Blogger, Komunikasi Dunia Maya dan Ruang Publik

Memang pernyataan Romo Magnis sepintas memberikan sambaran geledek bagi umat yang memiliki devosi kepada Santa Perawan Maria. Tentu saja hal ini akan menimbulkan polemik di umat beragama, namun justru itu pentingnya bahwa dengan adanya pernyataan itu akan menimbulkan dialektika yang diharapkan justru akan berdampak pada anti-fanatisme itu sendiri. Kasus yang membuat saya cukup geli adalah ketika membaca artikel dari seorang blogger, seolah Romo Magnis ini diposisikan seperti kawannya sendiri, hmmm... kasus ini kemudian semakin lama justru semakin lama mengganggu pikiran saya, karena sepertinya memang berpendapat itu sah-sah saja, penyampaian tidak santun pun diizinkan, namun dalam perihal komunitas dan bermasyarakat, penulis ini diasumsikan cukup siap juga untuk kritik pedas yang secara personal untuk kita bongkar logikanya.

Romo Franz-Magniz Suseno S.J. saya tidak mengenalnya secara pribadi, namun saya cukup mengaguminya. Bahkan rohaniwan berdarah Jerman ini sempat saya dengar dedikasi beliau ketika mengajar di STF Driyarkara, ketekunannya membaca kitab suci, yang bahkan memiliki waktu-waktu khusus membaca sambil berkeliling lapangan tenis, dengan langkah kaki yang cepat, sambil merapal doa dan mendalami kitab suci. Figur yang sangat saleh dan seolah, bahkan dalam benak saya, ketika doa pun beliau mampu melayang di udara, tidak menapak tanah. Banyak pemikiran-pemikirannya yang hadir di tengah masyarakat Indonesia melalui wawancara, ceramah, artikel, dan buku-buku memberikan sumbangsih kedalaman pemikiran terutama seputar ranah etika dan hidup berkebangsaan. Warga negara asing yang membaktikan diri di Indonesia, dengan “memikul salib, menyangkal diri, dan mengikuti Dia” nampaknya dijalankan dengan begitu tulus dan dengan kemantaban hati. Tujuan dan genggamannya pun sudah mutlak dan penuh ketekatan. Menjadi warga negara Indonesia, dan begitu serius dan  dengan segala ke “Ada-an” akan Bangsa Indonesia, bukti cintanya nyata, dalam segala pemikirannya. Kemenjadiannya sebagai ujung tombak toleransi dan pembela kaum minoritas ditengah isme-isme sesat yang berujung pada fundamentalisme dan totalitarianisme penuh dekadensi kemanusiaan.

Apa sih perkaranya?

Beberapa tempo yang lalu Romo Magnis dalam tayangan sebuah majalah keagamaan menulis opininya tentang patung di Goa Maria Kerep, sebuah patung yang secara ukuran pun luar biasa besar yang saya pun ikut kagum karena secara seni memang mampu membangkitkan emosi tersendiri, betapa agung dan megahnya bangunan itu. Namun jika figur yang ada pada patung  itu kemudian mereduksi makna dari sosok pribadi yang pantas dan layak untuk dijadikan devosi dari manusia-manusia yang penuh segala kelemahan, maka saya kok menjadi setuju dengan Romo Magnis. Berikut ini adalah potongan dari artikel majalah itu  yang didapat dari kicauan twiter berakun ‏@kat_o_lik  pada tanggal 22 Januari 2016. (bisa di Klik disini http://bit.ly/1NuUdr7).



Saya rasa opini dari Romo Magnis sudah melalui proses pertimbangan yang matang. Si Blogger ini ya agaknya memang memiliki fanatisme yang mencoba kritis dan tidak fanatis tetapi malah jatuhnya primordial dan dangkal. Sehingga ulasan saya ini lebih mengarah kepada masyarakat yang menggunakan media virtual untuk menyampaikan opininya. Sebelumnya saya lebih baik memberikan perimbangan opini terkait dengan opini si Bloggeerrrrr tersebut.

