Eksistensi Individu dalam Bingkai Kolektivisme

Pendahuluan

Proyek menjadi diri sendiri secara konsekuensi akan mengakibatkan bahwa manusia akan mengupayakan untuk semakin mengenal dirinya, orientasi yang semakin mengakarkan manusia pada penghayatan akan kesehariannya, yaitu cara beradanya sendiri. Namun tidak dipungkiri, bahwa filsafat sebagai ilmu kritis yang mengupayakan berbagai macam pemaknaan tidak lepas dengan kebudayaan dan sejarah dari manusia. Hal ini pun tidak terkecuali bagi Indonesia yang dibangun dari masyarakat yang majemuk dengan nilai-nilai lokalnya, absorbsi budaya asingnya, dan berikut asimilasi serta akulturasinya. Makalah ini berangkat dari temuan faktual perihal indeks kecemasan dan kadar individualisme yang dikomparasikan antar negara pada masa kontemporer ini. Hofstede, Hofstede, & Minkov (2010) dalam bukunya Cultures and Organizations: software of the mind: intercultural cooperation and its importance for survival yang merupakan studi empiris multi-disiplin ilmu sosial telah mengkaji dan mempetakan nilai-nilai budaya dan masyarakat pada level antar negara. Dalam studinya, mereka mengukur berbagai taraf perbedaan atas nilai-nilai kunci yang berkaitan dengan identitas suatu manusia saat ini yang diderivasinya dari sejarah tiap-tiap negara dan dipetakan berdasarkan hubungan-hubungan antar nilai-nilai di masyarakatnya.

Dari sekian banyak dimensi yang diukur, dalam makalah ini penulis berfokus pada dua indeks, yaitu penghindaran akan ketidakpastian (Uncertainty Avoidance Indeks – UAI) dan individualisme (Individualism Value – IDV) yang diduga berkaitan erat dengan kondisi konkret eksistensi seseorang di suatu tempat. Hasil survey dari domain ekonomi-psikososial-budaya ini secara positivistik mengantarkan kita untuk mendapatkan peta geografis mengenai dimensi-dimensi abstrak dari cara pandang tata laku hidup masyarakat di suatu negara. Ihwal yang menarik dari studi tersebut, apabila kita merefleksikan dan membandingkan posisi Indonesia terhadap negara-negara lain, kemajemukan Indonesia justru merupakan partikularitas tersendiri dibandingkan homogenitas budaya-budaya yang ikut dimasukan ke dalam indeks pengukuran. Pada temuan tersebut, mereka mengukur kecemasan melalui indeks UAI yang dioperasionalisasi dengan menurunkannya dari konsep-konsep ilmu psikologi yang berkaitan dengan fokus pada kecemasan sebagai kesehatan mental seseorang. Hasil dari pengukuran UAI adalah suatu rentang skala agregat dari konstruk-konstruk kecemasan di suatu negara. Sedangkan hal lain yang dihubungkan dengan UAI adalah indeks nilai individualisme (IDV). Gagasan mengenai individu dan kelompok dijangkarkan pada konsep kepentingan yang berkencenderungan mengarah ke individu atau individu lain yang terikat bersama-sama secara politik. Melalui kepentingan-kepentingan yang bertujuan inilah, interaksi antar individu diproduksi secara mekanisme sosialnya. Secara konkret kepentingan ini dioperasionalisasi dengan mengukur tingkat ‘power’ (kekuatan dalam arti sosiologis) pada kelompok dalam konteks interaksi sosial, yaitu sekelompok individu hidup berdekatan secara bersama. Hasil dari indeks ini secara agregat akan menskalakan taraf individualisme dari suatu negara.

