Homo Digitalis (4): Pengangguran, Jejaring dan Ekonomi Informal (bagian II)

“Masih nganggur aja! Kenapa gak jadi wirausaha aja, lo dah S-2 sayang kali kalau cuma jadi jongos di perusahaan, lagipula jarang lah perusahaan ngasih gaji lebih tinggi, kenyataannya gak jauh beda sama yang lulusan S-1..” Tidak jarang memang opini semacam itu dilantunkan oleh kebanyakan orang sebagai bentuk simpati dan sekaligus tawaran solusi kepada seorang temannya yang sedang menganggur. Tidak salah memang opini tersebut, namun menjadi wirausaha itu tidak gampang dijalankan, itu hanya mudah untuk diucapkan. Menjadi karyawan itu jauh lebih enak, nunggu disuruh-suruh aja, asal bisa bermuka manis dengan atasan, pinter-pinter berpolitik dalam organisasi, tahan dengan drama-drama yang terjadi di antara teman sejawat, terima dan bersyukur dengan gaji yang segitu-segitu aja. Dalam hal ini, menjadi wirausaha itu perlu mengubah pola pikir dan bahkan falsafah hidup. Artikel ini adalah lanjutan dari ulasan sebelumnya (lihat: Pengangguran, Jejaring dan Ekonomi Informal bag. I) )mengenai relasi antara pengangguran dan jejaring, dalam kaitannya terkait dengan pencarian pekerjaan. Selanjutnya di sini akan dibahas lebih lanjut tentang bagaimana jika anda tidak segera mendapatkan pekerjaan, atau sudah lelah mencari pekerjaan namun tidak berani jua untuk memulai pekerjaan anda sendiri. Selanjutnya bagaimana dampak dari upaya anda, pekerjaan anda, wirausaha anda dilihat dalam rerangka ekonomi informal. 

Sepasang suami istri yang membuka usaha toko roti, ketika jatuh bangun keluarganya sejalan dengan naik-turun usahanya. Sumber gambar: www.thoughtco.com

Mari kita tilik terlebih dahulu dari kondisi ketika anda tidak bekerja. Kenyataannya ketika anda sedang tidak bekerja, maka sesungguhnya anda tidak benar-benar sedang tidak bekerja. Kecuali anda memang penyandang cacat, atau pun seorang pecandu yang memang secara fisik dan mental anda tidak lebih baik dari pada seonggok sayur kubis. Pun sebenarnya mereka masih memiliki daya dan bisa berdayaguna dalam masyarakat. Namun, stigma penganggur ini seringkali hanya dimaknai sebatas konsepsi ekonomi saja oleh kebanyakan orang, sehingga segala bentuk aktivitas apapun yang tidak mendatangkan pendapatan maka dianggap bukan sebagai pekerjaan. Secara struktur masyarakat memang sudah berlaku pengandaian terhadap seorang individu dalam ukuran materialisme. Bekerja itu memiliki banyak dimensi konseptual (lihat: Kehidupan Ekonomi dan Bekerja) yang tidak bisa direduksi secara sewenang-wenang ke dalam dimensi ekonomi semata. Namun ruh bahwa tidak menghasilkan pendapatan secara ekonomi itu sudah terlanjur bekerja dalam berbagai premis-premis yang mendahului sebuah simpulan bahwa menganggur itu buruk. Akan tetapi, menurut hemat penulis bahwa stigma ini hanya mewakili sekelumit kecil kondisi eksistensi seseorang dalam dunianya.

