Dialektika Relasi (2)

"If you are shy because you fear others, then what's your idea about others?"
MARIA MONTGOMERY @The Law of Attraction: Think It and It Will Come True


Sumber gambar: http://www.hermes-press.com/magritte_impossible.jpg

Hubungan antara dua manusia dalam dunia kehidupan merupakan teka-teki di alam. Sebuah pernyataan yang dirindukan, didambakan, bahkan disakralkan menjadi sebuah misteri dalam ontologinya. Artinya masalah ada dan apanya masih saja menghantui setiap insan. Orang kebanyakan sih menyarankan “Cinta” harus ditabur dan dipupuk, yang lain lagi bilang relasi tanpa cinta bukanlah relasi, dan ada juga yang bilang cinta itu bukan persoalan teori atau bahkan epistemologi, namun itu lebih masalah kejujuran hati. Yah bijak sih, cuma perkaranya adalah kalau cinta itu dipahami secara awam dan sempit, jadi ga gampang, yah hati-hati saja kalau ketipu. Namanya juga manusia itu makhluk pembohong, nampaknya jarang yah kalau mengingat cerita Lysis dari filsafat Platon, tentang persahabatan yang menginspirasikan Cinta platonic tanpa syarat, alih-alih bersahabat yang ada malahan kepentingan terselubung.

Namun bukan berarti pengkhianatan dan kemunafikan menyurutkan nilai-nilai Cinta. Jujur saya ini ga ngerti yang namanya Cinta, seringnya cuma terjerumus sama orang-orang yang tidak bernalar sehat, yang berujung pada konflik, yang entah sengaja dibuat-buat atau memang mereka ini punya kebiasaan ngajak ribut (lho kok malah curhat—red). Yah ini, jengkel gara-gara kelakuan makhluk-makhluk yang suka mengatasnamakan Cinta namun malah buang hajat sembarangan tapi tidak disiram, selalu meninggalkan kejijikan dan bau tak sedap di rumah orang. Gangguan makhluk-makhluk gentayangan yang datang dan perginya, seperti salesman vacuum cleaner atau peminta-minta sumbangan di tengah kita sedang asyik tidur di siang bolong.

Pembahasan selanjutnya tentang relasi, sebelum masuk kedalam ranah-ranah yang lebih spesifik, mungkin menarik untuk ditilik dari sisi filsafat. Berhubung bahwa dunia ini merupakan dunia yang didominasi kaum laki-laki (patriarkal), maka dapat kita bedah mengenai relasi paling tidak menurut empat tokoh berikut:

B. Spinoza

Cinta dalam suatu relasi memiliki sifat ketersalingan (reciprocity), dan konsekuensinya bahwa hasrat untuk memberikan hal baik (diterjemahkan dari benefiting) kepada seseorang yang selalu mencintai kita dan kepada seseorang yang selalu berusaha keras untuk memberikan hal baik, dapat disebut sebagai ungkapan rasa syukur dan berterimakasih.

Seseorang yang mempersembahkan hal baik dari dirinya kepada siapa saja atas dasar motif Cinta atau keagungan/kehormatan akan merasakan sakit hati, apabila seseorang itu mengetahui bahwa hal baik yang diberikannya diterima tanpa perasaan syukur.

Ungkapan rasa syukur atau berterima kasih adalah hasrat atau gairah yang terpancar dari Cinta, yang ditempuh melalui jalan dengan kita mengupayakan untuk memberikan hal baik kepadanya, yaitu bagi siapa saja, yang memiliki perasaan yang sama, telah mempersembahkan hal-hal baik bagi kita.

G.W.F. Hegel

Ide atas hubungan manusia yang satu dengan yang lain, dijawab oleh Hegel atas pertanyaan relasi yang seperti apakah akan terjadi, bilamana binatang yang memiliki kesadaran diri berhasrat untuk memiliki binatang berkesadaran diri yang lain? Dengan kata lain, bagaimanakah bila manusia menghasrati manusia yang lainnya? Atas pertanyaan ini Hegel menjawab bahwa relasi terjadi akibat pendasaran bahwa subyek berkehendak ingin dikenal/dimengerti oleh subyek yang lain, dengan kata lain ingin dihargai di mata orang lain.

Sebagai contoh adalah hasrat seksual manusia. Ketika seseorang mengatakan bahwa ia “menginginkan aku karena tubuhku”, dalam kenyataannya hal ini tidak pernah terwujud dalam kenyataan, kecuali jika orang yang mengatakan tersebut memang bersifat cabul dan berpikiran ngeres.  Akan tetapi, seseorang yang berkehendak justru menginginkan untuk diinginkan oleh orang lain. Mengapa demikian? Alasannya adalah setiap kesadaran diri menginginkan kemapanan dalam dirinya melampaui hal yang tidak ada. Seseorang akan bertarung sampai mati untuk dapat dikenal, namun jika orang lain itu tidak mengenalnya, maka seseorang itu akan dibunuhnya. Bahwa disini, jelas terdapat relasi paradoks bahwa relasi dibangun berdasarkan ketegangan mengenal dan tidak mengenal. Analoginya adalah ada sebuah bola dilantai, yang tidak seorang pun memperhatikannya, hal ini berakhir sampai ada seseorang yang tanpa maksud apapun memungutnya. Jika aku memiliki bola tersebut, itu berarti kamu tidak dapat memilikinya, dan oleh karenanya hal itu tergantung padaku. Jika aku memberikannya kepadamu, itu karena aku memilihnya, dan kamu sudah seharusnya tahu dan mengenali akan hal itu.