Sumber: Hofstede, Hofstede, & Minkov (2010)

Apa yang menarik dari dua dimensi antar skala indeks tersebut? Dari sekian banyak aspek yang dikorelasikan mereka, ada gagasan-gagasan yang bersifat filosofis dan kemudian dimasukkan kedalam survey mereka. Justru disinilah hal ini menjadi menarik, mengapa hal yang bersifat partikular, justru ‘dibaca’ melalui kacamata positivistik? Padahal hal-hal tersebut yang bersifat ‘pegangan’ dan menjadi alasan seseorang untuk bereksistensi justru digeneralisasikan atau seolah diuniversalkan, bukankah hal ini merupakan ranah dari subjektivisme? Hal ini kemudian memotivasi penulis untuk mendeskripsikan, melacak, mengkaitkan dan sekaligus membangun spekulasi dengan penjelasan-penjelasan filsafat eksistensialisme, sehingga diharapkan mendapatkan suatu telaah kritis terhadap temuan tersebut.  Meskipun makalah ini berangkat dari temuan disiplin ilmu antropologi dan ilmu bisnis, namun penulis berfokus untuk membahas pemaknaan atas temuan konkret tersebut secara filosofis. Alasannya adalah bahwa kecemasan dan individu (seseorang) merupakan ranah bahasan dari filsafat manusia. Penulisan makalah ini berada dalam koridor filsafat eksistensial terutama pada relasi manusia dengan sekelilingnya. Makalah ini selanjutnya akan terbagi dalam segmen sebagai berikut, yang meliputi: telaah literatur, diskusi kritis, simpulan dan saran.

    
Telaah Literatur

Konstruk dan Dimensi Pengukuran Indeks
Lahirnya definisi operasional individualisme—kolektivisme yang dijadikan ukuran dideduksikan dari suatu asumsi ilmu arkeologi mengenai cara hidup masyarakat nomaden dalam kelompok-kelompok berburu dan meramu pada zaman prasejarah. Kolektivisme sendiri berasal dari bahasa latin colligere, collectivus yang berarti merepresentasikan banyak individu (google online dictionary), sedangkan merujuk kamus MerriamWebster Online, hal itu berarti: denoting a number of persons or things considered as one group or whole; shared or assumed by all members of the group. Dari definisi dan asumsi arkeologis ini kemudian digunakan sebagai dasar pengembangan survey untuk membuktikan secara empiris. Konsekuensi masa sekarang dari indeks ini akan menggambarkan suatu spektrum negara-negara yang hidup secara kolektif hingga hidup secara individual. Dalam arti masyarakat modern pergeseran taraf individualisme diantar oleh sebuah premis bahwa modernisasi merujuk pada proyek individualisasi, artinya modernisme sendiri sudah berciri anti kolektivisme. Beberapa ciri yang lahir dari dimensi individualisme—kolektivisme pada tatanan idea dan politik ini dikemukakan antara lain: (1) Sebagai ciri masyarakat kolektif yang menonjol adalah lahirnya opini-opini bukan karena merupakan pengejawantaahan hasrat pribadi, namun justru ditentukan sebelumnya oleh para anggota kelompok. Hal ini pun termasuk bahwa kepentingan-kepentingan kelompok yang lebih diutamakan dibandingkan kepentingan individu, dan secara konsekuensi kehidupan pribadi harus rela diinvasi oleh kelompok. (2) Ciri lain yang menonjol juga masalah ideologi, bahwa semangat kesetaraan (equality) lebih diutamakan dibanding kebebasan individu. Konsekuensinya, harmoni dan konsensus di dalam masyarakat menjadi cita-cita yang ultim dibandingkan aktualisasi-diri, patriotisme menjadi lebih ideal daripada individu otonom.