Sebagai ilustrasi perihal ini, katakanlah ada seseorang yang bernama Mas Cakil, yang dia tidak mengenyam pendidikan yang cukup tinggi. Kesempatan bagi dirinya untuk bekerja ya hanya terbatas pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak menuntut daya kognitif yang tinggi. Katakanlah dia pagi hari bekerja sebagai buruh lepas jasa kebersihan yang dikelola oleh sebuah perusahaan pengelola karyawan alih daya (baca: outsourcing). Lepas jam kerja teraturnya, ia melanjutkan sebagai tukang ojek daring untuk menambah-nambah uang dapur untuk keluarganya. Di akhir pekan, sering kali ia mengambil pekerjaan tambahan sebagai seorang keamanan untuk berjaga di sebuah komplek ruko perkantoran. Mas Cakil yang begitu pragmatis ini hidup mengisi hari ke harinya dengan mencari uang untuk bertahan hidup. Namun suatu hari, nahas menghampirinya, ia celaka, diserempet oleh sebuah bus besar. Ia terpelanting dan tengkuknya membentur separator jalur bus itu. Karena, Ia telah mengambil jalur khusus bus, yang sebenarnya bukan diperuntukan bagi kendaraan roda dua, maka pihak dari perusahaan bus itu tidak mau menanggung biaya pengobatan sepenuhnya. Uang santunan pun diberikan hanya sebagai sebuah kepantasan saja. Akhirnya pun Mas Cakil mengalami kelumpuhan, ia hanya dapat terbaring layu di tempat tidurnya. Pekerjaannya sekarang hanya bisa main telepon selularnya saja.

Bagaimana dengan kehidupan Mas Cakil ini, siapakah yang harus bertanggung jawab dengan keadaannya? Tuhan kah yang lantas pantas dipersalahkan karena Ia lalai mengutus para malaikatnya untuk menahannya agar tidak terjatuh membentur separator jalan? Mas Cakil tidak seperti itu, meskipun ia menghadapi kenyataan baru yaitu tubuhnya yang sebagian mati motorik, alih-alih Ia menyalahkan orang disekitarnya, dirinya dan bahkan Tuhannya, justru ia bangkit dari kematian tubuhnya. Ia dengan hanya bermodal sisa gerakan jemantik jari, dan gawai yang telah separuh binasa akibat kecelakaan itu, ia sibuk belajar menjadi pebisnis di tengah terbaringnya ia menghabiskan sisa hidupnya, keterbatasannya, untuk mengaktifkan sisi dirinya yang lain. Ia sibuk memilah, mencerna informasi dan sembari mencari peluang dalam dunia digital. Hingga suatu hari sisa sebagian uang santunannya ia relakan kepada istrinya untuk dijadikannya modal membuat usaha makanan ringan yang bisa ia pasarkan secara online. Istrinya adalah cintanya, yang kini merangkap sebagai karyawan pertamanya. Ia keluar dari kehidupan lamanya, dan memiliki hidup baru sebagai wirausaha. Ia yang pernah menghadapi begitu dekat dengan kematian, dan sekarang ia tidak takut untuk mati. Ia menjadi begitu menghargai hidup di tengah keterbatasannya, kelemahannya sendiri. Ia memberikan hanya yang tersisa dari dirinya kepada orang-orang yang ia cintai. Setiap sapuan jari dan ketukan pada layar gawainya, telah menjadi doa dan harapan baginya, agar ia selalu bisa bersama dengan orang-orang yang ia sayangi, yang selalu senantiasa menerima dan merawat dirinya.

Dari karikatur Mas Cakil tersebut, saya sepakat dengan pernyataan Kuratko dan Hodgetts (2004) bahwa seorang wirausaha adalah para individu yang mengenali kesempatan-kesempatan ketika di mana orang-orang lain melihatnya sebagai suatu keadaan chaos atau kebingungan. Mereka mengutip sebuah ujaran dari seorang anonim, seorang wirausaha ialah: 
“siapa saja yang menghendaki untuk mengalami dalam dan gelapnya lembah ketidakpastian dan keserbabingungan; dan siapa pun yang menginginkan menapaki terjalnya dengan sengal nafas dataran-dataran tinggi kesuksesan.” 
Dari pernyataan ini sudah tersirat suatu hal yang sesungguhnya tidak mudah. Tidak sekedar ujaran simpati palsu kebanyakan orang, yang bisanya hanya copy-paste kata-kata bijak saja. Sisi gelap menjadi pengusaha sebagai tawaran solusi atas kondisi menganggur itu justru hal yang terberat. Mereka harus berani tercerabut dari dunia sosialnya. Kuratko dan Hodgetts (2004) lebih jauh mengemukakan bahwa ada empat risiko dasar yang akan dihadapi oleh para wirausaha, yaitu: (1) risiko finansial, yaitu wirausaha akan dihadapkan pada tantangan terbesar yaitu kebangkrutan personal, (2) risiko karir, keputusan membuka usaha akan membawa konsekuensi diri wirausaha itu tidak dapat diterima kembali sebagai karyawan di sektor formal, (3) risiko sosial dan keluarga, bahwa menjadi pengusaha di tengah sibuknya membangun perusahaan, ia akan berpotensi kehilangan waktu intim, bersama anak, istri bahkan handai taulan, (4) risiko psikis, kepastian sebagai wirausaha adalah menghadapi segala ketidakpastian itu sendiri, bahkan termasuk kondisi terburuk bagi dirinya, tidak jarang bahwa kegagalan, yang terus menerus membawa seseorang itu lelah, tidak termotivasi, dan bahkan mentalnya terganggu. Tambahan dari penulis, dalam kasus yang berat pada poin ini, kebangkrutan mendadak (misalnya penipuan dan pengkhianatan oleh teman seperjuangannya) dapat membawa dirinya depresi dan bahkan bunuh diri. Pembahasan terkait dengan tema individu wirausaha tidak akan dibahas lebih jauh di sini, tetapi akan menjadi tema kajian tersendiri pada artikel selanjutnya.

