Anasir-Anasir pada Teori Ilmu-Ilmu Sosial

Sejauh apa anda mampu memahami kehidupan keseharian, sejauh apa anda dibuat bingung oleh kejadian-kejadian yang menghampiri kita, entah melalui berita, linamasa teman anda di media sosial, grup WhatsApp, atau cerita-cerita seseorang dari Instagram. Barang kali kita sering terpantik emosi kita yang lantas membuat kita tertawa pun menjadi geram, namun bagi siapa saja yang tidak ingin melalui kehidupan ini begitu saja, kadang kala fenomena-fenomena yang ada di sekitar kita menuntut refleksi lebih dalam untuk mencari jawab atas tanya dalam benak kita. Tanpa sadar kita pun menjadi larut dalam pelayaran dalam dunia maya untuk mencari lebih dalam atau sekedar mencari informasi tambahan untuk memuaskan dahaga kecurigaan kita.


Katakanlah fenomena poligami yang semakin marak dan “diamini” oleh kaum hawa, angka perceraian yang meningkat, berkelahinya antara ojek online dengan supir taksi beberapa tempo lalu, ekstrimisme beragama yang memicu intoleransi, ribut-ribut antar pendukung pasangan calon, dan masih banyak lagi, bukankah ini fakta keseharian kita. Bisa saja kita mendengar dan kemudian kita cuek karena lebih baik memikirkan membeli susu anak atau pun benda-benda hedonis demi mengunggah konten media sosial, yang membuat kita berlalu begitu saja tidak mencoba menjawab mengapa semua itu terjadi. Akan tetapi, tidak demikian bagi para ilmuwan dan peneliti ilmu sosial, ia selalu mencoba menjelaskan hal-hal tersebut hingga ke akar-akarnya. Untuk itu penulis termotivasi untuk melanjutkan artikel Teori dan Ideologi, sebagai kelanjutan dari tema besar riset ilmu pengetahuan sosial, karena berdasarkan pada laporan kunjungan audiens pada blog ini, bahwa cukup besar keminatan audiens terkait tema ilmu sosial. Artikel ini akan mengulas persoalan anasir-anasir pada teori sosial yang akan dipaparkan pada bagian berikut ini.

Tidak jarang penulis mendengar ungkapan teman-teman satu tongkrongan mengutarakan, 
“Ah, sudahlah tidak perlu banyak teori!”
“Itu kan teorinya, kenyataannya beda kok!”
“Cinta kok pakai teori, yah itu udah natural aja bukan sih!”
“Kamu mau bikin makalah apa pacaran sih, bahas pacarmu kok pakai teori segala”
Ungkapan-ungkapan semacam itu pada dasarnya sah-sah saja, akan tetapi bagi peneliti sosial, tidak semudah itu untuk mengabaikan kejadian dalam kesehariannya. Mungkin saja ia hanya tersenyum karena si pengucap adalah temannya, namun dalam hati siapa yang tahu.

Lantas, apa sebetulnya teori itu? Beberapa ahli saling berdebat tentang definisi teori itu sendiri. Ada yang mengatakan bahwa teori itu adalah seperangkat proposisi-proposisi umum yang terhubung secara logis yang menetapkan hubungan antar dua variabel atau lebih. Ada pula yang mengatakan bahwa teori itu adalah suatu penjelasan dari suatu fenomena sosial spesifik yang mengidentifikasikan seperangkat faktor-faktor dan kondisi-kondisi yang relevan dan terhubung secara sebab akibat. Teori memberikan interpretasi pencerahan atas “segala apa yang terjadi.” Teori juga didefinisikan sebagai kemenyeluruhan atas pandangan dunia, atau suatu jalan untuk melihat, menginterpretasi, dan memahami kejadian-kejadian di dunia. Masih banyak definisi-definisi lain yang mencoba menjelaskan apa itu teori itu, akan tetapi secara sederhana teori adalah suatu sistem atas ide-ide yang saling terhubung (interconnected). Teori itu bersifat dinamis dan selalu berkembang, baik dalam bentuk dan ukurannya. Peneliti sosial, menggunakan teori untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan cara-cara berpikir kita dan untuk memperdalam dan memperluas pemahaman kita. Teori adalah jembatan untuk mencandra realitas. Teori adalah upaya untuk mengungkap kebenaran.

