Demo-Pornokrasi

Sumber gambar: http://alittlereality.blogspot.co.id/2012_03_01_archive.html
Siang itu, sebuah pesan singkat elektronik hadir melalui gawai saya. Pesan itu merupakan undangan seorang kawan untuk datang mengunjungi sebuah pameran bertema “Demokrasi”. Karena saya dan dia telah lama tidak bersua, saya pikir ada baiknya juga untuk mengunjunginya sekaligus bertukar kabar. Ya, kadang untuk sekedar bertatap muka saja sering kali harus dirumuskan dahulu alasannya. Pun akhirnya saya mau juga, dan pada malam harinya saya memenuhi undangan tersebut. Maka berjumpalah kami disana dengan kehendak kami ingin bercerita, meskipun sepatah-patah, dan tidak pernah tuntas. 

Pameran tersebut sebetulnya tidak sesenorok dan semeriah yang seringkali diupacarakan di galeri-galeri komersil. Malahan, pameran berkesan seperti para masyarakat seni yang sedang hadir bak para pelayat. Dalam presentasinya yang sederhana namun tetap memperhatikan detil, mempertontonkan berbagai karya-karya replika yang memiliki materi sejarah. Teks-teks yang melekat pada tembok, terlihat rapi dikoreksi. Itu pun ada seseorang yang sibuk menyensor huruf-huruf vokal dari tulisan dinding itu. Kesan dekonstruktif menyeruak terasa seketika. Protes dan teriakan dalam sebuah kebisuan. Pameran yang menyajikan rekam peristiwa atas aksi ketidakadilan, ulasan-ulasan akan bentuk otoriter kelompok dalam melegitimasi paham yang dianutnya, dan analisa atas aksi dan relasi antar pihak dan berbagai konflik dan konteksnya. Justru hal ini yang menarik untuk ditelisik dalam pameran ini, karena sajian itu bak sebuah kaleidoskop “karya-karya yang dibunuh”. Namun, karya-karya itu pula menyuarakan bahwa kebebasan sebuah gagasan tidak akan pernah mudah dilupakan, apalagi memberikan efek jera bagi pembuatnya. Gagasan-gagasan dalam karya yang telah mati, justru selalu dapat dihidupkan dan ditransformasikan dalam kebaruan wacana.

Waktu pun berlalu, dan akhirnya kami pun “benar-benar” baru bisa bercakap-cakap. Obrolan dan gurauan dalam kelindanan keseriusan kami tentang fakta-fakta tersaji dalam pameran itu. Malam pun semakin larut dan diskusi tidak cukup mencapai titik diskursusnya…


Proposisi “Demokrasi?” dalam gugatan "tubuh telanjang" di karya seni

Pada laporan berkala milik Yayasan Biennale Yogyakarta (The Equator, 2016, vol. 4, No.3, hal. 22), Grace Samboh mengulas wacana tentang pameran ini yang justru menyasar pada makna yang terwakili pada kata Demokrasi. Berbagai kata kunci pun ditemukan, yaitu kata-kata yang berasal dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terkait dengan wacana demokrasi, persamaan, dan kebebasan berekspresi. Namun, fokus gugatan penulis disini justru berbeda yaitu mengarah kepada aksi diamnya. Tentu saja diam tidak hanya dalam konteks kebendaan namun juga kegiatan. Atas dasar proposisi itu pula lah, agaknya saya pun ikut menduga bahwa aksi diam ini secara persesuaiannya membawa kondisi permenungan bagi pengunjung yang hadir pada acara tersebut.