Pertama, ide terkait dengan kepantasan beropini Romo Magnis yang dianggapnya tidak matang. Menurut saya pribadi, untuk seseorang filsuf dan rohaniwan pasti sudah mempertimbangkan masak-masak. Apalagi bahwa tudingan ide pembangunan dengan masalah relasi sosial antar Agama kok agaknya untuk beliau yang sudah pernah menulis buku terkait dengan kebangsaan dan ilmu-ilmu filsafat itu pasti punya alasan logis kritis yang sudah dipertimbangkan dari beragam aspek. Sehingga ini bukan masalah persepsi lagi namun sudah lebih kepada sikap dari Romo Magnis.

Kedua, masalah keyakinan si Blogger tentang umat beragama lain yang mampu memiliki pemahaman dan toleransi. Atas dasar kebenaran dan kepercayaan apa anda menjustifikasi bahwa anda yakin? Keyakinan si Blogger menurut hemat saya tidak cukup bukti, ini justru menjadi masalah bagi pembaca yang tidak cukup jeli dalam mencerna.

Ketiga, perihal penghinaan umat beragama lain akibat adanya kekhawatiran Romo Magnis. Justru disini masalahnya premis yang si Blogger ajukan ini cukup lemah. Dalam ranah sosiologi, masalah religi ini rawan fanatisme. Akibat dari keyakinan membuta untuk mencari kebenaran absolut. Bahkan tingginya pendidikan yang diemban belum cukup mampu menciptakan keterbukaan akan adanya nilai-nilai lain apalagi terkait dengan religi yang cukup ditabukan untuk didiskusikan dalam masyarakat yang heterogen, apalagi kecurigaan saya Indonesia saat ini cukup rentan dengan gesekan antar umat beragama karena masyarakat belum memiliki kecakapan dalam mengendalikan konflik yang terjadi. Keyakinan yang membuta ini bahkan cukup berbahaya karena dapat memicu opini sesat yang berujung pada tindak kekerasan. Bahkan narasi besar global saat ini pun masih mengusung konflik yang berkedok dengan identitas agama. Bahwa toleransi dan simpati umat disekitar patung Santa Maria tersebut tidak merata, dan bagaimana mungkin si Blogger yakin ketika umat yang tinggal di daerah itu memiliki simpati yang tinggi bahkan ketika simbol-simbol yang ada pada agama yang mereka yakini itu dituding sebagai salah satu bentuk kemusyrikan? Simpati itu dihasilkan dari pertemuan horizon-horizon nalar sadar yang secara konsensus sudah dimaklumkan karena ada kesepahaman dan saling memahami, sehingga dengan bertemunya pemaknaan maka dapat dihasilkan rasa simpati. Misalnya adalah fenomena korban kecelakaan lalu lintas: Ada tiga tipe manusia disini, Tipe-1 orang yang berjarak, yaitu menonton, menyaksikan dan membahas kejadian itu, tanpa memberikan pertolongan, sibuk berwacana dengan sekitar tanpa memiliki kehendak untuk menolong si korban. Tipe-2 orang yang oportunis, yaitu orang yang memanfatkan kejadian itu entah dengan modus operandi apapun, ujung-ujungnya mengambil keuntungan. Tipe-3 adalah orang yang tergerak hatinya dengan tulus karena rasa simpati atas korban, sehingga menolong korban tersebut dan mau repot, karena ada gerakan dari dalam orang tersebut karena ada pengertian bahwa si korban merasakan kondisi yang pedih.