Di lain pihak, tingkat penghindaran atas ketidakpastian diturunkan dari konteks sejarah terkait dengan rumpun asali bahasa. Tingkat UAI ‘kuat’ merupakan warisan budaya imperium romawi, sedangkan tingkat UAI ‘lemah’ merupakan warisan budaya imperium tiongkok. Artinya, dalam konteks tingkat penghindaran atas ketidakpastian (UAI), taraf/kadar kecemasan yang disebutkan diatas, merupakan produksi suatu budaya pada elemen psikologis masyarakatnya. Beberapa ciri yang lahir dari kadar tingkat UAI adalah menyoal aspek toleransi, religi dan idea-idea. Dalam dimensi ini mengukur kadar kuat-lemahnya suatu masyarakat dalam memandang suatu ketidakpastian, antara lain: (1) apabila suatu masyarakat tidak terlalu membutuhkan suatu kepastian, dalam arti ‘lemah’, maka filsafat dan sains yang berkembang di masyarakat itu cenderung akan menuju pada relativisme dan empirisisme; di sisi lainnya yaitu di masyarakat-masyarakat dengan tingkat penghindaran atas ketidakpastian yang kuat, ada kecenderungan penciptaan teori-teori besar yang kemudian dijadikan acuan baru. (2) Implikasi dari hal itu adalah produk-produk budaya akan menjadi berbeda, di sisi ‘lemah’, seniman dan sastrawan akan menciptakan litearatur-literatur yang bergelut dengan dunia-dunia khayalan, sedangkan di sisi ‘kuat’, mereka akan menciptakan kritik terhadap aturan, moral dan kebenaran. (3) Implikasi lain adalah terhadap religi dan agama, di sisi ‘lemah’, nilai-nilai kebenaran agama sebaiknya tidak dipaksakan kepada orang lain. Apabila perintah agama (commandments) tidak dapat/ sulit dipatuhi, maka sebaiknya diganti dengan nilai yang lebih merepresentasikan tata laku kehidupan. Berkaitan dengan Hak Asasi Manusia dalam memeluk sebuah agama, tidak seorang pun dapat dipersekusi oleh orang lain terkait dengan kepercayaannya itu. Sedangkan di sisi ‘kuat’, bahwa hanya nilai-nilai kebenaran agama yang memiliki kebenaran tunggal dan dimiliki bersama. Bilamana perintah agama tidak bisa dipatuhi, maka akan menimbulkan dosa dan harus disesali oleh para penganutnya. Hal ini memiliki kecenderungan berlakunya pandangan yang intoleran dan fundamentalisme baik agama, politik, maupun ideologi (Hofstede, Hofstede and Minkov 2010).

Dialektika Biner Dua Dunia Moral Nietzschean: Moral Tuan dan Moral Budak
Kasus Negara Indonesia, dapat dilihat dalam Grafik 1 (lampiran hal.10) bahwa tingkat UAI termasuk dalam zona moderat, sedangkan tingkat IDV tergolong dalam zona sangat rendah atau sangat kolektivis. Padahal, mayoritas negara-negara berkumpul dalam kelompok UAI yang moderat sampai tinggi, baik untuk IDV rendah atau tinggi. Lantas apa dampaknya? Manusia dalam cara beradanya mengikuti moral tertentu, cara berperilaku, bertutur dan segala sesuatunya yang terbungkus secara antropologis. Dalam hal ini, selanjutnya dapat diandaikan masyarakat di Indonesia mengikuti aturan tertentu yang dianut oleh kelompok-kelompok tertentu. Maka dari itu, di satu sisi cukup sulit ditemukan di Indonesia seseorang yang hidupnya benar-benar soliter, sebagai individu yang bebas dan berpikiran orisinal, khas dirinya. Malahan pribadi yang justru dijumpai adalah khas kelompok-kelompok yang mengusung spirit ideologi tertentu, yang menjadi berhala-berhala baru mereka. Berkaitan dengan hal itu, lepas sebagai individu bebas justru tidak terlalu menuntut suatu kepastian, ‘berhala’ ini yang lantas menjadi identitas individu yang di-‘othak-athik gathuk’-kan, sehingga seseorang ‘ada’ bukan karena eksistensi dirinya yang ultim (karena perjumpaan dan keintiman dirinya dengan Allah—dalam arti eksistensialime Kierkergard, atau karena dengan tegas menolak Allah—dalam eksistensialisme Sartre), akan tetapi karena hasil produksi sosial yaitu aktivitas bersama kelompoknya (misalnya: si A yang anggota kelompok pengajian X, yang juga rajin ikut PKK di kelurahan Y; atau misalnya si B yang pekerjaannya adalah bankir, di PT. ABC dan juga ikut gank motor merk XYZ di kota D, dan lain sebagainya. Si A dan Si B ketika saling berjumpa maka atribut-atribut tersebut akan menghiasi dirinya sebagai identitasnya). Identitas individu dalam hal ini nampaknya menjadi sesuatu yang transenden bagi dirinya, menjadi sesuatu yang terberi oleh kelompoknya dari hasil produksi politik mikro.

