Cultuurstelsel: Refleksi 71 Tahun Indonesia Merdeka



"Hanya satu yang masih kupercaya; orang bijak pandai membuat hikmah, orang biasa menjalani dengan sahaja, orang bebal melihat peristiwa berlalu begitu saja”


Tidak ada satu rompi anti peluru logika pun yang sanggup lolos dari dialog retrospektif semangkuk sup makan siang atau cultuurstelsel. Yah umur berapa kita sekarang? Sudah berapa lama kita merdeka? Apa saja yang kita ingat tentang bangsa ini? Hadirku dalan dunia itu seolah ditala sekali lagi untuk memeriksa dan melacak siapa aku ini di tempat kini ku berpijak. Penjejakan kembali atas tegangan realita dan fiksi sejarah, yang membuat batu-batu keberadaanku mendadak disulapnya menjadi penuh rongga dan mengapung begitu saja.

Ketika kita berucap dirgahayu Indonesia, amat sunguh berbeda ketika aku masih ditempa, dibentuk, ditatar, di-Indonesiakan, dikikis keliaranku, dan dinormalkan agar mampu bermasyarakat, dengan istilah sekolah. Ya Sekolah. Tempat aku secara bertahap diasingkan dari Ibu biologisku, agar aku nantinya diserahkan kepada Ibu yang lebih besar dan keji, ibu yang tega pada anak nakalnya, membelenggu, mengurung dan membunuh bak Sang Medea, Ibu yang tega selingkuh dan melacur di depan mata anak-anaknya, Ibu tiri semua orang, ialah Ibu Pertiwi. Sebut saja beragam lomba tujuh belasan yang dihidangkan kepada anak sekolah dasar. Dahulu, lomba makan kerupuk begitu meriahnya, melompat-lompat sulit demi gengsi terhadap kawan sebangku. Dahulu, lomba tarik tambang, menjadi ajang adu kekuatan serba berbagi peluh. Namun kini kesadaranku atas ingatan akan keasyikan yang begitu riuh, penuh dan begitu membekas, ternyata hanya bentuk simbolisme-simbolisme sarat dengan roh-roh kapitalisme, bergotong royong bersaing dengan bangsa dan saudara sendiri. Berjuang untuk mengalahkan teman-teman, demi menjunjung cita-cita kekeluargaan dan persahabatan, yang padahal di masa kini hanya menjadi bentuk pemuasan atas gelora mesin-mesin hasrat yang berhasil dimanipulasi oleh media dengan segala manifestasi dan representasinya terhadap komoditas hasil produksi kapitalisme. Jelasnya, kita dulu diajarkan untuk saling bahu membahu, akan tapi demi siapanya itu yang lantas menjadi pertanyaannya.


Nukilan di bagian pembuka adalah suatu teks yang mengantar kita pada sebuah teater yang mengajak kita ikut berdialog dalam benak kita sendiri tentang sejarah bangsa Indonesia dengan segala materi pengisi kehidupan kita. Dialog retrospectif yang menarik, terkait dengan kelindannya budaya dan sejarah kita yang sangat erat berkaitan dengan cara kita mengada, segala kesadaran kemungkinan-kemungkinan kita sendiri dengan ada-ada yang lain, yang tidak mungkin terjadi ketika kita hanya larut dalam ada dibalik nalar kita. Sebuah monolog dan dialog yang hadirnya bagai senapan mesin, yang mencoba menembak ke segala penjuru relung bawah sadar kita. Meleset, menepis ataupun mengena telak di benak, itu semua bukan urusan, tapi proses sadar kita menjadi bergerak itu yang lantas jadi persoalannya. Sanggupkah kita mengiyai atau menidak, bahwa Sup makan siang kita ini tidak lagi menjadi kaldu daging ayam kampung yang gurih dan lezat menggugah cita rasa, namun ini menjadi rebusan darah dan keringat peternaknya. Wortel, Kentang, Daun Bawang, dan segala anasir-anasir yang ada pada sup itu tidak lekang sejarah, terhidang pula berupa kepedihan dan pergolakan jiwa-jiwa penanamnya. Pergolakan-pergolakan segala emosi atas kehilangan jati diri, yang terpaksa terperosok pada penjara-penjara sistem tanam. Terasing dari dirinya sendiri, jika kata Marx. Sup makan siang kita ini bukan lah Sup instant ala pabrik yang segala rasanya sudah deterministik. Sup kita ini adalah hasil tegangan antara apa-apa saja yang berhasil dibentuk dikomunikasikan di meja makan kita, dengan apa-apa saja yang melumpuhkan kita dengan bacaan-bacaan beserta logika-logika asing seperti halnya Dyonisos pada bangsa Yunani.

