Net Ekspor Indonesia (1)

Ribut-ribut soal kebijakan ekonomi era Presiden JKW pada pra PEMILU 2019, dengan segala opini para cebong dan kampretnya yang selalu saling serang dan beradu mulut di sosial media, justru menarik perhatian penulis sebagai pribadi yang menggeluti ilmu ekonomika keuangan. Melansir ulasan kompas.com terkait klaim negatif partai oposisi terhadap pemerintahan JKW-JK tentang kinerja ekonomi nasional, yaitu: (1) membengkaknya utang hingga pelemahan rupiah, dan (2) ekonomi dinilai minim serap tenaga kerja. Tentu saja untuk masyarakat Indonesia bisa jadi langsung gentar mendengar kata “utang”, seolah-olah “utang” adalah tindakan kriminal, bahkan dosa. Belum lagi nilai tukar rupiah yang melorot, seolah-olah pemerintah tidak memberikan kemakmuran bagi rakyat (baik yang kaya dan yang miskin) namun justru mengantarkan pada pintu krisis ekonomi.

Pelabuhan Tanjung Priok difoto dari udara. Tanjung Priok adalah pelabuhan utama di Indonesia yang menjadi pintu gerbang pertukaran komoditas Internasional. sumber gambar: ptp.co.id
Sebelum kita buru-buru percaya dengan dua pernyataan itu di atas, apalagi jika pembaca adalah pendukung oposisi, sebelum terjangkit rasa benci kepada pemerintah, apalagi benci terhadap presiden terpilih secara personal, sebaiknya anda kendurkan sedikit urat syaraf anda dan mulailah menganalisa dengan data. Tentu saja jika anda sinis, boleh juga anda tidak percaya pada data-data yang disajikan oleh institusi-institusi pemerintah ke publik. Karena anda percaya bahwa pemerintah adalah institusi penebar “hoax” paling ampuh karena memiliki segala faktor-faktor produksinya. Ya ini sih pernyataan orang yang sudah keblinger dan membuat sensasi, menurut pendapat saya. Lantas jika sudah begini, kepada siapa lagi anda akan percaya, Institusi alternatif? Dukun? Makhluk-makhluk gaib? Bocoran rahasia, gosip dan rumor dari seseorang yang pernah dikecewakan oleh pemerintah? Silahkan saja anda boleh memiliki kepercayaan yang membuta, itu sikap dan pendirian anda, namun ada baiknya anda mengetahui juga tentang apa itu sesat pikir, agar anda bisa memiliki pijakan yang tepat “mana yang bisa” dan “mana yang tidak bisa” dipercaya.

Membahas tentang dua pernyataan tersebut di atas, penulis justru tertarik membahas melalui pemaparan data-data ekspor bersih Indonesia. Mengapa demikian? Pertama, secara sederhana utang tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, artinya hutang negara harus selalu dilihat bersamaan dengan nilai kekayaan negara. Formalnya, harta sama dengan utang (kewajiban kepada pemegang janji ditambah kewajiban kepada pemilik)[1]. Dalam hal ini ketika anda berhutang kepada teman atau saudara anda, anda bukan berarti benar-benar dalam kondisi tidak memiliki kekayaan sama sekali bukan, karena ketika anda benar-benar dianggap tidak memiliki harta, maka tidak mungkin anda dipercaya untuk berhutang. Ada dua kondisi yang mungkin terkait anda berhutang, bahwa anda hanya mendapati diri anda dalam kondisi kesulitan likuiditas karena dorongan hawa nafsu konsumtif anda, atau anda ingin mewujudkan mimpi anda untuk menjadi lebih kaya dengan membuka usaha atau meningkatkan produktifitas anda. Rasa takut anda terkait utang negara adalah karena mungkin anda mengandaikan bahwa utang negara itu serupa dengan utang konsumsi dari kartu kredit karena sering dijumpai bahwa utang kartu kredit selalu disertai dengan ketidakmampuan seseorang dalam mengelola keuangan pribadi. Kenyataannya, sepanjang utang itu digunakan untuk alasan peningkatan produktifitas ekonomi, itu tidak menjadi masalah, karena pada waktunya seseorang itu akan dapat membayar hutang anda ditambah keuntungan dari produktifitas, sepanjang ia melakukan bisnisnya dengan cermat dan melakukan kaidah-kaidah bisnis yang tepat, ceteris paribus. 