Untuk menegaskan aksi diam tersebut, berbagai gugatan spekulatif pun dirumuskan untuk mendukung dimensi atas konsep diam ini, yaitu: diam terkait waktu, diam dalam perihal relasi norma antara yang berhak dan berkewajiban, diam sebagai sikap acuh individu dan atau sikap acuh kelompok, dan diam sebagai bentuk struktur berpikir masyarakat antar kelompok yang semakin legitim. Akan tetapi, saya cukup curiga, bahwa masalahnya tidak hanya terbatas pada gugatan ini semata. Namun juga pada logika dan analisa yang digunakan oleh para pihak yang berkonflik, yaitu dalam mengangkat apa-apa saja yang menjadi tegangan pada sekelompok masa berideologi tertentu (yang berlindung dan menumpang pada konsep bela kebebasan, bela negara, bela agama, atau bela Tuhan demi melancarkan “aksinya”). Logika dan analisa yang masih tidak beranjak dari seputaran isu lama yaitu isu-isu yang meliputi, komunisme, tubuh telanjang, dan agama.

Demokrasi? Pornokrasi? Ataukah sebuah Tirani Kebenaran?

Terlepas dari begitu banyaknya gugatan bertubi terkait dengan kata demokrasi ini. Ada satu hal yang menarik untuk dibahas yaitu terkait dengan tindakan atau aksi anti-pornografi. Secara definisi (KBBI) pornografi (n.) memiliki dua makna, yaitu: (1) penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi, (2) bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks. Sedangkan kata porno sendiri dalam definisinya merupakan (1) kependekan dari pornografi (n.), dan (2) cabul (a.). Dalam hal ini dugaan terbesar penulis adalah kata pornografi ini merupakan kata serapan dari bahasa Inggris. Berdasarkan kamus Merriam-Webster Online, kata pornography sendiri berarti, (1) the depiction of erotic behavior (as in picture or writing) intended to cause sexual excitement, (2) material (as a book or photograph) that depicts erotic behavior and is intended to cause sexual excitement, (3) the depiction of acts in a sensational manner so as to arouse a quick intense emotional reaction. Akan tetapi hal ini belum cukup, bahwa konsep pornografi masih perlu dilacak secara etimologis, yaitu bahwa kata ini pertama kali dikenal pada tahun 1858, dalam Bahasa Yunani yaitu pornographos (a.) yang berarti penulisan mengenai prostitusi. Pornographos merupakan gabungan dari dua kata, yaitu pornē yang berarti prostitusi dan graphein yang berarti menulis (v.). Sedangkan pornē merupakan peleburan dari penggabungan dua kata yaitu pernanai yang berarti menjual dan poros yang berarti perjalanan.

Mengambil beberapa contoh perkara yang terjadi di Indonesia, yaitu monumen Patung Tiga Mojang di komplek Harapan Indah Bekasi (Tempo.co, 19 Juni 2010), dan patung peminta hujan koleksi Bung Karno di Istana Bogor yang kemudian ditutup atau diberi pakaian (merdeka.com, 23 Februari 2015), instalasi karya dari seniman Anjas di Biennale Jakarta (Tempo.co, 3 Februari 2006). Bahwa tindakan kelompok massa yang menggunakan atribut tertentu ini bisa di kategorikan sebagai bentuk anti-tesis dari pornografi. Artinya bahwa karya-karya tersebut dianggap memenuhi dimensi konsep dari tesis pornografi, dan segala sesuatu terkait dengan pornografi merupakan hal yang hina, kotor, tidak suci. Hal ini secara banal karena seksualitas dipandang dengan sebuah konsep yang lekat dengan nafsu berahi, direduksi sebagai berahi semata). Dengan demikian, sepanjang karya-karya seni mempertontonkan sebagian atau seluruh anggota tubuh yang tekait dengan seksualitas tersebut dianggap sebagai hal hina, kotor, tidak suci. Lantas solusinya adalah bahwa terkait dengan kehadiran karya-karya tersebut sebaiknya dilakukan tindakan apapun itu agar karya-karya itu tidak lagi memenuhi konsep porno.