Keempat, keyakinan si Blogger mengenai dampak ekonomi di masyarakat. Ada pernyataannya yang cukup menggelikan bahwa ukuran kebahagiaan diukur dengan perasaan tercukupi secara keekonomian. Bahwa pernyataannya tidak salah, namun disini si Blogger perlu berhati-hati, jika anda membaca: Coba renungkan pertanyaan saya, Apakah perasaan cukup itu sendiri bagi anda? Kapan anda merasa cukup? Bagaimana anda mengukur kebahagiaan anda? Kaya secara materi, populer dan dihormati, atau ketika anda merasa tidak pernah cukup atas pengetahuan, kebenaran, dan ingin menjadi bijak (bdk. Areté, Wibowo, 2010). Ide anda pun disini terkait dengan lokasi ziarah yang menjurus pada memperdagangkan tempat doa menjadi tempat wisata. Apakah anda tidak memahami apa itu dosa sakrilegi? Meskipun organisasi keagamaan dan fasilitasnya bisa dijelaskan dengan pendekatan ekonomi dan bisnis, tapi bukankah anda sudah mereduksi kesucian dan keagungan simbol keilahian dengan ukuran materi (baca: uang semata). Sanggupkah anda mematerikan Tuhan? Sanggupkah anda menjelaskan entitas atau dengan “apa” yang bisa menjangkau kualitas-Nya?  Menurut anda manakah yang lebih penting bermegah dalam doa di tempat ibadah mewah, atau anda dapat berjumpa dengan Tuhan di kamar anda ditengah silentium magnum dan kesederhanaan?
  
Kelima, posisi politis si Blogger membela umat di KAS, dan donatur. Posisi anda ini sama konyolnya dengan donatur dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembangunan. Jika ini adalah masalah uang dan wujud hasil penggunaan uang itu, tidak menjadi masalah. Namun maaf, bahwa judgement saya disini bahwa anda membutuhkan kemegahan tempat pemujaan dibandingkan anda bermegah dalam iman (bdk.  sangkan paraning dumadi). Bagaimana jika uang itu digunakan untuk membantu masyarakat sekitar, dengan menerapkan nilai-nilai cinta kasih Kristiani, yang tersalurkan dalam bentuk uluran nyata dan keterlibatan bersama dengan masyarakat sekitar yang berkeyakinan lain (misal: koperasi, balai pengobatan murah, balai pendidikan, dan lain sebagainya), mana yang lebih esensial? Bukankah iman itu mengusung kualitas relasi keintiman anda dengan Tuhan dengan wujud perbuatan anda sebagai tanda keselamatan bagi sekitar anda, karena anda percaya bahwa Tuhan hadir dari setiap perjumpaan dengan manusia yang paling hina sekalipun?
   
Keenam, pembelaan anda terhadap perasaan umat, yang menurut saya anda pun sama juga tidak memperhatikan perasaan Romo Magnis ketika beliau membaca tulisan anda, dan sama seperti saya pun menulis ini tanpa memperhatikan perasaan anda bukan? Sebaiknya anda juga jangan lupakan perasaan Romo Magnis dan umat lain yang setuju dengan pemikiran Romo Magnis.

Ketujuh, Sapaan anda (si Blogger) kepada Romo Magnis. Saya jujur tidak tahu anda hidup dan berada dalam budaya mana, Sapaan anda yang seolah Romo Magnis ini sahabat anda yang berhak anda bully. Jika memang anda tidak mengerti perihal bagaimana menyapa seseorang yang lebih tua dari anda, ini saya akan senggol kualitas moral anda. Di belahan dunia mana pun menurut etika Kantian, bahwa menaruh sikap tidak hormat kepada orang yang lebih senior itu dianggap tidak sopan, dan secara moral tidak dapat dibenarkan. Bagaimana reaksi emosi anda, jika ada seseorang yang menghina ayah anda sendiri? Nah, dengan analogi seperti itu sapaan anda bisa memperburuk citra anda sendiri. Perihal cara menyapa seseorang, disini Romo Magnis sebagai orang Jerman, dalam budaya Jerman, maka sapaan untuk orang yang memiliki pendidikan tinggi (gelar Ph.D misalnya) dianggap warga negara kelas satu, secara sosial dimaklumkan sama berkualitasnya dengan bangsawan pada jaman kerajaan. Setiap orang yang tahu akan menyapa dengan Herr Doktor, atau Romo Magnis bahkan sudah bergelar Professor, orang Jerman akan menyapa dengan Herr Professor Magnis. Jika di Indonesia yang lebih feodal dan patriakal, misalnya di Yogyakarta sikap etika pun terwujud dengan penggunaan bahasa tinggi (krama hinggil) sebagai bentuk penghormatan pada yang lebih orang yang lebih senior. Bahkan simbol yang terungkap pada salah penggunaan sapaan ini pun bisa berujung pada anda dituntut di pengadilan, banyak kasus di Jerman sendiri orang-orang Turki yang menyapa dengan ungkapan “Du” (terj: Kamu) yang seharusnya “Sie” (terj: Anda) berakhir di meja hijau dan mendapat denda atau dipenjara.   