Dalam lansiran Salihara:
Semangkuk Sup Makan Siang atau Cultuurstelsel
Sutradara dan Penulis Naskah: Hedi Santosa

Semangkuk Sup Makan Siang atau Cultuurstelsel adalah teater yang mengolah kemampuan akting aktor profesional berpadu dengan ketajaman musisi menghasilkan suasana musikal di panggung. Ia berisi percakapan retrospektif tentang sejarah Indonesia, terutama masa Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel), yang digagas oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada 1830.

Di atas panggung dua aktor menata sebuah “ruang keluarga”, tempat hampir seluruh kegiatan domestik sebuah “keluarga” berlangsung di sana. Mereka bercakap tentang banyak hal dan seakan tidak menyadari mengapa hal itu diperbincangkan. Hal itu terus-menerus terjadi menjelang perayaan kemerdekaan yang sebentar lagi datang.


Pentas pertunjukan teater ini mengangkat isu-isu menarik terkait eksistensi kita sebagai bangsa Indonesia dan identitas kepribadian kita dalam konteks pasca-kolonial. Ditengah segala serbuan gelombang budaya asing yang semakin mengaburkan siapa kita, dan ketercerabutan kita dari roh-roh objektif sejarah kita ini, mendadak kita diajak untuk membangun kembali mimpi-mimpi kita sendiri. Bukan sebuah mimpi-mimpi transenden, yang sesungguhnya hanyalah sebuah ilusi-ilusi yang berhasil tersemat menjadi narsisme-narsisme dan gelora ajang voyeurisme dan exhibisionisme atas komoditas-komoditas yang sebetulnya akan membawa kita pada keterasingan kita sendiri. Sekarang masyarakat bergelut dengan sosial media yang sudah membuat alasan untuk orang dibunuh, mungkin sebentar lagi akan marak anak-anak yang mengutuk ibunya atau ayahnya karena buruk rupa, dan memilih durhaka; serta menuntut mereka untuk segera mengantarnya ke dokter bedah plastik, demi mengubah bagian tubuh sendiri yang telah menjadi cita-cita mulia nan kudus bagi eksistensinya. (Edan! Ya apalagi sebutannya). Ancaman antara gantung diri anak dan mengubah wajahnya, mungkin akan menjadi wajar dan banal. Seolah mereka mampu memposisikan Tuhan-nya sebagai desainer yang buruk.

Segala apa-apa yang berkelindan dengan kesadaran sejarah manusia itu menjadikan sebuah struktur yang melekat dalam kehidupannya, inilah budaya. Manusia supra yang merupakan malaikat terendah, dan Manusia bawah sebagai binatang paling mulia, adalah paradoks kita sebagai adanya. Dalam ajaran Hegel, manusia telah direduksi menjadi tuan dan budak dalam tingkat relasi antar persona, atau Nietzsche dalam apollonian dan dyonisian, atau pun borjuis dan proletar. Apalah itu semua intinya dikotomi biner. Apa pun dikotominya ramuan eksistensi, komoditas, kehidupan, kelas sosial, adalah resep sup buatan Karl Marx, yang ketika dicecap terasa janji-janji manis dunia kapitalis,”Work and life balance! Bullshit!! Your work is your life, period!!!

Reduksi adanya manusia karena pekerjaannya adalah milik Marx. Namun Marx bukanlah pemikiran yang membinasakan, Marx bukanlah suatu yang mengerikan seperti film jalangkung atau alunan lingsir wengi, Marx tidaklah menjadi bahaya laten yang memicu pemberontakan Komunisme yang berujung pada pembunuhan masal. Akan tetapi, Marx hanya menjadi ancaman buat kebebalan-kebebalan kita, yang selalu saja terjebak dengan logika-logika dan analisa-analisa yang sama. Marx hanya menjadi kerikil dalam sepatu kaum borjuis, yang nantinya menciptakan pergolakan-pergolakan kaum proletar. Marx akan menghilangkan segala tahayul-tahayul “invisible hand” dari Adam Smith yang sejatinya adalah kehadiran posisi arbitrase. Kini, takutkah kalian dengan Marx? Tidak perlu takut, sejatinya pikiran Marx hanyalah utopia belaka, sama seperti drama-drama sinetron kita yang hadir sebagai Ibu peri penyelamat, anti-thesis dari ibu tiri. Akan tetapi Marx mampu menjadi penghenti laju gempur kapitalisme!

Yah mau protes, berdebat, adu argument atau apalagi, adanya kita bangsa yang tercampur aduk seperti periuk masak Sup Makan Siang kita. Namun jika Sup itu pada akhirnya terlalu hambar, ya garamilah sendiri! Jika terlalu asin, ya tambahkan lah air panas. Segalanya itu ada ceritanya, namun yang penting adalah pemikiran dan kesepakatan kita bersama dalam bentuk segala logika, etika dan estetika kita atas sup yang terhidang ketika makan siang. Selamat mencicip semangkuk sup makan siang atau cultuurstelsel!

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)