Kedua, dasar-dasar logika ekonomi mengatakan, bahwa (1) Manusia adalah individu yang selalu menanggapi insentif, (2) dalam interaksinya, perdagangan dapat menjadikan siapa saja lebih kaya, (3) secara sistemik, standar hidup masyarakat di suatu negara ditentukan oleh kemampuan negara itu untuk menghasilkan (produk) barang dan jasa (Mankiw and Taylor 2014). Dengan alasan motif ekonomi, maka dalam skala mikro seseorang jika mau makan enak maka haruslah bekerja, manusia primitif berburu dan meramu, manusia tradisional bercocok tanam dan beternak, manusia modern merelakan dirinya untuk dikontrak menjadi bagian dari faktor ekonomi. Sedangkan secara makro, dalam hal mendatangkan kekayaan negara setiap elemen mikro (sebisa mungkin seluruh rakyat) haruslah menyumbangkan bagian dari dirinya untuk kemakmuran bersama, atau melakukan aktivitas ekonomi yang produktif. Ketiga, di dalam ekonomi terdapat konsep keunggulan absolut dan keunggulan komparatif suatu negara. Secara sederhana dapat dipahami, bahwa seorang petani akan lebih efisien (murah) memproduksi beras dari petak sawahnya, daripada ia membuat baju, karena akan lebih murah, lebih baik, dan lebih banyak hasilnya ketika dilakukan oleh penjahit karena menguasai teknologinya. Hal ini pun juga akan terjadi di dalam perdagangan internasional karena adanya perbedaan komoditas yang diproduksi pada tiap-tiap negaranya. Keempat, dalam ekonomi, segala sesuatu adalah saling berkaitan (sistemik) sehingga kita tidak bisa menyimpulkan dan percaya begitu saja bahwa ekonomi itu buruk, hanya gara-gara salah satu atau dua indikator menunjukan pelemahan.

Atas dasar alasan-alasan tersebut di atas, maka menjadi relevan ketika penulis mengajukan pertanyaan, jika demikian apa hubungannya net ekspor dengan pelemahan kurs rupiah dan peningkatan utang pemerintah? Mari kita tilik kembali pelajaran ekonomika pengantar terlebih dahulu. Kekayaan suatu negara ditentukan secara sederhana oleh fungsi pendapatan yang disebut sebagai Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product – GDP). GDP mengukur seluruh elemen produktivitas suatu negara secara agregat akibat seluruh aktivitas ekonomi mikronya. Dengan kata lain, GDP hendak mengatakan bahwa pendapatan nasional (semua orang) termasuk juga pengeluaran nasional. Hal ini karena, secara logika bahwa ekonomi selalu mengandaikan sisi pembeli (buyer) dan sisi penjual/produsen (seller). Sehingga dalam suatu ekonomi pendapatan harus selalu sama dengan pengeluarannya. GDP akan mengukur seluruh perputaran uang yang terjadi akibat transaksi pada sisi pembeli (rumah tangga) dan sisi penjual/produsen (perusahaan) dalam suatu periode waktu tertentu. Sederhananya jika perkonomian diprediksi bertumbuh sebesar 5,07% artinya tahun depan, ceteris paribus, secara rata-rata GDP akan meningkat (semua orang dan anda akan bertambah kaya) sebesar nilai prosentase itu. Namun, anda perlu hati-hati menafsirkan hal ini, karena konsep ekonomi dan aktivitas aktual ekonomi selalu memiliki perbedaan. Lantas apa urusannya GDP dengan Net Ekspor?