Sensor-isme

Suatu tesis bahwa tubuh telanjang dan pornografi bukanlah hal yang serupa meskipun bentuk akhirnya ada kesamaan hal. Seluruh pornografi pasti mengandung unsur tubuh telanjang, akan tetapi tubuh telanjang bukan berarti pornografi. Semua pornografi adalah hal buruk, sehingga sebuah karya seni mengandung unsur pornografi akan mengundang anti-tesis, yang berujung pada kausalitas aksi anti-pornografi. Namun apakah lantas hal ini bisa diperlakukan terhadap karya seni, yaitu tindakan berupa perusakan karya seni, pelarangan, protes dari jalur hukum, dan apapun itu yang merupakan sebuah simbol atas tindakan legitimasi suatu paham dan pemikiran tertentu. Hal-hal ini menyangkut moral yang diyakini kelompok tersebut, sehingga dengan adanya persinggungan pada konsepnya, maka bisa dilakukan tindakan pendisiplinan agar moral terjaga.

Tentu saja ketika berbicara agama, maka seolah-olah segala konflik antar manusia dapat diselesaikan melalui campur tangan “DIA yang kita muliakan nama-Nya”—selanjutnya disebut DIA[1] . Bahwa ujung dari segala konflik antar manusia, dapat diselesaikan dengan kehadiran DIA sebagai sumber kebenaran mutlak, yaitu satu-satunya yang benar. Dengan logika semacam ini, maka segala sesuatu yang diatasnamakan oleh DIA maka sudah tentu konsekuensinya adalah sebuah kebenaran. Hal ini berarti suatu hal ontologis, yaitu tindakan eksistensial apapun dari perkara-perkara “ada” menjadi perkara-perkara “tiada”. Hal ini secara ontologis merupakan suatu tindakan duniawi atas rahmat DIA untuk melegitimasi apapun itu yang diyakini sebagai kebenaran. Jika, kenyataan bahwa terdapat karya seni yang berbentuk atau mengandung unsur tubuh telanjang, maka sudah selayaknya dilakukan sensor (dihancurkan, atau dipakaikan baju).

Dari hal tersebut diatas maka hadirlah kata sensor sebagai bentuk pendisiplinan moral. Per definisi, sensor memiliki dua makna, yaitu: (1) pengawasan dan pemeriksaan surat-surat atau sesuatu yang akan disiarkan atau diterima (berita, majalah, buku, dan sebagainya—supaya tidak bertentangan dengan norma, peraturan, atau hukum yang berlaku[2] , (2) elemen yang mengubah sinyal fisik menjadi sinyal elektronik yang dibutuhkan computer. Secara etimologi kata, sensor berasal dari seorang Magistrat[3]  Romawi yang melakukan sensus dan pengawasan atas moral publik. Sedangkan di Perancis Tengah, kata sensor diturunkan dari bahasa Latin, yaitu censere. Kata itu memiliki arti menaksir, menghargai, mempertimbangkan,”. Kata itu pun digunakan pada tahun 1640an sebagai penanda aktivitas penilaian ketat tentang moral atas buku-buku, teater, (dan film pada era sekarang). Baru di awal abad ke-19 masehi, sensor didefinisikan sebagai agen negara yang berwenang atas pidato dan materi publikasi untuk melakukan pembungkaman, dengan alasan atau anggapan bahwa isi dari hal-hal tersebut mengancam penguasa secara politis atau merupakan tindakan subversif.

