Homo Digitalis (4): Pengangguran, Jejaring dan Ekonomi Informal (bagian I)


"Masih saja menganggur setelah lulus S2, ampun deh ngapain aja lo!" Membaca beberapa ulasan dari netizen dalam berbagai blog, menemukan isu yang menurut saya cukup mengena di diri saya pribadi. Sudah selesai program Master justru malah terjebak dalam zona pengangguran. Selamat datang! Saya ucapkan untuk para lulusan magister baru... 

Lagi pundung akibat sulit diterima kerja, sumber: drexel.edu

Dunia pengangguran itu adalah dunia yang menyenangkan, selama anda mampu membatasi konsumsi, betah sendiri dan tahan menahan segala bentuk terpaan badai kenyinyiran, julid dan suudzon. Sejujurnya, menganggur itu adalah surga kecil yang hadir di dunia kapitalisme ini. Menganggur adalah setidaknya sebagai simbol anda sebagai manusia bebas. Ia menjadi oase bagi para budak-budak kaum kapitalis. Padang rumput hijau luas di luar kandang peternakan bagi sapi-sapi potong. Buah ranum manis hutan di luar area pertanian. Rasa gamang hati dan gentar peduli akibat anda menganggur itu artinya itu lah anda, momen sedang menghadapi kemungkinan-kemungkinan eksistensi anda di dunia ini, yaitu ingin menjadi sapi potong kaum tuan kapitalis, atau ingin menjadi manusia bebas sambil menantikan datangnya Dyonisos. Dalam lansiran berbagai blog itu, ada beberapa pendapat yang menarik, antara lain dapat saya ringkas sebagai berikut:
  1. Dengan memaparkan beberapa alasan, bahwa lulusan Strata-2 itu adalah ‘sampah’-jujur ini agak hiperbola sih penulisnya hahahaha (sumber: reviewbychen.blogspot.com)
  2. Imbal hasil yang tidak sesuai dengan beban pekerjaan. Ada opini bahwa di sektor formal, karyawan dengan gelar Magister tidak mendapatkan standar gaji yang berbeda dengan gelar Sarjana. Selain itu, pemberi kerja juga meminta prasyarat ketrampilan yang sungguh banyak, misalnya: kemampuan berbahasa inggris, bahasa mandarin, kemampuan komputer yang mumpuni dalam satu orang. (sumber: www.kaskus.co.id )
  3. Lebih kritis dalam memilih (baca: beda tipis dengan banyak maunya) karena mampu mempertimbangkan berbagai macam konsekuensi dari beragam perspektif, sehingga seorang pribadi ini menjadi sulit untuk mengafirmasi sebuah tawaran pekerjaan. Saking kritisnya pribadi ini memprotes pemerintah yang dalam janji kampanyenya bersedia menciptakan 100 juta lapangan pekerjaan. (sumber: medan.tribunnews.com).
  4. Memilih jurusan ilmu pengetahuan yang sangat jarang/ kurang atau hampir tidak ada permintaannya di pasar kerja, misalnya ambil Ilmu Filsafat, jujur dunia sekarang lebih membutuhkan software programmer ketimbang orang bijaksana--ahahahaaiii. (sumber: mojok.co)  

Padahal, dari komposisi prosentase tingkat tamatan angkatan kerja dapat diketahui jumlah tamatan Universitas dan Sekolah Tinggi Ilmu-ilmu Terapan sejumlah 11% dari total populasi (Agustus 2017, sumber: bps di dalam Αμβροσία). Artinya, lulusan Strata-2 itu sudah memasuki kelangkaan di dalam angkatan kerjanya, karena hanya menjadi bagian dari angka 11% itu.