Berkaitan dengan hal ini, Nietzsche berpandangan bahwa ada selain manusia ada kecenderungan untuk segera berpegang pada suatu gagasan tertentu, manusia juga memiliki mentalitas moral tertentu, yaitu moral tuan dan moral budak. Apa itu moral tuan dan moral budak? Southwell (2009) telah mentafsir pemikiran Nietzsche pada Beyond Good and Evil §260, yaitu dipaparkannya bahwa Nietzsche telah membagi dua dunia secara vertikal, yaitu di satu sisi terdapat kaum atas (tuan), yang memiliki apa-apa yang ‘baik’ sebagai keutamaan, namun yang buruk hanya diakui namun hanya sambil lalu bukan menjadi masalah bagi dirinya. Namun di sisi lain juga terdapat kaum bawah (budak), yaitu kaum yang selalu membalikkan nilai-nilai dari kaum tuan. Dalam hal ini tuan dan budak selalu memiliki moral yang selalu berseberangan, tidak pernah sepakat, saling menidak tanpa pernah mengafirmasi sepenuhnya, atau masuk ke dalam dialektika. Akan tetapi, kaum budak akan selalu membutuhkan nilai-nilai kaum tuan untuk dinegasikannya, namun kaum tuan sesungguhnya secara apriori sudah tertutup dengan penolakan moral dari kaum budak. Dalam konteks kehidupan modern, justru logika biner mentalitas kaum tuan—budak seperti inilah yang kemudian sebaiknya dipahami bagaimana relasi antar pembagian vertikal ini terjadi pada posisi-posisi sosialnya.

Terkait dengan ihwal IDV dan UAI diatas, kondisi Indonesia secara sosial dapat dideskripsikan sebagai masyarakat sangat kolektif (guyub, bersatu, saling merangkul, solidaritas, dsb. merupakan jiwa bangsa) dengan pandangan relativisme. Jika diandaikan bahwa Indonesia merupakan republik dari kaum ‘budak’ yang merdeka (konteks post-kolonialisme mengkonfirmasi hal ini secara sejarah Indonesia), maka apakah lantas individu Indonesia masih mewarisi moral semacam ini di tengah laju gerus mesin-mesin modernisme? Mentalitas kaum budak yang terwaris saat ini tentu saja masih terjadi diantara kelas-kelas masyarakat. Apalagi masih banyak dijumpai terutama di kota-kota urban di Indonesia. Lahirnya kelompok-kelompok, organisasi massa, gank motor, klub bola, semuanya menjadi simbolisasi kaum budak yang marah atas kapital itu sendiri. Tuan disini tidak lagi orang kaya, bangsawan, atau para priyayi. Akan tetapi, dimaknai sebagai ide suatu ‘kapital’ atau cita-cita kepemilikan atas sesuatu yang lahir dari penolakan atas sesuatu yang sudah ditentukan sebelumnya (cara bereksistensi yang lama). Komunitas tidak hanya menjadi suatu ruang spacio-temporal kolektif untuk bersenang-senang (teman se-hobby motor misalnya), namun lebih dari itu, karena terdapat nilai moral kaum budak disana maka juga akan menjadi ruang komunikasi politis atas anti-tesis moral tuan tertentu yang dipuja dan menjadi ideologi baru. Dalam hal ini relativisme dan empirisme yang dimiliki seseorang bersama dengan komunitasnya akan melahirkan sikap-sikap seperti ikut-ikutan, latah karena tren, ‘manut grubyuk wathon gayeng’—asal ikutan yang penting menyenangkan karena kebersamaan, sehingga seseorang justru jauh dari dominasi kaum tuan dan malah sibuk menjadi budak-budak ilusi kapitalisme.
                    