Kembali kepada kondisi Mas Cakil tersebut di atas, berapa banyak di sekitar kita yang menghadapi kondisi seperti itu. Bukankah anda seharusnya merasa beruntung sekarang, di tengah kondisi menganggur anda masih bisa merasakan diri anda begitu pecundang, bukan? Apakah harus mengalami nasib pahit hidup seperti Mas Cakil dulu untuk memulai usaha? Tentu saja tidak! Meskipun Mas Cakil masih cukup beruntung, Ia masih memiliki orang-orang yang begitu dengan tulus mencintai dirinya, namun satu hal Mas Cakil berhenti menggerutu terkait dengan segala keterbatasan dirinya. Itulah sebuah faktisitas Mas Cakil yang ia terima secara penuh, bahwa dalam hidup di dunia ini ada hal-hal yang ia sadari bahwa tidak dapat ia kendalikan, hal-hal yang telah terjadi secara deterministik, dan tidak bisa ditawar lagi. Keputusan anda dalam melakukan sesuatu hal, sebaiknya dapat berguna bagi banyak orang. Tidak perlu gusar karena status sosial anda yang menganggur, bahwa definsi pekerjaan anda itu akan lahir begitu anda berhasil mentransformasikan menjadi bentuk uang (monetizing). Ketika anda melakukan hal-hal tersebut dan berhasil mendatangkan pendapatan, maka anda telah menjadi bagian dari tindakan ekonomi secara informal. Pun anda tidak perlu ragu ketika anda mengemban gelar Master, kenyataannya anda sudah mengantongi kemampuan spesifik yang tidak dimiliki kebanyakan orang. Paling tidak anda menguasai metodologi penenelitian dan terlatih dengan kemampuan berlogika yang lebih subtil dibandingkan para awam. Katakanlah anda lulusan program studi filsafat, daya nalar kritis anda dalam mencandra realitas dapat anda tuangkan menjadi pertanyaan-pertanyaan reflektif dalam bentuk stiker-stiker lucu, atau pun pembatas buku, alat tulis lucu atau apapun sesuatu yang ada di gelas kopi para milenials. Bagaimana pun tindakan anda sudah berkontribusi terhadap masyarakat bung! Lebih lagi, anda yang suka menggerutu hingga menyalahkan presiden, sebaiknya hentikan! Sekarang, mulai pikirkan apa yang anda bisa lakukan dan anda jual bagi kemaslahatan orang banyak. Tapi kalau sifat anda itu memang sudah berkarat, ya sudah! Jualah gerutuan anda itu sebagai hoax yang menyerang petahana! Saya doakan anda akan mendapatkan Aufklärung suatu hari nanti.