Jika pertarungan ini dianggap terjadi secara ad infinitum, bahwa yang akan memenangkan pertarungan ini akan dianggap sebagai tuan, dan orang-orang lain yang menukar posisi kematiannya dengan tetap hidup dan menjadi budak dari tuan itu. Budak menerima keadaan dirinya bahwa berada di tingkat yang lebih rendah. Budak hadir untuk mengenali tuannya sebagai seseorang yang lebih unggul dari dirinya, dan sebagai konsekuensinya budak itu akan mengekspresikan dirinya dalam pekerjaannya sebagai budak, yaitu mengolah alam dan mengubahnya menjadi barang dan jasa yang melayani tuannya itu. Budak itu melayani demi kebahagiaan tuannya, dan mendukung segala keberadaan dirinya secara sekunder. Budak bercocok tanam, dan Tuan memakannya; Budak membangun rumah, dan Tuan berlindung di dalamnya.

Kendati tuan itu telah menikmati segala sesuatunya, akan tetapi ia mengetahui bahwa ia menyadari akan kehadiran binatang lainnya di luar sana, dan ia masih dalam pencarian bahwa ia ingin dikenal, dengan demikian ia melanjutkan pertarungannya. Faktanya bahwa ia melanjutkan untuk bertarung karena suatu kontradiksi baru, para budak yang mengenalnya, yang memilih kehadiran seekor binatang dengan pilihan tetap hidup alih-alih kehormatannya, tidak dapat memuaskan tuan itu. Hal itu kemudian menimbulkan dirinya untuk mencari orang lain yang setara untuk mengenalinya sebagai orang yang lebih berkuasa.

F. Nietzsche

Berbeda dengan Hegel, Nietzsche secara radikal telah mereduksi Cinta. Menurut Nietzsche bahwa Cinta itu hanya masalah ego manusia semata. Cinta sudah mati, Cinta tidak ada lagi. Ketika kita berkata soal Cinta, maka kita hanya berkata-kata soal diri kita sendiri saja. Sehingga, sesungguhnya Cinta merupakan hal yang tidak masuk akal lagi, karena semuanya itu hanyalah masalah ego kita belaka.

Tentang Cinta bagi Nietzsche dibahas dalam La Gaya Scienza (GS) No.14, yaitu bab pada buku yang membicarakan tentang kebahagiaan. Dijelaskan di sana, Cinta menurut Nietzsche tidak seindah Cintanya Platon, bahwa dalam karyanya ini ditunjukan bahwa cinta tidak berbeda halnya dengan nafsu dan tidak ada hubungannya dengan moral. Seperti dalam teks berikut “Our love of our neighbour, is it not a striving after new property? And similarly our love of knowledge, of truth; and in general all the striving after novelties? ...Our pleasure in ourselves seeks to maintain itself by always transforming something new into ourselves, that is just possessing.”. Nietzsche menegaskan bahwa Cinta merupakan bentuk kehendak kuat untuk memiliki sesuatu dengan menghadirkan kekuasaan. Cinta juga jadi bagian dari nafsu kebinatangan, sama seperti keserakahaan—Animal spirit.

Dalam teks selanjutnya, masih di dalam GS, dijelaskan bahwa kehendak untuk memiliki ini berkaitan dengan kehendak untuk menguasai sepenuhnya atas orang lain. “The love of the sexes, however, betrays itself most plainly as the striving after possession: the lover wants the unconditioned, sole possession of the person longed for by him; he wants just as absolute power over her soul as over her body; he wants to be loved solely, and to dwell and rule in the other soul as what is highest and most to be desired.”. Bahwa dalam teks tersebut, jelas bahwa relasi yang mengatasnamakan Cinta kembali dalam keterjebakan dialektika tuan dan budak Hegelian. Dalam versi lebih ekstrim, seksualitas dalam konteks Cinta adalah bentuk relasi tuan dan budak yang paling absolut, yaitu berkehendak dimiliki secara penuh, dan memiliki secara mutlak. Menurut Nietzsche, bahwa relasi ini pun tidaklah seagung yang diyakini orang kebanyakan di sepanjang masa (bdk. Cinta Spinoza, atau Cinta Platon), cinta tidak sehebat Cinta yang dulu (sebagai anti-thesis dari ego), “...one is verily surprised that this ferocious lust of property and injustice of sexual love should have been glorified and deified to such an extent at all times; yea, that out of this love the conception of love as the antithesis of egoism should have been derived, when it is perhaps precisely the most unqualified expression of egoism.”. Sehingga, jelas disini bahwa Nietzsche telah mereduksi makna Cinta pada ontologinya, yaitu hanya menjadi hasrat kekuasaan untuk memiliki orang lain yang berangkat dari pusat diri orang itu sendiri atau egonya, yang tidak berbeda dengan keserakahan akan memiliki suatu benda. Nietzsche telah membebaskan kita dari pemikiran bahwa Cinta merupakan sesuatu yang kudus dan sakral, serta terkait moral. Relasi, Cinta dan Seks adalah wajar, hal-hal ini berpulang pada masalah ego manusianya saja. Akibat budaya sajalah yang membentuk makna Cinta menjadi berbeda-beda, karena Cinta pun juga menyejarah.


