Schizophrenic Soliloquy: Kapitalisme (bagian kedua)

Sumber gambar: http://41.media.tumblr.com/044f64f5934f97490caae2d24d567c2b/tumblr_mkw6f50i181rwcfrqo1_500.jpg

Homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Hal yang menarik dari obrolan selanjutnya bersama para INTJ adalah mengenai hasrat kompetisi yang ada di dalam mazhab kapitalisme. Semangat hewani (Animal Spirit), suatu alegori yang diucapkan oleh Keynes dalam teorinya, bahwa sejatinya manusia memiliki dorongan hasrat yang tidak berbeda dengan hewan. Perilaku manusia tidak terlepas dari insting kebinatangannya, binatang kapitalis! Berikut kutipan penjelasan Keynes:

Even apart from the instability due to speculation, there is the instability due to the characteristic of human nature that a large proportion of our positive activities depend on spontaneous optimism rather than mathematical expectations, whether moral or hedonistic or economic. Most, probably, of our decisions to do something positive, the full consequences of which will be drawn out over many days to come, can only be taken as the result of animal spirits—a spontaneous urge to action rather than inaction, and not as the outcome of a weighted average of quantitative benefits multiplied by quantitative probabilities.
(Keynes, 1936, p. 161)

Masih seperti biasa jika para INTJ ini bertemu, debat dan saling kritik tak pelak lagi akan terjadi. Ketajaman intuisi mereka, kecermatan cara pembedahan mereka, dan ketepatan sintesa akan turunan premis-premis dari hal-hal yang serba “meta” menjadikan mereka sulit dibantah. Sinisme mereka terhadap dunia menjadikan mereka manusia-manusia yang paling curiga diantara manusia lainnya. Manusia-manusia paling narsis, kritis dan banyak tanya. Makhluk nihil dan skeptis!

Tentu saja pemaparan Keynes tersebut tidak sejalan dengan cita-cita dan harapan Marx, bahwa manusia dapat mengembangkan potensi dirinya bagi orang lain. Nietzsche sendiri pun menyarankan bahwa manusia dengan kebebasannya, dalam hidup ditengah kebrutalan dan kesadisan dunia, selayaknya untuk melepaskan dari berbagai belenggu dogma, kepasrahan, dan menjadi “der Übermensch” manusia unggul diatas manusia lainnya.

Di tengah dunia implikasi kapitalisme modern, di penghujung ruh pemikiran pasca modern, apakah kita masih harus menjadi manusia unggul? Apakah kita masih perlu menjadi manusia untuk manusia lain? Atau apakah kita masih perlu menjadi binatang? Atau jangan-jangan masalahnya bukan menjadi apanya, tetapi masalahnya adalah pada kemenjadiannya itu sendiri?

Ekonomi tidak akan pernah ada apabila pelakunya—“agents”— tidak memiliki pilihan (Krugman, 2015). Menghadapi hidup ini, merupakan pilihan, menjalaninya pun pilihan, mau menjadi apa dan bahkan memikirkannya pun juga pilihan. Tetapi bagaimana menyoal pilihan kemenjadian itu sendiri? Ketika kita berada pada sebuah dunia yang dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan mengenai keharusan untuk “menjadi”, penegasian dan hujatan karena menjalani proses “menjadi” yang berbeda, seolah hidup ini hanya berada pada sebuah ukuran jeda beda antara garis-garis abstrak kelumrahan abstrak dari proses regresi. Apakah masalah dunia hanya masalah statistik belaka, rasionalitas tanpa perasaan, yang seolah terpaksa diseragamkan hanya akibat keputusan pilihan atas mekanisme hitung penjejak garis tipis berarah (padahal itu hanya berada dan terjadi pada dunia Cartesian)? Ya itu semua masalah pilihan juga rupanya, ya?...

Gott hat Mensch eine Freiwillig gesegnet! Aber Nietzsche hat Ihm umgebracht, oder? So dass, Haben Menschen jetzt noch die Freiwilligen? 

Berada di cara hidup modern dan serba kapitalis ini nampaknya memang menjadi serba sulit memilih. Ketika secara ekonomi bahwa pilihan manusia hanya akibat keputusan dari hasrat binatangnya yang dimilikinya sendiri, hasrat untuk menjadi “yang serba paling”, paling kaya, paling pandai, paling berkuasa, paling berpengaruh, dan seterusnya... seolah memiliki hasrat menjadi Tuhan, yang terlalu dan selalu paranoid (Awas lho... kalian bisa menjadi target pembunuhan Nietzsche berikutnya!). Seolah, hidup karyawan hanya ditentukan nasibnya oleh pemberi kerja, nyawa pasien hanya ditentukan oleh dokter dan sistem rumah sakit, hidup petani hanya ditentukan nasibnya oleh industri agribisnis.