Dalam kondisi menganggur, akan datang suatu hari bahwa seseorang akan berada dalam kondisi inersia. Ia masih memengang idealismenya, namun belum berani beranjak untuk bersikap pragmatis. Namun, ada sebuah titik nadir melalui realitas yang akan datang menghampiri seseorang itu dan orang itu beranjak memutuskan untuk berusaha apapun itu juga untuk tetap bisa bertahan hidup, paling tidak mempertahankan kehidupan sosialnya. Kondisi ini pula juga dapat terjadi tidak hanya bagi para penganggur, namun bagi beberapa orang karyawan yang dapat melihat masih ada kelonggaran waktu pada dirinya untuk melakukan usaha kecil-kecilan. Sepanjang usaha ini tidak terekam oleh negara, tidak memotong sebagian keuntungan untuk dibayarkan sebagai pajak, tidak melaporkan entitas perusahaan ini kepada negara, maka usaha-usaha ini secara agregat dapat dipahami sebagai aktivitas ekonomi informal. Secara naïve diasumsikan bahwa sektor informal ini akan mengikuti komposisi sebaran industri UMKM, alasannya adalah bentuk bisnis informal mendahului sektor formal, dalam rerangka manajemen stratejik barier to entry sebuah industri yang rendah (baca: yang paling mudah untuk dimasuki) adalah berdasarkan produk-produk atau output yang salah satunya mensyaratkan kemampuan kapital yang rendah, yaitu sesuatu kondisi yang mampu digarap oleh UMKM ini.

Meskipun pada awalnya wirausahawan sering kali memulai bisnis yang bersifat informal, sifat kewirausaan dalam arti luas ini memiliki dampak yang besar bagi keseluruhan ekonomi. Sederhananya, ketika ada kue ekonomi yang hendak dipotong dan dinikmati, maka para wirausaha ini memiliki keberanian untuk ikut berkompetisi memotong kue itu. Hal ini tentu saja selain menyeimbangkan konstelasi persaingan usaha, distribusi kemakmuran juga dapat tersebar lebih merata. Keberhasilan perekonomian Amerika Serikat juga ditunjang oleh adanya peran kewirausahaan ini menurut Kuratko dan Hodgetts (2004). Paling tidak ada dua alasan mengapa kontribusi sifat kewirausahaan ini sangat diperlukan bagi perekonomian Amerika Serikat, yaitu: (1) usaha wiraswasta adalah bagian integral dari proses pembaharuan yang meliputi dan ikut serta mendefinisikan ekonomi pasar, (2) semuanya itu merupakan mekanisme esensial bagi banyak orang untuk masuk dan berkecimpung dalam aktivitas ekonomi dan arus utama sosial dalam masyarakat Amerika. Artinya, belajar dari pengalaman sukses Amerika Serikat dalam membangun ekonomi, sifat kewirausahaan ini penting bagi pertumbuhan ekonomi melalui mekanisme organik dari inovasi, alih teknologi, dan pertumbuhan produktivitas.

Kewaspadaan pemerintah terkait isu kewirausahaan ini pun sudah tampak, seperti berbagai pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi misalnya:

"Hampir di setiap negara maju, standardnya itu memiliki (penduduk) entrepreneur di atas 14 persen. Sementara di kita, angkanya masih 3,1 persen. Artinya perlu percepatan,"
"HIPMI memang perlu terus mengajak rekan-rekannya. Ada HIPMI goes to school, HIPMI goes to campus dan nanti ada lagi HIPMI goes to pesantren," ujar Jokowi.
(sumber: kompas.com)

Selain itu laporan terkait wirausaha ini pun juga telah disampaikan juga oleh Menteri Koperasi dan UKM, Puspayoga, yaitu menurutnya rasio wirausaha di Indonesia terbaru sudah meningkat menjadi di atas kisaran angka 7% dari total penduduk Indonesia. “Angka itu sudah di atas standar internasional yang mematok 2%. Jadi pecah telur," Berdasarkan data BPS 2016 dengan jumlah penduduk 252 juta, jumlah wirausaha non pertanian yang menetap mencapai 7,8 juta orang atau 3,1 persen. Dengan demikian tingkat kewirausahaan Indonesia telah melampaui 2 persen dari populasi penduduk, sebagai syarat minimal suatu masyarakat akan sejahtera. Namun ia mengakui bahwa ratio wirausaha itu masih lebih rendah dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia 5 persen, China 10 persen, Singapura 7 persen, Jepang 11 persen maupun AS yang 12 persen. "Namun setidaknya sudah diatas batas minimal 2 persen dan itu akan terus berkembang," katanya. Bertumbuhnya wirausaha tak lepas dari peran masyarakat bersama pemerintah yang terus mendorong, juga swasta dan kalangan mahasiswa atau kampus, menurutnya. (disadur dari: Menkop UKM : Rasio wirausaha Indonesia sudah lebih dari 7%

Apabila kita setia dengan asumsi bahwa sektor informal selalu mendahului sektor formal, maka dengan mengamati data deskripsi sebaran UMKM maka kita paling tidak dapat membuat peta dasar aktivitas ekonomi informal. Peta dasar tersebut, dapat diamati seperti yang tersaji di bawah ini. 