Mungkin pertanyaannya sekarang adalah “mengapa selalu ada segelintir orang yang menganggur?” Terkait hal ini, Mankiw (2007) menjelaskan bahwa angka di dunia nyata bahwa angka pengangguran tidak mungkin diturunkan hingga nol persen, atau dengan kata lain semua orang bekerja dalam suatu sistem ekonomi. Dalam kondisi ideal pasar tenaga kerja titik keseimbangan antara sisi penawaran dan sisi permintaan tenaga kerja ditentukan oleh mekanisme pengaturan upah. Artinya, tingkat upah yang diberikan sebagai faktor sewa ekonomi tenaga kerja secara agregat sebisa mungkin dapat menjamin semua orang dapat bekerja penuh. Terkait dengan hal itu, ada empat jalan penjelasan yang meliputi: 
  1. Ada waktu tunggu, yaitu para tenaga kerja untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensinya membutuhkan waktu untuk berproses. Hal ini dalam terminologi ekonomi disebut sebagai penganggur friksional. Penganggur jenis ini bergantung dari kondisi sektoral atau wilayah, karena pasar itu selalu berubah. 
  2. Untuk tiga penjelasan selanjutnya, bahwa dalam pasar-pasar tenaga kerja, dimungkinkan bahwa ada kesenjangan antara jumlah tenaga kerja yang tersedia (sisi penawaran) dan jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia (sisi permintaan). Ketika sisi penawaran lebih kecil dari sisi permintaan maka hal ini akan menimbulkan penganggur struktural. Penganggur jenis ini dipengaruhi oleh tingkat upah, dalam alasan tertentu, ditentukan lebih tinggi dari titik yang mampu menciptakan kondisi semua orang dapat bekerja (ekuilibrium). Paling tidak ada tiga alasan yang mungkin untuk menjelaskan penganggur structural, yaitu:
    1. Undang-undang tentang upah minimum regional, ada kemungkinan upah ditentukan terlalu tinggi, sehingga konsekuensinya adalah sektor bisnis secara agregat, ceteris paribus, mengkompensasi hal itu dengan menurunkan jumlah tenaga kerja. 
    2. Serikat pekerja, secara kolektif serikat pekerja mampu menghasilkan kekuatan pasar (market power) melalui collective bargaining, yaitu dapat mendesak sektor bisnis untuk menaikan upah tenaga kerja, namun di sisi lain hal ini bisa menciptakan pengagguran karena tidak semua perusahaan mampu untuk memberikan upah yang sesuai dengan tuntutan. Artinya, perusahaan-perusahaan yang tidak mampu untuk membayar upah, maka sangat mungkin untuk menutup bisnisnya, dan kemudian menciptakan pengangguran baru. 
    3. Efisiensi dari tingkat upah, dalam hal ini diteorikan bahwa perusahaan yang memberikan upah di atas titik ekuilibrium akan mendapatkan sejumlah manfaat, meliputi: kesehatan, perputaran (turnover), kualitas kompetensi, dan tingkat daya juang pekerja.
Dengan merujuk pada penjelasan di atas, lantas bagaimana dengan nasib para penganggur yang memiliki gelar Strata-2 ini? Penjelasan yang mungkin memadai untuk kondisi ini secara aggregat adalah ini tergolong masalah struktural, yaitu dalam jangka panjang belum tersedianya lapangan pekerjaan yang mampu menyerap tenaga kerja dengan kompetensi ini. Konsekuensinya adalah lulusan strata-2 ini apabila hendak mendapatkan pekerjaan, harus mau mengerjakan sesuatu yang di bawah kualifikasinya, meskipun dalam hal ini sektor bisnis akan kehilangan potensi pertumbuhan dari alih teknologi dan menikmati efisiensi dari biaya produksinya. Sebagai contoh, lulusan magister managemen pada bidang konsentrasi sumber daya manusia memiliki kemampuan konseptual dan kompetensi berpikir yang lebih unggul daripada lulusan SMA atau Sarjana, artinya jika desain pekerjaan di suatu organisasi hanya memperkerjakan lulusan magister ini sebagai juru catat gaji karyawan saja, perusahaan akan merugi (secara opportunity costs) karena tidak mampu mendapatkan efisiensi dari kualitas pekerjaan (pekerjaan yang tepat dan dikerjakan oleh orang yang tepat tidak tercapai) di seluruh sistem organisasi itu. Sederhananya seorang pengupas kentang, dia bisa mengupas kentang lebih cepat dibandingkan juru masaknya. Atau seorang penjahit akan lebih berkualitas menghasilkan pakaian daripada seorang petani yang menjahit bajunya sendiri. Cara berpikir pemberi kerja yang lebih menginginkan loyalitas daripada kualitas spesifik pekerjaan mengakibatkan hal ini, ia akan mempertahankan lulusan Sarjana yang mau belajar dari seperti belajar mengupas kentang dan kemudian menjadi juru masak, daripada seorang Magister yang menuntut bekerja langsung seperti di posisi juru masak atau asisten juru masak itu. Pemberi kerja dalam hal ini lebih baik memberikan gaji lebih tinggi kepada Sarjana yang memiliki mental seperti itu (daya juang), meskipun menurut Karl Marx pemberian upah yang lebih tinggi (teori efisiensi upah) merupakan bentuk upaya perusahaan untuk mendisiplinkan para karyawannya untuk tetap berada pada perusahaannya, karena untuk mendapatkan upah yang relatif sama dengan kondisinya sulit didapatkan di pasar (karena secara agregat pasar tenaga kerja selalu dalam kondisi kekurangan sisi permintaan, tenaga kerja secara sistemik dibuat untuk sulit memiliki pilihan).