Pada buku teks ekonomi terstandar, GDP (Y) selalu ditentukan oleh empat komponen utama, yaitu: (1) konsumsi—“C”, (2) Investasi/Tabungan—“I”, (3) belanja pemerintah—“G”, dan (4) ekspor bersih—“NX”, atau secara formal dapat dituliskan menjadi: Y = C + I + G + NX. Konsumsi adalah seluruh barang dan jasa yang anda belanjakan (sektor rumah tangga). Investasi adalah pembelian barang-barang yang anda akan gunakan di masa depan untuk memproduksi barang dan jasa lebih banyak dari saat ini, hal ini termasuk juga . Belanja pemerintah adalah segala pengeluaran yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan public, misalnya gaji aparatur negara (Polisi, TNI, petugas kelurahan, PNS, anggota DPR, dlsb.). Net ekspor atau ekspor bersih adalah total jumlah penjualan barang dan jasa ke luar negeri (ekspor—X) dikurangi total jumlah pembelian barang dan jasa dari luar negeri (impor—M). Hal ini juga berarti impor merupakan total barang dan jasa yang diproduksi di luar negeri dan menjadi konsumsi, investasi dan juga belanja pemerintah di dalam negeri, sehingga nilainya harus dikeluarkan (dikurangi) dari nilai ekspor, karena nilai import tidak akan mempengaruhi pendapatan (GDP).

Analisa Deskriptif Ekspor Bersih Indonesia

Mari kita perhatikan diagram di bawah ini!
  
Gambar 1. Net Ekspor Indonesia (Jumlah ekspor total  dikurangi Impor total Indonesia Y-o-Y 2005 s.d. 2018, sumber data: SEKI Bank Indonesia, diolah penulis

Pada gambar 1, kita dapat mengetahui bahwa dalam kurun enam tahun ke belakang, net ekspor Indonesia anjlog, bahkan di beberapa tahun memberikan nilai negatif. Artinya, impor Indonesia lebih besar dari dari ekspor kita. Hal ini kemudian yang seringkali digunakan oleh oposisi untuk menyerang pemerintah, karena tidak bisa menjaga nilai Rupiah. Ketika impor lebih tinggi daripada ekspor, maka secara ekonomika keuangan, permintaan akan mata uang negara asal impor akan meningkat, sehingga di pasar masyarakat akan melepas rupiahnya untuk ditukarkan dengan mata uang asing (katakanlah USD), sederhananya Rupiah menjadi tidak laku (dijual lebih murah) dan membuat nilai Rupiah tertekan terhadap USD. Hal ini juga akan berlaku bagi mata uang asing negara asal impor. Politisi tentu saja akan mudah menyatakan bahwa ekonomi Indonesia buruk, karena pada era pemerintahan JKW (15 Oktober 2012 s.d. 16 Oktober 2014) ekspor menurun apabila dibandingkan dengan ekspor pada era SBY (20 Oktober 2004 s.d. 20 Oktober 2014). Dengan melihat grafik di atas kita lantas bisa cepat-cepat percaya dengan pernyataan itu, akan tetapi seorang ekonom tidak boleh percaya begitu saja, (mengapa?) karena barang dan jasa yang diekspor dan diimpor dipengaruhi oleh harga dan volume permintaan produk Indonesia di pasar dunia dan produk negara lain di dalam negeri, dan ini ditentukan oleh mekanisme perdagangan internasional yang melibatkan banyak faktor, salah satunya adalah politik internasional (misal: perang dagang, krisis ekonomi regional, dan lainnya). Jadi pernyataan itu memang benar adanya namun dangkal dalam mengungkap kebenarannya. Hal ini disebabkan karena pasar internasional adalah sesuatu entitas yang bersifat ‘given’ dan ‘taken for granted’ (sesuatu yang harus diterima begitu saja dan tidak bisa dipengaruhi secara signifikan oleh ekonomi Indonesia), maka klaim pernyataan itu tidak mencakup semua aspek. Bagaimana mungkin, suatu bagian kecil mempengaruhi suatu keseluruhan, kecuali bagian kecil itu cukup besar yang menjadi bagian dari suatu keseluruhan itu (ingat hukum pareto). Hal ini menjadi masuk akal ketika AS dan Tiongkok ketika perang dagang, merusak kondisi stabilitas ekonomi dunia.     


