Membuat Telaah Kritis (4): Memeriksa suatu Kritik

Terima kasih kepada para pembaca yang budiman! Saya sebagai penulis sungguh tidak menyangka bahwa tulisan “Membuat Telaah Kritis (2): Mengkritisi jurnal penelitian” telah melampaui 5000 pembaca (25% dari total pengunjung). Artinya, secara konsisten dari waktu ke waktu pengunjung blog mampir disini karena kebutuhan akan informasi terkait dengan penulisan karangan ilmiah. Penulis pun juga menduga bahwa banyak dari para pembaca sedang mendapat kegalauan akut dikarenakan medadak dosen-dosen mendatangkan masalah, yaitu meminta sebuah telaah kritis tanpa mengajarkan dengan jelas apa itu telaah kritis.

Saya akan berangkat dari apa itu kritis? Per definisi KBBI online kata kritis (a.) memiliki dua arti (definisi biverbal), yaitu pada definisi pertama: (1) dalam keadaan krisis, gawat; genting (tentang suatu keadaan), (2) dalam keadaan yang paling menentukan berhasil atau gagalnya suatu usaha. Sedangkan pada definisi kedua ialah (1) bersifat tidak lekas percaya, (2)bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan, (3) tajam dalam penganalisaan. Namun, dari definisi tersebut diatas, jelas mengandung unsur kualitas dalam melakukan kritik, yaitu berada pada di titik paling ujung.

Kata kritis disini penjelasan analognya adalah seperti menganalisa sebuah bidang berbentuk kotak, jika analisa anda menemukan keempat sisinya, dan sisi-sisinya tersebut memiliki panjang yang sama. Tidak peduli berapapun kuantitas (baca: ukuran panjang dari sisi-sisinya), sepanjang dua prasyarat dimensi tersebut anda temukan artinya anda dapat membuktikan bahwa terdapat benda berbentuk kotak. Kemudian, jika anda ingin mengkritisi sebuah kotak, maka anda selain harus melogikakan hakikat kotak itu (memiliki empat sisi), anda juga harus menunjukan elemen-elemen lain yang mendukung atau tidak mendukung.

Dari penjelasan di atas, bagaimana mengkritisi sebuah jurnal penelitian atau akademis? Pada postingan sebelumnya, penulis melayangkan pertanyaan-pertanyaan panduan, yang mampu menuntun dalam membuat kajian literatur dan ulasan kritisnya. Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan ini masih terkesan prosedural dan pragmatis. Maka dari itu beberapa tulisan ke depan penulis ingin memutakhirkan tulisan sebelumnya, yaitu dengan menunjukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih bersifat filosofis, selain itu juga akan saya tunjukan perihal taksonomi dari metode berlogika.