Diskusi Menjadi Diri Sendiri di tengah Kolektivisme
Hidup di zaman modern tidak hanya membawa kita kepada gurun nihilisme, namun kita juga dihadapkan pada fatamorgana-fatamorgana ilusi padang pasirnya. Memahami dunia dan menghayati hidup di Indonesia, suka atau tidak sudah merupakan faktisitas bagi diri kita. Bahwa kota yang kita tinggali telah dihuni oleh kaum-kaum nomad yang sibuk mencari eksitensinya melalui ekspresi dan teknologinya tanpa jelas dari mana dan mau kemana-nya. Hasrat terdalamnya telah terkubur bersama mentalitas kaum tuan, sibuk menduplikasi tanda dan petandanya sepanjang menemukan kesamaannya, keseragamaannya bersama kejayaan kaum budak. Apakah hal ini lantas keliru, atau tidak ada jalan keluar untuk menjadi diri sendiri? Tentu saja tidak. Nietzsche dalam La Gaya Scienza §54 menuliskan (terjemahan Wibowo, 2004):

“Kepada Pembaca (atau: “Dipersembahkan untuk Pembaca Fajar”). Gigi yang kokoh, perut yang kuat. Itulah yang saya harapkan darimu. Dan kalau bukuku sudah kau cerna pasti bagaimana mengerti dirimu sendiri bersamaku!”

Wibowo (2004) menafsir teks Nietzsche tersebut bahwa kita memiliki ketahanan mental yang sesuai dengan diri kita. Pemikiran dianalogikan seperti proses memamahbiak. Pemikiran bukanlah sesuatu yang eksterior dan abstrak, ia mirip rumput yang mesti dimamahbiak untuk kemudian dicerna sang lembu. Hanya dengan dikunyah ulang dan dicerna, rumput akan menjadi darah dan daging, tertubuhkan dan juga demikian sebaliknya. Hal ini berarti bahwa pemikiran tidak pernah bersifat eksterior. Ia tidak hanya keluar dari otak manusia, melainkan dari seluruh kebertubuhan manusia itu sendiri, dari darah dan dagingnya. Dari hal ini menginspirasi kita bahwa dengan mengakui kaum tuan dan kaum budak bersama-sama ada didalam individu seseorang, tidak terelakan dan menjadi dialektika di dalam pribadi seseorang. Hal ini menuntut untuk seseorang memiliki ketahanan mental terhadap apa-apa yang menghampiri dirinya.