Namun jika dipikir-pikir dalam kitab Gennesis[4]  sudah diulas masalah kesadaran akan tubuh telanjang. Di kitab itu, manusia diteorikan mampu mencipta akibat memiliki citra DIA, yang termasuk menciptakan sensor bagi tubuhnya sendiri. Hal ini secara eksplisit terkait dengan adanya rasa malu yang hadir akibat manusia pertama memakan dan mencerna buah pengetahuan (atau buah terlarang). Hal ini secara tautologi menyiratkan bahwa manusia pertama berkesadaran akan tubuh telanjang akibat pengetahuan yang bersifat transenden (berasal dari buah pengetahuan). Kesadaran merupakan sesuatu kemampuan manusia yang didapatkan dari luar tubuhnya. Hal ini menjadikannya manusia pertama berjarak dengan realitas, bahwa telanjang tidak lagi disetujui sebagai sebuah konsep yang melekat pada dirinya. Namun, peristiwa kesadaran akan tubuh telanjang ini secara serta merta juga berkaitan dengan tubuh telanjang yang liyan (yaitu tubuh Hawa atau Adam tergantung perspektifnya). Jurang realitas antar subyek itu secara spekulatif mungkin saja belum mampu dirasionalkan sebagai kebenaran oleh manusia pertama ini, dan sehingga mereka menangguhkan (menyensor dengan pakaian berupa cawat) realitas itu sebagai solusinya. Hal tersebut secara eksplisit terdapat pada teks berikut:

Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang, lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat. (Gennesis 3:7)… dan DIA membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk isterinya itu, lalu mengenakannya kepada mereka (Gennesis 3:21).

Dari teks tersebut[5] , dapat ditafsir (dengan pelanggaran terhadap kaidah-kaidah eksegese tentunya), bahwa manusia pertama dapat dipandang sebagai subyek berkesadaran yang melakukan sensor terhadap dirinya sendiri. Sedangkan DIA merupakan subyek berkesadaran dan sekaligus sumber kesadaran yang melakukan penyensoran terhadap manusia pertama (DIA sudah sadar lebih dahulu). Hal ini pun sejalan, pemberian sensor, selubung, tutup, atau benda apapun dengan fungsi yang sama juga secara biologis dimiliki oleh species manusia. Hal ini ditemukan khususnya pada organ-organ vital reproduksinya (ada pembungkus, letak agak kedalam, dan terdapat tutup berupa rambut). Bagian-bagian tubuh ini berfungsi untuk menutupi organ reproduksi spesies manusia jantan dan betina. Artinya secara biologis, tubuh pun memiliki alat penutup sejalan dengan evolusinya untuk melindungi diri[6] .


Akan tetapi, apakah lantas patung pun butuh disensor karena mempertontonkan tubuh telanjang?[7] Perlukah sebuah obyek telanjang disensor oleh subyek?

Jawaban atas pertanyaan ini mungkin dapat didekati dengan mempelajari kasus serupa di Kapel Sistina (Vatikan, Roma, Italia). Sejarah pun mencatat bahwa lukisan Michaelangelo Buonaroti di kapel itu pernah mengalami kasus serupa. Pada era takhta Alesandro Farnese (1534-1549), yang menggantikan takhta Giulio de Medici karena Ia mangkat, perseteruan kubu seniman dan kubu pemuka agama pun juga mencuat. Sensor keras terhadap lukisan-lukisan yang mengandung unsur-unsur tubuh telanjang pun dilakukan. Tubuh-tubuh telanjang yang mempertontonkan alat reproduksi manusia diminta untuk ditutup dengan melukis kain-kain putih pada bagian-bagian tertentu tubuh. Baru setelah empat abad berlalu, Karol Woyta[8]  ketika menjabat takhta tertinggi tersebut melakukan restorasi besar-besaran. Ia membuka kembali lukisan kain-kain selubung putih tersebut. Sejalan dengan hal itu Ia mengajukan argumentasi terkait dengan teologi tubuh.

