Dialektika Relasi (1)

Sungguh menjadi persoalan yang sulit untuk dipecahkan, yaitu relasi antara manusia. Bahwa pada akhirnya pikiran kita sendirilah yang telah menghancurkan segala realitas yang ada. Manusia merupakan binatang yang menggunakan pikirannya untuk bertutur (jenis kemampuan ini mungkin dapat ditemukan di binatang-binatang lain, atau bahkan tumbuhan). Namun, sungguh terlalu agung bilamana kita langsung mendasarkan relasi pada kemampuan pikir antroposentrik belaka. Biarlah kita kembali menjadi binatang, kita andaikan bahwa kita adalah sebuah spesies dalam kingdom animalia. Toh dalam neurosience pun kita masih memiliki otak binatang, paling tidak otak reptilia, yaitu otak paling purba, untuk menggerakan segala bentuk tindakan yang terkait naluriah dasar (misal: bereproduksi, bertahan hidup, dsb.).

Menggelikan memang jika kita membedah masalah-masalah cinta, keintiman dan seksualitas, karena dalam konteks budaya Indonesia, membicarakan seks dan keintiman merupakan topik yang ditabukan dalam masyarakat, ditutup-tutupi, bahkan dalam keluarga sendiripun masalah relasi orang dewasa dengan segala atributnya tidak atau bahkan jarang disinggung sebagai diskusi berkepala dingin. Hal ini tentu saja menjadi penting ketika ditabrakan dengan moral dan etika yang terkandung dalam struktur sosial yang ada. Ketika masyarakat tidak lagi memandang relasi dengan penuh etika dan tanggung jawab moral, apakah hal-hal terkait dengan relasi dan keintiman masih akan ditabukan atau ditutup-tutupi lagi? Memang benar, bahwa relasi semacam itu merupakan hal yang sangat pribadi, yang mensyaratkan kepercayaan yang tinggi diantara dua orang (hubungan antara subyek dengan subyek yang liyan), sehingga ada perasaan-perasaan malu dan tidak enak ketika mendiskusikannya secara terbuka dan bahkan vulgar. Akan tetapi, kalau tidak pernah dibahas dan dikupas tuntas, ya kapan mau selesai? belum lagi kasus-kasus yang lain mulai menyeruak keluar seperti LGBT plus inses dan fedofilia, ditengah kita masih sibuk dalam urusan gender dan KDRT atau ribut masalah Tuhan dan religi. Yah, emang ga gampang untuk kasus-kasus menyangkut khalayak satu benua maritim Indonesia ini yang masih berjuang untuk tidak bebal.

Marilah kita lepas atribut kemanusiaan kita, akui saja kita semua tidak pernah tahan dengan segala bentuk dorongan naluri otak reptil itu alias masih binatang—(tapi pasti ada aja nih yang ga setuju, apalagi kalau sudah bawa-bawa nama Tuhan—meskipun saya sendiri juga bingung dengan pihak yang ga setuju ini, lha ya masa Tuhan salah desain? Katanya sempurna, omnipresence, omnipotent dan omniscient, ga mungkin dong, ya kita-kita ini aja manusianya yang kelewat tolol cuma selalu sok pinter--red). Sehingga atas alasan ini, lebih baik saya menyebutnya dengan spesies berpikiran jantan “ɸ” dan betina “ʘ” . Dari pelajaran ilmu biologi jaman sekolah menengah dulu saya mendapat ide, dan berasumsi bahwa dorongan terdasar setiap makhluk di Bumi ini adalah untuk bertahan hidup (hanya manusia yang berjuang untuk menyambut kematiannya secara pribadi), dan tidak ada yang mampu bertahan hidup sendirian. Artinya secara apriori relasi merupakan prasyarat untuk keberlangsungan hidup spesies. Dari thesis ini maka dengan sendirinya tidak ada spesies yang hidup abadi, bertahan hidup hanya diperbolehkan dengan cara reproduksi (multiplisitas) saja. Akibat gerak naluri dasariah ini, maka sebuah kondisi harus dipenuhi agar dapat berkesinambungan hidupnya dari spesies baru atau berkembang biak yaitu: kondisi X: (ɸ ≈ ʘ, dan ʘ ≈ ɸ), namun tidak dalam kondisi Y: (ɸ ≠ ɸ, ʘ ≠ ʘ, ɸ = I, ʘ = I, dst.). Dengan demikian relasi antara spesies ɸ dan ʘ akan bersimbiosis dalam daur hidupnya. 
 