Tentu saja teori tidak muncul dari ruang kosong, atau hadir begitu saja karena terang wahyu yang turun atas seseorang. Teori dapat dibangun oleh siapa saja yang ingin menjelaskan realitas. Akan tetapi tidak semua teori itu mengandung kebenaran, teori perlu diuji baik secara empiris atau pun perlu dilacak sistematikanya dan pelogikaannya. Bangunan teori ini memiliki anasir-anasir yang dapat kita kenali Dengan memahami keempat bagian tersebut paling tidak kita bisa memiliki rasa waspada atas orang-orang yang suka berteori dengan ceramah-ceramah pada panggung kanal sosial media, ntah itu lewat youtube atau pun informasi-informasi kata-kata bijak kehidupan. Paling tidak kita dapat membagi anasir-anasir dari teori sosial ini: (1)Asumsi-asumsi, (2)Konsep-konsep, (3)Relasi atau hubungan, (4)Unit analisa (Units of analysis).

Bagian pertama adalah asumsi-asumsi yang digunakan. Secara keseluruhan teori dibangun berdasarkan asumsi-asumsi, yaitu pernyataan mengenai sifat alamiah dari sesuatu yang tidak dapat diobservasi atau dievaluasi secara empiris. Asumsi-asumsi merupakan awal mula yang harus ada. Di dalam teori sosial, peneliti membuat asumsi berdasarkan sifat alamiah manusia itu sendiri, realitas sosial yang terjadi, atau suatu fenomena atau isu tertentu. Ada dua jenis asumsi yang dapat kita kenali, yaitu: (1) asumsi yang melatarbelakangi (background assumption), yang secara implisit merupakan properti atas sesuatu hal. Misalnya, manusia adalah makhluk rasional. (2) asumsi yang terkendali (tractable assumption), ialah asumsi lanjutan yang bisa digunakan atau tidak digunakan dalam berargumentasi. Sebagai contoh, manusia memiliki tingkat derajat rasionalitas yang berbeda-beda dalam menghadapi realitas.
   
Bagian kedua adalah konsep-konsep. Teori memiliki blok bangunan dasar (building block) yang terdiri atas konsep-konsep. Suatu konsep teoritis berisikan suatu ide yang diekspresikan melalui kata-kata atau suatu symbol. Konsep selalu berkaitan dengan bahasa yang digunakan, karena di dalam bahasa itu sendiri terkandung kata-kata, yang juga merupakan simbol atas suatu realitas. Mempelajari konsep dan teori dapat diandaikan sama seperti mempelajari bahasa. Konsep-konsep mengada di luar teori ilmu sosial. Mereka dapat ada di mana saja, dan dapat digunakan kapan saja. Konsep adalah sesuatu yang mengejawantahkan ide-ide abstrak, misalnya saja ide tentang ketinggian dalam fisika (‘height’ = h) yang merepresentasikan tentang relasi fisik antara jarak dua titik yang berbeda secara vertikal. Melalui konsep kita menyatakan hal yang abstrak di dalam benak kita menjadi suatu symbol. Melalui konsep pulalah kita mengkomunikasikan hal-hal yang abstrak. Di dalam suatu konsep selain symbol juga terdapat suatu definisi. Pada definisi, suatu hal yang abstrak berhenti dimaknai dan bersifat final. Misalnya, konsep ketinggian (h) dengan kedalaman (d = ‘depth’). Meskipun memiliki definisi yang hampir sama, konsep ketinggian tidak bisa digantikan dengan kedalaman, sebagai contoh kedalaman laut, berbeda dengan ketinggian gunung, meskipun keduanya merepresentasikan relasi dua jarak vertikal yang berbeda. Baik ketinggian dan kedalaman, memiliki finalitas makna, karena ada makna orientasi yang berbeda pada definisinya. Dalam mengkonsepkan sesuatu, penting menilik definisi dari konsep tersebut, karena hal ini merupakan titik tolak dalam menteorikan sesuatu.