Kasus lukisan Michaelangelo Buonaroti ini persis serupa seperti apa yang menimpa karya-karya seni di Indonesia, sehingga kita dapat berefleksi dengannya. Tubuh telanjang dalam kitab Gennesis tersebut, secara tersirat sebetulnya ingin menyibakkan suatu hal yang sangat pribadi terkait dengan ketubuhan, kesetubuhan dan persetubuhan antar manusia. Bentuk legitimasinya adalah DIA dengan “caranya” yang menyelimuti kedua manusia pertama itu dengan kulit binatang (Mengapa kok tidak dengan rajutan dari dedaunan?). Hal ini bisa dipandang sebagai simbol bahwa ada pemisahan yang jelas dan secara sadar antara alam-di-luar-sana, dan pribadi-di-dalam-sini dengan yang disebut sebagai persona. Hal ini lah dapat dipahami sebagai titik temu dan sekaligus peleburan antara konsep manusia sebagai subjek dan objek. Di sini dapat dijelaskan bahwa tubuh manusia bukanlah sebuah realitas objektif belaka, karena mau tidak mau sesungguhnya tubuh manusia selalu terkait dengan identifikasi ontologis tubuh itu sebagai tubuh seorang pribadi, yaitu sebagai subyek yang mengalami hubungan dengan tubuhnya sendiri. Artinya, pribadi itu menghayati dirinya sebagai subjek dalam bentuk dasariah menghidupi dirinya sendiri, dan pada saat yang sama menghidupi tubuhnya dalam kaitan dengan manusia-manusia lain. Di sini, masalah ketubuhan pada manusia merupakan persoalan identifikasi ontologis subyek yang menghayati hidup tubuh lelaki dan tubuh perempuan.[9]

Hingga di titik ini, pornografi, sensor, tubuh telanjang, dan apa-apa yang terkait dengan hal itu perlu dilogikakan kembali agar tidak terjebak dalam fanatisme dan aksi membuta, yaitu menciptakan gejala porno pikir. Logika “jika tubuh telanjang, maka pasti porno” sudah tentu harus diberantas, apalagi jika logika semacam ini yang sudah terepresi ke dalam bawah sadar dan termanifestasi dalam budaya komunitas atau kelompok yang mendapatkan legitimasi dari kepercayaannya. Logika ini pun yang telah “membunuh” karya-karya seni tersebut diatas sudah tentu akan mendatangkan sikap pedas terkait dengan rasionalitas dari komunitas yang berseberangan. Jelas apapun itu hubungan tesis dan anti-tesis disini akan selalu melahirkan logika biner, yaitu keterjebakan pada dualisme.

Manusia yang berada dalam kelompok atau komunitas tertentu, sudah tentu pola penalaran dan etika ditentukan oleh budaya pada kelompok itu, karena kedua itu terbangun dan tersedia baginya. Klaim-klaim kodrati ini tentunya layak dicermati. Tak perlu diragukan lagi bahwa komunitas atau budaya tempat seseorang berada memang bisa berpengaruh besar pada cara ia memandang situasi atau mengambil keputusan.[10]  Dengan demikian jelaslah, bahwa kehadiran logika biner yang kemudian memicu tindakan-tindakan penyensoran secara paksa (kesepakatan ada namun berkesan bahwa adanya penghindaran masalah yang lebih luas, menghindari konflik, cari selamat, dsb.),[11]  hanya melahirkan legitimasi-legitimasi baru terhadap tuntutan pihak yang “dipandang/ dianggap” lebih memiliki kuasa. Dari peristiwa-peristiwa yang ada, dengan absennya konflik terbuka maka kelompok yang mengusung pendapat bahwa objek telanjang merupakan pornografi semakin diterima, sebagai logika benar dan salah[12] .

Dalam pendekatan situasi antara demokrasi dan pornografi disini, saya lebih merasa nyaman dengan argumentasi Deshi Ramadhani. Ia mengajukan logika biner sken (scene) dan obsken (obscene), yaitu apa-apa saja yang boleh dipertontonkan dan apa-apa saja yang tidak boleh dipertontonkan. Ia pun meradikalkan sebuah pandangan yang berlandaskan teologi ketubuhan dari Karol Woyta. Ia menegaskan bahwa sebuah obskenitas perlu melalui proses penjujuran diri, yaitu di dalam rupa tubuh telanjang manusia dalam ruang publik semacam itu justru secara lantang digemakan sebuah undangan: “Pandanglah tubuh telanjang manusia, dan berkontaklah dengan Yang Illahi.”[13]  Inilah sebuah tantangan manusia untuk tercebur ke dalam sebuah paradoks yaitu berani berdiri dan mengafirmasi diri di tengah bentrokan antara apa-apa yang etis dan apa-apa yang estetis. Argumentasi Deshi Ramadhani ini dapat dipandang sebagai seruan manusia dalam paradoksnya.[14]  Karena, justru berada dalam paradoks inilah, moral terkikis habis terdekonstruksi oleh dirinya sendiri. Maka dari itu, moral sudah tidak ada lagi dan tidak mampu lagi untuk digunakan untuk menilai.

