Tragedi Panoptik

"...the Panopticon must not be understood as a dream building: it is the diagram of mechanism of a power reduced to ideal form."
Michel Foucault, Discipline and Punish, 1977

Ditulis tahun 2011 dalam rangka penulisan konsep penciptaan karya instalasi dalam pameran kolaboratif seni tematik “Voyeurisme” oleh Simpang Maya (Bandung, Galeri Gerilya, 2011). Tautan: https://issuu.com/sukmajihanindyokumoro/docs/voyeurisme

Direvisi dan dimutakhirkan
2014, untuk aplikasi Simposium Ekuator Biennale
2016, untuk publikasi pillarsofthemind


http://www.itchcreature.com/wp-content/uploads/2013/10/KotakotakPanopticon-7.jpg,
Panopticon Tragedy
Installasi dan Video
2011

Sebuah ruang dalam benak yang berisikan perabot, yang digeser, diganti, ditata ulang dan ditambahkan menjadi metafora ruang pikir manusia. Makhluk yang katanya sempurna ini, begitu pandai mencipta, mengkonstruksi dan bahkan merekayasa isi ruang benaknya. Ketika hal itu dihadapkan pada manusia-manusia lainnya, dilakukan bersama, ditimbang, diukur, dicari persamaan irisannya, telah berkonsekuensi nyata melahirkan pola-pola pikir yang berimbas pada laku-hidup mereka. Sebuah perjalanan dan proses pikiran yang ketika dilakukan secara bersama dan berlangsung lama, pada akhirnya melahirkan sebuah keawaman.

Struktur sosial tidak lebih dari dasar-dasar berpikir orang banyak. Analogi penataan ruang benak, lagi-lagi memberikan kontribusi pada cara pandang. Sama atau beda bukanlah menjadi soal, namun ketika dilekatkan suatu tolok ukur bersama, hal ini menjadi lain. Ketika sekelompok manusia tertentu dianggap berbeda atau dianggap sama, akan melahirkan gesekan-gesekan yang pada akhirnya memaksa mereka untuk bernegosiasi satu dengan lainnya. Sehingga kebebasan pikiran dan perilaku menjadi terbatas, sebatas homogenitas pola-pola pikir kebanyakan.

Batas-batas penataan perabot ruang benak manusia kini menjadi nyata. Asas dan norma kini menjadi alat pemenjara manusia, terpenjara secara nilai-nilai. Seolah manusia yang sebelumnya tidak lebih dari binatang yang berpikir, diniscayakan menjadi makhluk beradab. Kebebasan manusia sebagai individu tidak lagi berlaku mutlak, demi keberadabannya mereka kemudian membangun struktur-struktur bersama untuk membedakan antara baik atau jahat, benar atau salah, moral atau amoral, dan bahkan tepat atau tidak tepat. Hal itu semua dalam kaitannya sebagai landasan dalam berkehidupan, kemudian mereka dengan rela memenjarakan dirinya sendiri dengan buah-buah pikirannya.

Manusia merupakan bagian dari alam, dan alam bergerak secara acak dalam keteraturannya. Namun makhluk hidup ketika bersinggungan dengan makhluk hidup sejenis lainnya memiliki pola-pola keteraturan, tidak terlepas manusia, mereka menciptakan aturan demi keteraturannya. Kebudayaan yang berisikan religi, hukum, seni, ekonomi, merupakan kelas-kelas yang dibuat untuk mendomestikasi mereka sendiri dalam aksinya. Lebih jauh lagi kelas-kelas ini melahirkan syarat-syarat klasifikasi yang kemudian menjadi dasar penciptaan perangkat aturan. Sebagai contoh jelasnya, bahwa manusia yang berada dalam kelompok sosial tertentu akan mendapatkan kontrol sosial untuk bisa memodifikasi penyimpangannya untuk kembali dalam koridor yang disepakati. Penjahat yang dimasyarakatkan di dalam sel, perselingkuhan yang mendapatkan cibiran, dan sebagainya, merupakan sekedar contoh pemberian efek jera secara psikis agar manusia itu kembali diterima dalam kelompok masyarakat dalam perspektif konsensus sosial.