Gambar 2. Total Ekspor dikurangi Impor berdasarkan kontinen tujuan, sumber data: SEKI Bank Indonesia 2005 s.d. 2018, diolah.
Mari kita lihat lebih lanjut masalah ekspor Indonesia ini. Dari gambar 2, beberapa kontinen menjadi tujuan transaksi Indonesia. Hal yang menarik dari peraga di atas adalah impor terbesar ditunjukan melalui grafik abu-abu yaitu kontinen Asia dan Timur Tengah. Dapat dicermati melalui grafik bahwa nilai net ekspor menunjukan sesuatu yang lebih fluktuatif dibandingkan grafik-grafik lainnya. Tentu saja kita bisa mencermatinya melalui penjabaran komoditas-komoditas dari dan ke negara tujuan, namun hal ini belum akan dibahas di dalam artikel ini. Namun akan lebih relevan apabila kita melihat penjabaran lebih jauh melalui negara per negara sebagai komponen penyumbang hubungan ekonomi yang berdampak pada mata uang Rupiah. Gambar 3 menunjukan proporsi perbandingan pembobotan nilai absolut perdagangan Indonesia. Secara deskriptif dapat ditunjukan bahwa ada lima negara yang menjadi mitra dagang utama Indonesia, yaitu: (1) Amerika Serikat, (2) Cina, (3) India, (4) Jepang dan (5) Singapura. Secara politik internasional, ketika terjadi perlambatan ekonomi pada kelima negara ini, maka akan berdampak secara langsung terhadap ekonomi Indonesia. Hal ini disebabkan karena para mitra dagang ini menjadi penentu permintaan komoditas ekspor Indonesia dan sekaligus penawaran produk impor. Grafik tersebut secara deskriptif bisa memberikan petunjuk adanya gejala-gejala masalah ekonomi yang menyebabkan perlambatan ekonomi nasional. Misalnya saja, krisis ekonomi di AS akan menurunkan permintaan akan produk Indonesia. Contoh lainnya, perang dagang Amerika dan Cina, yang menyebabkan kedua negara tersebut saling menerapkan tariff untuk produk-produk bilateralnya, akan membuat perlambatan ekonomi, karena produsen kehilangan daya efisiensi produksinya karena komoditas menjadi mahal. Hal ini tentu saja secara sistemik akan berdampak kepada Indonesia, karena penurunan produksi pada kedua negara akan berdampak pula pada penurunan permintaan komoditas Indonesia sebagai komponen produksinya.

Gambar 3. Komposisi pembobotan negara-negara mitra dagang utama Indonesia, sumber data: SEKI Bank Indonesia, 2005 s.d. 2008, diolah.
Selanjutnya, mari kita evaluasi lebih jauh mengenai ekspor bersih ini. Setelah kita mengetahui bahwa dalam perdagangan internasional, Indonesia bermitra dengan negara-negara tertentu yang menjadikannya mitra utama. Kita dapat melayangkan pertanyaan, apabila ekspor dan impor adalah masalah pertukaran barang dan jasa, dan barang dan jasa ini merupakan produk-produk yang diproduksi secara efisien (memenuhi keunggulan absolut dan keunggulan komparatif) di dalam suatu negara, apakah kinerja sektor usaha di Indonesia berhubungan secara langsung dengan perusahaan-perusahaan di negara-negara mitra dagang utama? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita perlu membangun suatu asumsi terlebih dahulu, yang antara lain: (1) pasar internasional sudah teralokasi efisien; (2) produk-produk komoditas yang ditransaksikan dengan negara mitra utama sudah memenuhi keunggulan absolut dan keunggulan komparatif, dengan kata lain suatu produk adalah unik bagi negara produsennya dan tidak dapat diproduksi di negara pembelinya; (3) semua transaksi adalah langsung tanpa adanya perantara perdagangan, sehingga biaya transaksi adalah nol; (4) Perusahaan-perusaahan penghasil barang dan jasa di suatu negara haruslah cukup besar, dan sehingga ekspor produk merupakan kelebihan konsumsi internalnya. Untuk menguji apakah Indonesia memiliki kekuatan hubungan ekonomi dengan negara mitra utamanya, maka dapat kita hipotesakan[2], yaitu terdapat hubungan langsung pada sektor usaha antara mitra dagang utama Indonesia[3].