Apabila argumentasi terkait hal ini adalah masalah struktural dan pengangguran memang tercipta secara mekanisme sistemik itu benar, maka apa yang bisa dilakukan oleh para lulusan Strata-2 ini? Dari salah satu tulisan blog yang telah dipaparkan di atas, solusi dari para pembaca mereka secara singkat adalah meminta para lulusan Strata-2 mengganti pola pikir, menambah koneksi, atau membangun usaha sendiri/ berwirausaha. Jujur untuk menyelesaikan masalah sistemik ini tidak ada suatu penyebab utama, karena masalahnya adalah bersifat multi-dimensional. Artinya, semua jawaban itu benar, tapi setiap jawaban itu tidak bisa berdiri sendiri. Pertama, untuk jawaban terkait mengganti pola pikir, pembaca dapat menilik kembali artikel saya sebelumnya berjudul Kehidupan Ekonomi dan Bekerja, atau mungkin para lulusan Magister dari Ilmu Filsafat bisa memberikan solusi argumentasi yang lebih subtil dalam hal ini. Kedua, menambah koneksi, juga penting, bahkan sangat penting, karena secara hakikat kita ini adalah homo socius, yang mensyaratkan adanya kerjasama timbal-balik (homo reciprocants) dengan sesama manusia lainnya agar bisa tetap mempertahankan hidup. Akan tetapi mekanisme sosial seperti apa yang terjadi di dunia kerja yang sudah serba terlalu kompetitif, secara niscaya akan menciptakan kondisi eksploitatif berlebihan (lembur, jam kerja normal lebih dari 40 jam seminggu, jenis pekerjaan yang dibebankan di luar deskripsi pekerjaan yang telah disepakati, dsb.) dan juga oportunisme ambil untung berlebihan (memperalat orang lain untuk keuntungannya sendiri, berpolitik praktis menggerakan rekan sejawat untuk menyingkirkan seseorang dalam organisasi, dsb). Hal ini, etika dan moral menjadi penting untuk menjamin terjadinya relasi kerjasama yang sehat, dan bersahabat, bukannya malah serba menjebak dalam hubungan dialektika tuan dan budak, atasan dan para bawahan. Lagi-lagi teman dari Ilmu Filsafat dan teman-teman dari Ilmu Sosiologi bisa membantu memberikan solusi akan hal ini. Untuk masalah koneksi, saya akan membahasnya kemudian. Ketiga, perihal berwirausaha mungkin menjadi solusi andalan paling praktis, akan tetapi berwirausaha ini merupakan konsep yang seolah-olah sederhana, mudah dikatakan, namun kenyataannya sulit dilakukan, penuh tantangan, dan memerlukan penghayatan dalam setiap jengkal perjuangannya. Wirausaha ini bagaimana pun juga dalam sistem ekonomi dalam tahap awal pendirian usaha justru akan menciptakan masalah ekonomi informal. Sampai di sini kita sudah menemukan jembatan antara masalah pengangguran dan ekonomi informal melalui wirausaha. Namun, sebelum lebih jauh saya akan kembali membahas ke masalah koneksi terlebih dahulu.