Ruang Refleksi

Bahwa sebuah pertanyaan “rasionalitas milik siapa?” akankah terus mewarnai perang konsep dalam tubuh demokrasi? Keterjebakan antar struktur-struktur berpikir di dalam komunitas tidak serta merta melahirkan diskursus baru, ketika segalanya pun mampu didekonstruksi. Nampaknya tuntutan akan adanya sebuah nilai-nilai universal yang berangkat dari wacana-wacana kecil di masyarakat atau pun komunitas pada akhirnya hanya mampu melahirkan konflik dengan kekerasan fisik belaka. Rasionalitas sempit dan mental anti-skeptisme masyarakat menjadikan begitu mudahnya mereka dibelokkan menjadi sebuah lomba kesesatan berpikir (logical fallacy). Negara yang dengan peran sakralnya, karena dikonsekrasikan rakyat dengan segala mandat dan tanggung jawabnya pun ikut mendangkalkan dirinya dengan ideologi-ideologi dan isme-isme pahamnya yang belum jadi. Menjadi nihilis demi terciptanya kedamaian. Sikap meredam konflik yang dilancarkan aparatur negara, yang diperkaya dengan habitus supremasi hukum yang setengah-setengah, pada akhirnya hanya berujung pada legitimasi dan dukungan atas logika yang salah. Memutlakkan yang salah untuk diterima menjadi kebenaran.

Dalam kasus ini tetap diperlukan sikap realistis dan kesadaran yang harus tetap diperjuangkan. Kesadaran akan posisi paradoks tidak akan pernah terhidarkan, apalagi dalam masyarakat Indonesia yang sudah terlanjur majemuk. Upaya menstrukturkan pikiran majemuk menjadi pikiran tunggal dalam bungkusan budaya pun nampaknya hanya menimbulkan konflik-konflik baru yang bersifat semakin sporadis, laten dan semakin tidak terkendali. Pelancaran aksi menentang tesis “tubuh telanjang” dengan narasi besar pun juga akhirnya adalah sebuah “tirani kebenaran” yang lahir di dalam tubuh demokrasi. Hal ini pada akhirnya hanya bak penyakit kanker yang menyebar ke seluruh tubuh. Sikap terbuka dan berani keluar dari kekangan struktur berpikir (yaitu mengejar esensi dari DIA sebagai causa sui) sepertinya seperti langkah penangguhkan kebenaran semata saja.

“Tubuh telanjang” sesungguhnya dalam karya seni tidak lebih dari sebuah ekspresi emosi manusia atas keindahan suatu persona. Seniman adalah seseorang yang dimampukan untuk melakukan objektifikasi tubuh/ “melihat”[15]  tubuh manusia secara berbeda. Karya seni yang mempertontonkan konsep “tubuh telanjang” sesungguhnya tidak mempertontonkan tubuh telanjang. Alasanya karena karya seni tersebut telah melalui proses transfigurasi oleh senimannya. Ketika tubuh manusia dituangkan dalam sebuah karya seni, mau tidak mau memang terjadi objektifikasi. Artinya, sebuah karya seni tidak bisa menghindar dari sebuah proses yang memperlakukan sebuah subyek sebagai obyek. Dalam karya seni, kedua dimensi “sebagai tubuh” dan “mengalami tubuh” itu dibawa ke wilayah yang jauh melampaui batas-batas pribadi-pribadi yang hidup dengan tubuhnya sendiri, di luar indentitas ontologisnya sendiri.[16]  Sebagai penutup, berdasarkan ulasan di atas, siapakah yang sebetulnya memiliki pola berpikir yang serba porno? Apakah ini menjadikan gejala baru sebuah pornokrasi, yaitu apasaja dengan bantuan kekuasaan akan dibuat menjadi porno? Hanya sikap kritis kita semua yang mampu menuntunnya.