God is dead, Nietzsche
Nietzsche is dead, God
Is God Nietzsche, or Nietzsche God?

Bahkan, ketika hal terburuk terjadi dan mulai menggugah perasaan, memberikan tragedi, seolah kata-kata bijak sakti mengalir begitu saja di dalam benak, dan pernyataan pasrah mulai muncul, untuk menerima kenyataan. Ungkapan-ungkapan ekspresi seperti:

“That’s life!”,
“Ya, memang sudah takdirnya”,
“Itu sudah jalan hidupnya”,...

Kok mendadak seolah Tuhan dihidupkan lagi... ketika sistem modern kapitalis tidak mampu memenuhi hasrat individu yang berada didalamnya (termasuk hasrat untuk bertahan hidup), seolah para manusia ini njuk... meminta pada pihak ketiga, menghadirkan third-party dalam hidupnya...

Ya selesaikan sendiri dong, kalian semua yang awalnya punya ide dan pemikiran kok, pada gilirannya rumit dan mumet dalam pelaksanaannya, mengeluh dan minta tolong pihak lain, bahkan dengan perilaku licik dan korup. Bukankah itu juga pilihan ya, termasuk mau menolong dan ditolong, penderma dan peminta-minta, supply dan demand?

***

Animal Spirit, dan kemenjadiannya, berakar dari sebuah produksi mesin hasrat. Deleuze dan Guattari (1987) memberikan inspirasi kemenjadian yang orisinal yang tidak mampu didefinisikan dengan bahasa, hanya mampu diungkap dengan metafora. Menjadi binatang tidak terbatas pada yang diproses dari kemiripan persepsiannya, hubungan A dan B (bukan A menyebabkan x), bukan A dan B saling mengimitasi, namun saling bermetamorfosa memproduksi dan mereproduksi, saling merespon perbedaan untuk memproduksi kemiripan yang baru. Kemenjadiannya bukan merupakan persesuaian antar hubungan-hubungan itu, kemenjadian tidak terjadi di dalam imajinasi, kemenjadian binatang bukan mimpi-mimpi ataupun fantasi-fantasi, kemenjadian memproduksi ketiadaan selain kemenjadiaannya itu sendiri. Kemenjadian pun bukan evolusi, namun karena merupakan aliansi, proses progressi dan regressi yang serba spontan dan instan, proses keterlibatan kreatif, sekali lagi bukan pengimitasian atau atau pengidentifikasian atas sesuatu.

Perhatikan imaji berikut, manusia dengan alam, bagaimana cara pandang kemenjadian manusia itu sendiri sebagai penguasa alam, arogansi manusia dengan segala hegemoni antroposentrisnya, hasrat ingin menjadi yang serba paling, menjadi tuhan, manusia diatas manusia lainnya dan segala binatang yang berkeriapan di semesta raya. Bukankah pada hakikatnya manusia tidak ayal dan berbeda dengan makhluk yang sederajat, semartabat dalam makrokosmosnya. Manusia bagian dari alam, manusia juga binatang, manusia tanaman, manusia tanah, manusia udara, manusia manusia itu sendiri. Ketika dalam ranah ekonomi mikro, pemikiran Maslow melahirkan imaji yang telah menseparasi antara yang bernilai dan yang esensi, seolah hasrat diri mampu dibagi, seolah keuniversalan dalam diri dapat dicacah-belah dan ditunda. Namun ketika manusia itu melepaskan batas-batas teritorinya (deteriorialisasi) maka kemampuan lebur dan sifat tuhan akan bersamanya, penciptaan. Kemenjadian tidak terlepas dari abstraksi badan tanpa organ, sebuah telur, yang secara sadar, tidak sadar, transendental, melebur satu, utuh, penuh...