Bagaimana diskusinya?

Penjelasan awam saya sebagai orang yang tidak cukup memahami ranah komunikasi media baru, yaitu disini media-media komunikasi dalam ruang virtual. Saya menyorot kasus cara beropini Blogger, seharusnya para Blogger termasuk saya pun memperhatikan etika-etika berkomunikasi. Tulisan si Blogger ini pun menjadi refleksi tersendiri untuk saya agar berhati-hati dalam berinteraksi dalam dunia maya. Bahwa blog, itu sendiri pada akhirnya sudah menjadikan media untuk berinteraksi di ruang publik yang hadir di dunia maya. Mengacu pada artikel Supelli (2010), yang mengajukan pertanyaan kritis terkait dengan dunia maya, antara lain: Bagaimanakah kita sendiri di dalam ruang maya, atau di antara warga komunitas maya lainnya? Bisakah ruang maya membangun ruang publik tempat kita melaksanakan diskusi kritis menyangkut perkara-perkara yang menjadi keprihatinan bersama warga dunia nyata?

Sifat tanpa batas dunia maya itu sendiri menciptakan ruang untuk aliran informasi yang tanpa batas pula, artinya sumber dan alirannya memungkinkan penggunanya untuk ikut berinteraksi dalam banyak perkara sekaligus. Ruang semacam ini, kemudian pada akhirnya menciptakan redundansi dan ketertumpangtindihan informasi, artinya muncul dan menguapnya secepat aliran masuknya. Dalam ruang seperti itu, masihkah orang sempat membangun pengetahuan bersama dan membangun landasan yang memadai bagi diskusi berbobot? Kemudahan dan kebebasan mendapat informasi yang melampaui lokalitas, seringkali membawa orang ke tumpukan informasi yang tidak berhubungan langsung dengan keprihatinannya. Akibatnya, publik terlibat dalam percakapan semu, dimana orang hanya sekedar meneruskan kata-kata asal bisa menjadi bagian dari publik. Orang bahkan tidak merasa perlu bertindak secara politis menyangkut masalah-masalah yang dibicarakan itu, cukup dengan omong-omong saja (Supelli, 2010).

Dalam ranah komunikasi di ruang publik pun, disini berlaku etika. Paling tidak ada tiga bentuk dimensi etika komunikasi. Pertama, dimensi yang lansung terkait dengan perilaku aktor komunikasi, yaitu aksi komunikasi. Aspek etisnya ditunjukan pada kehendak baik dan bertanggung jawab yang merujuk pada deontologi jurnalisme. Kedua, hormat dan perlindungan atas hak individual lain dari warga negara. Termasuk dalam hak ini ialah hak akan martabat dan kehormatan, hak akan informasi tidak bisa memberi pembenaran pada upaya yang akan merugikan pribadi seseorang. Ketiga, ajakan untuk menjaga harmoni masyarakat, yaitu melarang segala bentuk provokasi atau dorongan yang akan membangkitkan kebencian atau ajakan pada pembangkangan sipil (Haryatmoko, 2007). Sehingga sudah selayaknya dan sepantasnya para Blogger pun tahu akan adanya perkara etika di ruang maya.