Catatan-catatan kaki

[1] DIA merupakan subjek agung sebagai pengganti segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan vertikal antar manusia. DIA adalah Tuhan Imajiner yang secitra dengan Tuhan transenden, diciptakan bukan untuk disembah sebagai berhala, namun sebagai tandingan yang mampu mendekonstruksi konsep Tuhan transenden dalam wacana ini.   
[2] Dalam kamus KBBI online, penulis sengaja membubuhkan konteks normatif dari arti kata penyensor (agen/pelaku yang melakukan aktifitas sensor, disini sensor yang melekat pada subyek).
[3] Penulis sengaja menggunakan kata Magistrat sebagai agen penegakan hukum atas dasar material sejarahnya. Magistrate merupakan jabatan yang diberikan oleh imperium/ kekaisaran romawi kepada warga sipil untuk turut serta melakukan penegakan hukum. Dalam konteks sejarah Indonesia, mungkin mendekati arti dari kata pangreh praja.
[4] Agar tidak menyulut salah paham terkait SARA, kitab Gennesis disini adalah kitab mitology yang ceritanya sama dan serupa dengan Kitab Genesis, namun bukan bersifat sola scriptura.
[5] diduga berusia 2450 tahun silam (diperkirakan ditulis pada 450-350 BCE)
[6] Ide bahwa manusia merupakan binatang yang ikut berevolusi ini mengikuti gagasan (Charles Darwin dan Richard Dawkins), dan evolusi pikiran manusia menjadi supra-being mengikuti gagasan (Teilhard de Chardin dan Carl Gustav Jung). Titik omega atau bersatunya tubuh dan jiwa, yaitu jiwa manusia dan jiwa yang Illahi.
[7] Bukankah yang melakukan sensor itu pun juga dilahirkan dari rahim Ibu dengan tubuh telanjang? Bukankah juga menikmati air susu Ibu dari payudara, dan dininabobokkan disana? Lantas mengapa sekarang protes terhadap karya seni tersebut, tanpa mengetahui gagasannya.    
[8] Memiliki latar belakang seni theater, memimpin Gereja dengan nama Paus Yohanes Paulus II, pada tahun 1978-2005.
[9] Ramadhani, D. (2010). Tubuh Telanjang Manusia dalam Ruang Publik. Dalam F. B. Hardiman, Ruang Publik: Melacak "Partisipasi Demokratis" dari Polis sampai Cyberspace (hal. 295-316). Yogyakarta: Kanisius. hal. 304
[10] Sen, A. (2006). Kekerasan dan Identitas. (A. Susanto, Penerj.) Tangerang Selatan: Marjin Kiri., hal. 47
[11] Perlu diperiksa dan dilacak lebih jauh warisan etika Jawa ini, bahwa budaya menghindari konflik dengan menjaga keselarasan merupakan salah satu dari elemen budaya masyarakat Jawa (bdk. Magniz-Suseno, 1996, Etika Jawa). Hal ini perlu diakui bahwa ketidakselarasan atau konflik terbuka merupakan hal yang melanggar moral, sehingga biasanya konflik diselesaikan dengan kehadiran kaum elitis.
[12] disini mungkin bisa ditempuh dengan jalan kekerasan juga atau perang terbuka untuk meletakkan landasan moral baru.
[13] Ramadhani, (2010), op. cit. hal. 315
[14] Snijders, A. (2003). Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: Kanisius.
[15] aisthanomai dalam bahasa Yunani
[16] Ramadhani (2010) op. cit. hal.305







Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)