Penjara panoptik, sebuah konsep yang diusulkan oleh Jeremy Bentham, seorang sosiolog dan filsuf dari Britania Raya. Lahirnya ide sebuah penjara panoptik sendiri merupakan bentuk aplikasi dari ide Michel Foucault yang menghendaki adanya pendisiplinan sosial melalui observasi dan hukuman atas perilaku manusia. Ia kemudian membangun suatu bangunan dengan arsitektur yang dapat memfasilitasi pengamat dan narapidana sedemikian rupa. Bangunan melingkar dan meningkat yang tersusun atas kamar-kamar sel penjara di sisi bangunannya dengan tiang menyerupai menara pengawas tepat ditengah yang dilengkapi dengan lubang-lubang intip para pengawas, menyebabkan para narapidana secara sadar tidak mengetahui apakah mereka sedang diawasi atau tidak.
“…The Panopticon creates a consciousness of permanent visibility as a form of power, where no bars, chains, and heavy locks are necessary for domination any more…” (Allmer, 2012)
Dalam kaitannya dengan konsep panopticon, bahwa status sosial dalam masyarakat telah mengkotak-kotakan mereka kedalam perwujudan gaya hidup yang secara nyata telah menjebak mereka dalam kondisi-kondisi sosial seperti itu. Masyarakat yang menganggap dirinya „normal“ selalu memiliki pandangan, persepsi, stereotip, bahkan generalisasi-generalisasi subyektif-negatif terhadap gaya hidup kelompok sosial lainnya (baca: kelompok eksentrik atau nyeleneh). Anggapan-anggapan ini tentu saja relatif karena perbedaan sudut pandang antara normal lawan eksentrik dan sebaliknya. Perangkap-perangkap pemikiran tersebut membuat seolah-olah si pelaku menjadi terpenjara dengan identitas dan patuh pada aturan-aturannya sendiri untuk menjaga tetap pada eksistensinya sebagai ideologi hidup yang dipilih, yang kemudian terefleksi pada gaya hidupnya.

Suatu gerakan gaya hidup masyarakat yang bisa bermula dari mana saja contohnya adalah hobby, yang bermula dari ketertarikan seseorang terhadap benda atau jenis kegiatan tertentu untuk mengisi waktu luang, yang lama kelamaan menjadi trend di anggota dari kelompok sosial itu. Gerakan ikut-ikutan, latah, atau bisa disebut sebagai efek penularan (contagion effect) memberikan suatu jenis perilaku (misalnya: hobby) tertentu menjadi trend dan dapat menjadi fashion pada tahapan berikutnya. Suatu mekanisme gerakan ini apabila ditilik secara hierarkis merupakan gerakan meniru suatu kelompok dari bawah keatas dan disebaliknya gerakan mengadopsi suatu kelompok dari atas kebawah. Contoh sederhana gerakan bawah ke atas adalah kelompok sepeda fixie, anak mobil dan motor modifikasi, dan untuk gerakan dari atas ke bawah yaitu grunge/punk fashion. Konsistensi pada suatu gaya hidup tertentu juga dipertanyakan, terkait dengan lama waktu „status quo“ seseorang tetap bertahan pada gaya hidup tersebut. Perubahan gaya hidup yang terkait dengan perilaku.

Suatu kompleksitas tuntutan sosial tersebut terlebih lagi semakin dimanfaatkan oleh pemasar produk untuk menciptakan gaya hidup yang membawa pada paham konsumerisme. Sehingga aspek kemakmuran menjadi suatu faktor penting dalam skala hierarkis kelompok sosial. Kenyataannya bahwa benda-benda yang digunakan sebagai alat/objek/material yang berkaitan dengan gaya hidup tidak membawa nilai fungsi sebenarnya tetapi menjadi identitas dari kelompok-kelompok itu. Bila kita bandingkan kelompok penyepeda Bike to Work, Onthel Klub, Fixie, dan lain sebagainya, memiliki muatan-muatan prestisius tertentu dalam menunjukan identitas dan idealisme mereka. Tetapi disini faktor kemakmuran juga berperan dalam mengkelas-kelaskan kembali anggota-anggota dalam kelompok-kelompok tadi. Harga sepeda yang mahal memberikan nilai lebih pada pemiliknya, sehingga fungsi dari sepeda itu tertutupi oleh adanya nilai harga sepeda.