Dari kasus diatas lantas apa tawaran solusinya?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu bertolak pada definisi ruang publik itu sendiri. Menurut hemat saya dalam kasus si Blogger diatas ada empat pendekatan definisi ruang publik yang diharapkan mampu mererangkakan secara epistemis. Pertama, konsep Levebre, yaitu penunjukan pada jejaring keterlibatan dan ruang sosial tertentu yang menyangga kerja sama dan koordinitas civitas, terutama dalam interaksi antar teritori lokal dan global. Kedua, pendekatan refleksi budaya, yang pada hakikatnya ruang publik mengacu pada gugus-gugus keyakinan, pandangan, dan praktik yang menyangkut sikap, wacana, cara berpikir dan cara merasa kolektif, selera, serta cora keberadaban yang berlangsung dalam interaksi sosial. Ketiga, pendekatan refleksi sosiologis, konsep ruang publik lebih mengacu pada jaringan rasa percaya (trust) dan resiprositas yang menentukan hidup-matinya (dan ada-tidaknya) kohesi sosial suatu masyarakat (atau pendekatan Durkheimian). Keempat, pendekatan refleksi filsafat politik yang diajukan oleh Habermas, yaitu ruang publik merupakan arus keterlibatan kolektif yang selalu dinegosiasikan, bersifat tidak stabil, lentur dan terbuka, yang lebih mengacu pada forma dibandingkan materia (Priyono, 2010).

Sebagai benang merah sementara dari pemaparan teoritis diatas, bahwa ruang publik dalam dunia maya mencakup teritorial sebaran antara yang pribadi dan sosial, tanpa adanya batas-batas itu sendiri karena ruang maya yang bersifat tanpa batas itu pun kemudian menjadikan ruang itu sangat heterogen dan dinamis. Masalah utama dari ruang maya pada akhirnya adalah kesemuan dari teks-teks yang ada itu sendiri, namun diseminasi informasi yang seolah meledak ini tentu saja rawan akan gesekan tanpa kendali yang pada akhirnya akan berimbas ke dunia nyata. Artinya disini sejalan dengan pernyataan Habermas, bahwa bagaimana pengetahuan kita tentang masyarakat dan sejarah itu bukan hanya sebuah kontemplasi, melainkan sekaligus mendorong praksis perubahan sosial. Praksis bukanlah tingkah laku membuta berdasarkan naluri belaka, melainkan tindakan dasariah manusia sebagai makhluk sosial (Hardiman, 2009). Praksis komunikasi itu menjadi kunci, perihal etika pun menjadi wacana dalam revitalisasi ruang publik di dunia maya yang berevolusi melalui praksis komunikasi itu sendiri. Jadi simpulan sementara disini adalah bahwa kesadaran murni atas pentingnya ruang publik di dunia maya itu menjadi tanggung jawab pengguna (agent) dalam berinteraksi secara cepat dan plural. Artinya kebutuhan kehendak akan tidak revitalisasi ruang publik di dunia maya ini sama halnya seperti kerinduan akan kematian, atau secara tidak sadar kita berhenti untuk menghendaki hidup bersama, dengan cara membiarkan begitusaja ruang publik di dunia maya sebagai hasil sampingan dari dunia nyata (Priyono, 2010).

Daftar Bacaan

Hardiman, F. B. (2009). Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
Haryatmoko. (2007). Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius.
Priyono, B. H. (2010). Menyelamatkan Ruang Publik. In F. B. Hardiman, Ruang Publik: Melacak "Partisipasi Demokratis" dari Polis sampai Cyberspace (pp. 369-398). Yogyakarta: Kanisius.
Supelli, K. (2010). Ruang Publik Dunia Maya. In F. B. Hardiman, Ruang Publik: Melacak "Partisipasi Demokratis" dari Polis sampai Cyberspace (pp. 329-346). Yogyakarta: Kanisius.
Wibowo, A. S. (2010). Areté: Hidup Sukses Menurut Platon. Yogyakarta: Kanisius.


   

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)