Grafik 1. Data proporsi rata-rata jumlah (kiri) dan pertumbuhan (kanan) tenaga kerja UMKM tahun 2010-2015 diurutkan dari jumlah tenaga kerja paling sedikit ke paling banyak, sumber: Badan Pusat Statistik, diolah.
Dari grafik tersebut ditunjukan bahwa UMKM lima terbanyak adalah berada pada aktivitas produksi berturut-turut pada (1) industri makanan, (2) kerajinan anyaman kayu, rotan, bambu, dan sejenisnya, (3) pakaian jadi, (4) barang galian bukan logam, (5) tekstil. Sedangkan untuk lima paling sedikit adalah (23) Komputer, barang elektronik, dan optik, (22) peralatan listrik, (21) mesin dan perlengkapan ytdl., (20) farmasi, produk obat, dan obat tradisional, (29) kendaraan bermotor, trailer, dan semi trailer. Ketika anda memperhatikan rasio jumlah di antara kedua kelompok tersebut, secara cepat kita dapat menarik dugaan bahwa sektor informal berkonsentrasi pada sektor-sektor yang kurang canggih dalam hal teknologi, dan masih bergantung pada cara kerja manual. Hal ini didukung dengan data rata-rata pertumbuhan, bahwa konsentrasi pada kelompok paling sedikit itu mengalami rata-rata pertumbuhan negatif, kecuali pada skala kecil, artinya di sini ada penghalang untuk memasuki bisnis ini baik secara kapital (pengetahuan, moneter, teknologi dan lainnya) maupun kalah dalam persaingan usaha. Ini menggambarkan secara sederhana, ketika seseorang akan terjun ke dalam dunia wirausaha, maka ide yang paling banyak dieksekusi untuk berbisnis adalah dalam industri makanan. Pun misalnya seorang karyawan yang ingin mendapatkan penghasilan tambahan maka ia berkecenderungan paling banyak untuk memikirkan untuk beraktivitas pada kelima besar kelompok itu. Dari grafik deskriptif ini pula kita dapat menarik berbagai potensi isu-isu yang dapat diwacanakan pula dalam ranah ekonomi digital terkait dengan bagaimana mewujudkan sharing economy  yang melibatkan sektor informal.
   
Di atas sudah disinggung terkait dengan terma ekonomi informal, untuk memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai relasi antara wirausaha dan ekonomi informal diperlukan jembatan konsep untuk masuk ke dalam ‘apa yang disebut sebagai informal itu?' Paling tidak di dalam Portes dan Haller (2005) dipaparkan beberapa definisi oleh pakar-pakar ekonomi sosiologi (seperti: Manuel Castells, Alejandro Portes, dan Edgar L. Feige) terkait ihwal ini yang meliputi: (1) definisi konsep konvensional yang merujuk pada aktivitas ‘self-employement’ yaitu tata cara kaum urban dalam melakukan sesuatu, dengan ciri-ciri antara lain: rendahmya ‘barrier to entry’ yang merujuk pada keterampilan, modal/kapital, dan organisasi; perusahaan dengan kepemilikan tunggal atau dengan anggota keluarga; kecilnya skala operasi; produksi dengan keterlibatan buruh secara intensif karena minimnya penerapan teknologi mutakhir; pasar-pasar yang kompetitif dan tidak diatur. Meskipun demikian, terjadinya ekonomi informal adalah tanda dari dinamika kewirausahaan sebagai bentuk perlawanan struktur yang begitu ketat. (2) Berbeda dengan definisi sebelumnya, definisi kontemporer justru bertolak dari kegagalan dari agen-agen ekonomi untuk menerapkan aturan-aturan institusi yang sudah mapan atau menolak proteksi. Dengan kata lain, hal ini merupakan aktivitas seluruh pendapatan yang dihasilkan tanpa adanya regulasi, namun serupa dengan aktivitas yang terjadi di dalam regulasi.
  