Lebih lanjut dalam memaparkan perihal konsep, karena konsep sangat erat kaitannya dengan hal-hal abstrak, maka konsep itu sendiri memiliki tingkat abstraksi yang berbeda-beda. Perhatikan contoh-contoh berikut, (A) “tuhan adalah esensi dan sekaligus eksistensinya” dibandingkan (B) “tuhan adalah sesuatu yang bisa mengadakan dirinya sendiri”. Contoh lain, (A) “cinta adalah daya ilahi yang menjadikan segalanya terselenggarakan (providentia)” dibandingkan (B) “cinta adalah daya yang mempersatukan dua insan manusia yang menjadikannya keduanya merasakan hidup.” Konsep A tentu saja memiliki tingkat abstraksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsep B. Derajat abstraksi ini juga masih lebih abstrak dan berbeda dengan konsep yang memiliki relasi konkret terhadap suatu objek material, misalnya pohon, tanaman, telepon gengam, kucing, dan lain sebagainya. Semakin abstrak dan semakin rumit suatu konsep itu didefinisikan, maka semakin memerlukan definisi seperti halnya yang terdapat dalam glosarium atau kamus, atau disebut sebagai definisi formal. Definisi konsep tersebut pada ilmu sosial didefinisikan secara lebih tepat, rumit, jelas dan konsisten dalam logika apabila dibandingkan dengan definisi sehari-hari. Konsep tersebut selalu dihubungkan dengan penelitian dan data empiris demi kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri dalam mengupayakan suatu pemahaman atas dunia di sekitar kita.

Konsep sendiri paling tidak dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu dari kuantitas kumpulannya dan tingkat kerumitannya. Jenis pertama adalah konsep tunggal yang berlawanan dengan gugus konsep (concept cluster). Konsep jarang yang dapat berdiri sendiri atau terisolasi dari konsep-konsep yang lainnya. Gugus konsep merupakan konsep yang terhubung satu dengan lainnya membentuk kumpulan yang memiliki jaringan makna. Teori-teori memiliki koleksi-koleksi konsep semacam ini. Di dalam kehidupan sehari-hari, konsep-konsep dapat disederhanakan, paling tidak menjadi konsep yang memiliki nilai kuantitas (pendapatan, suhu, kepadatan penduduk, dlsb.), dan konsep yang mengekspresikan kategori, atau fenomena bukan variabel (keluarga, birokrasi, ketunawismaan, dslb.). Jenis kedua adalah konsep sederhana yang berlawanan dengan konsep rumit. Konsep sederhana merupakan konsep yang hanya memiliki satu dimensi saja dan berbeda dalam keberlangsungan (continuum) tunggal. Sedangkan, konsep rumit memiliki dimensi jamak atau banyak bagian. Pada umumnya (bisa juga tidak demikian) semakin rumit suatu konsep maka semakin abstrak, dan semakin sederhana maka semakin konkret konsep tersebut.

Konsep rumit memiliki jenis yang lain yaitu konsep ideal. Konsep ideal adalah konsep yang murni, suatu model-model abstrak yang mencoba untuk mendefinisikan inti dari fenomena yang ditanyakan. Konsep ideal merupakan gambaran mental yang menggariskan aspek-aspek sentral dari apa yang menjadi ketertarikan. Konsep ideal diperlukan dalam membangun teori yang penuh, meskipun konsep ideal bersifat lebih kecil dari teori. Konsep ideal bukanlah penjelasan karena konsep ideal tidak mengatakan mengapa atau bagaimana sesuatu itu terjadi. Contoh konsep ideal adalah contoh tentang konsep tuhan dan cinta seperti yang sudah dipaparkan di atas.

Hal yang penting dalam memahami konsep rumit adalah klasifikasi konsep dan cakupan (scope). Klasifikasi konsep merupakan jalan terpisah antara suatu konsep sederhana dan teori besar (baca: dikembangkan secara penuh). Klasifikasi membantu kita untuk mengorganisasikan abstraksi dari konsep rumit, yaitu dengan cara menggabungkan secara logis konsep-konsep sederhana, berdimensi tunggal untuk membentuk suatu konsep yang kedua konsep sederhana itu menjadi beririsan. Sedangkan, cakupan dapat dianalogikan semacam jala yang mampu menjaring rupa-rupa realitas. Di satu sisi, ada beberapa konsep yang sempit dan digunakan untuk aplikasi kondisi-kondisi sosial spesifik atau aktivitas sosial yang terikat secara waktu atau tempat. Sebagai contoh adalah fenomena bonek (bondo nekat) supporter sepak bola atau hooliganism. Di sisi yang lain, konsep bercakupan luas mengaplikasikan banyak hal yang saling terkait dan relevan dalam jangkauan keluasan ruang dan waktu. Misalnya, aksi anarkisme memiliki cakupan lebih luas dibandingkan holiganisme. Konsep dengan cakupan sempit akan dekat dengan hal ihwal konkret di dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat dengan mudah dimengerti. Namun di saat yang sama konsep bercakupan sempit menyulitkan kita untuk membuat generalisasi teoritis dalam menjelaskan kehidupan sosial.