Faktor kemakmuran itu menjadi pemicu munculnya kelompok-kelompok baru yang menginginkan kesamaan pengakuan atas keberadaan mereka. Pada awal sepeda Fixie bermula, hanya segelintir anak muda dari orang-orang berada saja yang memiliki kemampuan untuk membuat sepeda jenis tersebut, seiring dengan waktu dan menjadikan sepeda tersebut sebuah trend, kelompok lain yang berada pada kelas masyarakat akar rumput melihat bahwa dengan adanya obyek sepeda tersebut mereka berharap akan mendapat status serupa atau mendekati dengan gaya hidup orang yang lebih makmur. Sehingga mereka mulai memodifikasi, sepeda-sepeda mereka sendiri menjadi model sepeda yang memang menyerupai trend sepeda saat itu.

Bagaimana dengan konsistensi terhadap trend tersebut. Dalam kasus diatas untuk tetap menyandang status atau identitas, mereka rela melakukan kegiatan yang tentu saja menjadi menghilangkan esensi nilai dan makna dari jenis aktifitas tersebut. Mungkin dapat dikatakan secara awam bahwa bersepeda adalah kegiatan olahraga, menjaga kebugaran dan kesehatan, dan memiliki nilai tambah sesuai dengan fungsinya, hemat, tanpa polusi, cepat (baca: menerobos kemacetan). Tetapi pada kenyataannya mereka rela bersepeda ditengah malam, menembus hujan deras disaat jalanan sudah mulai sepi, dan angin malam serta cuaca yang tentu saja mengganggu kesehatan mereka. Pengorbanan untuk tetap eksis di kelompoknya dan untuk tetap dianggap sebagai anggota kelompok tersebut telah „memenjarakan“ mereka dengan perilakunya.



Teknologi juga menjadi satu faktor pengikat antar kelompok sosial. Semakin derasnya arus informasi yang secara sadar ataupun tidak sadar ke ruang publik telah menjadikannya sebagai alat kontrol sosial terhadap perilaku (behavior) dan sikap (attitude). Dengan adanya kehadiran teknologi yang membuat antar anggota dalam kelompok sosial ataupun kelompok dengan kelompok semakin mudah untuk mengakses informasi mereka. Peran media sosial sendiri menjadikan alat intai di ruang publik, karena menjadikannya bisa saling mengawasi antara masyarakat dengan anggota ataupun sebaliknya.

Lagi-lagi faktor sistem kelas sosial berdasarkan kemakmuran juga memberikan nilai tambah pada objek atau benda yang terkait dengan anggotanya. Merebaknya teknologi yang memudahkan penggunannya dalam mengakses suatu informasi yang terkait dengan kelompok sosial itu. Sebagai contoh perkembangan alat komunikasi yang berawal dari telepon rumah, penyeranta (pager), handphone, personal digital assistant (PDA), hingga era smartphone, telah menggeser fungsi alat komunikasi menjadi alat pergaulan, identitas dan status sosial. Contoh produk blackberry serta iPhone telah menduduki strata tertinggi dalam rangka mendongkrak status sosial masyarakat pada mulanya hanya tidak lebih dari alat komunikasi canggih. Pergerakan-pergerakan ini yang lama-kelamaan menjadi suatu prasyarat mutlak bahwa seseorang dianggap (1) cukup makmur, (2) cukup terpelajar, dan (3) cukup dinamis. Nilai-nilai yang menjadi konsensus bersama dalam masyarakat perkotaan memberikan vonis-vonis tertentu secara stereotip. Sebagai contoh imaji profesional adalah apabila seseorang menggunakan kemeja lengan panjang, berdasi, rambut dicukur rapi, tidak berkumis dan berjenggot, wangi, membawa buku agenda digital di tangan kiri, menggenggam smartphone di tangan kanan, dan pandangan selalu lurus kedepan. Sehingga jika syarat tersebut tidak dipenuhi maka orang tersebut dipersepsikan secara umum bukanlah profesional.