Dengan merujuk pada definisi kontemporer dari ekonomi informal, ada hal yang menarik dipaparkan oleh Feige di dalam Portes dan Haller (2005) terutama terkait dengan sintesisnya yang menggunakan payung konsep ekonomi bawah tanah (underground economy) untuk mendekati ekonomi informal. Ia paling tidak memaparkan berdasarkan empat sub-bentuk, yang meliputi bentuk-bentuk: (1) ilegal, yaitu segala produksi barang dan jasa yang dilarang oleh pemerintah, (2) tidak dilaporkan merupakan aktivitas ekonomi yang bermotif menghindari pajak, (3) tidak tercatat, ialah segala bentuk aktivitas yang mengelak dari kewajiban pelaporan ke agen statistik pemerintah,  dan (4) informal, yaitu tediri dari aksi ekonomi yang memotong jalur biaya-biaya produksi dan mengecualikan dari perlindungan hukum dan aturan administratif terkait dengan relasi kepemilikan, lisensi komersil, kontrak tenaga kerja, gugatan-gugatan, kredit pembiayaan, dan jaringan keamanan sosial. Dari berbagai taxonomi sub-forma ini, Castells dan Porter kemudian menjelaskan lebih lanjut, bahwa sub-forma tersebut pada dasarnya bekerja pada dua pertautan besar yaitu produksi yang lisit dan ilisit. Pengertian lisit (licit) adalah sesuatu yang diproduksi secara sah dan tidak melanggar hukum, sedangkan ilisit (illicit) adalah merujuk pada sesuatu yang diproduksi secara tidak sah atau gelap, serta tidak memiliki kejelasan di ranah hukum, atau bahkan melanggar. Hubungan antara proses produksi dan disitribusi atas barang dan jasa terhadap tipe ekonomi dapat diringkas pada tabel berikut ini.

Hubungan segitiga bentuk ekonomi antara formal, informal dan kriminal. Sumber: Portes dan Haller (2005) diterjemahkan.
Terkait dengan ihwal keinformalan suatu ekonomi, perlu diwaspadai adanya paradoks-paradoks yang selalu berkaitan dengan dinamika sosial, peran negara/ pemerintah yang berkuasa, pengukuran atas sesuatu yang tidak dapat diukur, dan perubahan batasan-batasan dari keinformalan itu sendiri. Paradoks pertama pada ekonomi informal adalah semakin besar "perihal itu" mendekatkan pada model “pasar sesungguhnya”, semakin "perihal itu" bergantung pada ikatan-ikatan sosial yang baginya secara efektif berfungsi. Kedua, paradoks atas kontrol negara ialah segala upaya resmi untuk menghapuskan aktivitas tanpa regulasi melalui aturan-aturan dan kontrol-kontrol baru yang diberlakukan secara cepat, justru sering kali memunculkan aktivitas-aktivitas tanpa regulasi lainnya. Ketiga, semakin terpercayanya suatu ‘alat penegakan’ yang dimiliki negara, semakin berkecenderungan mekanisme pencatatannya tidak menangkap adanya penambahan aktual dari ekonomi informal, dan oleh karenanya semakin melemahkan dasar-dasar untuk membuat kebijakan yang terarah. Terakhir, setiap runtutan dampak positif yang kembali kepada negara, akan membebani setiap institusi yang ada.
   
Bagaimana kondisi sektor informal di Indonesia sekarang ini? Laporan dari Survey Ekonomi Indonesia OECD bulan Oktober tahun 2018 mengungkapkan bahwa hampir separuh dari seluruh buruh/karyawan bergantung[i] (dependent employees) dan tujuh puluh persen dari seluruh pekerja diestimasikan tetap berada pada sektor informal. Hal ini juga menjadi penyebab penerimaan pajak yang rendah, bahkan hal ini masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan negara sedang berkembang lainnya seperti Filipina atau Mexico. OECD menemukan bahwa dominasi sektor informal di Indonesia ini paling tidak disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut ini: (1) Rendahnya kualitas, pekerjaan-pekerjaan informal akan tetap ada dan kebanyakan darinya masih berskala mikro, (2) Ketatnya regulasi/ peraturan karyawan, masih tingginya biaya pemutusan hubungan kerja, dan tingginya upah minimum yang masih dinilai melemahkan karyawan formal dari perkerja rendah keahlian, (3) Regulasi sektor usaha/ bisnis yang sudah efisien dan lebih sederhana dalam mengatur, namun masih tetap membebani ketika ditinjau pada tingkat keseluruhan dari pemerintahan. Dari temuan masalah kunci tersebut OECD merekomendasikan adanya rintisan proteksi karyawan tingkat rendah dan memotong secara temporer upah minimum bagi angkatan kerja muda di zona-zona ekonomi tertentu, jika berkembang ditingkatkan lagi. Selain itu juga perlu adanya penyederhanaan lebih jauh regulasi bisnis untuk menguatkan formalisasi usaha dan mengumpulkan umpan balik pengguna untuk meningkatkan sistem daring Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Terkait dengan perihal perpajakan, diperlukan adanya pengetatan kelayakan perputaran pajak untuk perusahaan-perusahaan kecil, dan juga jalur pendaftarannya supaya bisa mengakses manfaat tambahan non-keuangan.