Manusia dalam lingkup kolektivisme diharapkan memiliki pikiran matang yang mampu memaknai adanya, yaitu eksistensinya melalui pergulatan-pergulatan batinnya, yang ditandai oleh kecemasannya sendiri sebagai jalan keluarnya. Dari pemikiran Nietzsche, kita bertolak menuju pemikiran Heidegger sebagai jawaban atas dari posisi vertikal transenden. Eksistensi manusia adalah keterlemparan manusia itu sebagai Dasein. Secara ontologis Dasein merasakan kehadirannya di dunia yaitu dengan kecemasannya. Adanya Dasein tidak lain adalah berada-di-dunia (in-der-Welt-sein) artinya dunia ini adalah sejauh yang dapat dimaknai olehnya, berdasarkan segala kemungkinan-kemungkinannya (sein können). Dari konsep Heidegger inilah, tampak bahwa dikotomi biner Nietzsche sesungguhnya merupakan suatu spektrum pemaknaan, seluas bentangan horizon Dasein itu dalam mengapropriasi kebenaran (realitas). Namun dalam eksistensinya Dasein tidak sendiri, karena terikat bersama jalinan makna dengan Dasein yang liyan dalam arti kata berada bersama (mitsein). Pertanyaan dari mana Dasein merupakan suatu faktisitas, sedangkan ke mana Dasein menurut Heidegger adalah sedang menuju kematian (sein zum Tode). Kematian merupakan hal yang paling pasti dan menjadi titik terakhir dari kemungkinan Dasein untuk bereksistensi. Sebuah makna terminal yang menjadikannya esensi dari manusia itu. Ketersituasian Dasein dalam dunianya inilah yang diajukan Heidegger sebagai perigi rohani Dasein (Hardiman 2016). Jadi, dalam hal ini ketersituasian manusia dalam dunia kolektif seharusnya dapat dipahami sebagai ruang reflektif bersama untuk saling memahami terkait dengan memikirkan hal-hal yang lebih bersifat ontologis. Kolektivisme sebaiknya dimaknai menjadi irisan horizon-horizon makna, suatu peristiwa dialogis, namun kenyataannya bahwa kolektivisme di Indonesia justru menjadi wadah pelupaan akan ada itu sendiri dalam suatu tirani metafisika. Alih-alih menjadi kaum budak, justru malah mengarah kepada kaum nomad yang sibuk mencari berhala-berhala, ilusi-ilusi baru.

Dalam logika transenden maka kolektivisme memiliki intensi arah tujuan eksistensi manusia, yaitu berada bersama menuju kematian. Namun hal ini mengarahkan kita kepada relasi aku (sebagai subjek tunggal) dengan ia (sebagai subjek yang liyan), dan/atau kalian (subjek yang liyan dalam bentuk jamak) terhadap eksistensiku sendiri. Heidegger berfokus pada suatu ‘ada’ yang selalu menemani seseorang, analisa ‘ada’ Heidegger melalui posisi kematian seseorang, menjadi khas dan unik dan menjadi sangat pribadi dan intim dengan dirinya. Melalui kematian Dasein, maka makna sebagai manusia menjadi final dan ini tidak ditentukan oleh Dasein yang lain atau pun relasinya. Dalam hal ini, ada seseorang yang dimiliki secara interior merupakan respons atau kritik terhadap eksterioritasnya, sehingga jelas disini bahwa kesadaran akan eksistensi manusia dari Dasein tidak lain adalah proyek individualisasi dirinya. Hal ini kemudian menjadi mengkonfirmasi pemikiran Heidegger ini berkaitan dengan kelahiran instrumentasi yaitu indeks-indeks yang menjadi persoalan diatas.

Kembali menggunakan mentalitas kaum tuan dan budak, hal ini individu dan kelompok tidak bisa dipandang secara kaku hanya terbatas dengan interaksi antar kelas sosial dalam kelompok-kelompok tertentu, namun kecenderungan nilai-nilai tuan yang lahir dan selanjutnya melahirkan nilai-nilai budak. Dalam konteks berada bersama, bahwa antar nilai-nilai ini lah secara plural yang kemudian saling berkontastasi. Deleuze (1983) mentafsir genealogi Nietzsche sebagai pensignifikansi elemen pembeda dari nilai-nilai yang darinya nilai itu sendiri diturunkan. Genealogi berarti kelahiran atau asali, namun juga elemen pembedanya. Pembeda inilah yang disebut sebagai kritik, dan kritik dipandang oleh Nietzsche selalu memiliki makna positif. Mekanisme dialektis kontastasi nilai antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok merepresentasikan dan sekaligus melahirkan nilai-nilai tertentu yang tidak tunggal namun bersifat plural. Konkretnya, kehidupan mengejar harta benda, ketika kelas masyarakat yang lebih mampu bereksistensi (posting foto perjalanan di luar negeri, mengendarai motor besar, memodifikasi mobil, berpakaian necis dan branded, dan lain sebagainya), simbol-simbol tersebut dibaca oleh masyarakat yang kurang mampu sebagai nilai-nilai tuan yang menggilas keberadaan mereka. Imbasnya, mereka tidak hanya meniru (mengambil nilai itu) tapi juga kemudian melahirkan tata nilai baru, terlihat dari dari simbol-simbol mereka bereksistensi (posting foto di desa, membentuk genk motor, mencopot bagian-bagian tertentu dari motor mereka, kelompok fashion Punk/ Alay/ counter culture, dan lain lain). Lahirnya hal-hal itu di lingkup sosial pada akhirnya merupakan representasi dari dua indeks atas eksistensi masyarakat Indonesia.
  