Bagian ketiga adalah hubungan atau relasi. Di dalam teori-teori sosial, anasir-anasir tidak hanya berisikan kumpulan-kumpulan dari asumsi dan konsep, akan tetapi dalam hal ini juga terdapat hubungan-hubungan spesifik di antara konsep-konsep tersebut. Para peneliti ilmu sosial, terkait dengan hal ini, membahasakan hubungan dengan pernyataan positif atau negatif, kuat atau lemah, langsung atau tidak langsung, dari pada ada atau tidak adanya hubungan. Suatu teori yang baik mengindikasikan apakah suatu konsep itu diperlukan sebagai prakondisi atas konsep yang lainnya atau hanya mencukupi saja. Teori beserta anasir-anasirnya bisa dinyatakan dalam bentuk proposisi atau hipotesis. Proposisi merupakan pernyataan teoritis terkait dengan dua atau lebih faktor atau konsep yang berhubungan dan berikut jenisnya. Sedangkan hipotesis merupakan suatu pernyataan lain dari proposisi yang siap diuji secara empiris. Teori akan menjadi kuat apabila diproposisikan secara hati-hati dan terdukung secara empiris melalui pengujian berkali-kali.
     
Bagian terakhir adalah unit analisa. Peneliti sosial perlu mengambil posisi analisa, karena realitas sosial itu sendiri beragam dan berlapis-lapis. Suatu konsep akan dapat diaplikasikan menjadi beberapa tingkatan unit analisa, misalnya individu, kelompok, organisasi, gerakan, institusi, negara, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, konsep kompetisi dapat diterapkan diberbagai konteks, misalnya individu di dalam sekolah pasca sarjana, persaingan antara dosen dan peneliti di dalam organisasi fakultas, persaingan antar universitas di dalam industri pendidikan, kompetisi kecanggihan teknologi pada suatu negara. Penting dipahami bahwa kesalahan dalam penerapan konsep pada unit analisa dapat menghasilkan interpretasi yang berbeda terhadap realitas sosial. Artinya, ketepatgunaan dan kecermatan dalam menggunakan konsep (abstrak atau konkret) menjadi sangat penting. Misalnya, kita tidak bisa menjelaskan fenomena bencana alam, dengan argumentasi ketuhanan, lebih baik menggunakan konsep yang lebih konkret yang dibangun dari disiplin ilmu geofisika misalnya. Alih-alih menjelaskan gunung meletus atau tsunami dengan penjelasan abstrak tuhan marah karena umat kurang saleh, lebih baik menjelaskan dengan pergeseran lempeng tektonik. Contoh lain, terkait dengan kompetisi di atas, persaingan untuk berprestasi berhubungan negatif dengan kesehatan para dosen, di sisi lain persaingan berhubungan positif dengan kinerja politis pada teman sejawat di dalam institusi pendidikan. Namun dalam unit analisis yang lebih kecil, persaingan mendapatkan pasangan berhubungan negatif dengan kohesivitas lingkar persahabatan perempuan.

Sebagai penutup, dengan memahami anasir-anasir teori ilmu sosial tersebut, maka paling tidak kita dapat membantu kita dalam memahami sesuatu hal dalam keseharian kita. Berteori merupakan hal yang seringkali tanpa kita sadari kita lakukan di dalam keseharian, begitu pula dalam menggunakan asumsi-asumsi, konsep-konsep, relasi dan unit analisanya. Mengetahui anasir-anasir dan menerapkannya dalam hidup sehari-hari akan mempertajam daya nalar kita, sehingga kita menjadi lebih tenang dalam menghadapi sesuatu. Terlebih lagi bagi peneliti ilmu sosial, anasir-anasir pada teori ini akan semakin melatih daya nalar kritis peneliti dalam melihat kejadian yang datang pada diri kita, yang berikutnya kita akan semakin tajam dalam membangun suatu jembatan antara mental kita dan realitas di luar diri kita.


Artikel-artikel terkait yang mungkin anda tertarik,



Rekomendasi Bacaan

Neuman, W. L. (2000). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. London: Pearson: Allyn and Bacon.

Sudarminta, J. (2002). Epistemologi Dasar: Pengantar filsafat pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.

Watloly, A. (2013). Sosio-Epistemologi: Membangun pengetahuan sosial. Yogyakarta: Kanisius.


Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)