Kombinasi relasi berdasarkan simbiosis, prasyaratnya adalah relasi yang terjadi dari dua jenis spesies yang berbeda. Tentu saja, bahwa ɸ ≠ ʘ tidak sama dalam segala atributnya, namun setara ɸ ≈ ʘ dalam pemikirannya. Prasyarat ini dipostulasikan agar relasi selalu terjadi. Atas dasar asumsi kesetaraan dalam pemikiran, artinya segala atribut kognitif dari setiap iterasinya, akan menghasilkan hasil absolut, yaitu (1) rasa sakit (kerugian secara material dan immaterial), dan (2) rasa bahagia (keuntungan secara material dan immaterial)  kombinasi simbiosis tersebut akan memberikan kondisi-kondisi, sebagai berikut:

Skenario I, pendasaran pada hasil judgement dari evaluasi relasi:


Rasa Sakit (dirugikan)
Rasa Bahagia (diuntungkan)

Ya
Tidak
Ya
Parasitisme
Komensalisme
Tidak
Amensalisme
Mutualisme
atau ø “null”


Skenario II, pendasaran pada tujuan spesies, pada kategorial relasi


ʘ
ɸ

rasa bahagia
rasa sakit
rasa bahagia
Mutualisme
Parasitisme
rasa sakit
Parasitisme
Relasi sadisme dan masokisme


Hal yang menarik dari pengkategorian ini adalah relasi dalam kondisi kesetaraan pemikiran memiliki hasil yang unik. Dari skenario I, bahwa relasi yang menghasilkan rasa sakit dan rasa sakit, akan memenuhi relasi bentuk mutualisme jika dan hanya jika anti-thesis dari rasa sakit adalah rasa bahagia pada skenario II. Dari argumentasi ini kita dapat mengkondisikan perasaan bahagia ini dengan premis-premis,

Jika dan hanya jika X ≈ Y, maka

Jika ɸ mengetahui suatu kondisi X, maka ɸ tahu bahwa ɸ tidak merasa sakit, (merasa sakit dicoret)
ɸ tidak tahu bahwa ɸ tidak merasa sakit, (merasa sakit dicoret)
Maka, ɸ tidak mengetahui suatu kondisi X.

Jika ɸ mengetahui suatu kondisi Y, maka ɸ tahu bahwa ɸ merasa bahagia, (merasa bahagia dicoret) 
ɸ tidak tahu bahwa ɸ merasa bahagia, (merasa bahagia dicoret)
Maka, ɸ tidak mengetahui suatu kondisi Y.

Jika ʘ mengetahui suatu kondisi X, maka ʘ tahu bahwa ʘ tidak merasa sakit, (merasa sakit dicoret)
ʘ tidak tahu bahwa ʘ tidak merasa sakit, (merasa sakit dicoret)
Maka, ʘ tidak mengetahui suatu kondisi X.

Jika ʘ mengetahui suatu kondisi Y, maka ʘ tahu bahwa ʘ merasa bahagia, (merasa bahagia dicoret)
ʘ tidak tahu bahwa ʘ merasa bahagia, (merasa bahagia dicoret)
Maka, ʘ tidak mengetahui suatu kondisi Y.

Maka baik ɸ dan ʘ, saling tidak pernah mengetahui secara pasti bahwa ʘ dalam kondisi X (Y), dan ɸ dalam kondisi Y (X). Dari logika kebinatangan ini, tentu saja bahwa prasyarat saling mengejar kebahagian, dan saling menyakiti pun tidak masuk diakal lagi, karena sesungguhnya relasi antara ɸ dan ʘ merupakan relasi saling asing, yang akan menimbulkan konflik dalam pemikiran baik ɸ dan ʘ, yaitu secara naluri untuk bertahan hidup di tengah saling ketidaktahuannya. Sehingga rasa ingin tahu setiap kondisi pada lawan jenisnya dari waktu ke waktulah yang akan menyebabkan relasi tersebut tetap ada dalam bentuk obsesi. Sehingga dalam setiap relasi sudah tidak mungkin lagi ada sebuah kebenaran mutlak, atau kekeliruan mutlak, yang ada adalah hanya masalah coping mechanism akibat kegagalan bernalar masing-masing spesies (ɸ,ʘ) dalam mengartikulasikan lawan jenisnya (ʘ,ɸ) secara subjektif dalam suatu tegangan perbedaan-perbedaan kondisi (X atau Y).

Dari kondisi ini, maka ucapan “I love you” tentu saja pernyataan yang mengindikasikan bahwa suatu spesies gagal bernalar, dan tanggapan sebaliknya juga telah mengindikasikan bahwa secara tidak langsung terjalin sebuah komitmen relasi yang saling ingin mengetahui. Dari logika semacam ini maka relasi yang terpenuhi adalah saling mengobjekan.

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)