Simpulan dan Saran

Makalah ini berangkat dari peta situasi konkret kondisi sosial yaitu mengetengahkan indeks individualisme—kolektivisme (IDV) dan penghindaran atas ketidakpastian (UAI). Sebagai titik tolak makalah ini adalah gugatan terhadap metode positivisme yang digunakan untuk merasionalkan subjektivisme individu di suatu negara. Peta tersebut menghasilkan kondisi biner yang dapat dibaca dari kacamata eksistensialisme Nietzschean, sedangkan kondisi kolektivisme dapat dibaca melalui gagasan Martin Heidegger sebagai ajakan untuk permenungan atas eksistensi manusia. Kematian sebagai batas eksistensi menjadi pintu masuk pribadi untuk berefleksi dalam cara pandang transenden. Menjadi individu di tengah kolektivisme akan menghadapi dialektika, tidak hanya bersifat interioritas belaka, akan tetapi juga sesuatu yang bersifat ekterior, datang dari luar seseorang, yaitu kelompok dimana ia hidup bersama sebagai makhluk sosial.

Kontras dengan hal tersebut diatas, bahwa masuknya logika pandangan transenden telah menggantikan tradisi logika pandangan imanen murni. Kritik terhadap Heidegger datang dari Deleuze yang berpendapat bahwa hubungan ada dan waktu, tetapi ada karena perbedaan dan waktu adalah repetisi (Deleuze 1994). Ia mengkonsepsikan bahwa ada itu bukan karena relasi ada dengan realitas, akan tetapi ada itu merupakan perbedaan (difference) atas dua peristiwa. Apa konsekuensinya? Bahwa kehidupan dipandang sebagai mekanisme dari suatu sistem yang beroperasi tidak hanya dalam kondisi heterogen yang berkesinambungan, tetapi juga heterogenesis. Ada manusia tidak lagi dipandang terkurung dalam logika garis linier, namun melalui proses kemenjadian (becoming) (Rae 2014). Kelanjutan dari makalah ini dapat menspekulasikan berbagai konsekuensi dengan melihat dari kacamata Deleuzian.
        
Daftar Referensi
Deleuze, Gilles. 1994. Difference and Repetition. Translated by Paul Patton. New York: Columbia University Press.
—. 1983. Nietzsche and Philosophy. Translated by Hugh Tomlinson. London: Continuum.
Hardiman, F. Budi. 2016. Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Hofstede, Geert, Gert Jan Hofstede, and Michael Minkov. 2010. Cultures and Organizations: Software of the Mind: Intercultural cooperation and its importance for survival. 3rd. New York: McGraw-Hill.
Rae, Gavin. 2014. Ontology in Heidegger and Deleuze: A Comparative Analysis. Houndmills: Palgrave Macmillan.
Southwell, Gareth. 2009. A Beginner's Guide to Nietzsche's beyond Good and Evil . Chichester: Wiley-Blackwell.
Wibowo, A. Setyo. 2004. Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Galang Press.

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)