Saat ini smartphone terutama Blackberry telah menjadi penjara penggunanya. Mereka menjadi terkondisi oleh aksesbilitas media sosial yang ada di dalamnya. Seolah media sosial itu menjadi candu bagi penggunanya. Akan tetapi dalam perspektif yang berbeda, media sosial juga menjadi seperti menara pengawas bagi penggunanya. Seolah mereka antara sadar dan tidak sadar atau acuh dan tak acuh selalu diawasi oleh kelompok sosialnya, mereka selalu memberikan informasi-informasi, tanpa sadar akan konsekuensi-konsekuensinya yang akan didapatnya. Perilaku mengawasi dan diawasi disini menjadi sangat relatif dan tergantung pada pengguna alat tersebut. Si pengguna dalam saat yang sama menjadi si pengamat dan disisi lain menjadi objek pengamatan. Kerelaan untuk terpenjara, mengingtip, mengamati, mengawasi menjadi sebuah ironi sosial. Era digital menjadi era tragedi penjara panoptik sosial.

Ruang Reflektif

Nampaknya masih relevan bahwa media baru, era digital ini memenjarakan para penggunanya, bahkan telah ikut andil dalam "memodifikasi" software manusia itu sendiri, yaitu mental. Ditambah lagi kehadiran gawai digital saat ini yang dilengkapi dengan berbagai perangkat lunak Whatssup, Path, Instagram, Snapchat, atau sampai Pokemon Go, Uber, Airbnb, Go-Jek, dan bahkan untuk mencari pasangan sex (sinisnya begitu) sebut saja Tinder, OkCupid, Twoo, dan lain sebagainya; membuat orang semakin ketergantungan dengan alat-alat itu (stay connected, stay online, dulu orang menggunakan gawai tidak sampai pakai baterai cadangan). Bahwa kita telah hadir di era dimana para pemikir-pemikir telah memperkirakannya, bahwa era dimana kita semakin asing dengan diri kita sendiri, semakin bermasalah dengan identitas kita sendiri, di era yang semakin memanjakan kita untuk kepo (baca: melihat, voyeurisme) dan sekaligus dikepo (baca: dilihat, exhibistionisme), era dimana kepercayaan menjadi langka, tidak ada pijakan atas kebenaran, kita berdiri di atas gurun nihilisme.

Berhentilah sejenak, berpikirlah dengan nalar yang sehat dan jernih atas kehadiran benda-benda itu semua, mana yang lebih membuat kita tentram, berbicara melalui alat-alat itu, ataukah kita saling bertatap mata, berbicara di dalam keintiman? Sadarkah kita seringkali demi melakukan selfie dan atau wefie kita sering berdandan all-out, berbelanja lebih pakaian baru atau membayar mahal demi tempat baru yang berhasil dijelajahi atau demi update mengenai keberadaan kita di tengah orang-orang yang mengaku sahabat? Sadarkah kita bahwa kita sudah terlampau tidak peduli dengan sekitar kita, karena terlalu sibuk untuk merangkai kata-kata, status message, check-in, memberikan komentar yang tidak tulus, sehingga kita saling sibuk dengan gawai-gawai kita dibandingkan dengan bercanda, berdebat, bertatap mata saling mencurahkan hati?

Bukankah kita manusia membutuhkan emosi-emosi kita, berkomunikasi dengan kedalamannya dengan orang yang kita cintai? Bukankah kita akan merasa utuh ketika kita berada dalam keintiman bersama orang dekat dan saling mengudarasa? Bukankah kita pun ini sedang didera rasa sepi, kecemasan tak berdasar, bahkan keramaian pun membuat kita merasa sendiri?


 

Loneliness in togetherness?.... 
      

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)