Tidak jarang nasib seseorang ditentukan oleh posisinya di dalam jejaring sosialnya. Ungkapan-ungkapan seperti:
“diterima kerja itu tergantung ‘channel’-nya dari siapa?” 
“nasib karir kita di kantor tergantung koneksi kita ke boss (atasan) itu gimana?” 
“mau usaha sendiri itu sulit jika tidak punya teman”
Ungkapan-ungkapan semacam itu tidaklah keliru dan memiliki konteksnya masing-masing, akan tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Kita membutuhkan koneksi dan itu tidak terelakan, akan tetapi ada prasyarat lain yang jauh lebih diperlukan adalah membangun kompetensi diri dan mau mencurahkan diri kita untuk pekerjaan demi masyarakat, lebih lagi demi menciptakan peradaban yang lebih baik. Sebenarnya apakah 'koneksi' itu? Untuk menjawab hal ini ada seorang sosiolog bernama Mark S. Granovetter yang berteori tentang jejaring. Menurut dia, jejaring adalah suatu forma yang tercipta karena adanya hubungan (koneksi) antara suatu titik dengan titik-titik yang lain. Sederhananya, anda adalah sebuah titik yang terhubung dengan titik-titik yang lain, yaitu teman-teman, keluarga dan saudara, tetangga, dan kolega anda. Anda sebagai makhluk sosial tidak terelakan akan berada dalam sebuah jejaring. Granovetter dalam makalahnya yang berjudul, The Strength of Weak Ties (1973) telah berargumentasi bahwa manfaat dari koneksi ditentukan oleh seberapa kuat-lemah ikatan pada koneksi itu, bukan berapa banyaknya jumlah koneksi yang tercipta, serta pada posisi mana sebuah titik itu berada pada sebuah jejaring. Sebagai contoh, seburuk-buruknya relasi anda dengan keluarga anda, itu masih memiliki manfaat dibandingkan anda meminta bantuan dengan orang yang baru anda kenal di warung makan. Dalam konteks sosial, etika dan moral mampu menciptakan kekuatan-kekuatan pada koneksi yang telah terjalin melalui rasa percaya (trust) dan niat baik (goodwill). Akan tetapi, koneksi juga menciptakan paradoks. Di satu sisi, ikatan lemah seringkali diberitakan buruk sebagai penciptaan ‘alienasi’ atau pengasingan, dalam hal ini dipandang sebagai sesuatu yang tak terhindarkan kepada seorang kesempatan dari individu-individu dan terhadap integrasinya ke dalam komunitas-komunitas. Di sisi lain, membiakkan kerekatan lokal (local cohesion), akan mengarah pada seluruh perpecahan dan separatisme. Kendati pun, jejaring sudah bersifat niscaya alih-alih mencukupi (Gans, 1974). Maksudnya adalah “jika seseorang lulusan Strata-2 menjadi pengangguran, maka hal ini disebabkan karena ia tidak memiliki jejaring” dapat dikatakan bahwa tidak memiliki jejaring adalah niscaya untuk seorang lulusan Strata-2 untuk menjadi pengangguran, karena kondisi menganggurnya lulusan Strata-2 itu benar jika tidak memiliki jejaring itu benar.        

Kajian mengenai jejaring ini dikembangkan lebih lanjut oleh Granovetter dalam The Strength of Weak Ties: A Network Theory Revisited (1983). Analisa kuat-lemahnya ikatan dari koneksi yang dimiliki dibahas lebih lanjut dengan mempertimbangkan faktor sosio-ekonomi kelompok. Dalam hal pengangguran, apabila kemungkinan dari pengangguran di dalam suatu sistem itu rendah, maka individu-individu yang rasional akan menginvestasikan seluruh waktunya pada koneksi dengan ikatan-ikatan lemahnya dan hingga suatu saat akan menemukan kondisi Pareto-optimal ekuilibriumnya. Akan tetapi, apabila kemungkinan yang terjadi adalah pengangguran di dalam suatu sistem itu tinggi, maka hanya dari ekuilibrium yang stabil, dan hanya dari ikatan-ikatan kuat dan sudah terbina saja. Dalam ikatan yang kuat ini, kondisi ekuilibrium tidak akan memenuhi konsisi Pareto-optimal[i]. Ia menganalisa kasus pencarian perkejaan, yaitu seorang individu yang hanya memiliki koneksi dengan ikatan-ikatan lemah dibatasi akan informasi yang datang dari bagian terluar di suatu sistem sosial, dan akan ‘terpenjara’ dalam lingkup informasi dan pembicaraan dari teman-teman dekatnya saja. Artinya, apabila argumentasi Granovetter kita terapkan pada kasus di sini, lulusan strata-2 yang menganggur dalam tahap pertama adalah menganalisa kuat-lemahnya dari koneksi si penganggur itu, selanjutnya adalah menyelesaikan masalah pilihan-pilihannya. Kondisi ini akan memenuhi collectively exhaustive, atau dengan kata lain paling tidak suatu peristiwa harus menjadi prasyarat untuk terjadinya peristiwa yang lainnya. Karena jejaring itu bersifat niscaya, maka peristiwa yang mendahului adalah peristiwa apapun yang terkait dengan jejaring yang dimiliki oleh penganggur itu. Jadi, dalam konteks ini langkah pertama yang harus dilakukan oleh si penganggur itu adalah mengidentifikasi ikatan-ikatan lemah yang dimilikinya, memperbanyak ikatan-ikatan lemah baru, dan mengambil informasi sebanyak-banyaknya dari jaringan itu. Setelah itu, apakah mau bekerja atau berwirausaha itu adalah kondisi kedua yang mungkin baru bisa diantisipasi, ketika kondisi pertama sudah tercukupi. Dengan demikian, probabilitas si penganggur itu mendapatkan informasi pekerjaan yang tepat bagi dirinya akan mengikuti hukum Bayes[ii].