Pembuktian Statistik
Asumsi tersebut bersifat membingkai pemahaman kita terkait dengan gejala yang hendak dibuktikan. Agar dapat dibuktikan secara statistik maka peneliti memerlukan proksi, yaitu apa yang dapat diukur dan secara relevan mewakili asumsi-asumsi tersebut. Penulis di sini menggunakan data harga penutupan disesuaikan (adjusted closing price) indeks pasar modal dari negara-negara mitra utama Indonesia. Sumber data yang digunakan adalah dari basis data keuangan Yahoo! Finance, data yang digunakan adalah data sekunder atau data arsip (archival data) dalam bentuk runtut waktu (time series) dengan frekuensi bulanan. Periode data yang digunakan adalah 25.04.2016 s.d. 25.03.2019 Metode penyampelan yang digunakan adalah purposive non-random sampling dengan kriteria penyaringan adalah lima negara mitra utama perdagangan Indonesia berdasarkan data deskriptif pada Gambar 3 di atas. Data-data lain yang dimasukan ke dalam perhitungan adalah negara-negara yang memiliki kedekatan relasi politik ekonomi regional dengan negara mitra dagang utama. Sebagai acuan untuk Indonesia, penulis menggunakan data dari IHSG dan menggunakan LQ45 sebagai kontrol. Negara-negara yang memiliki data hilang dikeluarkan dari sampel. Untuk menguji hipotesis ini penulis cukup menggunakan alat uji korelasi yang dihitung menggunakan MS.EXCEL 2013[4]. Definisi operasional pada variabel uji adalah imbal hasil indeks yang dikalkulasi dengan formula: ri = ln(pt0 /pt-a), di mana ri = returns (imbal hasil geometris indeks ke-i), pt = nilai indeks pada waktu ke-t. Returns adalah sama dengan perubahan bulanan yang dinyatakan dalam prosentase. Data-data variabel uji (testing) disajikan pada tabel berikut di bawah ini.


Hasil Pengujian
Hipotesis penelitian dalam artikel ini adalah terdapat hubungan langsung pada sektor usaha antara mitra dagang utama Indonesia. Hipotesis pengujian diformulasikan H0 ≡ ρ0 = 0; Ha ≡ ρa < 0, ρa > 0. Pada tabel 2 ditunjukan hasil uji korelasi terhadap hipotesis tersebut. Hasilnya tidak cukup menggembirakan, karena matriks korelasi tersebut menunjukan bahwa meskipun hipotesis  berhasil ditolak sebagian, namun koefisien korelasi menunjukan hubungan-hubungan rendah Indonesia dengan mitra-mitra dagang utamanya. Hal ini ditunjukan dengan nilai IHSG dan LQ45 yang memiliki hubungan positif namun koefisien korelasi masih jauh di bawah angka 0.50. Hal ini berbeda dengan AS, yang memiliki magnitudo koefisien korelasi dalam kisaran 0.45 < ρ < 0.80, yaitu memiliki hubungan tingkat sedang dengan negara-negara mitra dagang utama Indonesia lainnya. Meskipun demikian, hubungan bilateral Indonesia dengan tiap-tiap negara mitra dagang utama menunjukan nilai positif signifikan selain Jepang (NIKKEI) dan Cina (SSE). Hal ini dapat diinterpretasi bahwa hubungan mitra dagang Indonesia lebih kuat secara bilateral dengan Amerika Serikat, Singapura, dan India, alih-alih dengan Jepang dan Cina.