Sumber gambar: https://upworthy-production.s3.amazonaws.com/nugget/4fb516533063dd0003000433/attachments/Environment-chart.jpg


Sumber gambar: http://www.researchhistory.org/wp-content/uploads/2012/06/maslows-hierarchy-of-needs.gif



Sumber gambar: http://www.5cense.com/13/337/88-body_without_organ.jpg


Merefleksi dari pemaparan diatas, bagaimana manusia sebagai manusia yang utuh menanggapi kapitalisme. Mengapa dan perlukah manusia yang hadir dan ada dalam kosmos ini mencipta? Perlukah kapitalisme diakhiri dan diciptakan keterbaruannya? Apakah yang ada setelah kapitalisme? Mengapa diakhiri? Mengapa dilanjutkan? Bagaimana apabila kapitalisme dengan segala hierarki kekayaannya kita distribusi ulang, segala tertorinya kita deteritorikan, dilebur menjadi satu? Dengan melihat segitiga distribusi kekayaan dibawah, mungkinkah kita deteritorikan? Dengan kekuatan apa dan bagaimana kerjanya, apa mesinnya? Bagaimanakah caranya kita lipat segitiga-segitiga itu menjadi lingkaran, apakah mungkin setiap sisinya kita lipat, sedimentasikan, lipat lagi, dan sedimentasikan lagi, dan seterusnya? Bayangkan apa yang terjadi?

Sumber gambar: http://www.statista.com/statistics/203930/global-wealth-distribution-by-net-worth/

Kembali pada obrolan sebelumnya mengenai mesin-mesin hasrat di dunia kapitalisme, isu dalam aliran produksi-produksi hasrat ini kemudian memproduksi ketidaksamaan (inequallity). Sebuah paradoks yang dilahirkan dari intensi untuk mengejar persamaan, from equality produces inequality and a vice versa, and in ad infinitum. Kehadiran ketidaksamaan ini memang menjadi prasyarat dari terjadinya aliran dalam mesin-mesin hasrat, antara fiksi dan realita (Deleuze & Guattari, 1983). Bahkan kapitalisme yang ada dalam situasi ini (ersatz capitalism) dikhawatirkan akan memproduksi kekecewaan secara ekonomi dan politik, kehilangan progresi sosial, ketidaksempurnaan demokrasi (satu nilai mata uang untuk satu suara) (Stiglitz, 2015). 

Nampaknya dari melebarnya jurang tersebut memperkukuh pernyataan Marx mengenai dehumanisasi manusia itu sendiri. Hasrat dehumanisasi dari kelompok satu persen manusia, hasrat-hasrat manusia-manusia yang men-Tuhan-kan dirinya, manusia dengan permainan Tuhan. Becoming number one versus the only one, kapitalisme mensyaratkan kompetisi, menciptakan manusia menjadi hewan, serigala bagi manusia lainnya. Semakin anda berhasil menciptakan jurang, semakin unggullah anda, Übermensch! Memilih untuk menjadi, alih-alih memilih demi kemenjadiannya. Becoming intense, becoming animal, becoming imperceptible,...

***

Jika anda masih penasaran siapa saja teman-teman INTJ yang saya ajak berbincang, mereka-mereka inilah yang seringkali meracuni cara-cara saya berpikir, yang sering kali dalam benak saya terlintas kesetujuan pasrah.. “Iya.. juga ya!”

Karl Marx, Frederic Nietzsche, Jéan-Paul Sartre, John M. Keynes, Paul Krugman, dan Joseph Stiglitz

***  

Sampai disini dulu obrolannya, sambil mengenang kepergian seorang teman yang pada akhirnya berangkat mendahului kami semua, yang tiada akibat kegagalan sistem institusi yang mengusung ruh kapitalisme modern, institusi yang membiarkannya begitu saja Ia terbaring kritis tanpa daya, membiarkan para teman-temannya kelimpungan mencari pertolongan dokter jaga, membiarkan keluarga dan handai taulan larut dalam kesedihan mendalam, penuh haru dan duka, dan membiarkan kasir institusi itu tetap memberikan daftar tagihan atas jasa perawatan sambil mengukuhkan That's your life, even not my own business... Tunggu saja anda institusi, anda sudah menjadi target pembunuhan berikutnya... ya, anda kami TO!

Selamat jalan kawan, damai dan bahagia selalu disana...

Daftar Bacaan
Deleuze, G., & Guattari, F. (1983). Anti Oedipus: Capitalism and Schizophrenia. Mineapolis: University of Minnesota.
Deleuze, G., & Guattari, F. (1987). A Thousand Plateau: Capitalism and Schizophrenia. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Keynes, J. M. (1936). The General Theory of Employment, Interest and Money. London: Palgrave Macmillan.
Stiglitz, J. E. (2015). The Great Divide. London: Allen Lane.

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)