S. Freud  

Konsep Cinta menurut Freud ini berbeda dengan Nietzsche atau Hegel, bagi Freud Cinta hanyalah Illusi. Cinta sama halnya dengan Tuhan yang tidak memiliki dasar realitanya. Perhatikan teks dari buku Future of an Illusion, bab 6, berikut ini: “Thus we call a belief an illusion when a wish-fulfillment is a prominent factor in its motivation, and in doing so we disregard its relations to reality, just as the illusion itself sets no store by verification.”. Dari pernyataan itu, Freud secara terang-terangan mereduksi Cinta sebagai hasil pengejawantahan pikiran yang merupakan Idea yang sangat diharapkan. Dari argumentasi semacam ini, dapat diajukan pertanyaan mungkinkah kita jatuh Cinta dengan Cinta itu sendiri? Tentu saja tidak, bagaimana mungkin kita dapat jatuh cinta dengan idea cinta kita sendiri. Sehingga bahwa cinta merupakan hal yang immaterial, bersifat khayalan saja, yang akan menjadi delusi bagi manusia itu sendiri.

Sejalan dengan penjelasan Nietzsche tentang Cinta (GS, No.14), Freud menegaskan secara ontology yaitu: “In connection with this question of being in love we have always been struck by the phenomenon of sexual over-estimation—the fact that the loved object enjoys a certain amount of freedom from criticism, and that all its characteristics are valued more highly than those of people who are not loved, or than its own were at a time when it itself was not loved.”. Maka jelas disini bahwa Freud menegaskan bahwa seseorang yang jatuh cinta akan memandang segalanya lebih indah dari biasanya, bahwa penilaiannya (judgement) akan menjadi sempurna dalam segala hal. Dengan demikian bahwa Cinta merupakan ilusi dari pikiran orang itu sendiri terkait dengan obyek sensual.  “...the illusion is produced that the object has come to be sensually loved on account of its spiritual merits, whereas on the contrary these merits may really only have been lent to it by its sensual charm. (Group Psychology and the Analysis of the Ego,  1922).

Lebih jauh lagi, Freud dalam hal menjelaskan Cinta telah melampaui Nietzsche, hal ini diargumentasikan dalam teks, berikut: “The tendency which falsifies judgment in this respect is that of idealization. ... the object is being treated in the same way as our own ego, so that when we are in love a considerable amount of narcissistic libido overflows on to the object. It is even obvious, in many forms of love choice, that the object serves as a substitute for some unattained ego ideal of our own. We love it on account of the perfections which we have striven to reach for our own ego, and which we should now like to procure in this roundabout way as a means of satisfying our narcissism.” (Group Psychology and the Analysis of the Ego,  1922). Maka dari teks tersebut diketahui bahwa Cinta merupakan produk dari ego kita sendiri, yang digerakkan oleh libido kita, karena dengan ego itu kita merasa baik bahwa diri kita sendiri itu baik, dengan kata lain kita memuja diri kita sendiri dengan kehadiran orang lain. Hal ini masuk di akal, bahwa dengan kita memberi peran atau terlibat pada hidup seseorang, maka sesungguhnya kita hanya tergerak atas ego narsis kita sendiri, yaitu kita biasanya menjadi lebih percaya diri karena orang lain kita buat percaya lebih dulu tentang kehadirian kita. Sehingga disini bukan kita berani terlibat atas orang lain, namun sesungguhnya keterlibatan itu hanya demi pemuasan ego kita sendiri.

Sintesa atas Cinta individualistik laki-laki    

Dari keempat gagasan terkait dengan Cinta, bahwa relasi dan Cinta membutuhkan ketertimbalbalikan makna yang diterjemahkan dan ditangkap oleh perasaan. Namun hadirnya perasaan disini menyebabkan relasi ideal tidak pernah terpenuhi karena adanya dominasi ego yang satu dengan yang lain, yang berlangsung terus menerus dan bergantian. Masalah ego disini merupakan sumber dari segala ilusi Cinta yang berlangsung secara terus menerus akibat menghendaki untuk menguasai obyek tertentu secara absolut yang sesungguhnya adalah subyek yang liyan, yang juga memiliki kehendak menguasai atau dikuasai dalam kesadaran dirinya. Ketertimbalbalikan perasaan dicintai pun pada akhirnya bukan masalah pada Subyek yang liyan itu, namun akibat pemujaan-pemujaan atas diri sendiri, yaitu subyek yang jatuh Cinta. Sehingga pada simpulan ini Cinta hanyalah kesalahan kesadaran-diri dalam memenuhi ego kita atas ego orang lain.  

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)