Tabel 2. Matriks korelasi negara mitra dagang utama Indonesia. Rentang nilai koefisien korelasi adalah (ρ < 1) untuk berhubungan negatif (berkebalikan), (ρ > 1) untuk berhubungan positif, (ρ = 0) untuk tidak terdapat hubungan. Tanda *, **, dan *** berturut-turut menunjukan tingkat signifikansi pada pengujian dua-ekor dan nilai t-tabel dinyatakan di dalam tanda kurung, yaitu:  α=10% (1.67), 5% (2.00), 1% (2.66).  Sumber data: Yahoo! Finance, 20.10.2014 s.d.30.12.2018, diolah.   

Hal lain yang menarik untuk dibahas adalah dapat ditemukan bahwa hubungan-hubungan antar tiap-tiap bursa menujukan nilai positif signifikan bahkan hingga α = 1%. Hal ini berarti, perekonomian suatu negara meskipun tingkat hubungan langsungnya berbeda-beda namun perdagangan internasional antar negara tidak dapat diisolasi semata-mata karena hubungan langsung bilateral saja, karena hal ini menyiratkan bahwa pasar-pasar saling berkaitan secara sistemik. Sebagai contoh, krisis di regional eropa yang berkepanjangan dapat diduga secara langsung berkaitan dengan kondisi ekspor Indonesia, namun masalah perang dagang Amerika Serikat (DJI) dengan Cina (SSE) berhubungan secara sebagian. Karena Indonesia memiliki hubungan rendah-sedang signifikan dengan negara AS, dan berhubungan rendah namun tidak signifikan dengan Cina, dalam hal ini AS menjadi pintu masuk perubahan kondisi ekspor Indonesia. AS menjadi penghubung dengan bursa-bursa negara-negara lain dalam tingkat sedang, bahkan tinggi secara signifikan. Hal ini berarti, ketika terjadi suatu konflik (baca: perang dagang) di kedua negara tersebut diduga tetap akan berdampak pada bursa-bursa negara lainnya, dalam hal ini perang dagang dapat disimpulkan berdampak secara tidak langsung dengan perekonomian Indonesia. Selain konteks eksternalitas di atas, rendahnya angka koefisien korelasi ini juga memberikan isyarat bahwa produksi Indonesia belum berorientasi ekspor atau belum memiliki keunggulan (lihat asumsi nomor 2), artinya ketergantungan langsung negara-negara mitra utama Indonesia hanya dalam tingkat rendah secara rata-rata.