Mengapa analisa jejaring menjadi penting di era sekarang ini? Relasi keterhubungan antar manusia sudah tidak lagi terjalin melalui aktivitas-aktivitas kelompok sosial, namun lebih intens di dalam jejaring dunia maya. Social media, Whatsups group, dan lain sebagainya memungkinkan kita memperbanyak ikatan-ikatan lemah ini secara efektif dan efisien. Anda bisa memposting segala sesuatu yang bisa menjadi umpan dalam memicu terjadinya komunikasi terhadap kenalan-kenalan baru. Pemilihan konten pun bisa menjadi seni tersendiri asalkan bahwa anda bisa mengarahkan kepada stigma positif tentang diri anda. Meskipun ini terdengar cukup munafik, tapi kenyataannya anda memiliki strategi dalam berkomunikasi di ruang publik, tidak seperti orang kebanyakan yang menggunakan social media masih secara ad hoc. Anda tidak perlu mengumbar apapun terkait dengan kekusutan hidup anda, depresi-depresi anda, atau sesuatu hal apapun yang memicu isak tangis dari audiens anda. Lebih baik anda memberikan tips-tips menarik tentang hobby anda, rekomendasi buku-buku, artikel menarik beserta opini anda, tips-tips mempercantik diri dan lain sebagainya. Meskipun orang mengetahui anda sedang menganggur akan tetapi jangan sampai orang menilai bahwa anda sedang mengalami pahit batin yang serius.   Ingat bahwa, jejaring digital selalu memiliki jejak rekamnya, artinya apapun yang tertulis saat ini, bisa dimanfaatkan secara buruk, untuk menciderai jejaring yang sudah anda bangun sebelumnya. Pemilihan lingkar jejaring juga menjadi penting, karena dalam jejaring juga mengikuti logika geografis, atau memiliki teritori. Bijak dalam berkomunikasi, karena ini yang akan menentukan nasib anda kemudian. Di era ini kesuksesan anda ditentukan bukan semata-mata dari keluarga anda, mantan boss anda, mantan dosen anda, apalagi mantan pacar anda. Anda sukses karena anda punya niat untuk sukses, dan anda tahu caranya untuk sukses, bukan akibat berhalusinasi tentang rasa hormat karena pangkat dan kekayaan, dengan alasan membangun mimpi. Akhirul kata, daripada anda sibuk menggerutu dan tidur-tiduran di kamar anda, lebih baik cari peluang dengan cara memperbaiki jejaring yang anda miliki, dengan menganalisa terlebih dahulu posisi anda dan sembari mereka-reka kekuatan ikatan-ikatan dalam jejaring anda. Pun kalau anda hingga suatu saat tidak berhasil juga mendapat pekerjaan, maka paling tidak anda sedang dalam proses memiliki follower yang banyak dan mungkin bisa menjadi endorser, yang sejujurnya anda tidak perlu untuk lulus Strata-2 untuk hanya menjadi selebriti di dunia maya. 

Bersambung….
   

Daftar Bacaan


Gans, H. J. (1974). Gans on Granovetter's "Strength of Weak Ties". American Journal of Sociology, 80(2), 524-527.
Granovetter, M. S. (1973). The Strength of Weak Ties. American Journal of Sociology, 78(6), 1360-1380.
Granovetter, M. S. (1983). The Strength of Weak Ties: A Network Theory Revisited. Sociological Theory, 1, 201-233.
Mankiw, N. G. (2007). Principles of Economics (4th ed.). Mason: Thomson South-Western.




[i] Kondisi Pareto-optimal terpenuhi jika dan hanya jika tidak ada kondisi alternatif lain yang dapat membuat segelintir orang menjadi lebih baik tanpa membuat orang lain menderita. Dalam hal ini, dapat diasumsikan bahwa siapapun akan menyenangi suatu pilihan yang lebih murah, lebih efisien, atau lebih handal, atau selain itu yang akan meningkatkan kondisinya apabila dibandingkan dengan orang-orang lain. sumber: britannica.com
[ii] Secara konseptual, teorema Bayes menghendaki bahwa peluang dari suatu peristiwa ditentukan oleh pengetahuan atas kondisi sebelumnya yang mungkin berkaitan/ relevan dari peristiwa sebelumnya. Hal ini akan terasa, apabila anda berangkat dari suatu kondisi yang berturut-turut mendapati penolakan dari pemberi kerja. Kesimpulan anda sesungguhnya terhadap peluang untuk mendapatkan pekerjaan akan cenderung pesimistis, padahal angka peluang sesungguhnya tidak anda ketahui, sehingga di sini penting untuk berangkat dari suatu premis yang tetap netral dan terbuka terhadap setiap iterasi dari kemungkinan kejadian yang datang.

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)