalam menginterpretasi segala informasi (tanda, kode dan simbol) untuk menjadi makna? Siapakah yang bisa kita percaya untuk ketidaktahuan kita? Seberapa sadarkah kita atas ketidaktahuan kita, dan seberapa berisikonya kah kita jika kita tidak tahu atau tidak sadar? Apakah pengetahuan kita cukup untuk mengungkap kebenaran mutlak, sehingga terhindar dari risiko? Apakah ada kebenaran mutlak itu sendiri? Jika ternyata kebenaran mutlak tidak ada, apakah kita dalam bahaya? Jika kita tidak memiliki pijakan kebenaran mutlak, bagaimanakah kita mampu memprediksi ketidakpastian di masa depan? Apakah kejadian masa lalu merupakan kebenaran dan mampu memberikan intuisi sebagai bagian dari prediksi masa depan?…dan seterusnya hingga anda mendapatkan sensasi kekhawatiran dan paranoid atas dekonstruksi rasional yang anda ciptakan sendiri (melampaui batas rasionalitas dan memasuki area emosional).


Referensi

Barker, C. (2000). Cultural Studies, Theory and Practice. London: Sage Publications.

Giddens, A. (1991). The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity Press.

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)