Bahwa apapun itu bentuknya, jurnal ilmiah, esai, kajian, laporan, dan lain sebagainya adalah berupa teks. Untuk memeriksa apakah di dalam teks tersebut memberikan sebuah argumentasi yang cukup kuat, kita perlu memberikan bukti-bukti lain. Hal ini bisa merupakan evidensi dari temuan empiris, bisa dari fakta material, bisa dari persesuaian analogi pada kasus yang berbeda, bisa dari sumber-sumber primer seperti wawancara, atau sekunder seperti dokumen dan arsip-arsip data. Namun perihal kajian literatur/ tinjauan kritis/ ulasan kritis hanya menunjukan hubungan-hubungan gagasan dan bukti empiris (jika penelitian empiris) yang sesuai dan relevan. Artinya, bukti-bukti disini bisa memberikan kritik negatif (menunjukan pertentangan/ sanggahan) atau memberikan kritik positif (menunjukan validitas dan realibilitas tertentu, serta konsistensi temuan). Bukti-bukti disini dapat disebut sebagai klaim, kepiawaian seorang penyusun karya ilmiah salah satunya bisa diukur dari seberapa jeli Ia menangkap dan mengenali suatu klaim, dan kemudian seberapa kuat ia membangun atau malah meruntuhkan klaim itu. Klaim-klaim dalam teks, dapat diringkas dalam kutipan berikut, antara lain (Woodhouse, 2000, hal. 67-68):
  1. Empiris. Pengetahuan empiris mencakup keyakinan-keyakinan aposteori bahwa sesuatu ternyata demikian. Keyakinan ini didasarkan pada pengalaman.
    • a. Jenis pertama ditentukan melalui pengamatan langsung atau dengan membuat generalissasi dari data-data yang diamati. Misalnya, “Tangan saya berdarah” dan “Semua gagak berwarna hitam.”
    • b. Jenis kedua ditentukan melalui percobaan dengan menggunakan hipotesis. Misalnya, “Rendahnya kadar gula dalam darah mengakibatkan depresi.”
  2. Apriori. Pengetahuan apriori mencakup keyakinan-keyakinan bahwa sesuatu niscaya demikian atau tidak demikian. Keyakinan-keyakinan itu tidak didasarkan pada pengalaman dan tidak dapat dibuktikan salah oleh pengalaman.
    • a. Tautologi. Kesalahan dan kebenarannya semata-mata ditentukan oleh pengujian terhadap bentuk logisnya. Contohnya, “Jika A=B dan B=C, maka A=C.”
    • b. Definisi. Di sini arti suatu istilah dinyatakan secara eksplisit. Kebenaran dan kesalahannya ditentukan oleh metode-metode yang akan kita uraikan pada bagian berikutnya. Contohnya, “Bujangan adalah laki-laki yang belum menikah.”
    • c. Analitis. Cakupan atas klaim-klaim yang kebenaran dan kesalahannya ditentukan oleh makna implisit dari kata-kata kuncinya. Contohnya, “Tidak mungkin Jones seorang Babtis yang atheis.”
  3. Ketiga bentuk di atas (A, B, dan C) dinamakan klaim analitis, yakni pernyataan yang pengingkarannya mengakibatkan terjadinya kontradiksi-diri. Semua pernyataan anailitis adalah apriori. Namun tidak semua klaim apriori adalah analitis.
    • d. Apriori-sintetis. Pernyataan yang pengingkarannya tidak mengakibatkan terjadinya kontradiksi-diri dan yang kebenaran maupun kesalahannya tidak tergantung pada makna kata-kata kuncinya. Contohnya, “Setiap kejadian memiliki sebab.”
  4. Normatif. Berlawanan dengan klaim empiris dan apriori, klaim normatif menggariskan apa yang seharusnya, bukan sekedar apa yang diyakini. Klaim normative dapat diungkapkan dalam bentuk prinsip umum, pertimbangan khusus, atau mungkin merupakan makna tersirat dalam, misalnya saja, suatu konteks empiris. Contohnya, “Orang tidak boleh membunuh orang lain, kecuali mempertahankan diri” dan “Semua orang tahu bahwa ilmu pengetahuan (seharusnya?) bebas dari pertimbangan-pertimbangan nilai.” 

Pembaca, perlu memahami dengan sungguh-sungguh bentuk-bentuk klaim tersebut pada karangan. Keberhasilan pembaca dalam menguasai literatur diperlukan sebuah kedisiplinan dalam mengetahui anatomi dari riset atau teks itu sendiri. Selain menggunakan daftar pertanyaan pada postingan sebelumnya (Membuat Telaah Kritis bag. 2: Mengkritisi jurnal penelitian), secara konseptual pembaca juga bisa menggunakan panduan-panduan pertanyaan yang menjadi sebuah perangkat untuk membantu kita. Perangkat tersebut dapat memandu kita untuk menentukan tataran kajian, mengidentifikasi permasalahan, dan memastikan bahwa kita benar-benar mengerti apa yang sedang dipersoalkan. Proses analitis secara garis besar akan berada dalam koridor pertanyaan-pertanyaan (Woodhouse, 2000):

  1. Klaim macam apa yang dikembangkan?
  2. Apa makna kata-kata kuncinya?
  3. Apakah argumennya mendukung tesis?
    1. Pengujian logika induktif, argumentasi diuji secara analog
    2. Pengujian logika deduktif: pengujian argument dilakukan secara validitas (modus atau silogisme).
  4. Apakah premis-premisnya benar (soundness, masuk akal atau tidak)?
  5. Apakah asumsi-asumsinya tepat (memadai/sufficient dan perlu/necessity)?
  6. Apakah konsekuensi logisnya dapat diterima (memuat hipotetis “jika-maka”, namun berbeda dalam konteksnya)? Apakah berupa:
    1. Hipotesis empiris
    2. Argument deduktif yang valid
    3. Tesis filosofis
  7. Seberapa tepatkah teorinya (appropriate)?
  8. Apakah permasalahannya berputar-putar (tidak menjawab persoalan)?


Rekomendasi Bacaan
Woodhouse, M. B. (2000). Berfilsafat: Sebuah Langkah Awal (3rd ed.). (A. N. Permata, & P. H. Hadi, Penerj.) Yogyakarta: Kanisius.



Artikel-artikel terkait yang mungkin anda tertarik,

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)