Namun, dengan hasil uji ini kita tidak perlu khawatir, karena perlu disadari bahwa penelitian itu selalu “full of surprise”. Spekulasi di atas terkait dengan negara tujuan sebagai mitra dagang utama telah mengantarkan kita pada suatu thesis bahwa faktor eksternal yaitu kondisi pasar global berhubungan dengan kinerja net ekspor Indonesia, yang selanjutnya menjadi salah satu pelemahan nilai Rupiah dan perlambatan produktifitas industri Indonesia. Dalam hal ini hipotesis ini terbukti dan terdukung secara statistik, namun hanya menunjukan tingkat hubungan yang rendah. Dalam penelitian alur deduktif, bahwa perlu diuji lebih lanjut yang biasanya peneliti perlu kembali melihat bingkai teoritis yang digunakan dalam berargumentasi, dan kembali memasukan pendekatan-pendekatan teori baru yang akan menghasilkan argumentasi yang lebih valid dan mampu memberikan kontribusi empiris. Perbaikan penelitian ini yang mungkin dapat dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut: (1) Secara tingkat analisa, bahwa data-data deskriptif yang disajikan adalah merupakan data-data empiris tingkat makro. Pendekatan formal yang dilakukan adalah menggunakan pendekatan komponen GDP sebagai definisi net ekspor untuk menunjukan hubungan antara pendapatan negara dengan negara lain. Akan tetapi proksi yang digunakan lebih merujuk pada sektor usaha yang mencakup seluruh bidang di suatu negara, yang kemungkinan termasuk dan atau tidak termasuk komoditas-komoditas unggulan Indonesia. Jadi, untuk terhindar dari bias-bias penelitian perlu diuji kembali dalam konteks produk, bukan bursanya. (2) Perlu juga, diuji dalam konteks GDP hubungan kausalitas antar negara, dengan mempertimbangkan komponen-komponen GDP lainnya, karena ekspor sendiri akan saling berhubungan dengan konsumsi nasional, yang dapat dikatakan bahwa ekspor merupakan produk yang tidak dapat diserap oleh pasar pada tingkat domestik.
Refleksi Penulis
Terkait thesis para politisi, yaitu “pembengkakan utang dan pelemahan Rupiah, serta ekonomi dinilai minim serap tenaga kerja.” Menurut anda, klaim manakah yang bisa anda percaya? Anda tidak perlu melakukan pelacakan fakta seperti apa yang penulis lakukan, namun anda dapat dengan mudah memfalsifikasi pernyataan itu. Pertama, “masalah ekonomi bukan saja disebabkan oleh pembengkakan utang dan pelemahan rupiah, namun perlu juga mempertimbangkan aspek fundamental ekonomi nasional.” Kedua, perekonomian telah menyerap banyak tenaga kerja, didukung oleh menurunnya tingkat pengangguran sebesar X% (sedikit atau banyak adalah sesuatu yang butuh pembanding, seperti halnya anda tidak bisa mengatakan mahal atau murah tanpa adanya suatu pembanding yang baku (angka ‘benchmark’ atau suatu acuan ‘rule of thumb’), pun bisa juga pembanding dengan data-data historis yang lain, namun hal ini juga mengandung kelemahan karena kondisi ekonomi adalah hal yang dinamis dan selalu berubah. Sering kali kita gagal menerapkan situasi ceteris paribus selain itu juga terjebak dalam post hoc fallacy (lihat: logika dan prinsip-prinsip ekonomi). Anda pun dapat melayangkan pernyataan kritis terkait klaim itu, misalnya: Untuk program apakah penggunaan utang jangka panjang pemerintah itu digunakan? Berapakah kemampuan bayar Indonesia dengan aktivitas mesin ekonominya, dan apakah utang tersebut memberikan penambahan nilai ekonomi? Dari manakah sumber utang pemerintah tersebut, dalam atau luar negeri, dengan cara apa (kebijakan) pemerintah akan membuat utang tersebut terbayar?  Faktor-faktor apa sajakah yang membuat Rupiah melemah? Bagaimana kondisi perubahan Rupiah dibandingkan dengan negara-negara dengan kondisi fundamental ekonomi yang kurang lebih sama? Sektor usaha apa saja yang paling banyak menyerap tenaga kerja, dan sektor apa yang paling sedikit menyerap tenaga kerja? Bagaimana kondisi pengangguran di Indonesia dan siapa saja penganggurnya, apa sifat penganggurannya, dan mengapa kebijakan pemerintah tidak mampu menyerap tenaga kerja?
     
Dengan mempertentangkan kedua klaim tersebut, maka dalam hemat penulis, thesis penulis lahir dari alur deduktif dalam bingkai teoritis ekonomi, sedangkan thesis politisi diduga lahir dari deskripsi data empiris yang digunakan untuk menilai kinerja internal ekonomi Indonesia tanpa melihat adanya faktor eksternal yang mempengaruhi (alur induktif). Andaikan pun politisi tersebut menggunakan alur logika deduktif, maka kemungkinannya adalah ia bertolak dari janji kampanye presiden terkait dengan kebijakan dan target ekonomi. Meskipun pernyataan politisi tersebut seolah-olah valid, namun kenyataannya premis yang berangkat dari suatu pengandaian bukanlah fakta empiris, melainkan hanya suatu hipotesis beserta dasar asumsi-asumsi dan konsep-konsep ekonomi. Sehingga verifikasi empiris tidak serta merta dapat membatalkan premis pertama tanpa memenuhi asumsi-asumsi dan konsep-konsep yang digunakan. Itulah politisi, yang seringkali opininya hanya mendatangkan polemik di masyarakat. Jadi, anda cukup memiliki “kuping panci” saja, namun apabila anda cukup peduli dengan komunikasi ruang publik, maka anda dapat melakukan kritik terhadap politisi.  Meskipun penulis gagal menolak hipotesis secara penuh, namun hasil tersebut sebetulnya tidak serta merta batal, karena secara sebagian memberikan dukungan terhadap alasan pemerintah bahwa faktor global dan perang dagang menjadi penyebab, meskipun bukan penyebab langsung. Dalam hal ini, sebagai peneliti hendaknya mencari tahu lebih jauh, bisa melakukan studi kualitatif yaitu dengan cara membandingkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah, atau melakukan studi kuantitatif yang dapat memberikan argumentasi kuat dan didukung dengan hasil uji statistik.