Sebagai penutup dari berbagai pemaparan di atas terkait hubungan antara aktivitas wirausaha dan ekonomi informal, bahwa wirausaha memang merupakan solusi jitu sebagai pengurang angka pengangguran dan menciptakan dinamika industri sektoral dalam ekonomi makro. Meskipun demikian, ada hal-hal yang perlu diwaspadai pada berbagai tingkatan analisa. Wirausaha melekat dengan eksistensi manusia, ia bersifat sangat pribadi. Artinya, tidak semua orang dapat, dan tidak semua orang cocok dalam berwirausaha, yaitu menjadi karyawan dan berwirausaha (menjadi karyawan bagi diri sendiri) merupakan dunia pekerjaan yang berbeda jauh. Berwirausaha menuntut kondisi penerimaan menyeluruh dari diri sendiri, sehingga tidak ada suatu formula yang pasti untuk mencetak wirausaha. Akademia tidak dapat seratus persen menempa seseorang untuk menjadi wirausaha, karena hal ini lebih bertolak dari daya dorong (hasrat) internal manusia. Individu-individu yang sanggup menjadi wirausaha berperan penting bagi dinamika industri melalui mekanisme organik inovasi, alih teknologi, dan pertumbuhan produktivitas. Meskipun pintu masuk wirausaha adalah dari bentuk ekonomi informal, perusahaan yang dirintis perlu peran pemerintah untuk mengakselerasi menjadi rupa formalnya. Keseriusan pemerintah dalam menginkubasi bisnis-bisnis informal dapat terlihat dari tingkat pertumbuhan UMKM dan perkembangan komposisi sektoralnya. Fakta saat ini, meskipun UMKM sudah mulai bertumbuh, alih teknologi dan innovasi masih terbilang rendah. Pengelolaan melalui regulasi dan fasilitas pemerintah juga perlu mewaspadai adanya paradoks-paradoks pada usaha-usaha baru yang masih berada di dalam zona informal. Masih besarnya sektor informal dalam suatu sistem ekonomi, menyebabkan negara tidak dapat menikmati penerimaan pajak, selain itu negara akan sulit memonitor aktivitas ekonomi yang berujung akan membuat kebijakan-kebijakan makro yang salah arah. Peliknya situasi usaha akibat regulasi juga akan menciderai sektor formal, yaitu banyak menanggung karyawan yang berkeahlian rendah, menciptakan kebijakan penerimaan pegawai yang ketat dan mengekang karyawan agar tidak mudah untuk beralih ke perusahaan lain atau alternatif membuka usaha sendiri.    

Catatan Akhir
[i] diterjemahkan oleh penulis sebagai karyawan bergantung. Terjemahan ini merujuk pada definisi dependent workers are workers who are formally self-employed but depend on a single employer for their income - and calls from trade unions and other sources for such work to be regulated and social security coverage and employment law protection to be provided. (sumber: www.eurofound.europa.eu) 

Daftar Bacaan

Kuratko, D. F., & Hodgetts, R. M. (2004). Entrepreneurship: Theory, process, and practice (6th ed.). Mason: Thomson South-Western.
Portes, A., & Haller, W. (2005). The Informal Economy. In N. J. Smelser, & R. Swedberg (Eds.), The Handbook of Economic Sociology (pp. 403-425). New Jersey: Princeton University Press.

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)