Catatan-catatan Akhir

[1] Dalam ilmu akuntansi, dirumuskan H = U + M (harta = utang + modal), namun jangan terkecoh dengan redaksi antara utang dan modal. Sesungguhnya, makna modal adalah kewajiban perusahaan kepada pemilik, artinya modal bersifat utang juga, yang membedakan adalah hak kepemilikan perusahaan. Dalam hal ini, negara juga memiliki pencatatannya baik kekayaan dan utang-utangnya.
[2] Meskipun demikian, hipotesis pada artikel ini perlu diwaspadai karena tidak didukung dengan referensi-referensi teoritis dan pengujian empiris sebelumnya. Hipotesis ini lahir karena asumsi-asumsi dan konsep-konsep penulis sendiri yang diargumentasikan secara valid, namun tidak cukup kuat apabila dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
[3] Perlu diperhatikan bahwa hipotesis ini adalah hipotesis penelitian, yang selalu menyatakan alternatif hipotesis pengujiannya. Pengalaman penulis ketika membaca berbagai penelitian di perpustakaan Universitas seringkali masih dijumpai kekeliruan dalam menyatakan hipotesis yang secara eksplisit dituliskan pada Bab Tinjauan Pustaka. Pada tinjauan pustaka, atau reviu literature, yang ditulis adalah merupakan rangkaian berantai argumentasi alur deduktif yang bertolak dari bingkai teoritis (dasar-dasar teori) hingga berhenti pada hipotesis penelitian. Hipotesis penelitian ini, baru dinyatakan sebagai hipotesis pengujian dengan menentukan hipotesis null dan hipotesis alternatifnya, yang merupakan bagian pernyataan sematik matematis dan selalu berkaitan dengan alat uji statistiknya. Sebagai contoh, pada uji beda dua rata-rata:
  • Hipotesis penelitian: “Terdapat beda rasa manis antara apel malang kualitas A dan apel malang kualitas B”
  • Hipotesis pengujian:
  • H0 : Tidak terdapat beda rasa manis antara apel malang kualitas A dan apel malang kualitas B, A B;
  • Ha : Terdapat beda rasa manis antara apel malang kualitas A dan apel malang kualitas B, A = B;

[4] Pengalaman penulis, sering kali dalam diskusi akademis banyak ditemukan perdebatan terkait dengan perangkat lunak apa yang tepat digunakan untuk menghitung statistik. Ada seorang mahasiswa yang gagal pada ujian pendadaran karena menggunakan alat hitung SPSS versi lama. Dosen penguji dengan kukuh mengatakan bahwa hasil ujinya tidak bisa dipercaya. Menurut hemat penulis dosen penguji semacam ini tidak mengerti rumus matematis statistik, kenyataannya software tidak ada kaitannya dengan tingkat kepercayaan uji, yang tepat adalah bahwa apakah mahasiswa tersebut telah menerapkan alat statistik secara tepat guna. Penulis sering kali menggunakan MS.EXCEL untuk menguji statistik, bahkan menghitungnya secara manual (prosedur matematis bertahap). Esensi dari perhitungan uji statistik adalah rumus dan prosedur matematisnya, software hanyalah program yang membantu pengguna untuk mempercepat proses perhitungan. Ketika anda mengalami hal semacam ini, anda dapat berkeras dengan menunjukan perhitungan manualnya saja.

bersambung...

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)